Friday, July 4, 2008

TEST TINGKAT KESADARAN

Selidikilah aku, ya Allah, dan kenallah hatiku, ujilah aku
dan kenallah pikiran-pikiranku.
(Mazmur 139:23)

Sebuah mobil membutuhkan pedal gas untuk bisa maju dan pedal rem untuk tidak melaju. Ia juga membutuhkan kemudi untuk memandu arah. Tetapi, yang paling penting pengemudi harus mengetahui jalan yang harus ditempuh dan sadar betul kapan menekan pedal gas dan kapan menekan pedal rem. Dengan segala keterbatasannya, ini dapat menggambarkan perjalanan kehidupan manusia. Tidak ada keraguan akan pentingnya mengenal dan memahami ‘tingkat kesadaran’ diri sendiri. Wyne Dyer mengelompokkan tiga tingkat kesadaran mulai dari yang terendah hingga tertinggi yakni: tingkat kesadaran ego, kesadaran kelompok dan kesadaran mistis.[1] Pengelompokan ini tetap digunakan disini dengan menyertakan refleksi terhadap setiap tingkat kesadaran itu.

1. Tingkat Kesadaran Ego

Dalam kesadaran ego, penekanan seseorang adalah pada kepribadian dan tubuhnya. Orang yang berada dalam tingkat kesadaran ini banyak menghabiskan waktunya untuk mengukur kesuksesannya berdasarkan perbandingan dengan orang lain. Kalau ia memiliki lebih banyak daripada orang lain, ia merasa lebih enak tentang diri sendiri. Ia sangat peduli dengan piagam penghargaan dan gengsi. Untuk ini ia bersaing dan selalu membandingkan. Ia berusaha memberi kesan kepada orang lain. Tetapi, justru disinilah masalah muncul. Di sinilah kedamaian batin tidak mungkin terjadi, sebab ia harus selalu berjuang untuk berada di posisi lain, ia selalu berlari lebih kencang untuk selalu ‘lebih’ dari orang lain.

Perasaan putus asa, marah benci, pahit, tertekan dan depresi berakar dari kecemasan ego dan sikap berkeras mencapai target yang ia tetapkan sendiri. Ego akan jarang membiarkannya beristirahat dan terus menuntut karena takut disaingi dan takut disebut tidak sukses.

Di samping itu, ia sangat peka dan amat cepat bereaksi terhadap pendapat orang lain. Jika orang lain memujinya (meskipun niat mereka hanya untuk menjilat dan memanfaatkan), ia merasa lebih enak. Ia pun mengobral pujian kepada orang lain, yang sebenarnya hanya mencerminkan keinginannya untuk dipuji dan disanjung. Sebaliknya, kalau ada yang mengkritiknya, ia merasa sakit hati yang sering disertai dengan pembelaan diri sambil balik menyerang.

Bagaimana kehidupannya bergereja? Secara ‘formal’ bisa saja tidak ada masalah. Artinya, ia selalu hadir pada kebaktian Minggu, menghadiri kelompok Pemahaman Alkitab (PA), memberi persembahan secara rutin, menyumbang ke gereja dan sebagainya. Hanya saja, semua ini menjadi sebuah alat untuk memenuhi keinginan sang ego. Ibadah dibelokkan sedemikian rupa untuk memenuhi selera dan keinginan. Mereka mengukur ibadah dengan istilah ‘enak’ atau ‘tidak enak’, ‘semarak’ atau ‘dingin dan sepi’. Jadinya, ibadah tidak ubahnya seperti shopping: memilih sesuai dengaan selera. Betapa sedihnya! Sumbangan mereka kepada gereja bisa saja banyak. Untuk memenuhi selera, mereka menyumbangkan perangkat musik band. Mereka bisa mendapat ‘keuntungan’ dalam bentuk yang lain dari situ seperti: (1) Merasa enak karena sudah merasa ‘menolong’ Tuhan, (2) Merasa enak mendengar musik band, (3) Lebih enak perasaan diketahui orang lain menyumbang ke gereja dan sekaligus mempunyai “SIM” untuk mengkritik orang yang pelit.

Doa-doanya biasanya menyamarkan inti kehidupan bergereja dan sikap hidup kristiani. Doa menjadi pameran kemampuan merangkai kata-kata; doa menjadi tumpukan proposal untuk disahkan oleh Tuhan; doa menggantikan kepedulian dan pertolongan nyata. Berdoa memang menggunakan kata-kata dan sebaiknya diungkapkan dengan baik. Bermohon kepada Tuhan melalui doa adalah bagian dari doa. Mendoakan orang lain juga tugas orang Kristen. Bedanya, doa-doa yang muncul dari ‘tingkat kesadaran ego’ hanyalah memperalat Tuhan dan orang lain untuk kepuasan diri sendiri.

‘Penampilan’ di gereja, mulai dari tempat berkoor (di tempat duduk atau ke depan), isi warta jemaat (apakah mewartakan pelayanan atau si pelayan sendiri), cara memegang uang persembahan ketika memasukkannya ke kantong persembahan (warna uangnya nampak banyak, atau digenggam rapat) sedikit banyak dipengaruhi oleh tingkat kesadaran. Ketika tingkat kesadaran ego yang mendominasi, semua penampilan akhirnya mengarahkan perhatian kepada yang tampil itu sendiri.

Orang dalam tingkat kesadaran ini termasuk orang bermasalah dan juga menimbulkan masalah. Ketika menghadapi suatu penderitaan seperti penyakit misalnya, ia bertanya setengah protes, “mengapa saya menderita seperti ini, padahal saya sudah membangun gereja dan rajin dalam semua kegiatan gereja?”

2. Tingkat Kesadaran Kelompok

Ini ada kemiripan dengan kesadaran ego. Bedanya, ego perorangan ditekan dan masuk dalam ego kelompok. Keanggotaan seseorang didasarkan pada keluarga, warisan, latar belakang rasial, suku, agama, bahasa, pertalian politik dan seterusnya. Di sini orang-orang mengidentifikasikan dirinya dengan kelompoknya, berjuang sesuai dengan harapan kelompoknya bahkan ada yang sampai berperang. Dalam konteks yang lebih sempit kita bisa lihat dalam kehidupan orang-orang Batak yang masih terbagi-bagi dalam kelompok-kelompok kecil. Bahkan, yang satu marga pun masih memiliki kelompok yang berbeda bahkan bermusuhan hingga generasi yang ke-17.

Ciri yang amat kentara dalam kesadaran ini adalah ‘fanatisme sempit’. Artinya, kelompokku paling benar, kelompok lain lebih rendah; kelompok lain sedapat-dapatnya dimanfaatkan untuk kepentingan kelompokku. Kesadaran ego bisa lebih ‘nyaman’ dalam kesadaran kelompok. Sebab, kesalahan kelompok bukan kesalahan saya dan kesalahan saya adalah kesalahan kelompok. Kita bisa melihat peristiwa hancurnya gedung kembar WTC, 11 September dan invasi Amerika ke Irak dalam konteks ini. Sekelompok orang membenci sekelompok orang Amerika, yang korban adalah orang-orang yang kebetulan berada di gedung WTC yang belum tentu satu pun dikenal oleh pelaku penyerangan itu. Sebagian orang Amerika membenci kelompok tertentu di Irak, yang korban adalah juga orang-orang yang tidak bersalah.

Jangankan marga, masyarakat, atau negara, gereja-gerejapun masih banyak yang bercokol dalam tingkat kesadaran ini. Sangat menyedihkan memang. Dalam hal ini gereja-gereja selalu membutuhkan pengampunan. Banyak perselisihan yang terjadi di tengah dan di antara gereja-gereja hanya karena ego kelompok.

3. Tingkat Kesadaran Mistis

Kata mistis perlu diperjelas lebih awal, karena sering kata ‘mistik’ digunakan berkaitan dengan perdukunan dan guna-guna. Kata mistis disini menunjukkan keterhubungan dengan Tuhan, setiap dan semua orang, dan setiap makhluk. Kesadaran mistis tidak melenyapkan kesadaran ego dan kesadaran kelompok, tetapi memberinya tempat yang wajar. Perasaan senang dan perasaan bangga yang terkandung dalam ego dalam batas-batas tertentu sah-sah saja sejauh ia tidak tergelincir pada pengutamaan kesenangan diri sendiri dan kesombongan. Kelompok juga dibutuhkan, bukan sebagai tembok tetapi sebagai pintu menuju persahabatan sejati dengan semua orang.

Merasa terhubung berarti Anda benar-benar merasa bahwa kita semua satu, dan bahwa kekerasan yang ditujukan kepada orang lain sebenarnya adalah kekerasan yang ditujukan kepada diri kita sendiri. Di sini, kerjasama menggantikan persaingan, kebencian dimusnahkan oleh kasih, dan kesedihan dihapus dengan sukacita. Pada tingkat ini Anda adalah anggota ras manusia, bukan kelompok yang lebih kecil. Karenanya, penganut agama Islam seharusnya merasa sedih tatkala orang-orang di WTC itu dibom. Orang-orang Kristen menolak invasi Amerika ke Irak yang memakan begitu banyak korban. Mengapa? Kita melihat manusia bukan berdasarkan agamanya, melainkan kemanusiaannya sebagai yang berharga bagi Tuhan.

Dalam tingkat kesadaran ini, Anda tidak akan menjadi apa yang Anda miliki, apa yang Anda capai, atau yang orang lain pikir tentang Anda. Di sini, doa-doa kita lebih merupakan pengakuan, penyerahan diri dengan mengatakaan “bukan kehendakku, tetapi kehendakMulah yang jadi”. Ibadah bukan lagi menyangkut apakah berkenan di hati saya tetapi apakah berkenan kepada Tuhan; bukan apakah itu menyenangkan hati hati, melainkan apakah itu menyukakan hati Tuhan. Kehidupan bergereja kita, pertolongan kita kepada yang lain, persahabatan kita adalah wujud kasih kita kepada Tuhan, sesama manusia, diri kita sendiri dan seluruh ciptaan Tuhan. Kebahagiaan sejati hanya ada disitu. Para rahib sering disebut sebagai mistikus karena mereka tidak melekat pada milik, pencapaian dan pendapat orang terhadap mereka.

Mungkin Anda bertanya, “Jika demikian, bukankah hidup ini jadinya monoton dan membosankan?” Untuk menjawabnya adalah pertanyaan juga, yaitu, “Anda membandingkan dengan apa? Bukankah pertanyaan itu lahir dari tingkat kesadaran ego?”

Dari dua miliar lebih orang Kristen di bumi ini, berapa orang yang memiliki tingkat kesadaran seperti ini? Tidak ada yang tahu. Lagi pula, dalah hitungan hari seseorang bisa saja berpindah dari tingkat kesadaran yang satu ke yang lain. Yang jelas, Anda dan saya dapat ‘mendaftarkan’ diri dan masuk dalam tingkat kesadaran ini. Syaratnya sangat sederhana: hanya kesediaan kita –tidak perlu IC/KTP, tidak perlu rekomendasi dari pimpinan gereja dan tanpa uang pendaftaran. Allah senantiasa bersedia menyambut kita bersatu dengan-Nya dan di dalam Dia kita bersatu dengan semua orang. Firman Tuhan ini pun akan terwujud dalam kehidupan kita:

"Kemuliaan bagi Allah di tempat yang mahatinggi dan damai sejahtera di bumi….”
(Lukas 2:14)

Selamat memasuki ‘tingkatan’ baru: ‘tingkat kesadaran mistis’.

[1] Wayne Dyer, 10 Secrets for Success and Inner Peace, terj. (Jakarta: Gramedia, 2005), 86-92.

1 comment:

  1. This comment has been removed by a blog administrator.

    ReplyDelete

Kami sangat menghargai komentar Anda yang membangun.


ShoutMix chat widget