Friday, April 11, 2008

MENGENALI DAN MENGATASI KEKERASAN

PRAWACANA

Kekerasan sudah setua manusia. Kini kekerasan juga hadir di mana-mana: di tengah masyarakat luas, di kantor-kantor, di lingkungan industri, di tengah-tengah keluarga, di jalan, dan ironisnya juga terkadang (bahkan mungkin biasanya) terdapat di lingkungan agama dan kebudayaan. Bentuknya pun amat beragam, mulai dari yang sangat halus, tidak kasat mata hingga yang terang-terangan di depan mata. Ia dilakukan oleh yang berpendidikan rendah maupun berpendidikan tinggi, orang miskin atau kaya, orang kota atau orang desa, orang beragama aktif atau ‘beragama KTP’ (sekadar tertulis dalam Kartu Tanda Penduduk).

Menyikapi kenyataan kekerasan yang kian mencengkream, tidak sedikit diskusi, seminar, lokakarya, persidangan yang dilakukan serta doa syafaat yang dipanjatkan dari tingkat lokal hingga mondial demi kehidupan dunia yang damai dan layak dihuni. Tidak terhingga pula dana yang habis untuk keperluan berbagai forum dimaksud untuk fotokopi materi dan konsumsi peserta (yang dalam arti tertentu merupakan kekerasan juga). Namun, kekerasan tidak kunjung teratasi. Malahan bagi banyak orang kepekaan pun hampir lenyap. Banyak orang yang tidak merasa ngeri lagi mendengar adanya ratusan korban pemboman atau kecelakaan. Ternyata, kekerasan menciptakan semacam ‘pembiasaan’ atau ‘pembiusan’. Tidak sedikit pula yang lalu begitu pesimis dan sinis menyikapi realitas.

Menyadari kenyataan demikian, sebetulnya cukup beralasan jika ada keengganan membahas tema di atas. Namun, umat percaya tetap berpengharapan dan terpanggil untuk berbuat sesuatu. Dewan Gereja-gereja Sedunia (DGD), misalnya, dalam Sidang Raya ke-8 di Harare (1998) melihat bahwa abad ke-20 yang sudah dilalui merupakan abad yang paling penuh kekerasan dalam sejarah dunia. (Indonesia, dalam hal ini rezim Soeharto, disebut-sebut sebagai rezim peringkat satu dunia di bidang tindak kekerasan atau rezim yang paling kejam pada abad ke-20).

Belajar dari abad yang penuh kekerasan itu dan demi kehidupan dunia yang lebih damai, dalam Sidang Raya tersebut, DGD menetapkan dasawarsa ini sebagai Decade to Overcome Violence (Dasawarsa untuk Mengatasi Kekerasan: Gereja-gereja Mencari Rekonsiliasi dan Damai)
Sebagai warga bangsa Indonesia, di satu segi dapat berbesar hati dengan dicanangkannya tahun 2003 oleh Presiden Megawati sebagai tahun perdamaian dan tanpa kekerasan. Akan tetapi di segi lain, dalam waktu yang sama terjadi kekerasan ekonomi melalui kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM), Tarif Dasar Listrik (TDL) dan tarif telepon dan kekerasan demi kekerasan masih terjadi dalam berbagai segi kehidupoan hingga saat ini.

Mencermati semua itu, sebenarnya apa yang disajikan berikut ini amat jauh dari standar penulisan ilmiah. Ia dengan sengaja disajikan tanpa mengandalkan catatan kaki, melainkan lebih mengungkapkan catatan hati –hati yang merindukan kehidupan tanpa kekerasan.

AKAR KEKERASAN

Kekerasan berakar pada keberdosaan manusia. Keberdosaan ini pada gilirannya begitu akrab dengan egoisme (pementingan diri sendiri) dan/ atau sikap penolakan diri (benci diri). Egoisme dan penolakan diri manusia sangat tipis jaraknya dengan aneka kejahatan dan kekerasan. Sebab, egoisme biasanya menyatu sedemikian rupa dengan iri hati, kedengkian, rasa takut berlebihan, kekuatiran dan dendam yang berujung pada kekerasan (lihat Yak 4:2)

Demikian halnya dengan sikap benci diri dapat berujung pada kekerasan, baik terhadap diri sendri maupun terhadap orang lain. Secara negatif dapat dikatakan bahwa kekerasan adalah anak kandung ketidakbahagiaan. Sebaliknya, bahagia dengan diri sendiri merupakan obat manjur melawan iri hati, dengki dan kekerasan.

Dalam kaitan itu, Thomas Hobbes (abad ke-17) tidak keliru mengungkap kenyataan zamannya dimana yang terjadi ialah homo homini lupus (manusia merupakan serigala bagi sesamanya), karena manusia memiliki sifat-sifat competitio (berlomba mengatasi orang lain atas rasa takut), defentia (mempertahankan diri) dan gloria (keinginan untuk dihotmati dan dipuji).

MENGENALI KEKERASAN

Kekerasan mencakup kekerasan fisik dan non-fisik dalam berpikir, berucap, bersikap dan bertindak -- mulai dari yang paling halus, tidak kasat mata hingga yang terang-terangan. (1) Kekerasan berpikir antara lain: menghendaki (malah mendoakan) malapetaka bagi orang lain, merancang kekerasan bagi orang lain. (2) Kekerasan berucap dan bersikap yang juga berkaitan dengan kekerasan non-fisik antara lain: kata-kata atau gerak-gerik yang melecehkan, menggoda (secara seksual), menghina, mengancam, menakut-nakuti, memaksakan pendapat yang melukai perasaan orang lain. (3) Kekerasan dalam bertindak, terutama berkaitan dengan kekerasan fisik baik secara langsung maupun tidak langsung. Langsung, misalnya: pembunuhan, pemerkosaan, penindasan, penculikan, pemukulan, penyiksaan dsb.); dan tidak langsung misalnya, perusakan dan pencemaran alam, penciptaan struktur ekonomi dan sistem politik yang tidak adil. Kekerasan fisik dan non-fisik ini terjadi hampir di semua bidang kehidupan, antara lain:

1. Kekerasan Individual

Kekerasan individual dapat terjadi terhadap diri sendiri, orang (-orang) lain, dan alam. Khusus yang disebut pertama, (kekerasan terhadap diri sendiri), misalnya melalui upaya memaksa diri untuk mencapai ‘ideal diri’ menurut ‘gambar’ diri sendiri atau ‘gambar’ orang lain, demi ‘sukses’ menurut ukuran dunia. Di samping itu, kekerasan terhadap diri sendiri terjadi ketika seseorang merusak diri sendiri dengan mengkonsumsi narkoba, minuman keras berlebihan, menyiksa diri dan sebagainya. Semuanya ini merupakan ‘angsuran kematian’ atau ‘bunuh diri kredit’.
Lebih keras dari itu adalah ‘bunuh diri’ secara langsung. Kemajuan zaman dan tingkat perolehan materi yang semakin banyak ternyata tidak menjamin kebahagiaan banyak orang. Hal ini terbukti dari tingkat bunuh diri yang cukup tinggi di negara maju, seperti di Jepang dan negara maju lainnya.

Kekerasan individual terhadap orang lain merupakan peristiwa keseharian dalam kuantitas dan kualitas yang kian meningkat, seperti:

- Pembunuhan (di Indonesia sebagai peringkat atas),
- Pemerkosaan (menempati peringkat kedua, yang terjadi sekali dalam 6 jam
- Maraknya ‘Pedagang kematian’ (meminjam istilah Paus Paulus II) yang menjajakan narkotika dan obat-obat terlarang yang menghancurkan banyak orang dan meningkatnya kekerasan di tengah masyarakat.
- Peredaran atau penjualan produk makanan yang mengandung zat berbahaya atau makanan kadaluarsa yang mencelakakan kesehatan konsumen.
- Pembuangan limbah rumah tangga atau perorangan yang mengganggu khalayak
- Merokok di rumah dan tempat-tempat umum: kantor, ruang pertemuan (bahkan di gereja) di bus dan sebagainya, yang merusak kenyamanan dan kesehatan orang lain.
- Menunda bahkan mengabaikan pengobatan orang sakit hanya demi uang. (Jadinya, emas gemuk tetapi orangnya kurus dan batuk-batuk).
- Ancaman teror, intimidasi, dan sebagainya.

2. Kekerasan dalam Lingkungan Keluarga

Sadar atau tidak, sebenarnya kekerasan sangat sering terjadi di lingkungan keluarga. Di antaranya banyak yang terungkap, tetapi bisa saja lebih banyak lagi yang tidak tersingkap ke permukaan.

(1) Orangtua terhadap anak, yang terjadi dalam berbagai bentuk, di antaranya:
Kata-kata yang memperlemah semangat (apalagi disertai dengan nada suara dan raut wajah marah), seperti: “Belum pernah ada yang saya tahu anak sejahat engkau di dunia ini”.
· Membentak dan menakut-nakuti anak kecil, mengejek yang melemahkan semangat hidup anak.
· Diskriminasi kesempatan mendapat pendidikan dengan mengesampingkan perempuan hanya karena dia perempuan, yang dianggap akan menjadi ‘milik’ orang lain.
· Pemberian beban kerja berlebihan, yang merupakan tindakan merampas masa depan si anak.
· Pemerkosaan. Tidak sedikit jumlah anak yang diperkosa (terutama) oleh ayah kepada putrinya.
· Pemukulan bahkan penganiayaan atau penyiksaan secara langsung maupun tidak langsung (misalnya, menunda atau malah mengabaikan pengobatan yang layak bagi anak yang sakit).
· Pigmalion: Orangtua berusaha ‘membentuk anak-anak sesuai dengan gambaran dan keinginannya sendiri’.

(2) Hubungan suami-istri. Dalam konteks masyarakat paternalistik, kekerasan sering bersumber dari suami kepada istri, misalnya: suami menuntut istri untuk tunduk kepada suami sebagai kepala keluarga yang menganggap sudah ‘membeli’ istrinya dengan jujuran tinggi; suami memperkosa istri (kedengarannya aneh, tetapi hal ini sering terjadi); suami membiarkan istri bekerja keras sementara ia memboroskan waktu dan uang duduk di warung meneguk alkohol sambil ‘ngobrol’ dan main kartu domino (berjudi). Sebaliknya, kekerasan istri terhadap suami, misalnya: istri memaksa suami bekerja di luar kemampuan hanya demi uang; mendukung suami bertindak tidak adil (korupsi, menindas ‘bawahan’).

Bagi sebagian suami-istri yang tidak dikaruniai anak, mungkin merupakan keadaan yang sangat rawan kekerasan yang bisa saja berujung pada perceraian. Dalam hal ini perlu disadari bahwa sebuah keluarga bukanlah sebuah industri yang tujuan satu-satunya untuk memproduksi anak, kalau tidak ‘berproduksi’ keluarga ‘gulung tikar’. Secara teologis dapat dikatakan berkat Tuhan bisa saja melalui kehadiran atau kelahiran anak dan juga tanpa kelahiran anak dalam sebuah keluarga.

(3) Hubungan anak dengan anak. Terjadinya persaingan tidak sehat, kecemburuan, iri hati di antara sesama anak, yang seringkali diikuti dengan tindak kekerasan. Alkitab bersaksi tentang hal-hal seperti itu. Kain membunuh Habel karena ketidaksenangan dan kecemburuan. Yusuf dijual oleh saudara-saudaranya karena kecemburuan. Dalam perumpamaan Tuhan Yesus tentang ‘anak yang hilang, kita juga melihat bagaimana anak sulung itu marah terhadap ayahnya atas sambutannya pada adiknya sendiri. Ini hanya sebagian dari contoh yang dapat ditemukan dalam Alkitab.

(4) Anak terhadap orangtua. Anak-anak pun tidak jarang melakukan tindak kekerasan kepada orangtuanya, mulai dari kekerasan psikis hingga kekerasan fisik (bahkan hingga membunuh), baik secara langsung maupun tidak langsung (anak yang sudah dewasa misalnya menelantarkan, tidak mengusahakan pengobatan ketika orangtuanya sakit). Banyak orangtua yang menderita secara fisik dan psikis karena tindakan anak-anaknya yang durhaka.

3. Kekerasan Institusional

Kekerasan institusional merupakan kekerasan yang terjadi dalam berbagai bidang kehidupan di tengah masyarakat, baik yang mendapat legitimasi dari institusi terkait maupun karena pelanggaran pribadi yang menjadi bagian dari sebuah institusi. Berikut ini beberapa bidang kehidupan tempat berlangsungnya kekerasan.

(1) Pertahanan keamanan. Sudah sejak lama negara-negara di dunia secara tidak bijaksana menetapkan prioritas kebijakannya dengan pemborosan dana membangun persenjataan pemusnah kehidupan. Belum lama ini Hans Kung menyebutkan bahwa setiap menit dunia memboroskan sekitar 2 juta USD untuk biaya persenjataan tentara di seluruh dunia. Hal ini mengakibatkan berbagai dampak buruk, di anataranya: (i) Terganggunya pengadaan sarana dan pra-sarana yang membangun kehidupan (penyediaan kebutuhan primer, pelayanan pendidikan, kesehatan dan sebagainya). (ii) Mengakibatkan masyarakat dunia hidup dalam ketakutan akan ancaman persenjataan tersebut. Diyakini, jika semua senjata nuklir dan biologi yang ada sekarang dilepas, semuanya cukup menghancurkan kehidupan di bumi ini. (iii) Begitu banyaknya korban perang dan akibat lanjutan sebuah perang.

(2) Ekonomi. Di bidang ekonomi kekerasan mewujud dalam aneka bentuk, baik yang langsung mapun tidak langsung. Ekonomi terutama berorientasi pada pertumbuhan ekonomi tanpa memperhitungkan bahwa pertumbuhan itu justru terjadi melalui pertumpahan keringat bahkan pertumpahan darah.

Masyarakat menghadapi sistem perekonomian dunia yang tidak adil yang diperparah struktur perekonomian domestik yang juga tidak adil, semakin meminggirkan masyarakat lemah. Saat ini diperkirakan sedikitnya 1,2 miliar manusia di dunia ini hidup dalam kemiskinan absolut. Hal ini antara lain mengakibatkan kesenjangan ‘harapan hidup’ antara negara-negara makmur dan negara-negara miskin. Kesenjangan harapan hidup demikian merupakan kekerasan juga.[2]

Di dalam negeri, hal itu diperparah dengan praktek monopoli (pengadaan barang tertentu dikuasai oleh orang tertentu), oligopoli (produsen hanya dikuasai orang tertentu sehingga dapat menentukan harga) dan kartel (organisasi perusahaan-perusahaan besar yang memproduksi barang sejenis) yang semakin memperbesar perusahaan raksasa dan menghancurkan usaha kecil. Hal ini semakin buruk karena praktek K3N, sehingga meski perekonomian Indonesia melorot, yang melarat adalah rakyat kecil bukan para konglomerat, penguasa dan pengusaha.

Di samping itu, kenaikan harga kebutuhan pokok masyarakat sebagai kompensasi ketidakmauan dan ketidakmampuan memberantas korupsi harus dilihat sebagai tindak kekerasan. Lihat saja, koruptor miliaran bebas berkeliaran sementara pencuri sepeda mini meringkuk di penjara.

Dengan mata telanjang dapat diamati bahwa sekelompok kecil masyarakat menikmati devisa dan yang tersisa adalah penyakit berbisa bagi banyak orang. Sangat ironis memang, bagaimana mungkin Indonesia yang alamnya kaya raya tetapi mayoritas rakyatnya miskin raya. Banyak sekali warga masyarakat kita yang diperlakukan tidak ubahnya seperti sepasang mur dan baut dalam mesin produksi, yang hanya memiliki tanggung jawab tanpa menerima haknya secara adil.

Yang lebih memprihatinkan ialah kerusakan alam yang amat parah saat ini sebagai konsekuensi logis dari ekonomi tanpa pertimbangan ekologi. Perlu dicatat bahwa dunia kehilangan hutan tropis setiap tahunnya seluas wilayah Korea. Indonesia sendiri mengalami kerusakan hutan seluas hampir 2 juta hektare setiap tahun. Karena kekerasan manusia, satu spesies punah setiap hari, yang tetap tersisa ialah sikap kebinatangan manusia yang kian menjadi-jadi. Hutan rimba hampir habis ditebas, seang yang tersisa ialah hukum rimba yang kian merajalela.
Kekerasan terhadap alam atau penghancuran hutan dan makhluk lain pada gilirannya merupakan kekerasan terhadap manusia juga:

- Polusi udara merusak saluran pernafasan manusia. Di samping itu, hasil penelitian telah membuktikan bahwa polusi udara juga merontokkan tingkat kecerdasan manusia, khususnya anak-anak. Kita perlu menghindari hadirnya generasi yang bodoh dan loyo.
- Limbah berbahaya (terutama merkuri atau logam berat) dari industri atau tambang yang dialirkan ke laut di mana ikan tanpa sadar memakannya, dan manusia tanpa sadar pula mengkonsumsi ikan yang terkontaminasi zat beracun.
- Polusi suara dan kenaikan temperatur sangat mempengaruhi emosi manusia dan memicu tindak kekerasan.

(3) Politik. Kekerasan dalam bidang politik terjadi ketika penguasa menindas warga negara, melalui berbagai pembatasan dan pembatalan hak, penangkapan yang sewenang-wenang, penculikan, bahkan pembunuhan lawan-lawan politik.
Juga merupakan kekerasan kalau rakyat tidak terwakili dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Era reformasi ini sudah menunjukkan tanda-tanda perbaikan, meskipun hingga hari ini belum pernah ada perwakilan rakyat yang sebenarnya. Yang ada masih sebatas perwakilan partai. Hanya keberuntungan saja memiliki beberapa orang anggota dewan yang sungguh-sungguh memihak dan memperjuangkan rakyat.

(4) Ilmu Pengetahuan dan Teknologi. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi memang sudah membawa begitu banyak berkat. Akan tetapi ia juga memiliki sisi negatif, dimana manusia terkadang diperlakukan sebagai objek atau ‘kelinci percobaan’. Sungguh memprihatinkan teknologi sudah memangsa tuannya sendiri. Selain itu, teknologi tidak mampu memulihkan kerusakan dan penderitaan yang ditimbulkannya.

(5) Perhubungan. Kekerasan terjadi melalui pengoperasian armada transportasi darat, laut dan udara yang jelas-jelas tidak layak jalan atau tindakan sengaja menampung penumpang melebihi kapasitas armada angkutan demi meraup keuntungan sehingga mencelakakan banyak orang.
Juga, tindakan sengaja membiarkan bagian ruas jalan yang berlobang atau membiarkan trotoar menganga yang bisa menjebak dan mencelakakan pengguna jalan.

(6) Media komunikasi. Kekerasan terjadi misalnya melalui siaran televisi yang mengeksploitasi khalayak melalui tayangan film kekerasan dan iklan yang menyesatkan. Bagi dunia pers, kekerasan malah dapat merupakan ‘mesin penghasil uang’ atas pemberitaannya tentang peristiwa kekerasan. Kekerasan yang menggemparkan dunia, meningkatkan minat masyarakat berpaling kepada media massa. Semakin media massa diminati, semakin terbuka peluang meraup untung melalui iklan-iklan. Banyak ahli yang berkesimpulan bahwa tayangan film-film yang berbau kekerasan memicu tindak kekerasan bagi pemirsa yang antara lain dalam bentuk (a) Peniruan langsung seperti yang terjadi di TV (b) Memacu tindak kekerasan yang sebenarnya masih bisa dicegah (c) Menghilangkan kepekaan terhadap tindak kekerasan. Artinya, orang tidak merasa terganggu menyaksikan aneka kekerasan yang terjadi.

(7) Pendidikan. Secara struktural, institusi pendidikan –ironisnya- ternyata tidak terbebas dari tindak kekerasan dalam berbagai modusnya. Jumlah anggaran yang dialokasikan untuk pendidikan, meski akhir-akhir ini sudah menunjukkan perbaikan, masih tergolong dianaktirikan dalam APBN (mungkin juga dalam APBD). Sudah sejak lama tingkat kesejahteraan guru sangat memprihatinkan yang memaksa para guru untuk mencari nafkah tambahan yang pasti menyita perhatiannya meningkatkan kualitas pendidikan.

Kondisi demikian dikeruhkan melalui hubungan-hubungan dalam dunia pendidikan yang sering diwarnai oleh kekerasan, mulai dari kekerasan psikologis hingga kekerasan fisik baik dari pendidik kepada peserta didik dan sebaliknya dari peserta didik dan anggota keluarganya terhadap pendidik. Beberapa kasus yang terungkap menunjukkan berbagai tindak kekerasan yang dilakukan oleh guru kepada peserta didik, baik kekerasan psikis maupun fisik. Sebaliknya, tidak sedikit pula guru yang mendapat perlakuan kekerasan mulai dari ancaman hingga siksaan dari peserta didik atau angota keluarga siswa.

Di samping itu dapat dicatat beberapa bentuk kekerasan dalam lingkungan institusi pendidikan, a.l.:
- Guru atau dosen yang mengacungkan pena yang disertai ancaman kepada peserta didik, ‘hidup-matimu berada di ujung pena saya’. Kita pun mendengar berbagai kasus di mana nilai akademis mahasiswa harus dikompensasi dengan uang, ‘kerja paksa’ bahkan hubungan seksual.
- Guru atau dosen yang terlalu banyak jam mengajar (bentuk kekerasan terhadap diri sendiri dan keluarga, yang bisa saja berlanjut pada kekerasan terhadap peserta didik).
- Mahasiswa mengontrak mata kuliah terlalu banyak dan di luar kemampuan, dll.

(8) Kebudayaan. Dalam lingkup kebudayaan, sistem paternalistik sangat rawan kekerasan, khususnya kekerasan terhadap perempuan. Merupakan kekerasan juga jika pernikahan harus dibatalkan hanya karena ketidakmampuan membayar jujuran yang terlalu tinggi, yang mendapat legitimasi dari kebudayaan.

(9) Agama. Yang amat memilukan dan sungguh memalukan ialah kenyataan bahwa lembaga agama dan umat beragama tidak sepenuhnya terbebas dari sikap dan tindak kekerasan. Kekerasan terjadi dari lembaga agama kepada warga, seperti diskriminasi atas dasar gender, kewajiban (atas nama ayat kitab suci) membangun sarana dan prasarana meski di luar kemampuan warga dan sebagainya.

Kekerasan juga mengemuka dalam hubungan antar umat beragama. Bangsa Indonesia telah mengalami sejarah pahit dengan terjadinya berbagai perang (bukan hanya konflik) antar umat beragama di tanah air. Di antaranya ada yang mengabsahkannya melalui penafsiran kitab suci (contoh konkrit lihat topik “Reformasi Kemandirian Gereja” dalam Victor Tinambunan, Menjadi Gereja Pro-Kehidupan). Ironis! Manusia dengan mudah memperkosa ayat-ayat Alkitab untuk mengabsahkan tindakan kekerasan. Karena itu, ini juga merupakan kekerasan dalam hermeneutik (tafsiran) Alkitab.

Selain itu, pertanyaan yang pantas juga diajukan dan direspon ialah, ‘Apa perbedaan mendasar antara Yesus dan Gereja?’ Yesus berpihak pada orang miskin dan tersisih (korban kekerasan), sementara gereja biasanya lebih berpihak pada orang kaya dan berjasa. Secara jujur harus diakui bahwa gereja sering terjatuh pada kenyataan bahwa: uang diperilah dan yang ilahi diuangkan (demikian Sebastian Kappen menggambarkan kehidupan gereja akhir-akhir ini). Padahal Alkitab bersaksi, akar segala kejahatan adalah cinta akan uang.

MENGIKUT YESUS MENGATASI KEKERASAN DENGAN DAMAI

Acuan utama orang Kristen dalam mengatasi kekerasan ialah pengajaran dan kehidupan Yesus. Panggilan gereja tidak hanya sekadar mengatasi kekerasan seperti cara yang dilakukan oleh Yesus, seolah-olah Ia tidak melakukannya lagi sekarang. Akan tetapi, setiap orang mengatasi bersama kekerasan dengan dan seperti cara Yesus yang masih tetap melakukannya sampai hari ini.

1. Mengatasi Kekerasan Struktural

Yesus adalah korban kekerasan. Orang-orang yang dikasihiNya sejak dulu hingga hari ini juga banyak yang menjadi korban kekerasan. Yesus bukan tidak sanggup melenyapkan pelaku kekerasan dengan kekerasan yang lebih dahsyat, tetapi Ia mengatasi kekerasan dengan damai (bnd. Mat 5:44-45).

Yesus mewartakan bahwa kekuasaan Allah akan segera ditegakkan dan Ia mengajak umat untuk bertobat (Mrk 1:15 dst; Luk 10:9, 11). Akan tetapi, kejahatan di dunia ini tidak pertama-tama berakar pada keadaan sosial dan politik, melainkan dalam hati masing-masing orang jahat. Oleh karena itu tegaknya Kerajaan Allah tidak dilandaskan pada perubahan struktur politik dan ekonomi tertentu secara revolusioner. Kerajaan Allah menuntut pertobatan orang-orang jahat. Dengan demikian, struktur politik dan ekonomi akan berubah ke arah yang baik. Yesus mewartakan kabar gembira Kerajaan Allah yang memerdekakan (menentang Romawi) tetapi menolak hukum pembalasan dan kekerasan. Yesus datang mengubah hati keras menjadi hati lembut.

Yesus menekankan hukum kasih bukan sikap keras yang dilandaskan pada rasa benci. Hanya pengalaman kasih Allah yang dapat mengubah hati manusia yang seperti batu, membebaskan manusia dari perhambaan dan membuatnya mampu untuk melepaskan diri dari struktur-struktur yang beku. Dengan demikian Ia mengambil sikap yang tegas melawan pandangan umum yang berlaku pada waktu itu. Inilah unsur yang benar-benar baru dan khas dalam pewartaan Yesus. Hanya hati yang sudah diubah mampu membangun komunitas manusiawi yang baru, mampu melakukan yang baik.

Dalam konteks ini dapat dipahami penegasan Yesus “Berbahagialah orang yang membawa damai karena mereka akan disebut anak-anak Allah” (Mat 5:9). Ucapan bahagia ini merupakan satu kesatuan dengan ucapan ‘berbahagialah’ seperti dalam Matius 5:3-11. Di sini bukan sembilan macam orang yang dimaksudkan, melainkan sembilan segi dari orang yang sama, yang salah satu di antaranya adalah pembawa damai.

Dalam dunia yang dipenuhi oleh perselisihan, anak-anak Allah hendaknya berperan sebagai pelaku-pelaku damai. Pengikut Kristus yang membawa damai, disebut anak-anak Allah. Sebab seorang anak mempunyai kesamaan dengan bapaknya. Allah menghendaki perdamaian dan orang yang berusaha menciptakan perdamaian, memperlihatkan kesamaannya dengan Bapanya di sorga.

Kebahagiaan yang sejati hanya dimungkinkan kalau ada hubungan yang benar dengan Tuhan: Menerima Tuhan dan kedaulatanNya dalam kehidupan; menerima pemberian Tuhan kepada kita dengan rasa syukur; mengimani akan rancangan Allah yang sempurna dalam hidup. Singkatnya, penerimaan Allah dan diri sendiri serta kepasrahan yang aktif kepada penyelenggaraan Allah.

Atas dasar ini, ‘damai’ tidak merupakan syarat kebahagiaan. Artinya, orang akan merasa bahagia karena ada damai. Melainkan, orang-orang yang berbahagia yang dapat mewujudkan damai. Dengan kata-kata lain, yang benar adalah: karena saya orang yang berbahagia (karena Tuhan), maka saya dimungkinkan membawa damai; bukan: saya menjadi berbahagia hanya karena ada damai.

Jelas bahwa ‘kebahagiaan’, damai dan keberadaan sebagai anak-anak Allah adalah anugerah Allah. Tidak satu pun bersumber dari diri sendiri. Damai berasal dari Allah (Rm 15:33, 2 Kor. 13:11; Gal 1:3; Ef 1:2; Why 1:4). Damai disebut juga sebagai pemberian Kristus (Yoh 14:27).

2. Pribadi Pembawa Damai: Mengatasi Egoisme

Menyadari bahwa kekerasan terutama bermula dari kehidupan pribadi yang merambat ke dalam kehidupan keluarga, masyarakat, bangsa dan komunitas dunia, maka upaya mengatasi kekerasan pun seharusnya bermula dari kehidupan pribadi.

Orang yang berbahagia karena Tuhan akan secara serta merta dapat menjaga hati (bnd. Ams 3:14), kata-kata dan tindakan yang membangun kehidupan. Orang yang berbahagia mampu mengembangkan ‘bahasa kelembutan dan menanggalkan bahasa iri hati dan bahasa kekerasan. Jadinya, hidup menjadi alat perdamaian.

Tugas panggilan orang percaya tidak saja bersih dari tindak kerasan tetapi juga terpanggil menjadi pembawa damai. Sebab, suasana damai tidak hanya hidup tanpa kekerasan atau perang, tetapi di mana syalom diwujudkan. Ini adalah bagian dari keberadaan orang percaya sebagai garam dan terang dunia dalam rangka merawat kehidupan. Karena itu, orang percaya terpanggil memberitakan Injil kepada semua makhluk, merawat dan memelihara ciptaan.
Dalam hal ini setiap individu membutuhkan spiritualitas yang tangguh. Spiritualitas merupakan sikap dan gerak hidup yang berpadanan dengan iman kepada Tuhan. Artinya, menyatunya kehidupan ibadah dengan perilaku sehari-hari. Spiritualitas mestinya menjadi bagian integral bagi profesi dan fungsi seseorang, sebagai guru, pelayan Rumah Sakit, pelayan perhubungan, pegawai pemerintah, pelayan gereja, politisi, kontraktor, penguasaha, tukang bangunan, tukang becak, suami, istri, anak dan lain-lain.

Dunia terberkati melalui kehidupan dan perjuangan banyak orang yang mengatasi kekerasan dengan budaya damai. Menyebut beberapa contoh saja antara lain, Martin Luther King Jr, Ibu Theresa, Nelson Mandela, juga orang yang menerapkan ajaran Yesus meskipun tidak pernah dibaptis menjadi Kristen seperti Gandhi dan yang semuanya dapat menjadi acuan berpikir, berucap, bersikap dan bertindak damai dalam mengatasi kekerasan.

3. Keluarga Pembawa Damai

Kehidupan keluarga yang baik dan damai memang tidak menjamin kehidupan terciptanya masyarakat yang baik dan damai. (Hitler yang sadis dan membunuh sekitar 6 juta Yahudi, adalah orang yang mengasihi keluarganya, ia berdoa dan membaca Alkitab di rumahnya. Tetapi ia amat sadis di luar rumah). Akan tetapi kehidupan keluarga-keluarga yang dipenuhi dengan kekerasan hampir menjamin kehidupan masyarakat yang penuh dengan kekerasan. Kasih semacam ini dapat disebut kasih ‘jarak pendek’.

4. Gereja Pembawa Damai

Kekerasan kian merajalela seiring dengan memudarnya kehidupan ibadah dalam arti yang sesungguhnya. Yesus menuntut ibadah yang menyatu dengan keadilan, belas kasihan dan kesetiaan (Mat 23:23). Karena itu, secara konkret Gereja terpanggil untuk berbuat sesuatu, di antaranya:

· Sungguh-sungguh belajar kebenaran firman Tuhan sehingga Gereja dapat memberi sumbangan yang bernilai di tengah masyakat melalui pelayanan dan kesaksian gereja secara kelembagaan dan oleh para warganya sendiri.
· Gereja-gereja seharusnya terbebas dari segala bentuk kekerasan. Dalam kaitan itu, Gereja terpanggil menyatakan perilaku kenabian dan suara kenabian. Suara kenabian saja tidak cukup, tetapi gereja sungguh-sungguh pelaku kebenaran dan keadilan dan bebas dari tindak kekerasan.

AKHIRULKALAM

Tidak ada jalan mudah dan mulus menuju perdamaian. Ia menuntut kesungguhan bahkan pengorbanan (tanpa kekerasan). Ini semakin meyakinkan bahwa hanya bersama Tuhan, yang sudah mengalahkan kekerasan itu dengan cinta kasih, setiap orang layak menjadi pembawa-pembawa damai di setiap waktu dan tempat, mulai dari kesediaan mengembangkan bahasa kelembutan, membiasakan gerak-gerik persahabatan hingga membudayakan perdamaian dan tindakan pro-kehidupan.
[2] Penjelasan lebih lanjut lihat UEM, It’s time to talk about it!” Violence agaisnt women in culture, society and the church, Geneva: UEM, 2000, p. 56

2 comments:

  1. Ibu Repelita Tambunan menyebutkan bahwa kekerasan dalam rumah tangga mencakup kekerasan yang dilakukan oleh tuan rumah kepada pembantu rumah tangga atau orang lain yang ada di rumahnya.

    ReplyDelete
  2. saya sebagai manusia cinta damai hentikan KDRT kita junjung nilai kemanusian

    ReplyDelete

Kami sangat menghargai komentar Anda yang membangun.


ShoutMix chat widget