Sunday, May 30, 2010

MEMINTA DAN MENERIMA MAAF

REFLEKSI SENIN KE-22
31 Mei 2010

Pengalaman menunjukkan bahwa manusia sulit meminta maaf. Mengapa? Sedikitnya ada tiga kemungkinan. (1) Seseorang benar-benar bersalah tetapi ‘merasa’ tidak bersalah. Dalam hal ini seseorang perlu lebih sadar diri baik melalui usaha sendiri maupun dengan keterbukaan pada orang lain. (2) Merasa bersalah tetapi mengganggap tidak terlalu masalah. Mungkin ada perasaan bahwa kesalahan yang sama dilakukan oleh orang lain. Bahkan, orang lain yang mempunyai kesalahan jauh lebih besar dan tidak meminta maaf. (3) Sadar bersalah tetapi sengaja tidak mengaku bersalah dan tidak mau meminta maaf.

Apa pun di balik ketidaksediaan meminta maaf, yang jelas semuanya tidak dapat dibenarkan. Permohonan maaf atas suatu kesalahan merupakan keharusan. Agaknya, rasa ‘harga diri’ yang keliru merupakan penghalang besar untuk meminta maaf atas suatu kesalahan. Ada semacam sikap alamiah bagi banyak orang bahwa mengaku bersalah dan meminta maaf itu menurunkan harga diri. Apalagi bagi seseorang yang terpandang menurut ukuran dunia seperti karena kedudukan atau jabatan, kekayaan dan sebagainya. Sekadar contoh, ada satu ungkapan dalam bahasa Batak: Mardasar mardosor, tutungon porapora. Na sala i gabe sintong, molo hata ni na mora. (Yang salah menjadi benar, jika yang mengatakannya orang kaya).

Cara yang paling umum bagi orang yang mengagungkan ‘harga diri’ untuk menutupi kesalahan dan menolak meminta maaf adalah: mencari kesalahan orang dan mencari kambing hitam. Hal ini bukan pengalaman yang asing bagi kita di lingkungan masyarakat, pemerintahan, bahkan –sedihnya—di lingkungan agama juga. Padahal, kebesaran seseorang nampak saat ia menyadari kekurangan dan kelemahannya yang disertai dengan usaha perbaikan diri secara terus-menerus.

Meminta maaf atas suatu kesalahan adalah sebuah keharusan. Caranya bisa secara langsung atau melalui orang lain (karena kondisi tertentu). Selain itu, meskipun kurang sempurna, permintaan maaf tanpa kata juga dapat dilakukan, yaitu dengan memperbaiki kesalahan dan menunjukkan perbaikan diri. Meski kata maaf tidak terucap, tetapi perubahan hidup seseorang telah mencerminkan permintaan maaf. Cara ini jauh lebih baik ketimbang kata maaf yang terlontar yang hanya memenuhi persyaratan tertentu atau karena desakan dari luar tanpa disertai perubahan hidup.

Memang, usaha permintaan maaf tidak selalu mulus, meskipun bertolak dari hati yang tulus. Bisa saja korban atau sasaran suatu kesalahan menolak memaafkan atau bahkan menjadi mengeras. Tetapi, di samping kita sudah menunaikan tanggung jawab, kita juga harus memaafkan orang-orang yang tidak menerima permohonan maaf kita. Lebih dari itu, ada kalanya kita menanggung akibat sebuah kesalahan.

Bagaimana sikap menerima permintaan maaf? Sedikitnya ada dua sikap yang salah. Pertama, menolak. Alasannya bisa beragam. Ada yang membenarkan penolakan memberi maaf karena kesalahan seseorang itu terlalu menyakitkan. Tetapi, jika dirunut hingga ke akarnya, penolakan memberi maaf bisa juga karena ada perasaan cemburu, iri hati, semangat pembalasan dendam atau motif negatif lain. Dalam keadaan seperti ini, kesalahan orang lain menjadi sebuah ‘kebutuhan’ untuk merendahkan orang lain sambil mendongkrak harga diri.

Kedua, memberi syarat. Kata-kata, “saya akan memaafkanmu jika……” menunjukkan hal ini. Kata “jika” biasanya diisi dengan syarat seperti menuntut perubahan terlebih dahulu, kompensasi tertentu, melakukan sesuatu terlebih dahulu (seperti mengumumkan secara publik) dan lain-lain. Ada faktor ‘menguasai’ dalam hal ini, yang tidak sehat dalam membangun hubungan.

Bagaimana seharusnya? Memberi maaf, diminta atau tidak diminta. Ketika kita berada pada posisi korban kesalahan orang lain, pengampunan adalah keharusan bagi kita. Kita harus mengampuni yang bersalah apakah ia minta maaf atau tidak. Dari perumpamaan anak yang hilang (Lukas 15) kita dapat mengetahui bahwa pengampunan sudah terjadi sebelum anak yang hilang itu kembali. Zakheus berubah setelah ia tahu bahwa Yesus menolak dosanya tetapi menerima dirinya (Lihat Lukas 19). Apa yang Tuhan berlakukan dan lakukan kepada kita, itu juga yang seharusnya kita hidupi.

“Wah ini sulit. Kita masih di dunia!”, Anda berkata. Benar, ini sulit. Bahkan, sangat sulit. Tetapi tidak mustahil. Benar juga bahwa kita masih di dunia. Tetapi, pengampunan hanya berlaku di dunia nyata ini. Di sorga manusia tidak berdosa lagi dan tidak perlu meminta atau memberi maaf lagi. Di dunia ini sudah terlalu banyak kebencian, kita tidak perlu menambahnya lagi.

Sunday, May 23, 2010

R E M

REFLEKSI SENIN KE-21
24 Mei 2010

Sebuah mobil membutuhkan pedal gas untuk bisa maju dan pedal rem untuk tidak melaju. Pengendara mobil yang hanya menginjak pedal gas sepanjang perjalanan akan berakhir dengan nasib tragis. Mencelakakan si pengemudi dan penumpang mobil, menghancurkan mobil itu sendiri, dan mencelakakan siapa saja yang mungkin tertabrak. Begitu juga hidup ini. Kita membutuhkan ‘rem’ agar kita tidak mencelakakan diri sendiri, orang-orang yang bersama dengan kita, lingkungan di mana kita hidup dan orang lain yang kita temui sepanjang perjalanan kita, baik yang kita kenal maupun yang tidak tidak.

Di tengah zaman ini dengan segala hiruk-pikuknya, kita membutuhkan rem pakem khususnya dalam tiga hal.

Pertama, rem kata. “Jikalau ada seorang menganggap dirinya beribadah, tetapi tidak mengekang lidahnya, ia menipu dirinya sendiri, maka sia-sialah ibadahnya”, demikian diregaskan dalam Yakobus 1:26. Firman Tuhan ini dapat kita kaitkan dengan kata-kata bijak dari Jean Pierre Camus: "Hikmat mengandung pengetahuan kapan dan bagaimana berbicara serta kapan dan di mana berdiam diri.”

Rem kata ini secara khusus kita butuhkan dalam hal: (1) Jumlah kata. Terlalu banyak kata-kata biasanya menjadi penghalang bagi orang lain menangkap inti pesannya. (2) Arah kata. Semakin banyak seseorang berbicara tentang dirinya, semakin kurang berminat dia mendengarkan orang lain berbicara. Jadi, rem kata dibutuhkan untuk membatasi kata-kata tentang diri sendiri dan ‘gas’ untuk berbicara yang membangun tentang orang lain. (3) Suasana hati sebelum kata. Apa yang kita katakan kepada orang lain hari ini bisa saja membekas dalam hatinya seumur hidup. Karenanya, di samping kita perlu memikirkan dengan matang kata-kata, kita juga perlu memeriksa suasana hati kita. Ketika kita dalam keadaan gundah, curiga, kecewa berat, marah, bad mood, kita perlu menunda mengeluarkan pernyataan. Sebab, kata-kata kita sangat dipengaruhi apa yang ada di dalam hati kita. Jika yang di dalam hati adalah damai dan kesejukan, maka damai dan kesejukan pula kata-kata kita.

Kedua, rem kerja. Memang, bekerja adalah suatu tugas panggilan. Ia adalah suatu keharusan. Rasul Paulus memperingatkan, “jika seorang tidak mau bekerja, janganlah ia makan” (2 Tes 3:10). Yang menjadi masalah adalah kecenderungan banyak orang yang ‘gila kerja’ pada zaman ini. Pepatah Denmark "Membakar sebuah lilin dari kedua ujungnya, membuatnya tidak dapat bertahan lama", sangat cocok menggambarkan keadaan saat ini. Banyak orang yang mengorbankan kesehatannya demi kekayaan yang kemudian mencoba mengorbankan kekayaannya untuk kesehatan, yang belum tentu berhasil. Banyak orang beranggapan bahwa kesibukannya bekerja adalah demi keluarga, padahal keluarganya terlantar karena tidak ada waktu bersama.

Rem kerja ini perlu ditekan khususnya di tengah teknologi yang kian melaju. Agaknya, saat ini lebih sulit memperlambat ketimbang melesatkannya. Laju perkembangan teknologi saat ini bagaikan kuda yang menuntun dan menentukan tujuan penunggangnya: teknologi menunggang manusia, bukan sebaliknya.

Rem kerja atau istirahat adalah perintah Tuhan juga. Jadi, hidup seimbang itu perlu, dengan lima "si": meditasi, kreasi, aksi, rekreasi, dan refleksi.

Ketiga, rem konsumsi. Kita hidup di tengah kondisi bumi yang menderita demam alias pemanasan global. Akar masalahnya adalah manusia, khususnya karena konsumsi berlebihan. Rem konsumsi atau penguasaan diri atas keinginan kita butuhkan secara khusus di tengah gempuran konsumerisme yang merasuki dan merusak kehidupan kita dan alam ciptaan Allah. Manusia cenderung membelanjakan uangnya pada hal-hal yang kurang berguna bahkan merusak kehidupan itu sendiri ketimbang yang membangun kehidupan. Sekadar untuk mencelikkan kita, sebuah laporan PBB bidang Human Development belum lama ini mencatat:

• Total biaya pendidikan dasar untuk tingkat dunia US$6 miliar per tahun (sementara di Amerika Serikat saja US$8 miliar dibelanjakan hanya untuk kosmetik setiap tahunnya).
• Biaya instalasi air dan sanitas sejumlah $9 miliar ($11 miliar dibelanjakan untuk es krim di Eropah).
• Biaya kesehatan dan gizi dasar sebesar $13 miliar ($50 miliar untuk rokok di Eropah; $105 miliar untuk minum alkohol di Eropah; $400 miliar untuk narkotika di seluruh dunia dan $780 miliar untuk persenjataan

Manusia cenderung ‘kehilangan rasa’. Akibatnya, banyak orang yang berusaha mencari ‘rasa’ pada makanan. Mereka mengkonsumsi makanan selahap-lahapnya hingga kelebihan berat badan. Kemudian, mereka mengikuti klub fitness atau membeli alat treadmill untuk membakar kalori. Mengapa? Agar mereka kembali dapat melahap makanan lebih banyak agi. Demikian berputar-putar. ‘Siklus’ ini seirama dengan iklan-iklan di berbagai media. Misalnya, di sampul belakang majalah ditawarkan jenis makanan lezat dan di belakangnya dipromosikan obat-obatan atau peralatan pelangsing tubuh.

Ada pula yang berusaha meraih keglamouran sebagai upaya mendongkrak harga diri. Ada orang yang mengidentifikasi dirinya dengan apa yang dimilikinya. Dalam hal ini, Erich Fromm benar ketika ia berkata, “Jika aku adalah apa yang kumiliki, siapakah aku kalau yang kumiliki hilang?” Mungkin keglamouran enak dipandang mata (ada juga memang yang menyilaukan), tetapi kesederhanaan jauh lebih indah, tidak layu oleh terpaan sinar matahari, dan tidak lapuk oleh guyuran hujan.

Sesungguhnya, rem tersebut di atas kita butuhkan demi kebaikan hidup kita sendiri, demi merawat hubungan sehat dengan sesama, dan demi lestarinya alam ciptaan Tuhan. Salah satu dari buah-buah Roh adalah ‘penguasaan diri’ (Gal 5”23). Ini salah satu yang sangat sulit tetapi suatu keharusan bagi orang percaya. Mengandalkan kuat kuasa Roh Tuhan, kita dapat menguasai diri. Membiarkan diri sepenuhnya dikuasai oleh Roh Tuhan. Jadinya, penguasaan diri lebih merupakan pekerjaan Roh Tuhan dalam hidup kita ketimbang sebagai prestasi yang kita raih.

Sunday, May 16, 2010

MEMIMPIN DAN DIPIMPIN DENGAN HATI

Reflkesi Senin ke-20
17 Mei 2010

Semua kita terkait dengan kepemimpinan. Ada kalanya kita memimpin (seperti dalam sebuah kelompok kecil hingga organisasi besar) dan selama hidup kita berada di bawah kepemimpinan orang lain. Uraian berikut menjawab dua pertanyaan yaitu, “pemimpin yang bagaimana” dan “pengikut yang bagaimana”.

Berkaitan dengan ‘pemimpin yang bagaimana’, ada dua kelebihan utama seorang pemimpin: (1) Karakter dan integritasnya lebih tinggi dari bakat atau keahlian memimpin. (2) Karakter dan integritas atau kualitas hidupnya lebih tinggi dari kehidupan rata-rata yang dipimpin.

Kebanyakan kekacauan sebuah organisasi terjadi karena yang ada adalah kebalikan dari kedua kelebihan seeorang pemimpin tersebut di atas.

1. Karakter dan integritas lebih tinggi dari bakat atau keahlian memimpin

Ada yang mengatakan bahwa ikan, yang pertama busuk adalah kepalanya. Kemudian, menjalar ke badannya. Bagaimana dengan sebuah organisasi duniawi dan gereja? Ada kalanya hal yang sama terjadi. Pemimpin yang busuk membuat organisasi dan yang dipimpin menjadi busuk.

Karakter adalah cerminan dari ‘siapa kita di tempat tersembunyi atau tidak terpantau orang lain’. Integritas berarti ‘menyatunya kata dan perbuatan’. Jadi, karakter dan integritas merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Pemimpin yang mengajarkan disiplin adalah yang berdisiplin juga, dilihat atau tidak dilihat orang lain. Pemimpin yang mengajarkan dan menganjurkan kejujuran adalah yang jujur juga, di semua tempat dan di semua waktu. Pemimpin yang mengagungkan kasih dalam perkataan-perkataannya adalah yang mengasihi juga. Singkatnya, kepemimpinan adalah masalah keteladanan. Sebab, karakter dan integritas seorang pemimpin akan secara langsung menentukan pengaruhnya.

Dengan demikian, kepemimpinan bukanlah terutama masalah teknik. Ia adalah kehidupan itu sendiri. Tidak sedikit pemimpimpin yang benar-benar memiliki bakat dan kemampuan luar biasa dalam memimpin yang gagal karena tidak memberi keteladanan. Albert Schweitzer mengatakannya begini, “Keteladanan bukanlah syarat utama dalam mempengaruhi orang lain --ia adalah satu-satunya.”

Bayangkan seorang bapak berkata kepada anak-anaknya, "lakukan apa yang saya katakan", bukan "lakukan apa yang saya teladankan". Anaknya mungkin 'patuh', bukan karena wibawa ayahnya tapi karena kuasanya. Dalam hal ini, seorang bapak dihormati dan ditakuti karena kuasanya, bukan karena wibawa dan kualitas pribadinya.

Hal yang sama bisa juga terjadi dalam suatu persekutuan. Pemimpin yang ditakuti biasanya dikelilingi oleh orang-orang munafik dan penjilat. Pemimpin seperti ini mungkin masih dihormati, tetapi ia dihormati karena jabatannya, bukan karena kualitas hidupnya. Padahal, lebih baik berhak mendapat kehormatan dan tidak memilikinya, ketimbang memiliki kehormatan tetapi tidak layak memilikinya (Mark Twain). Pemimpin sejati adalah pemimpin yang dihormati bukan karena jabatan atau posisinya, melainkan karena kualitas hidup, karakter dan inegritasnya.

Bukan berarti keahlian memimpin tidak penting. Hanya saja ia tidak menempati tempat utama. Justru karena penempatan keahlian memimpin inilah pada tempat terpenting, persoalan timbul dalam sebuah organisasi. Saat ini banyak yang dengan mudah dapat menjadi ‘ahli dalam teknik memimpin’. Kini buku-buku bertemakan ‘teknik’ kepemimpinan membanjir.

Tetapi, yang lebih dibutuhkan adalah pembangunan karakter. Pohon yang tumbuh tinggi punya akar yang dalam. Ketinggian tanpa kedalaman besar berbahaya. Para pemimpin besar dunia ini seperti St Fransiskus, Gandhi, dan Martin Luther King, Jr, - semua orang yang hidup dengan ketenaran publik, pengaruh, dan kekuasaan dalam sebuah cara yang sederhana karena akar spiritual mereka yang mendalam. Tanpa akar yang dalam dan kuat dengan mudah kita membiarkan orang lain menentukan siapa kita. Ketika kita berakar dalam kasih Allah, hidup kita dan kepemimpinan kita akan dipimpin oleh Allah.

2. Kualitas hidup lebih tinggi dari kehidupan rata-rata yang dipimpin

Kualitas hidup seorang pemimpin nampak sedikitnya dalam empat hal. Pertama, kerendahan hati. “Semakin dewasa seorang pemimpin, semakin rendah hati pula mereka”, demikian kata-kata dari Maxwell. Kerendahan hati ini mewujud dari kemauan dan kemampuan seorang pemimpin mengekang dirinya dari godaan menempatan diri, pengalaman dan pencapaiannya sebagai yang paling istimewa sambil merendahkan orang lain. Salah satu alat ukurnya adalah menyikapi pujian tanpa melekat pada pujian itu sendiri. Kerendahan hati juga nampak dari rasa hormatnya kepada semua dan setiap orang terlepas dari kemampuan dan latarbelakangnya.

Kedua, kata-katanya yang membangun dan meneguhkan. Seorang pemimpin tidak saja dilihat tetapi didengarkan. Kata-katanya sering menjadi acuan dalam berpikir, berskap dan bertindak. Lisa Kirk pernah berkata, “Seorang penggossip adalah ia yang berbicara padamu tentang orang lain. Seorang pembual adalah ia yang berbicara padamu tentang dirinya sendiri. Seorang pembicara handal adalah ia yang berbicara padamu tentang dirimu.” Hal ini perlu direnungkan oleh seorang pemimpin agar ia terhindar dari kebiasaan mengedarkan gossip dan membual, tetapi mengatakan kebenaran dengan cara-cara yang benar pula.

Ketiga, menghargai perbedaan. Jika kita mengharapkan kebersamaan hanya dengan orang-orang yang kita sukai, kita harus berada di 'planet' lain, bukan di bumi ini. Seorang pemimpin, bahkan kita semua, tidak akan pernah berhenti belajar bagaimana membangun 'jembatan'. Yang menyedihkan adalah hadirnya para pemimpin yang justru menciptakan jurang atau tembok pemisah di antara yang dipimpinnya. Hal ini biasanya terjadi demi kepentingan pribadi si pemimpin.

Keempat, moralitas. Bagaimana mungkin seorang pembohong, tukang korupsi, pelaku pelecehan seksual dan sebagainya layak memimpin? William Makepeace Thackeray benar sekali ketika ia berkata, “orang-orang berkelakuan buruk bagaikan jendela kaca yang kotor, mereka menghalangi cahaya matahari bersinar ke dalam ruangan.” Dunia membutuhkan para pemimpin dengan moralitas teruji.

Benar, bahwa tidak ada orang yang sempurna. Tidak ada pula pemimpin yang sempurna. Keadaan ini hendaknya tidak menjadi alasan pembenaran diri, tetapi menjadi pengingat bagi seorang pemimpin untuk tetap rendah hati dan membaharui diri agar kepemimpinan seseorang itu layak dijalani.

Memimpin pemimpin

Bagaimana kalau kita sedang dipimpin oleh seorang pemimpin yang karakter, integritas dan kualitas hidupnya rendah? Kita terpanggil untuk ‘memimpin sang pemimpin’, tidak dengan mengambil alih kepemimpinan dengan halus maupaun dengan ‘kudeta’, melainkan dengan karakter, integritas dan kualitas hidup teruji pula. Sebab, jika kata-kata, sikap dan kehidupan Anda memberi inspirasi kepada orang lain untuk berbuat yang terbaik, Anda adalah pemimpin sejati meskipun Anda tidak punya jabatan. Jadi dalam hal ini, yang terpenting bukan seberapa tinggi posisi yang kita tempati (dan komisi yang kita kantongi!), melainkan seberapa dalam kasih kita kepada Pencipta dan ciptaanNya yang dipercayakan kepada kita.

Dengan karakter, integritas dan kualitas hidup yang teruji itu pula kita dapat memberi masukan bahkan kritik membangun kepada seorang pemimpin, baik secara langsung maupun dengan cara yang lain yang lebih sesuai.

Sunday, May 9, 2010

HARGA DIRI

REFLEKSI SENIN KE-19
10 Mei 2010

Yoh. Rohmadi Mulyono mencatat cerita yang sarat makna berikut:

……temanku mati digigit ular.
Sebenarnya temanku itu pawang ular.
Terkenal kebal oleh bisa ular.
Tak tahulah mengapa hari naas itu datang padanya.
Ia digigit ular berbisa peliharaannya.
Kepercayaan dan harga diri membuatnya enggan ke dokter
Semakin hari tubuhnya semakin tak berdaya.
Dan akhirnya dia wafat.

Aku teringat kata para leluhur:
Sehebat-hebatnya akal dan kekuatan manusia,
Pada suatu saat manusia itu mengalami lemah juga.

Dari cerita ini sedikitnya ada dua hal yang dapat kita tarik maknanya. Pertama, yang digigit ular. Cerita ini memberitahu sang pawang –karena kepercayaan dan harga dirinya-- enggan ke dokter. Akhirnya dia wafat. Dalam bentuknya yang lain, rasa percaya diri dan pemahaman ‘harga diri’ yang keliru membuat banyak orang ‘tewas’. Demi gengsi, supaya kelihatan kren dan ngetrend, keuangan keluarga ‘tewas’. Itulah yang terjadi jika penghasilan yang pas-pasan --yang seharusnya untuk kebutuhan pangan yang sehat dan bergizi dan biaya pendidikan anak-anak-- dibelokkan untuk membeli perhiasan, pakaian dan aksesori bermerk, perabot rumah yang mahal dan sebagainya. Atau, untuk menampilkan diri sebagai pemikir, ada orang yang bicara tentang semua hal dari pembuatan nuklir hingga politikus yang dianulir. Kemampuaan mengenali dan mengembangkan diri pun ‘tewas’. Merasa diri ahli, menewaskan minat belajar dan kemauan bertanya kepada orang lain.

Salah satu ciri yang paling kentara dari gengsi adalah kecenderungan menampilkan diri berbeda atau melampui kemampuan. Ada unsur memaksa diri di dalamnya. Padahal, setiap yang ‘dipaksa’ tidak baik akibatnya (kecuali paku dan tiang penyangga bangunan). Mungkin pada awalnya kelihatan menawan. Tetapi, karena dibangun di atas dasar yang keropos hasilnya tidak akan bertahan lama. Bayangkan seorang pemuda pengangguran dan baru kena penggusuran dari “Ruli Permai” alias rumah liar, yang jatuh cinta kepada seorang gadis. Untuk menarik perhatian sang gadis, si pemuda meminjam uang untuk membeli pakaian mahal, Nokia seri terakhir, merental mobil agar kelihatan seperti seorang eksekutif muda. Celakanya, si gadis langsung terpesona dan jatuh cinta pula. Bukan pada orangnya, tetapi pada mobilnya. (Mungkin tipe ini yang disebut dengan cewek matre). Jika mobilnya ditarik perusahaan rental mobil, apakah si gadis tertarik kepada si pria ‘bergengsi’ itu?

Dalam hidup ini, kita membutuhkan kejujuran dan kebersahajaan. Yang paling penting bukan penampilan luarnya, tetapi isi di dalamnya: inti kemanusiaan kita. Hati nurani kita. Hati tempat bertahtanya Roh Tuhan. Tidak ada yang melampaui keindahan yang mengalir dari dalam hati. Tidak berlu terpaku pada gengsi. Tidak perlu melebihkan diri. Tidak perlu memaksa diri. Hidup pun akan berlangsung dengan segala keindahannya.

Kedua, ular itu sendiri. Dalam tubuh ular berbisa pasti ada bisa atau racun mematikan. Tetapi, mengapa ular itu tidak mati oleh bisanya sendiri? Sulit menjawabnya. Yang jelas, ia ‘kebal’ dengan bisanya sendiri, sedangkan manusia dan binatang lain, bisa tewas oleh bisanya.

Terus terang, saya tidak suka ular. Hanya saja, saya percaya Allah menciptakannya pasti Ia punya tujuan. Bisa ular itu sendiri pun adalah ciptaan Tuhan. Satu paket dengan penciptaan ular itu! Jadi, pertanyaan kita bukan ‘mengapa Tuhan menciptakan ular berbisa?’ melainkan tugas kita adalah ‘bersyukur bahwa Allah tidak menciptakannya sebesar batang kelapa.’ Jika demikian, habislah kita semua!

Berbeda dengan manusia. Allah menciptakan manusia bebas dari bisa atau racun mematikan. Allah menciptakan manusia menurut gambar-Nya. Artinya, ada kualitas ke-Allahan dalam diri kita ini: kemampuan mengasihi, kemampuan berpikri jernih, kemampuan berbuah lebat dan menjadi berkat. Namun, pengalaman empiris kita menunjukkan adanya orang-orang yang mengalirkan bisa berbahaya kepada orang lain, tetapi mereka sendiri kelihatan tidak merasa apa-apa. Mereka kebal dengan bisa yang ada dalam dirinya sendiri. Kita menyaksikan sendiri sesama kita yang menderita karena perlakuan orang lain dan pelakunya terkesan tidak merasa apa-apa. Mereka kebal dengan bisa yang ada dalam diri mereka sendiri.

Bagaimana seharusnya sikap kita dalam keadaan seperti ini? Di satu segi, kita harus memastikan diri bahwa kita bebas dari ‘bisa mematikan’. Caranya? Kita hendaknya hari demi hari menempatkan diri diperiksa oleh Tuhan. Kita merelakan diri dideteksi, apakah kita berbisa. Kemudian, kita memohon dan bersedia dimurnikan oleh Roh Tuhan. Jangan sampai hidup kita, kata-kata kita, tindakan kita menghancurkan kehidupan orang lain. Di segi lain, kita mesti kuat bertahan terhadap segala bentuk ‘bisa’ yang dialirkan ke dalam hidup kita. Mungkin ada kalanya kita menjadi sasaran amarah, fitnah, ajaran sesat dan sebagainya. Kita harus menerima ‘penawar bisa’ dari Tuhan agar kita bertahan menghadapi segala macam yang menyesatkan. Itulah antara lain cakupan dari amanat firman Tuhan untuk mengenakan seluruh perlengkapan senjata Allah. Selengkapnya dalam Efesus 6:11-18 berbunyi:

Kenakanlah seluruh perlengkapan senjata Allah, supaya kamu dapat bertahan melawan tipu muslihat Iblis; karena perjuangan kita bukanlah melawan darah dan daging, tetapi melawan pemerintah-pemerintah, melawan penguasa-penguasa, melawan penghulu-penghulu dunia yang gelap ini, melawan roh-roh jahat di udara. Sebab itu ambillah seluruh perlengkapan senjata Allah, supaya kamu dapat mengadakan perlawanan pada hari yang jahat itu dan tetap berdiri, sesudah kamu menyelesaikan segala sesuatu. Jadi berdirilah tegap, berikatpinggangkan kebenaran dan berbajuzirahkan keadilan, kakimu berkasutkan kerelaan untuk memberitakan Injil damai sejahtera; dalam segala keadaan pergunakanlah perisai iman, sebab dengan perisai itu kamu akan dapat memadamkan semua panah api dari si jahat, dan terimalah ketopong keselamatan dan pedang Roh, yaitu firman Allah, dalam segala doa dan permohonan.

Mengapa Tuhan memperlengkapi kita dengan semua ini? Kita berharga di mata-Nya. Mari kita hargai hidup ini, tidak dengan ‘harga diri’ menurut ukuran dan definisi dunia, melainkan atas dasar kepemilikan Allah atas hidup kita.

Sunday, May 2, 2010

ADA KEKUATAN DI DALAM AIR MATA

REFLEKSI SENIN KE-18 2010
03 Mei 2010

Tetesan bahkan deraian air mata sudah biasa terjadi di depan mata kita. Penyebabnya beragam. Ada yang tidak terhindari karena rasa sakit (sakit gigi, jari terjepit pintu), perpisahan yang menyakitkan dan sebagainya. Ada pula air mata yang sebenarnya tidak perlu, yang hanya sekadar senjata untuk menggolkan keinginan. Hal ini tidak saja dilakukan oleh anak-anak ketika sangat menginginkan sesuatu (yang tidak perlu) dari orangtuanya, tetapi juga dari kalangan orang dewasa. Itu sebabnya ada istilah ‘air mata buaya’ –air mata kepura-puraan. Air mata tempat bersembunyi.

Ada yang mengatakan bahwa kaum perempuan lebih mudah mencucurkan air mata ketimbang kaum laki-laki. Bahkan ada yang menyebutkan bahwa dua senjata perempuan utama adalah ‘kosmetik’ dan ‘air mata’. Jika ada laki-laki yang gampang menangis ia dianggap memiliki ‘keibuan’. Tetapi, seandainya pun dapat dibuktikan bahwa umumnya perempuan lebih mudah menangis dibandingkan dengan laki-laki, itu bukan suatu pertanda bahwa perempuan lebih lemah ketimbang laki-laki. Tidak selamanya air mata itu tanda kelemahan. Tuhan sendiri tidak menolak tangisan atau air mata. Hanya saja Ia menghendaki penggerak dan tujuan yang benar. Misalnya, dalam perjanalanNya ke Golgata menuju penyalibanNya banyak perempuan yang menangisi dan meratapi Dia (Luk 23:27). Bagaimana Yesus menyaksikan tangisan mereka? Yesus berpaling kepada mereka dan berkata: “Hai putri-putri Yerusalem,janganlah kamu menangisi Aku, melainkan tangisilah dirimu sendiri dan anak-anakmu!” Menganisi diri dan anak-anak mereka! (ayat 28).

Salah menangis? Tidak! Masalahnya adalah bahwa tangisan para perempuan itu salah alamat. Yesus tidak perlu ditangisi. Yesus tidak perlu dihibur atau ditopang. Mereka tidak berjasa kepada Tuhan melalui deraian air mata mereka. Yang perlu mereka tangisi ada dua: diri mereka sendiri dan anak-anak mereka. Mengapa? Peristiwa penyaliban itu sendiri adalah karena dosa-dosa mereka dan anak-anak mereka. Dengan demikian tangisan mereka mestinya berisi suatu pengenalan diri, pengakuan dosa disertai komitmen pembaharuan hidup pribadi, keluarga dan masyarakat.

Tangisan demikian kita butuhkan saat ini. Tangisan laki-laki dan perempuan! Jika kita jujur, sesungguhnya kelemahan-kelemahan dan dosa-dosa kita telah mendukakan Roh Tuhan. Kita lihat bagaimana kehidupan kita bergereja di mana keakuan dan pementingan diri begitu kuat merasuki dan merusak kebersamaan kita. Gereja-gereja kita dipenuhi oleh intrik-intrik duniawi untuk mencari hormat dan keuntungan, baik dengan cara yang amat halus, hingga yang sangat kasat mata. Beberapa gereja digerakkan oleh orang-orang yang menempatkan diri sebagai tuhan-tuhan kecil bahkan melampaui wewenang Tuhan, sang Pemilik Gereja. Tanda-tandanya? Kata-kata yang tersembunyi maupun terlontar adalah, “Saya pemimpin di sini!” “Kami yang menentukan di sini!” “Kalau terima silahkan, tidak menerima silahkan angkat kaki!” Sikap demikian juga terkadang sampai mengabsahkan berbagai kebohongan. Keadaan ini diperkeruh dengan munculnya orang-orang yang ‘doyan’ penampilan alias pamer diri. Padahal, gereja bukanlah panggung tempat pamer diri. T.S. Eliot benar ketika ia berkata, “Kebanyakan persoalan di dunia ini disebabkan oleh keinginan manusia menjadi orang penting.” Seharusnya, Gereja adalah alat di tangan Tuhan untuk mewujudkan keadilan, kebenaran, dan damai sejahtera, bukan alat pencapaian pribadi dan kelompok atau sarana pamer dan penonjolan diri.

Keadaan semakin runyam dengan adanya kecenderungan yang sangat memprihatinkan saat ini dengan munculnya orang-orang yang dengan bebas atau sesuka hati mengatakan “apa saja”, tentang “siapa saja”, “di mana saja”, “kepada siapa saja.” Pantaslah sampai ada perintah untuk tidak bergaul dengan orang yang “bocor mulut” (Amsal 20:19). Terkadang kita sulit menemukan mana yang membedakan sebuah gereja dengan organisasi duniawi lainnya. Yang menyedihkan ialah, justru organisasi profan jauh lebih baik dalam artian tertentu dibandingkan dengan beberapa jemaat.

Keprihatinan yang sama terjadi dalam kehidupan kita bermasyarakat, di mana sebagian warga masyarakat memiliki ketegaan ekstra memangsa sesamanya. Rakyat kecil semakin terpuruk, sementara yang kaya dan berkuasa semakin leluasa dan kelihatan kian jaya. Pencuri ayam masuk penjara sementara koruptor miliaran bebas berkeliaran, atau paling digajar bulanan. Bumi Indonesia sangat kaya, tetapi kebanyakan rakyatnya miskin. Hutang luar negeri semakin mengerikan dan tak terperikan. Orang yang belum lahir pun sudah ikut menanggung hutang luar negeri. Untuk membayarnya, pasti dengan mengeksploitasi alam secara besar-besaran yang pada akhirnya akan menciptakan kesengsaraan.

Menyakasikan keadaan kehidupan bergereja dan bermasyarakat seperti itu, jika kemanusiaan kita ‘normal’ dan punya hati, kita patut menangis: dengan atau tanpa air mata. Yang kita tangisi ada dua. Pertama, diri kita sendiri. Dengan kemanusiaan kita yang terbatas ini, sadar atau tidak, kita ikut menyumbang terhadap keadaan gereja-gereja, bangsa dan masyarakat kita. Hidup kita belum sepenuhnya berpadanan dengan kehendak Tuhan. Tangisan dan air mata kita dapat merupakan bagian dari pengenalan kita atas diri kita dan hendaknya berisi tekad pembaharuan hidup. Dalam niat yang baik pun ada kalanya kita justru melukai orang lain dan menimbulkan perselisihan, apalagi jika sikap dan perilaku kita nyata-nyata menjadi sumber permasalahan. Karena air mata dapat mempimpin kita kepada pengenalan diri yang lebih baik dan semangat perubahan hidup di masa datang, tangisan kita dapat memberi buah yang sangat berharga. Mungkin kita tidak bisa mengubah seluruh dunia, tetapi kita dapat mengubah diri sendiri, yang pada akhirnya dapat mengubah dunia di sekitar kita. Daripada menambah masalah dengan aneka tingkah dan ulah serakah, lebih baik mengaku salah, berubah dan memulai langkah baru. Damai pun akan bersemi kembali.

Kedua, menangisi anak-anak jaman ini, termasuk yang dekat dengan kita maupun yang tidak kita kenal, yang karena sikap dan perilaku mereka keadaan gereja dan masyarakat kita kian memburuk dan terpuruk. Tangisan seperti ini sekaligus berisi komitmen kita untuk memberi keteladanan, sikap menerima setiap orang meskipun kita menolak bahkan membenci perilakunya, serta menegur mereka berdasarkan kemampuan dan kesempatan yang kita punyai. Dengan sikap demikian, kita tidak menarik diri atau mengasingkan diri. Tangisan ini juga berisi doa, “Ya Tuhan, ampunilah mereka, sebab mereka tidak mengetahui apa yang mereka perbuat. Jika mereka mengetahuinya dan sengaja melakukannya, kehendakMulah yang jadi”. Pembalasan bukan tugas kita!

ShoutMix chat widget