Sunday, May 31, 2009

YANG UTAMA DAN YANG SAMPINGAN


REFLEKSI SENIN KE-22, 2009: 01/06


Berikut sebuah gambaran menyangkut ‘filsafat kehidupan’. [1]

Bayangkan sebuah bejana kosong yang agak besar. Anda mengisinya dengan bola-bola tennis, sampai ‘penuh’. Kemudian ambil beberapa kotak kelereng, dan tuangkan ke dalam bejana itu. Dengan menggoyang-goyangkan bejana itu perhatikan kelereng-kelereng itu menyelusup di antara bola-bola tennis. Apakah bejana ‘penuh’? Ya. Baik, tuangkan pasir ke dalam bejana dan menggoyang-goyangkannya. Apakah pasir masih bisa masuk? Pasti! Ia sudah penuh? Mungkin kelihatannya sudah ‘penuh’. Tetapi coba tuangkan 2 gelas teh. Pasti masih bisa masuk.
.
Bejana ini menggambarkan kehidupan kita. Bola-bola tennis adalah hal-hal yang penting, iman, keluarga, anak-anak, kesehatan, teman-teman, tugas panggilan. Semuanya itu akan membuat hidup Anda menjadi penuh, meskipun tidak ada hal-hal yang lain. Kelereng-kelereng menggambarkan hal-hal lain, pekerjaan, rumah, mobil, sepeda motor. Pasir adalah adalah barang yang kecil, tetapi jika Anda mengisinya di awal, maka tidak akan ada ruang untuk kelereng atau untuk bola-bola tennis.
.
Begitu juga di dalam hidup Anda, jika Anda menghabiskan waktu dan energi Anda untuk hal-hal yang remeh, maka Anda tidak akan punya ruang untuk hal-hal yang penting. Taruhlah perhatian Anda kepada hal-hal yang paling penting bagi damai sejahtera Anda. Bermainlah dengan anak-anak Anda, lakukanlah medical checkup. Pergilah keluar dengan pasangan Anda, luangkanlah waktu sendirian dengan Tuhan, sebab selalu ada waktu untuk pekerjaan-perkerjaan penting (yang bukan terpenting) lainnya. Isilah bejana Anda dengan bola-bola tennis terlebih dahulu, yaitu hal-hal yang sangat penting. Buatlah prioritas, sisanya hanya pasir, dan jika kita membangun rumah kita di atas pasir, maka risikonya akan terlalu besar.

Perkataan Yesus dalam Matius 7:24-27 berikut kiranya menjadi lebih mudah kita pahami, terima dan wujudkan dalam kehidupan kita:

"Setiap orang yang mendengar perkataan-Ku ini dan melakukannya, ia sama dengan orang yang bijaksana, yang mendirikan rumahnya di atas batu. Kemudian turunlah hujan dan datanglah banjir, lalu angin melanda rumah itu, tetapi rumah itu tidak rubuh sebab didirikan di atas batu. Tetapi setiap orang yang mendengar perkataan-Ku ini dan tidak melakukannya, ia sama dengan orang yang bodoh, yang mendirikan rumahnya di atas pasir. Kemudian turunlah hujan dan datanglah banjir, lalu angin melanda rumah itu, sehingga rubuhlah rumah itu dan hebatlah kerusakannya."

Bagi kita yang sibuk ‘membangun’ (bekerja, memprogram, melakukan perjalanan panjang dll) sepanjang hari ini, perlu kita pastikan bahwa semuanya adalah bagian dari ‘bola-bola tennis’ --bagian dari yang terutama. Hanya dengan demikian kita dapat menjadi ‘orang yang sibuk’ tetapi tetap bersukacita, berlelah tetapi tidak gampang tersulut amarah dan hidup kita menjadi berkat.


[1] Daidaptasi dari http://www.dci.org.uk/indonesian/ind-surat.htm, akses 18/5/09

Thursday, May 28, 2009

BUKU: BERKOMUNIKASI DENGAN HATI


Dengan mengucap syukur kepada Tuhan saya dengan gembira memperkenalkan buku sederhana yang baru saja terbit (Mei 2009) Berkomunikasi Dengan Hati: Kumpulan Refleksi Seputar Diri Sendiri, Motivasi dan Komunikasi. Buku ini berisi 33 kumpulan tulisan yang disertai kata pengantar dari Pdt Ayub Yahya.


Kata Pengantar
Ayub Yahya

“Kita mesti telanjang dan benar-benar bersih.
Suci lahir dan di dalam batin.
Tengoklah ke dalam sebelum bicara.
Singkirkan debu yang masih melekat.”
(Ebiet G. Ade)

Zaman ini adalah “zaman mata dan telinga”; orang cenderung mengutamakan apa yang “terlihat” dan “terdengar”. Lalu abai terhadap kedalaman hati. Tidak heran kalau kemudian orang lebih peduli dengan apa yang dilihat dan didengarnya. Lebih peduli dengan kemasan. Mereka lupa, bahwa apa yang “terlihat” dan “terdengar” itu berawal dari hati. Dari hati yang “jernih dan bening” akan terlihat dan terdengar hal-hal yang jernih dan bening. Sebaliknya dari hati yang “buram dan kusam”, akan terlihat dan terdengar pula hal-hal yang buram dan kusam.

Maka, sebetulnya untuk menata agar apa yang kita perlihatkan dan perdengarkan itu bukan saja “enak disimak”, tetapi juga “baik dan benar”, terlebih dahulu kita harus menata hati. Begini saja. Bayangkan sebuah rumah yang megah dan mewah, terletak di pemukiman elite, tetapi kotor; debu dimana-mana, sampah ber-serakan. Pasti akan menimbulkan ketidak-nyamanan, bahkan penyakit. Sebaliknya sebuah rumah yang sederhana, tidak luas, terletak di pemukiman biasa, tetapi ber-sih dan asri; tetanaman tertata apik, dan halaman terawat ba-ik. Pasti akan membuat kita merasa tentram dan nyaman. Lebih dari itu menyehatkan.

Seperti itulah hati kita. Dari hati yang bersih dari segala debu kotoran –dengki, iri hati, kepalsuan, dendam, prasangka busuk-- akan bermunculan hal-hal yang indah dan memba-ngun. Sebaliknya dari hati yang dipenuhi oleh segala debu ko-toran itu, akan bermunculan hal-hal yang buruk dan merusak.

Realitas inilah yang hendak disampaikan penulis melalui bukunya, “Berkomunikasi dengan Hati”. Melalui keseder-hanaannya bertutur, secara jernih ia menyampaikan pesan demi pesannya, tanpa kesan mengkhotbahi atau menggurui. Karenanya buku ini enak dibaca dan asyik disimak. Bagai kita tengah menikmati perjalanan panjang dengan teman yang cerdas dan menyenangkan. Tidak terasa, tahu-tahu kita sudah sampai di tempat tujuan. Sungguh, saya merasa terhormat mendapat kesempatan memberi sedikit kata pengantar di sini. Selamat membaca.


Ayub Yahya
Bukit Batok, Sabtu Sunyi 2009

---------------------------------------------------


DAFTAR ISI

Kata Pengantar
Ayub Yahya...............................................................
Prawacana: Tiga Pilar Komunikasi...........................

Bagian 1
Merawat Hati Menata Hidup

1. Krisis Tanpa Tangis
2. Mengalami Waktu
3. Temperamen ‘Plus’
4. Hati-hati Dengan Hati
5. Hikmat
6. Ketika Jalan Hidup Tak Lurus dan Mulus
7. Kala Tertunda di Kauda
8. Melepas Kelekatan
9. Memilih Penghuni Pikiran
10. Menghalau Kekuatiran
11. Memilah dan Memilih dengan Bijaksana
12. Mengutamakan Yang Tuhan Utamakan
13. Bejana Tanah Liat, bukan Selebriti
14. Bebas Narsis Spiritual
15. Tambah Usia Tanpa Gelisah
16. Kesuksesan Yang Gagal

Bagian 2
Komunikasi Yang Mengalir dari Hati Damai

17. Antara Dia dan Aku
18. Cara
19. Harga Manusia: Tidak Pernah Diskon
20. Khasiat Senyum dan Tawa
21. Kritik, Yes! Tukang Kritik, No!
22. Seni Mendengarkan
23. Bereaksi Dengan Cerdas
24. Mengatakan ‘Tidak’
25. Sekali Lagi Tentang Memadamkan Amarah
26. Mengatakan Keburukan Orang Lain, Boleh?
27. Masalah Memberi Kesan
28. Menabur Kesabaran Menuai Kedamaian
29. Pengampunan
30. Menyikapi Kesalahpengertian
31. Surat Yang Menyembuhkan
32. Masalah Triangulation dalam Komunikasi
33. Menghindari Polusi Televisi

Sekiranya Anda membutuhkan buku ini, silahkan menghubungi Ibu Warni di warni.pangaribuan@gmail.com

SEMINAR ANGKATAN IV

Hari ini, 28 Mei 2009, Seminar Kepemimpinan yang diselenggarakan Haggai Institute dimulai. Peserta berjumlah 11 orang. Ada dua pendeta HKBP yang mengikutinya kali ini: Pdt Timbul Hutahaean (HKBP Ressort Parlilitan) dan Pdt Sanggam Siahaan (Pendeta NHKBP Ressort Batam). Seminar diawali dengan Ibadah Pembukaan dengan renungan dari Mat. 28:16-20 yang disampaikan oleh Pdt Petrus (FES Singapura). Seminar ini berlangsung selama 3 hari.

Seminar angkatan ke-5 akan berlangsung akhir Agustus 2009 nanti. Anda yang merasa terpanggil mengikuti seminar ini silahkan mengubungi kami di victor.tinambunan@gmail.com

Saturday, May 23, 2009

MEMBERI 'KARENA' BUKAN 'SUPAYA'


REFLEKSI SENIN KE-21 2009; 25/05


‘Hukum pemberian berbalasan setimpal’ tidak asing dalam kehidupan kita keseharian. Misalnya, kalau orang lain memberi hadiah ulang tahun kepada kita, kita merasa tidak enak kalau tidak memberi hadiah pada ulang tahunnya. Bagi sebagian orang mungkin hadiahnya pun diusahakan agar harganya kurang lebih sama dengan yang pernah diterima. Jika orang yang kita undang tidak menghadiri pesta kita, kita tidak merasa apa-apa jika kita tidak menghadiri pestanya di kemudian hari. Bahkan, hal yang sama bisa merembes ke dalam kehidupan bergereja. Jika seseorang hadir pada saat PA di rumah kita, kita akan datang ke rumahnya pada saat PA berikutnya diadakan di rumahnya. Kalau tidak, kita juga tidak datang mengikuti PA di rumahnya. Itulah ‘hukum pemberian berbalasan”.

Selain itu, ada pula ‘pemberian berbalasan’ yang berbeda bentuknya. Misalnya, suatu pemberian dalam bentuk materi tidak harus dibalas dengan materi, tetapi dengan ucapan terima kasih, pengakuan, pujian, atau ‘suara’ dalam suatu pemilihan. Celakanya, ada pula yang berprinsip: “Jika gereja ‘memberi’ pelayanan yang baik (khotbah yang enak, tata ibadah yang semarak) ia memberi persembahan.” Jika demikian, apa bedanya gereja dengan bioskop dan restoran? Pemberian-pemberian yang bersifat duniawi biasanya selalu menggunakan perhitungan untung-rugi.

Yang sangat perlu kita kaji dan uji dalam memberi adalah ‘motivasi’ –yang menggerakkan dari dalam diri kita. Memberi secara kristiani adalah memberi karena bukan memberi supaya. Memberi ‘supaya’ adalah memberi dengan motivasi mengharapkan basalan mulai dari yang amat halus (seperti ucapan terima kasih atau memoles nama baik) hingga yang amat kentara seperti menuntut balasan setara atau malah lebih banyak dari apa yang diberikan. Memberi ‘karena’ adalah memberi karena kesadaran bahwa segala sesuatu yang kita miliki bersumber dari Allah. Memberi, ‘karena’ itu baik menurut kehendak Tuhan.

Alkitab bersaksi bahwa Allah memberikan segala sesuatu yang baik yang kita butuhkan dalam hidup ini. Di antaranya: Tuhan ‘memberi makanan’ (Mat. 14 :16); ‘memberikan hikmat’ (Ams. 2:6); memberi kelegaan (Mat.11:28); ‘memberi kuasa’ dalam mengemban tugas panggilan (Mat. 10:1); bahkan Ia ‘memberikan’ nyawa-Nya untuk keselamatan dunia (Mat. 20:28). Jadi, sesungguhnya tidak ada yang kita miliki yang tidak kita terima. Hanya dengan kesadaran seperti itulah kita dapat ‘memberi’ dengan tulus.

Di antara sekian banyak yang baik yang dapat kita berikan kepada orang lain (seperti waktu, tenaga, nasihat, pertolongan), dalam Mat 6:1-4 kita menemukan perintah Yesus khusus tentang ‘memberi sedekah’. Yesus dengan tegas memperingatkan agar dalam memberi sedekah janganlah supaya dilihat orang (ay. 1) dan jangan supaya dipuji orang (ayat 2). Yesus mengatakan agar apa yang diberikan tangan kanan tidak diketahui tangan kiri. Artinya adalah seperti yang disebutkan dalam ayat 4: ‘tersembunyi’. Ini adalah pemberian yang terutama ‘antara kita dengan Tuhan’. Ini juga mengingatkan kita bahwa pemberian kepada orang yang berkekurangan adalah memberikan kepada Tuhan. Pada kesempatan lain Yesus berkata, “Sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku” (Mat. 25:40). Kata ‘kamu lakukan’ di sini adalah memberikan pertolongan kepada mereka yang disebut Yesus sebagai saudara-saudara-Nya yang paling hina, yaitu orang yang kekurangan makanan, kekurangan pakaian, yang sakit, yang terpenjara (karena kebenaran).

Itu jugalah yang dihidupi oleh Rasul Paulus serta menasihatkannya kepada orang percaya: “Dalam segala sesuatu telah kuberikan contoh kepada kamu, bahwa dengan bekerja demikian kita harus membantu orang-orang yang lemah dan harus mengingat perkataan Tuhan Yesus, sebab Ia sendiri telah mengatakan: Adalah lebih berbahagia memberi dari pada menerima" (Kis. 20:35). Dunia ini mengajarkan bahwa kebahagiaan diperoleh dengan menambahkan semakin banyak untuk diri sendiri. Semangat dunia berbeda dengan firman Tuhan ini. Ada kebahagiaan dalam memberi.

Akhirnya, hendaklah kita senantiasa fokus pada Sang Pemberi, bukan pada pemberian-Nya. Ketika kita fokus pada ‘pemberian’, kita akan sulit memberi dengan tulus. Tetapi ketika kita fokus pada Allah, Sang Pemberi, segala pemberian kita akan menjadi berkat bagi orang lain, kebahagiaan bagi kita sendiri, dan kesukaan bagi Allah.

Sunday, May 17, 2009

A F F L U E N Z A


REFLEKSI SENIN KE-21 2009; 18/05
.
Obat penawar (penyakit) kerakusan adalah rasa puas dan kerelaan berbagi
(Peter Kreeft )

Penyakit yang satu ini, affluenza, berbeda dengan influenza, yang relatif mudah ditangani oleh dokter pada saat ini. Affluenza adalah ‘penyakit kerakusan’. Ia adalah sikap hidup materialistis yang menekankan bahwa “tujuan utama hidup ini adalah mendapatkan lebih banyak uang dan harta milik”. Kita tahu bahwa penyakit ini sudah merasuki dan merusak hampir semua sendi-sendi kehidupan di seantero bumi ini.

Joshua Harris pernah mengatakan bahwa “rintangan terbesar dalam pertumbuhan spiritual adalah kekayaan material dan pencobaan-pencobaan yang menyertainya.” Salah satu pencobaan terbesar adalah pengagungan ‘pertumbuhan’ ekonomi. Pertumbuhan ekonomi menjadi salah satu ukuran tertinggi keberhasilan sebuah negara. Padahal, pertumbuhan demi pertumbuhan itu sendiri adalah ‘tumor ganas’. Mengapa? Untuk mengejar kekayaan material, bumi dan seluruh isinya justru semakin menderita. ‘Harga’ manusia pun ditakar berdasarkan apa yang ia produksi.

Agaknya melihat kenyataan demikianlah Anthoni de Mello berkata, “Anda dan saya sudah begitu terlatih untuk merasa tidak puas dengan diri sendiri. Keadaan seperti itu secara psikologis merupakan sumber kejahatan. Kita selalu merasa tidak puas, kita selalu berusaha untuk memaksa”. Harga yang harus kita bayar amat mahal jika semakin banyak orang terinfeksi affluenza ini. Untuk sementara ini, dari 6,7 miliar penduduk planet ini banyak yang terabaikan dan menderita untuk kesenangan sekelompok kecil orang. Tetapi pada akhirnya, jika tidak terjadi perubahan hidup, kehidupan di bumi ini akan punah sebelum waktunya. Yang menderita affluenza dan korban-korban mereka akan sama-sama mengalami nasib tragis. Perhitungan-perhitungan para ahli menunjukkan bahwa kalau China, misalnya, terus berjuang dan mencapai tingkat ‘kemakmuran’ Amerika (yang paling banyak terserang affluenza ini), maka bahan bakar dunia akan habis selama 34 tahun ke depan. Hutan habis. Air minum menjadi langka (bahkan bisa memicu perang). Suhu bumi kian mendidih. Malapetaka akan tidak terhindarkan.

Keberdosaan kita membuat kita merasa tidak pernah merasa cukup dan tidak pernah merasa puas. Hal yang sama menggiring kita kepada pementingan diri dan kerakusan.
Edward Brown benar ketika ia mengatakan, “Keberdosaan adalah virus yang mengakibatkan ‘penyakit affluenza’ yang merasuki hidup kita dengan perasaan yang terus-menerus tidak terpuaskan. Itu juga yang membuat orang-orang memenuhi pusat perbelanjaan meskipun mereka sudah memiliki lebih dari yang mereka perlukan dan gunakan dan juga mereka yang membeli lebih dari apa yang dapat mereka bayar.”

Gaya hidup konsumersime dan semua dukungan terhadapnya adalah dosa. Gaya konsumerisme mengakibatkan sumber-sumber alam terkuras deras dan menyisakan sampah yang kian merusak kehidupan. Pabrik-pabrik juga meracuni udara karena tidak peduli pada penanganan limbah atas nama keuntungan. Akibat dari semuanya itu, kehidupan umat manusia dan makhluk ciptaan Tuhan di planet ini menderita dan terancam punah.

Sesungguhnya ‘kerakusan’ berbohong kepada kita, yang mengatakan bahwa hidup ini diukur berdasarkan seberapa banyak yang kita miliki. Kerakusan membutakan kita untuk melihat apa yang terpenting dalam hidup, yakni ketergantungan pada Tuhan. Kerakusan juga membutkan kita akan kebutuhan orang lain. Dan, peringatan yang perlu kita dengarkan adalah bahwa “kerakusan pada akhirnya akan menghancurkan kita”.

Kita sudah berulangkali mendengar bahkan memperdengarkan peristiwa tentang perjumpaan Yesus dengan pemuda yang kaya. Yang masalah di sini, bukanlah ‘kekayaan’ itu sendiri, melainkan justru cinta akan kekayaan dan uang itulah yang menjadi akar persoalan. Itu juga yang Rasul Paulus kemukakan dalam 1 Tim. 6:10, “Akar segala kejahatan adalah cinta akan uang”. Masalah yang sesungguhnya adalah ‘kerakusan’.

Menurut Bishop Solomon ada dua macam kerakusan: kerakusan untuk mendapatkan apa yang tidak kita miliki dan kerakusan untuk mempertahankan (tanpa kerelaan berbagi) apa yang kita punya. Kerakusan membuat manusia berjuang mati-matian untuk mendapatkan sesuatu dan setelah mendapatkannya berjuang mati-matian mempertahankannya tidak perduli apakah orang lain sekarat bahkan mati.

Yesus sangat menekankan pola hidup kecukupan. Salah satu bagian dari doa yang Ia ajarkan berbunyi, “Berikanlah kami pada hari ini makanan kami yang secukupnya.” Terjemahan yang lebih tepat adalah: “berikanlah kepada kami yang kami butuhkan dalam kehidupan sehari-hari”. Kebutuhan mesti mengalahkan keinginan. Kita pun dapat melanjutkan doa kita dengan berkata dan bertekad, “Ya Tuhan, berikanlah kepada kami setiap hari makanan kami yang secukupnya. Apabila Engkau memberi lebih dari cukup, ajarlah kami untuk berbagi dengan yang berkekurangan.”

Sunday, May 10, 2009

K E H A D I R A N

REFLEKSI SENIN KE-20 2009: 11/05

Setiap kita ditempatkan oleh Tuhan di dunia ini dalam kebersamaan dengan orang lain. Kita adalah bagian dari sebuah keluarga, gereja dan masyarakat. Sedikitnya ada tiga suasana yang berbeda bagaimana suatu kelompok atau persekutuan menyikapi kehadiran seseorang. Ketiga suasana yang berbeda ini tidak sepenuhnya karena keberadaan (baik atau buruk) seseorang yang hadir, melainkan juga keadaan kelompok atau persekutuan yang menerima ‘kehadiran’ itu sendiri.

1. Kehadiran yang Dirindukan

Kehadiran seseorang amat diharapkan. Terasa ada yang hilang jika ia tidak ada. Kerinduan kehadiran ini umumnya karena seseorang itu memberi sumbangan yang sangat berarti, seperti perlindungan, sumbangan finansial, membuat humor, penghangat suasana, ide-ide cemerlang untuk solusi suatu masalah dan sebagainya. Artinya, karena sebuah kelompok atau persekutuan ‘mengharapkan’ sesuatu dari seseorang untuk kepentingan kelompok atau pribadi-pribadi dalam kelompok itu. Tidak sepenuhnya salah. Tetapi, jika hanya dengan motif demikian, kelompok sesungguhnya hanya memanfaatkan seseorang untuk kepentingan diri sendiri. Mungkin karena keadaan seperti inilah beberapa calon legislatif mengeluh pasca pemilu April 2009. Mereka merasa kehadiran mereka dirindukan, massa berkumpul dan mendengar ‘visi dan misi’ mereka, tetapi jumlah suara yang mereka peroleh jauh dari yang mereka harapkan.

Bagaimana pun juga, keadaan hati kita bisa mempengaruhi suasana di mana dan dengan siapa kita berada. Kasih kita yang mendalam kepada semua dan setiap orang merupakan jembatan penghubung persaudaraan. Kalau kasih kita murni, kehadiran kita di mana pun akan dapat memberi makna. Tetapi kalau kita cenderung menguasai, cenderung menuntut, selalu mengkritik, selalu mengeluh, tidak bisa mengendalikan kemarahan, sulit dibayangkan orang lain merindukan kehadiran kita.

2. Kehadiran Tanpa Makna

Ada atau tidak ada, sama saja. Begitu kira-kira. Sebagai contoh, saya teringat pada istilah ‘panthom father’ yang disebutkan oleh Les T. Csorba dalam bukunya Trust: The One Thing that takes or Breaks a Leader, untuk menjelaskan kehadiran seorang ayah di tengah keluarga. Setelah kesibukan bekerja keseharian, si ayah memang secara fisik hadir di rumah, tetapi sama saja suasananya tanpa kehadirannya. Anak-anaknya tidak merasakan kehangatan belaian kasihnya.

Ini juga yang bisa terjadi dalam rapat-rapat, yang kehadiran hanya untuk memenuhi ‘quorum’ tetapi sama saja hadir atau tidak. Tetapi, seperti disebutkan di atas, keadaan ini bisa saja tidak sepenuhnya menjadi tanggung jawab seseorang itu, melainkan pemimpin yang perlu mendalami seni kepemimpinan untuk melibatkan semua orang. Atau, bisa juga sebuaha kelompok yang tidak berusaha mendorong seseorang itu memaksimalkan makna kehadiannya.

3. Kehadiran yang Tidak Diharapkan

Sedikitnya ada dua kemungkinan penyebabnya. Pertama, seperti disebut di atas, kalau karena seseorang cenderung menguasai, menuntut, selalu mengkritik, selalu mengeluh, tidak bisa mengendalikan kemarahan, orang cenderung tidak mengharapkan kehadirannya di tengah keluarga atau sebuah persekutuan.

Kedua, kelemahan suatu kelompok atau persekutuan. Para nabi sebagaimana diberitakan di Perjanjian Lama dan murid-murid Yesus, terkadang tidak diharapkan kehadiran mereka, bukan karena kelemahan mereka tetapi karena orang-orang yang mereka temui tidak tahan akan ‘terang kebenaran’ yang dirasa mengganggu kesenangan duniawi mereka. Bahkan, Yesus sendiri pun ditolak di beberapa tempat, padahal Yesus mengasihi setiap dan semua orang.

Jadi, kalau kehadiran kita tidak diharapkan, kita perlu mengenali penyebabnya. Jika karena kelemahan dan sifat-sifat buruk pribadi kita, kita dapat mengubah diri sendiri. Tetapi, jika kehadiran kita tidak diharapkan hanya karena dianggap sebagai ‘ancaman’ terhadap kepentingan pribadi dan kelompok itu sendiri, mereka merasa cemburu dan iri hati, kita menerima kenyataan ini dengan kerendahan hati, kesabaran dan pengampunan. Jika Anda dikucilkan bukan karena kesalahan Anda, tidak perlu berkabung walau tidak dapat bergabung dengan orang lain. Lebih baik sendiri atas nama kebenaran dari pada berada dalam sebuah perkumpulan yang buruk.

Mark Twain benar ketika ia mengatakan, “Lebih baik layak menerima penghormatan dan tidak mendapatnya, ketimbang mendapat kehormatan padahal kita tidak layak menerima-nya.”

Sunday, May 3, 2009

EVALUASI KEHIDUPAN


REFLEKSI SENIN KE-19, 2009: 04/5

Mengevaluasi dan mempercakapkan kehidupan orang lain (khususnya kesalahan-kesalahan mereka) terkesan lebih mudah dan lebih ‘enak’ bagi banyak orang. Tetapi, jika kita mau bertumbuh secara sehat kita membutuhkan ‘evaluasi kehidupan’ diri sendiri. Amat menyedihkan jika usia kita bertambah tetapi kita berhenti bertumbuh.

Marjorie J. Thompson, dalam bukunya Soul Feast: An Invitation to the Christian Spiritual Life, menjelaskan dengan amat baik bagaimana ‘evaluasi kehidupan’ dapat mengubah kehidupan seseorang ke arah yang lebih baik. Ia menganjurkan perlunya seseorang meluangkan waktu khusus untuk memeriksa secara rinci apa saja yang perlu dievaluasi seperti: ketakutan-ketakutan, sakit hati, perasaan tidak aman secara emosi, perasaan tidak aman secara material, masalah penerimaan sosial, seksualitas, dan iman. Untuk mengevaluasi dengan baik, kita harus fokus mengevaluasi satu hal dalam waktu tertentu.

Begini caranya. Pilihlah bagian tertentu dari kehidupan Anda untuk dievaluasi. Kemudian, lihatlah ke masa silam sejauh yang bisa Anda ingat. Misalnya, pikirkanlah rasa sakit hati Anda (kepada orang, situasi dunia sekitar, lembaga atau institusi), mulai dari masa kecil hingga hari ini. Tugas Anda yang paling perlu di sini adalah menuliskan dengan rinci (1) akibat-akibatnya yang Anda rasakan, dan (2) kontribusi Anda terhadap munculnya masalah tersebut. Gunakan kata “Saya” (seperti 'saya merasa', bukan 'mereka melakukan ini kepada saya....") sehingga Anda lebih jelas menggambarkan ‘perasaan’ dan ‘pengalaman’ Anda, bukan ‘mempersalahkan orang lain’. Bagian ini sangat penting. Jadi jangan sampai hal ini terlewatkan.

Sedikitnya ada tiga tahap yang perlu kita lalui dalam evaluasi kehidupan yang kiranya dapat membebaskan kita dan orang lain dari beban yang tidak perlu.

1. Pengenalan akan Masalah dan Kontribusi Kita

Untuk lebih konkret kita dapat mengambil contoh masa anak-anak atau remaja. Ini tidak dimaksudkan hanya sekadar mengungkit masa lalu, tetapi terutama untuk melihat pengaruhnya dalam hidup kita hari ini. Sebab, jika kita tidak berhasil memutus mata rantai kebiasaan masa silam, maka ia bisa juga tetap melekat dalam kita hingga sekarang bahkan hingga usia tua. Artinya, pola berpikir, bersikap dan bereaksi kita bisa saja merupakan kelanjutan dari masa anak-anak. Jadi, kita perlu menuliskan secara rinci pada sehelai kertas setiap detil bidang yang kita evaluasi. Kita dapat mengambil sebuah contoh konkrit berhubungan dengan masalah ‘sakit hati’ berikut ini.

Sakit hati:
Saya merasa sakit hati dan benci kepada teman-teman se-masa SMP dulu.

Penyebab:
Saya merasa tidak diterima dalam pergaulan mulai dari kelas I-III. Saya merasa dikucilkan dalam percakapan dan dalam permainan. (Perhatikan, Anda tidak mengatakan, “mereka tidak menerima saya” atau “mereka mengucilkan saya”. Kata-kata ini bernada mempersalahkan orang lain). Apa yang telah orang lain lakukan terhadap Anda adalah tanggung jawab mereka, bukan tanggung jawab Anda saat ini. Memang ada saatnya kita dapat melihat dan mempercakapkan kekurangan orang lain, dengan motivasi dan tujuan yang baik (di antaranya baca topik “Mengatakan Kesalahan orang lain, Boleh?” dan “Masalah Triangulation dalam Komunikasi Antar Pribadi” dalam blog ini, di bawah topik "Kecerdasan Emosional" dan "Komunikasi").

Akibatnya:
Perasaan terluka, tersisih, hilang percaya diri, mempertahankan diri, benci, menyembunyikan perasaan, berusaha membuktikan diri atau menampilkan diri, mencari perhatian, takut penolakan, kasihan terhadap diri sendiri, dan sebagainya (daftar ini bisa lebih panjang lagi).

Kontribusi (sumbangan) saya:
Saya tidak mengambil prakarsa mencari teman-teman, berharap orang lain lebih dulu bergerak, dan secara umum saya membiarkan diri sendiri menjadi ‘korban’.

Untuk bagian yang terakhir ini biasanya jauh lebih sulit. Ada ungkapan yang mengatakan “Kata-kata yang paling berat dan sulit dalam semua bahasa adalah “Saya sudah bersalah”. Tetapi, demi penyembuhan hidup kita, kita mesti melihat dengan jernih apa yang kita bawa dalam suatu masalah tertentu. Bukan untuk menangisi masa lalu dan membenci diri, tetapi untuk memulai sesuatu yang baru, yang lebih baik.

Kita dapat juga melihat bagaimana keadaan tersebut terbentuk dalam diri kita, khususnya dari lingkungan keluarga. Biasanya pengalaman anak-anak sehari-hari di lingkungan keluarga amat mempengaruhi sikap dan perilakunya berhadapan dengan sesamanya. Seorang anak yang tidak diberi kesempatan mengungkapakan perasaannya dan selalu dicela biasanya akan mengalami hambatan dalam menjalin persahabatan dengan orang lain. Demikian juga anak yang terlalu dimanja sebagai ‘anak mama’, yang selalu menerima apa saja yang dimintanya dari orangtuanya, ia cenderung ‘menguasai’ teman-temannya yang membuat orang lain menjaga jarak. Sekali lagi, pola ini bisa berlanjut hingga usia tua. Kalau Anda cenderung menguasai orang lain dalam percakapan atau sebaliknya terlalu menyembunyikan perasaan padahal Anda sudah merasa benci setengah mati, hal itu mungkin sudah terbentuk sejak lama.

2. Mengenal karunia dan kekuatan kita

Kita tidak berhenti pada pengenalan akan permasalahan dan sumbangan negatif kita terhadap terjadinya masalah. Dengan pimpinan Tuhan, kita juga perlu dengan jernih mengenal karunia dan kekuatan yang Tuhan anugerahkan kepada kita.

Kita perlu melihat sumbangan positif apa yang kita bawa dalam situasi itu. Bukankah sesuatu yang baik bahwa kita tidak bertindak di luar kendali melampiaskan kebencian kita? Kita punya kesempatan dan kemampuan melakukan kekerasan, tetapi kita tidak melakukannya. Ini merupakan kontribusi positif yang sangat berharga.

Pelajaran apa yang bisa kita petik dari peristiwa itu? Kita dapat lebih memahami dan menerima diri sendiri dan orang lain. Kita jadinya menyadari betapa berharganya saling mengasihi dan saling menghargai dengan sesama. Bahkan, kita bisa menolong orang lain yang terhimpit oleh masalah yang relatif sama, yang mereka tidak sadari.

3. Pengakuan dan Penyerahan diri

Setelah semua itu kita lalui dan kita dapat melihat dengan jernih segi positif dan negatif diri kita, kita dapat mengungkapkan pengakuan dan penyerahan diri kepada Tuhan yang sekaligus berisi komitmen pembaharuan kehidupan kita.

Kita dapat ungkapkan dalam doa, “Ya Allah, hal-hal inilah yang kulihat dalam diriku. Inilah diriku yang kukenal. Inilah pola bagaimana aku bertindak dulu dan sekarang. Tetapi, Engkau mengenal aku lebih baik ketimbang aku mengenal diriku. Pimpinlah aku kepada penglihatan dan pengenalan yang lebih baik akan diriku. Biarlah semua kebenaran yang saya butuhkan Engkau penuhi, setiap luka dan respon menyakitkan Engkau sembuhkan. Terima kasih atas waktu pemberian-Mu ini untuk belajar akan bagian hidupku. Kuatkanlah dan tolonglah aku untuk bertumbuh dan berbuah baik serta membagikannya dengan orang lain.”

Apa yang diuraikan di atas dapat menjadi acuan kita untuk mengevaluasi bagian lain dalam hidup kita pada waktu yang berbeda (seperti yang sudah disebutkan di atas: ketakutan-ketakutan, perasaan tidak aman secara emosi, perasaan tidak aman secara material, masalah seksualitas, dan iman). Atas pertolongan Tuhan, kita akan menjadi pribadi sebagaimana Tuhan telah rancang sebelum menghadirkan kita ke dunia ini.

Hanya dengan demikian pula kita dapat mengemban tugas pelayanan yang Tuhan percayakan kepada kita di tengah keluarga, lingkungan kerja, gereja dan masyarakat luas. Bersama Tuhan dan untuk keagungan nama-Nya.

ShoutMix chat widget