Sunday, May 3, 2009

EVALUASI KEHIDUPAN


REFLEKSI SENIN KE-19, 2009: 04/5

Mengevaluasi dan mempercakapkan kehidupan orang lain (khususnya kesalahan-kesalahan mereka) terkesan lebih mudah dan lebih ‘enak’ bagi banyak orang. Tetapi, jika kita mau bertumbuh secara sehat kita membutuhkan ‘evaluasi kehidupan’ diri sendiri. Amat menyedihkan jika usia kita bertambah tetapi kita berhenti bertumbuh.

Marjorie J. Thompson, dalam bukunya Soul Feast: An Invitation to the Christian Spiritual Life, menjelaskan dengan amat baik bagaimana ‘evaluasi kehidupan’ dapat mengubah kehidupan seseorang ke arah yang lebih baik. Ia menganjurkan perlunya seseorang meluangkan waktu khusus untuk memeriksa secara rinci apa saja yang perlu dievaluasi seperti: ketakutan-ketakutan, sakit hati, perasaan tidak aman secara emosi, perasaan tidak aman secara material, masalah penerimaan sosial, seksualitas, dan iman. Untuk mengevaluasi dengan baik, kita harus fokus mengevaluasi satu hal dalam waktu tertentu.

Begini caranya. Pilihlah bagian tertentu dari kehidupan Anda untuk dievaluasi. Kemudian, lihatlah ke masa silam sejauh yang bisa Anda ingat. Misalnya, pikirkanlah rasa sakit hati Anda (kepada orang, situasi dunia sekitar, lembaga atau institusi), mulai dari masa kecil hingga hari ini. Tugas Anda yang paling perlu di sini adalah menuliskan dengan rinci (1) akibat-akibatnya yang Anda rasakan, dan (2) kontribusi Anda terhadap munculnya masalah tersebut. Gunakan kata “Saya” (seperti 'saya merasa', bukan 'mereka melakukan ini kepada saya....") sehingga Anda lebih jelas menggambarkan ‘perasaan’ dan ‘pengalaman’ Anda, bukan ‘mempersalahkan orang lain’. Bagian ini sangat penting. Jadi jangan sampai hal ini terlewatkan.

Sedikitnya ada tiga tahap yang perlu kita lalui dalam evaluasi kehidupan yang kiranya dapat membebaskan kita dan orang lain dari beban yang tidak perlu.

1. Pengenalan akan Masalah dan Kontribusi Kita

Untuk lebih konkret kita dapat mengambil contoh masa anak-anak atau remaja. Ini tidak dimaksudkan hanya sekadar mengungkit masa lalu, tetapi terutama untuk melihat pengaruhnya dalam hidup kita hari ini. Sebab, jika kita tidak berhasil memutus mata rantai kebiasaan masa silam, maka ia bisa juga tetap melekat dalam kita hingga sekarang bahkan hingga usia tua. Artinya, pola berpikir, bersikap dan bereaksi kita bisa saja merupakan kelanjutan dari masa anak-anak. Jadi, kita perlu menuliskan secara rinci pada sehelai kertas setiap detil bidang yang kita evaluasi. Kita dapat mengambil sebuah contoh konkrit berhubungan dengan masalah ‘sakit hati’ berikut ini.

Sakit hati:
Saya merasa sakit hati dan benci kepada teman-teman se-masa SMP dulu.

Penyebab:
Saya merasa tidak diterima dalam pergaulan mulai dari kelas I-III. Saya merasa dikucilkan dalam percakapan dan dalam permainan. (Perhatikan, Anda tidak mengatakan, “mereka tidak menerima saya” atau “mereka mengucilkan saya”. Kata-kata ini bernada mempersalahkan orang lain). Apa yang telah orang lain lakukan terhadap Anda adalah tanggung jawab mereka, bukan tanggung jawab Anda saat ini. Memang ada saatnya kita dapat melihat dan mempercakapkan kekurangan orang lain, dengan motivasi dan tujuan yang baik (di antaranya baca topik “Mengatakan Kesalahan orang lain, Boleh?” dan “Masalah Triangulation dalam Komunikasi Antar Pribadi” dalam blog ini, di bawah topik "Kecerdasan Emosional" dan "Komunikasi").

Akibatnya:
Perasaan terluka, tersisih, hilang percaya diri, mempertahankan diri, benci, menyembunyikan perasaan, berusaha membuktikan diri atau menampilkan diri, mencari perhatian, takut penolakan, kasihan terhadap diri sendiri, dan sebagainya (daftar ini bisa lebih panjang lagi).

Kontribusi (sumbangan) saya:
Saya tidak mengambil prakarsa mencari teman-teman, berharap orang lain lebih dulu bergerak, dan secara umum saya membiarkan diri sendiri menjadi ‘korban’.

Untuk bagian yang terakhir ini biasanya jauh lebih sulit. Ada ungkapan yang mengatakan “Kata-kata yang paling berat dan sulit dalam semua bahasa adalah “Saya sudah bersalah”. Tetapi, demi penyembuhan hidup kita, kita mesti melihat dengan jernih apa yang kita bawa dalam suatu masalah tertentu. Bukan untuk menangisi masa lalu dan membenci diri, tetapi untuk memulai sesuatu yang baru, yang lebih baik.

Kita dapat juga melihat bagaimana keadaan tersebut terbentuk dalam diri kita, khususnya dari lingkungan keluarga. Biasanya pengalaman anak-anak sehari-hari di lingkungan keluarga amat mempengaruhi sikap dan perilakunya berhadapan dengan sesamanya. Seorang anak yang tidak diberi kesempatan mengungkapakan perasaannya dan selalu dicela biasanya akan mengalami hambatan dalam menjalin persahabatan dengan orang lain. Demikian juga anak yang terlalu dimanja sebagai ‘anak mama’, yang selalu menerima apa saja yang dimintanya dari orangtuanya, ia cenderung ‘menguasai’ teman-temannya yang membuat orang lain menjaga jarak. Sekali lagi, pola ini bisa berlanjut hingga usia tua. Kalau Anda cenderung menguasai orang lain dalam percakapan atau sebaliknya terlalu menyembunyikan perasaan padahal Anda sudah merasa benci setengah mati, hal itu mungkin sudah terbentuk sejak lama.

2. Mengenal karunia dan kekuatan kita

Kita tidak berhenti pada pengenalan akan permasalahan dan sumbangan negatif kita terhadap terjadinya masalah. Dengan pimpinan Tuhan, kita juga perlu dengan jernih mengenal karunia dan kekuatan yang Tuhan anugerahkan kepada kita.

Kita perlu melihat sumbangan positif apa yang kita bawa dalam situasi itu. Bukankah sesuatu yang baik bahwa kita tidak bertindak di luar kendali melampiaskan kebencian kita? Kita punya kesempatan dan kemampuan melakukan kekerasan, tetapi kita tidak melakukannya. Ini merupakan kontribusi positif yang sangat berharga.

Pelajaran apa yang bisa kita petik dari peristiwa itu? Kita dapat lebih memahami dan menerima diri sendiri dan orang lain. Kita jadinya menyadari betapa berharganya saling mengasihi dan saling menghargai dengan sesama. Bahkan, kita bisa menolong orang lain yang terhimpit oleh masalah yang relatif sama, yang mereka tidak sadari.

3. Pengakuan dan Penyerahan diri

Setelah semua itu kita lalui dan kita dapat melihat dengan jernih segi positif dan negatif diri kita, kita dapat mengungkapkan pengakuan dan penyerahan diri kepada Tuhan yang sekaligus berisi komitmen pembaharuan kehidupan kita.

Kita dapat ungkapkan dalam doa, “Ya Allah, hal-hal inilah yang kulihat dalam diriku. Inilah diriku yang kukenal. Inilah pola bagaimana aku bertindak dulu dan sekarang. Tetapi, Engkau mengenal aku lebih baik ketimbang aku mengenal diriku. Pimpinlah aku kepada penglihatan dan pengenalan yang lebih baik akan diriku. Biarlah semua kebenaran yang saya butuhkan Engkau penuhi, setiap luka dan respon menyakitkan Engkau sembuhkan. Terima kasih atas waktu pemberian-Mu ini untuk belajar akan bagian hidupku. Kuatkanlah dan tolonglah aku untuk bertumbuh dan berbuah baik serta membagikannya dengan orang lain.”

Apa yang diuraikan di atas dapat menjadi acuan kita untuk mengevaluasi bagian lain dalam hidup kita pada waktu yang berbeda (seperti yang sudah disebutkan di atas: ketakutan-ketakutan, perasaan tidak aman secara emosi, perasaan tidak aman secara material, masalah seksualitas, dan iman). Atas pertolongan Tuhan, kita akan menjadi pribadi sebagaimana Tuhan telah rancang sebelum menghadirkan kita ke dunia ini.

Hanya dengan demikian pula kita dapat mengemban tugas pelayanan yang Tuhan percayakan kepada kita di tengah keluarga, lingkungan kerja, gereja dan masyarakat luas. Bersama Tuhan dan untuk keagungan nama-Nya.

No comments:

Post a Comment

Kami sangat menghargai komentar Anda yang membangun.


ShoutMix chat widget