Sunday, May 20, 2007

AKAL BUDI

(Tulisan berikut diambil dari buku: Victor Tinambunan, Gereja dan Orang Percaya: Oleh Rahmat Menjadi Berkat)

PEMBARUAN BUDI DALAM RANGKA
PEMBAHARUAN GEREJA DAN MASYARAKAT
[1]

Berubahlah oleh pembaharuan budimu.
(Roma 12:2b)


PENGANTAR

Di tengah suasana bangsa yang dirundung duka amat dalam ini (baik karena bencana yang silih berganti maupun karena kondisi perekonomian nasional), sesungguhnya porsi kata-kata dan ‘uluran hati’ (berupa ucapan turut berduka) lebih sedikit dibutuhkan ketimbang uluran tangan. Bukan berarti bahwa kata-kata tidak dibutuhkan. Yang perlu ialah kata yang mengalir dari pembaharuan budi. Sebab, tanpa pembaharuan budi, kata-kata yang kita ungkapkan pun hanyalah sedalam kemanusiaan kita yang ringkih dan tindakan kita hanyalah digerakkan oleh keinginan dangkal.

Alangkah indah, damai dan sejahteranya kehidupan di dunia ini jika yang paling dibutuhkan cukup tersedia. Akan tetapi, pengalaman kita menunjukkan bahwa yang paling kita butuhkan justru yang paling langka dalam kehidupan ini. Acapkali manusia memberi perhatian amat serius pada hal sepele tetapi menyepelekan hal yang amat penting. Kondisi demikian menuntut perubahan yang mengakar pada pembaharuan budi.

DIBAHARUI UNTUK BERUBAH DAN BERBUAH[2]

Di sini, pembaharuan budi adalah sebuah anugerah Tuhan. Ia sendiri yang melakukannya, bukan manusia. Karenanya, pembaharuan, yang dituntut dari manusia hanya dimungkinkan beranjak dari anugerah pembaharuan budi. Dengan demikian, kemauan dan kemampuan berubah pun adalah juga bagian dari pertolongan Tuhan. Artinya, dari dirinya sendiri budi manusia tidak dapat dibarui dan manusia tidak dapat berubah. Semuanya ini adalah anugerah dan pertolongan Tuhan yang mesti disambut dengan rasa syukur dan tanggung jawab.

Pasal 12 diawali dengan nasihat mempersembahkan tubuh kepada Allah. Hal ini sepadan dengan keberadaan tubuh sebagai milik Allah. Karenanya, apa yang dilakukan tubuh – berpikir atau bekerja sebagai pejabat, buruh pabrik, bupati, tukang pangkas, politisi, pegawai kantor Sinode Gereja, penarik beca, menteri, pendeta dan lain-lain, merupakan persembahan kepada Allah.

Penekanan pentingnya ibadah orang Kristen, bukanlah berarti melakukan upacara-upacara kultus di tempat-tempat suci. Kata latreia (ay 1) berarti ‘yang kepadanya seorang mengabdikan seluruh hidupnya’, tidak kepada manusia, tetapi ibadah kepada Allah. Ibadah orang Kristen yang sejati berarti "mempersembahkan tubuh", yakni seluruh eksistensi manusia dalam kehidupan sehari-hari, di tengah kondisi dunia ini. Orang Kristen hendaknya beribadah dengan pelayanan keseharian sambil menaati dan memenuhi kehendak Allah. Tetapi pelayanan yang mengacu kepada dunia ini tidak berarti "menjadi serupa dengan dunia ini", menyesuaikan diri kepada situasi dan kondisi atau malah terlebur di dalamnya. Eksistensi orang Kristen dipersembahkan kepada Allah secara "badaniah" sebagai korban di tengah-tengah kondisi dunia ini, mengacu kepada dunia baru yang sudah mulai oleh Kristus yang bangkit sembari menjadi suatu kesaksian kepada dunia yang fana ini.

Pada kesempatan lain Paulus menegaskan bahwa, “segala sesuatu dari Dia…” (Rm. 11:36). Hal ini perlu ditegaskan mengingat keberadaan kota Roma sebagai kota terbesar dunia pada zaman itu. Kemegahan, prestasi, kemampuan manusia menjadi amat penting pada saat itu (tidak ubahnya dengan apa yang diminati dan dikejar banyak orang pada zaman ini). Pembaharuan (anakainosis), lebih tepat diartikan: “kelahiran kembali memungkinkan mengenal kehendak Allah sebagai pedoman untuk menjalani hidup dengan tulus”.

Untuk kata ‘berubah’ di sini Paulus menggunakan kata meta-morphoomai (bukan alasso) yang berakar sama dengan kata meta-morfosis, sebuah istilah biologi yang berarti perubahan wujud. Contoh proses metamorfosis adalah berubahnya jenis batuan tertentu menjadi pualam, kristal atau intan yang berkilau akibat suhu dan tekanan tinggi. Contoh lain adalah berubahnya ulat menjadi kepompong lalu menjadi kupu-kupu.[3] Hal inilah yang menurut Andar Ismail bahwa Paulus mau menekankan agar kita berkembang dan berubah wujud ke tahap yangyang lebih tinggi, yaitu agar pola pikir kita berkembang ke tahap-tahap yang lebih luhur dan lebih matang; dari pola berpikir Yudas menjadi pola berpikir Kristus.[4]

Berubahnya eksistensi manusia melalui ‘kelahiran kembali’ terarah kepada suatu pembaharuan akal budi (kebalikannya kita baca dalam 1:21). Budi (nous) dalam filsafat Yunani berkaitan dengan orang yang bijaksana, orang yang berpotensi intelektual dan dapat berarti juga eksistensi rohaniah yang biasanya tersembunyi kepada orang lain.

Tetapi dalam ayat ini nous berarti kemampuan untuk menilai situasi secara kritis. Konkritnya, "membedakan manakah kehendak Allah." Dokumazein yang digunakan oleh Paulus di sini dekat sekali misalnya dengan 1Tes. 5:21: "Ujilah segala sesuatu dan peganglah yang baik", atau Flp. 1:10: "sehingga kamu dapat memilih yang baik", dan "ujilah apa yang berkenan kepada Tuhan" (Ef. 5:10). Jadi, orang yang lahir kembali (indikatif) hendaknya (imperatif) berubah, bukan hanya dalam eksistensi diri manusia melainkan secara khusus dalam apa yang menyangkut nous. Budi manusia membutuhkan satu norma atau satu patokan yaitu kehendak Allah yang digambarkan dengan tiga kata sifat: "baik, berkenan kepada Allah dan yang sempurna." Kehendak Allah harus digumuli setiap kali secara baru dan diberlakukan dalam satu situasi yang konkrit dan tertentu. Yang baik, yang berkenan kepada Allah, yang sempurna hanyalah kehendak Allah sendiri; bisa sesuai dengan kemauan dan cita-cita manusia, tapi bisa pula menentangnya. Manusia mendapat akal budi dari Allah sang Pencipta untuk mendengar dan mendalami tuntutan-tuntutan etika sambil menguji mana yang patut dituruti.

Sesuai dengan 1Kor. 14, iman tidak meniadakan akal budi. Pembaharuan seluruh eksistensi manusia (yang.terjadi melalui anugerah pembaptisan), harus nyata secara khusus dalam pembaharuan budinya. Itu bukan hanya mencakup karakter atau pendirian orang Kristen yang bersedia memenuhi pola-pola etika umum tetapi dengan senantiasa mengasihi sesama sebagai ukuran (Mat. 22:39). Paulus dengan lebih tajam melihat dan meyakini bahwa pelayanan kepada dunia ini tidak boleh berarti hidup dan beraksi setara dengan dunia ini. Artinya, budi kristiani tidak mungkin selalu berorientasi kepada pola-pola atau pedoman-pedoman dunia ini atau masyarakat umum. Boleh jadi, bahwa apa yang berkenan kepada Allah setara dengan kehendak dan perbuatan dunia ini. Tapi apa yang berkenan kepada Allah boleh juga amat berbeda, sehingga keputusan dan perbuatan etis dapat dan harus menentang pola-pola dunia, melihat kondisi dan saat-saat tertentu. Dalam hal ini, pembaruan budi memungkinkan orang percaya untuk cermat memahami rahmat, waspada terhadap penggoda dan bertahan pada pencobaan.

Dengan demikian boleh disimpulkan bahwa orang Kristen yang sudah "dipindahkan" ke dalam dunia baru sering lebih sanggup menentukan tindakan yang tepat dan berkenan kepada Allah daripada orang yang hanya menguji "apa yang baik" menurut pedoman duniawi, dunia yang lama. Dengan kesanggupan tersebut, orang Kristen, atas nama kehendak Allah, dapat saja tidak setuju bahkan menentang niat-niat dan tujuan-tujuan dunia ini sambil berbuat apa yang nampaknya tidak bijaksana, tidak tepat, tidak masuk akal dan sikap itu memantulkan tindakan Allah yang menyerahkan AnakNya sampai mati di kayu salib (bnd. 1Kor. 1:18 dst.) Satu kebodohan untuk dunia, satu hikmat bagi mereka yang mengimani Kristus yang tersalib dan bangkit.

BAHAYA MENYESUAIKAN DIRI

Dunia diwarnai oleh perkembangan sains dan teknologi yang amat cepat melesat (dan terkadang meleset). Bahkan, perkembangan itu jauh lebih kencang melaju ketimbang kemampuan kita mengikutinya. Banyak ahli yang berpendapat bahwa yang lebih sulit bukan melanjutkan perkembangan sains dan teknologi, tetapi justru menghentikannya. Masalahnya ialah, bahwa keterampilan dan pengetahuan teknik manusia memadai tetapi yang kurang adalah hikmat dan kearifan.

Kita telah lumayan lama hidup dalam era remote control menggantikan sistem manual peralatan-peralatan. Celakanya, pada zaman ini juga begitu banyak orang yang dikendalikan oleh sebuah remote control entah oleh manusia, entah oleh produk tertentu, keinginan dan lain-lain yang menggerakkan manusia yang tidak memiliki pendirian teguh. Padahal, tidak puas dengan diri sendiri, secara psikologis (juga teologis) adalah sumber kejahatan.

Bagi manusia era globalisasi yang penting bukan pengembangan jati diri untuk semakin berkepribadian tetapi pengembangan gaya hidup yang semakin bergengsi, yang hanya mengejar nilai material bukan nilai kepribadian, manusia berjuang demi ‘harga diri’ bukan ‘makni diri’. Harga diri biasanya diukur berdasarkan suskses duniawi dengan kepemilikan harta, pengaruh, gelar akademis dan lain-lain; sedangkan ‘makna diri’ diuji berdasarkan kehadirannya untuk menjadi berkat, rujukan dalam kata-kata, pola berpikir, bersikap dan bertindak.

Menyesuaikan diri dapat menjadi satu bahaya besar. Dunia ini, (termasuk di dalamnya pemerintah, pembesar, pelayan gereja, tua-tua adat dll.) ingin dan bertekad agar kita menuruti pola-pola mereka. Padahal, Tuhan menghendaki kita membudayakan satu budi yang kritis.
Gereja juga terpanggil untuk kembali berpaling kepada Tuhan. Apa yang membedakan Yesus dengan Gereja? Yesus berpihak pada orang kecil, Gereja sering (malah mungkin biasanya) berpihak pada orang besar. Yesus hadir bagi mereka yang membutuhkan dengan pertolongan yang tepat; gereja cenderung menghadirkan siapa yang dibutuhkannya. Yesus terbuka bagi setiap dan semua orang, gereja asik dengan dirinya sendiri dengan tembok eksklusivitasnya. Yesus memberi diriNya untuk orang lain; Gereja cenderung hidup untuk dirinya, dan pada saat-saat tertentu bahkan tergoda memanfaatkan yang lain untuk diri sendiri. Beberpa hal untuk menjelaskan hal ini sebagai bahan refleksi.

  • Gereja-gereja dan orang Kristen Jerman tidak banyak yang menentang rezim diktator Adolf Hitler dan tidak berani membela hak azasi orang Yahudi-Jerman. Rezim Hitler membunuh sekitar 6 juta orang. Dewasa inipun Ada pula yang mengangkat diri atau kelompok yang bertindak sebagai ‘seksi kemalangan’ yang terus berkeliaran berupaya memangsa sesamanya melalui teror dan tindak kekerasan lainnya yang mengusik ketenangan dan kedamaian umat manusia.
    ¨
  • Begitu nyata di depan mata, bahwa bukan gereja dengan suara nabiahnya yang turut melengserkan diktator Suharto. Malah, mantan Ketua Umum PGI, pada waktu kursi kepresidenan sudah goyang, masih mengantar emas kepada presiden. Ada begitu banyak orang Indonesia menganggap dirinya sebagai korban pembangunan, korban globalisasi, korban koruptor sambil pasrah kepada nasib yang dianggap tidak dapat diubah.
    ¨
  • Konsumerisme a la Barat sudah merajalela di mana-mana. Dunia ini amat cekatan menyediakan dan menawarkan segala sesuatu untuk memenuhi selera dan keinginan dangkal manusia. Pikiran manusia berkeliaran di sekitar sukses duniawi, harta, kenikmatan, gengsi. Bersediakah orang Kristen untuk hidup secara alternatif?
    ¨
  • Wabah Korupsi, Kolusi, Kekerasan dan Nepotisme (K3N) sudah merasuk kian dalam dan luas di tengah masyarakat bahkan sudah merembes ke dalam kalangan gereja juga. Amat memprihatinkan dan menyedihkan, bahwa bantuan-bantuan kepada korban bencana pun tidak sampai pada sasaran di tengah mewabahnya JPS (Jangan Pegangnya Saja), bantuan pun dikomisi, dikorupsi bahkan dihabisi.¨
  • Adat (perkawinan, kematian, dll) yang cenderung menyengsarakan masih terus berlangsung. Yang menggembirakan ialah kenyataan bahwa Allah terus menerus memberi ruang dan peluang bagi gereja dan orang-orang Kristen untuk mengubah kebudayaan dan kebiasaan yang merugikan.
  • Bagi beberapa gereja, acara pembaptisan lebih merupakan peristiwa adat ketimbang perayaan gerejawi; upacara kematian seorang orangtua hampir ‘mematikan’ orang yang hidup karena di beberapa daerah biayanya sangat ‘mencekik leher’. Hanya dengan perubahan budi yang memungkinkan perubahan dalam masalah-masalah tersebut.
MEMBEDAKAN APA KEHENDAK ALLAH


Sepanjang sejarah perjalanan umat manusia, manusia terus bertarung dengan Allah tentang siapa yang memegang kendali. Berbudi baru berarti memilih Allah sebagai pemimpin dan pengendali ketimbang diri kita yang meragukan.

Berbudi baru menyanggupkan kita mengerti dan memberlakukan kehendak Allah. Kita sering menghadapi situasi yang kurang jelas atau samar. Akan tetapi, kehendak Allah tidak pernah samar. Semakin matang kekristenan seseorang, ia akan semakin sanggup mendalami kehendak Allah dan memahami apa yang baik, yang berkenan di hadapan Tuhan. Dalam kaitan ini, orang percaya mesti menanggalkan dan meninggalkan sikap mengandalkan pikiran sendiri, dan ‘mengenakan’ pikiran Kristus.

Banyak orang Kristen masa kini ingin mendapat "pengalaman rohani yang istimewa" sebagai manifestasi kehadiran dan tindakan Allah dalam kehidupan mereka. Tetapi Allah tidak hanya menyatakan diriNya melalui peristiwa ‘istimewa’ menurut pengalaman kita saja. Allah datang kepada kita dalam kehendakNya. Dalam setiap situasi yang rumit, kita perlu bertanya: apa Firman dan Kehendak Tuhan yang kita dengar, yang dapat kita terapkan, terhadap sesama, atasan, pemerintah, alam ciptaan dan lain-lain. Ini bukan hanya masalah pilihan konseptual tetapi juga (bahkan terutama) masalah pilihan pola hidup.

Satu hal yang perlu mendapat perhatian serius dan tulus ialah kecenderungan terkutupnya gereja pada dua ekstrim, yakni institusionalisme di satu segi dan ritualisme di segi lain. Model institusionalisme nampak dari hidup dan gerak gereja yang terutama membenahi struktur yang agak ketat bahkan kaku dan berliku. Jadinya, pelayanan dijadikan sebagai alat menguatkan struktur, yang seharusnya ‘struktur’ gereja menjadi alat pelayanan. Corak institusionalisme menempatkan para pelayan gereja kurang lebih seperti ‘pegawai-pegawai agama’ dengan SK yang berisikan konsederansi hukum dan peratauran lengkap dengan tabel gaji beserta tunjangannya dan kurang menampakkan pesan Injil dalam SK dan ibadah penempatan pelayan gereja.

Sebaliknya, ritualisme memberi perhatian istimewa pada ibadah yang semarak dengan musik modern beserta penyanyi ‘kondang’ serta pengkotbah yang berapi-api dibarengi humor yang membuat para peserta merasa ‘enak’. Ibadah direduksi menjadi sebuah selera manusia. Di sini institusi tidak terlalu penting, verifikasi keuangan tidak masuk daftar utama, karena hamba Tuhan dipercayakan mengelola uang Tuhan. Sangat disayangkan, meski KKR begitu semarak namun KKN tidak kalah semarak juga.

Aliran kharismatik (yang ada juga kebaikannya) menurut Ulrich Beyer kurang memakai budi dan cara berpikir yang cerdas-kritis. Padahal, yang perlu ialah membudayakan pembaharuan manusia seutuhnya, badannya, jiwanya, otaknya, untuk melayani jemaat dan non-jemaat. Panggilan orang Kristen di Indonesia adalah mewujudkan keberadaanya sebagai garam dan terang dengan berbudi baru sebagai suatu sumbangan yang bermakna untuk membangun bangsa yang lebih bermartabat.

Di sinilah letak urgensi kesediaan gereja-gereja kita untuk dengan rendah hati mengadakan ‘telaah posisi’ dengan merenung, berefleksi, mengevaluasi keberadaannya. Gereja dan orang-orang Kristen tidak mulai dari dirinya sendiri, tetapi berpijak pada anugerah pembaharuan yang Tuhan telah lakukan. Gereja perlu menghindari diri menjadi sekadar obat bius atau obat penenang. Ia juga perlu amat hati-hati untuk tidak terjerumus berupaya hanya untuk disegani, diperhitungkan atau disalahgunakan menjadi sebuah kendaraan kepentingan seperti kepentingan politik dan lain-lain.

PENUTUP

Panggilan orang beriman ialah berubah atas anugerah pembaharuan Kristus atas diri manusia. Hal ini dapat dan mestinya dimulai dari diri sendiri. A. de Mello memaparkan suatu anekdot sebagai sentilan terhadap sikap ‘revolusioner’:[5]

Sufi Bayazid bercerita tentang dirinya seperti berikut ini:
Waktu masih muda, aku ini revolusioner dan selalu berdoa:
“Tuhan berilah aku kekuatan untuk mengubah dunia”

Ketika aku sudah setengah baya dan sadar bahwa setengah hidupku sudah lewat tanpa mengubah satu orang pun, aku mengubah doaku menjadi: “Tuhan berilah aku rahmat untuk mengubah semua orang yang berhubungan denganku: keluarga dan kawan-kawanku, dan aku akan merasa puas”.
Sekarang ketika aku sudah menjadi tua dan saat ajal sudah dekat, aku mulai melihat betapa bodohnya aku. Doaku satu-satunya sekarang adalah: “Tuhan berilah aku rahmat untuk mengubah diriku sendiri”.
Seandainya sejak semula aku berdoa demikian, maka aku tidak begitu menyia-nyiakan hidupku.
------------------------------------------
[1] Sebelumnya pernah disampaikan sebagai Ceramah Tema pada Sidang MPL PGI Wilayah Sumatera Utara, Gunungsitoli, 11 Pebruari 2005
[2] Hermeneutik Roma 12 ini terutama mengacu pada uraian Prof. Dr. Ulrich Beyer dalam suratnya secara pribadi kepada Penulis bulan Oktober 2004.
[3] Andar Ismail, Selamat Panjang Umur, Jakarta: BPK, 1995, hlm. 30.
[4] Ibid, hlm 31.
[5] Anthoni de Mello, Burung Berkicau, Jakarta: Cipta Loka Caraka, 1986, hlm. 187

Saturday, May 19, 2007

Pengampunan yang menyembuhkan

(Tulisan berikut diambil dari buku: Victor Tinambunan, Renungan Seputar Kehidupan Keluarga dan Masyarakat)

Pengampunan yang Menyembuhkan[1]
(Bacaan: Kejadian 50:15-21)

Perang kepentingan telah meletus ribuan tahun silam dan “gencatan” senjata tak kunjung tiba. Dampaknya amat kentara di tengah-tengah kita: Bangsa ini telah berulangkali dirundung duka! Setidaknya kalau kita sadar bahwa belum lama ini ribuan orang telah mati tragis dalam perang antar agama di berbagai wilayah di tanah air. (Jadi, tidak tepat kalau disebut hanya konflik antar etnis!). Yang terjadi adalah pertumpahan darah. Persatuan kian terancam menjadi persatean, dimana manusia seolah kesetanan saling bunuh.

Para pelaku kejahatan barangkali masih menganggap dirinya sebagai manusia, namun sesungguhnya mereka telah memerankan dan memamerkan kebinatangbuasannya. Kersajama dan hidup bersama yang sudah pernah mulai tumbuh berulangkali pula layu oleh panasnya geram berbagai pihak. Ini amat memilukan hati dan juga sangat memalukan. Bangsa yang tadinya terkenal santun berubah menjadi sangar dan kasar.

Dalam lingkup global kita juga berhadapan dengan aneka derita yang menerpa umat manusia. Di banyak tempat, penghargaan terhadap hak asasi manusia menciut dan alam pun turut menanggung sengsara yang tidak tangung-tanggung. Berbagai roh zaman kian mencengkram dan mencabik-cabik kehidupan. Berbagai penyakit sosial telah menjangkit ke seantero bumi.

Satu hal yang kiranya menyejukkan hati serta memberi pengharapan kepada kita di tengah suasana seperti ini adalah kenyataan bahwa: Allah yang menyapa dan menolong Yusuf ribuan tahun yang lalu adalah Allah yang hidup, menyapa, berkarya dan menolong kita sampai detik ini –sampai pada saat Anda membaca renungan ini. Sekiranya pengakuan demikian amat sulit bagi kita, marilah kita mohon kiranya Tuhan menumbuhkan kesadaran demikian dalam hati kita.
Barangkali pertanyaan kita (dan mungkin merupakan pertanyaan banyak orang ) dewasa ini adalah: jika Ia adalah Allah yang berkuasa mengapa Ia tidak mengubah keadaan ini, padahal Ia mampu berbuat sesuatu? Saat ini kiranya kita bersedia mengubah pertanyaannya menjadi demikian, “Mengapa manusia membiarkan permusuhan, kesadisan dan peperangan terjadi, padahal Tuhan telah menganugerahkan kepada kita kemampuan untuk mengubah situasi? Artinya, daripada meragukan kuasa Allah lebih baik menggugat diri kita sendiri dan menggugat tindak kekejaman anak-anak zaman ini.

Saudara-saudara Yusuf tiba pada suasana penyesalan berbaur rasa takut. Rasa takut ini bersumber pada asumsi mereka bahwa Yusuf membenci mereka dan ingin membalas dendam. Nampak jelas di sini bahwa kebencian mereka terhadap Yusuf ketika mereka menjualnya sangat nyata, tetapi “kebencian” Yusuf kepada mereka hanyalah angan-angan mereka saja.

Inilah pertama kali saudara-saudara Yusuf menyadari kesalahan mereka. Sepintas lalu nampaknya mereka menyesal hanya karena terpaksa dan terdesak. Namun yang terpenting kita simak adalah kenyataan bahwa mereka (1) mau mengaku bersalah (2) mau menyesali perbuatannya (3) mengusahakan rekonsiliasi (perdamaian).

Yusuf bertindak dengan sangat bijaksana. Ingatlah juga bahwa ia telah melewati dua pencobaan besar dengan gemilang, yang tidak semua orang berhasil menghadapi godaan serupa. Pertama, menolak godaan istri Potifar. Kedua, menolak penyalahgunaan kuasa. Hal ini akan lebih jelas bagi kita dengan memahami bagaimana Yusuf berhadapan dengan tiga “masa”:

(1) Masa silam: kejahatan saudara-saudaranya yang mungkin saja menggores hatinya. Tetapi, di samping itu, ia juga melihat karya Allah dalam setiap peristiwa masa lalu, yang menuntun hidupnya ke arah yang baik. Artinya, perbuatan Tuhan terukir indah dalam sanubarinya. Ketika luka lama (berupa sakit hati, amarah terpendam rasa dendam, dan sebagainya yang menguasai kehidupan, maka hidup pun akan macet dan tidak akan berbuah. Tetapi ketika luka lama sembuh oleh kesabaran, pengampunan dan semangat persaudaraan sejati maka kebahagiaan pun dengan segala buah-buah yang baik akan menjadi bahagian dari kehidupan.
(2) Masa kini: Ia berhadapan dengan saudara-saudaranya secara langsung, yang datang dengan rasa takut. Tetapi Yusuf adalah orang yang takut akan Allah dan ia sedang berhadapan denganNya. Orang yang takut akan Allah tidak perlu ditakuti! “Allahkah aku?”, kata Yusuf. Ia tidak mau mengambil alih hak khusus Allah, yakni: pembalasan. Sebab, pembalasan hanya hak ‘prerogatif’ Allah.
(3) Masa depan: Ia mengatakan, “Aku akan menanggung makananmu dan makanan anak-anakmu” (ay 2). Yang tadinya ditodong, kini berperan sebagai penolong! Hal ini harus kita lihat dalam rangkaian kesadarannya akan pertolongan Allah, bukan atas kekuasaannya pribadi. Dengan demikian, Allah tetap menjadi pusat perhatiannya dalam menghadapi apa dan siapa pun.

Dulu, saudara-saudara Yusuf mengukur kemanusiaan Yusuf sekadar barang “komoditi” yang dapat dijual untuk mendapatkan uang. Tetapi, sekarang Yusuf memperlakukan saudara-saudaranya sebagai manusia yang berharkat. Ia tidak memendam dendam mentang-mentang ia berkuasa. Memang kesempatan untuk membalas dendam sangat terbuka dan mudah baginya. Ia punya kuasa, harta, dan senjata. Hal ini mengingatkan kita bahwa ketika seseorang sungguh-sungguh menyadari kuasa yang dimilikinya bersumber dari Tuhan, ia akan menjalankannya atas dasar takut akan Tuhan. Yusuf menempatkan diri pada jalan Allah. Kalau Allah mau mengampuni, apakah hak kita memendam dendam? Rasa dendam menghancurkan tetapi pengampunan menyembuhkan dan merawat kehidupan.

Pengampunan Yusuf kepada saudara-saudaranya nampaknya tidak tergerak terutama karena hubungan darah selaku anak-anak Yakub, dan bukan pula atas rumusan kata-kata penyesalan saudara-saudaranya, melainkan terutama, ya terutama, karena kesetiannya kepada Allah. Pengampunan itu bahkan sudah terjadi sebelum saudara-saudaranya memintanya.

Sapaan Yusuf sangat meneguhkan hati, “jangan takut!”. Sapaan yang sangat tepat waktu di kala saudara-saudaranya disesah rasa bersalah dan dibelenggu rasa malu dan takut. Ia bahkan sudah mengatakan hal yang sama sebelumnya (Baca Kej 43:23). Yusuf menunjukkan sikap sebagai sahabat dan bukan sebagai musuh yang siap membabat. Saudara-saudara Yusuf siap akan kemungkinan mendapat hukuman, sebaliknya Yusuf siap dengan perdamaian.

Perhatikan bahwa ia tidak mengatakan, “jangan minta!” atau “jangan katakan kamu bersalah!” –seolah-olah Allah membenarkan dan memakai kejahatan saudara-saudaranya itu untuk tujuan baik. Allah dapat saja mengangkat Yusuf menjadi pengurus kerajaan tanpa tindakan jahat saudara-saudaranya. Tetapi, mereka benar-benar telah bersalah! Yusuf sama sekali tidak membenarkan tindakan itu. Kesalahan harus diakui sebagai kesalahan! Perkataan “jangan takut” berarti, “kamu memang bersalah, tetapi saya tidak akan membalaskannya!” Mengapa? Yusuf tidak sama dengan Allah. Pembalasan hanya ada pada Allah (Ul 32:35). Allah juga beberapa kali berfirman, “jangan takut!” (Lihat 15:1; 21:7; 26:24; 46:3). Yusuf hanya sebagai alat Allah dan tidak pernah menjadi pengganti Allah. Karena itu, percaya kepada Allah berarti hidup seturut dengan kehendakNya.

Mengalahkan kejahatan dengan kebaikan merupakan keteladanan yang sangat berharga dari Yusuf. Ia akan menyediakan kebutuhan saudara-saudaranya. Yusuf betul-betul menggantikan ketakutan mereka menjadi kecukupan dan kegembiraan. Ini terkait erat dengan iman Yusuf kepada Allah. Jaminan ini tidak mengemuka berdasarkan kemampuannya sendiri, melainkan atas keyakinan akan pemeliharaan Allah.

Dalam dunia yang penuh kelaliman hal ini di luar kelaziman. Sejarah amat sarat dengan peristiwa di mana para penguasa secara leluasa memangsa setiap orang yang dianggap “saingan”. Kita mendengar bahkan menyaksikan orang yang mabuk kuasa yang tidak saja memangsa musuh-musuhnya tetapi juga menghabisi orang-orang lemah yang berjuang hanya untuk sesuap nasi. Untuk meraih kekuasaan seringkali calon penguasa begitu menghormati masyarakat melalui kata-kata manis tetapi setelah mendapat kursi dan posisi, akhirnya korupsi dan kolusi menjadi prioritas utama. Anggota masyarakat yang tadinya dihormati dengan kata-kata manis berubah menjadi sekedar “barang dagangan”.

Belajar dari firman Tuhan ini kiranya pantas kita simak bahwa ketika Allah mengisi dan menguasai hati kita –sama seperti Yusuf-- maka pengampunan akan mengalir seperti air yang menyejukkan dan menghidupkan. Ini perlu mendapat perhatian kita secara khusus karena perdamaian dan persaudaraan sejati hanya dapat terbangun atas dasar “pengampunan yang aktif”. Pengampunan yang aktif dimaksudkan sebagai pengampunan yang tidak membenarkan apalagi membiarkan segala tindak kejahatan. Tetapi juga merupakan tanggung jawab kita untuk memberi tempat bertumbuhnya kesadaran dan persaudaraan. Kebencian membunuh kreativitas, memandulkan rasa persaudaraan dan menghambat pertobatan.

Peristiwa ini sama sekali tidak mengabsahkan berbagai tindakan “menjual” sesama pada zaman ini dengan harapan bahwa Tuhan akan memakai kesempatan itu sebagai proses pelatihan seseorang menjadi pemimpin yang tangguh. Juga, tidak menganjurkan agar kita merelakan diri dijual, dengan harapan bahwa pada akhirnya toh kita akan mempunyai tahta dan harta. Malah kita harus menentang setiap praktek memperjual-belikan sesama manusia dengan tujuan apa pun.
Sekarang dan di masa depan peran kita akan amat beragam. Perlu kiranya disadari bahwa masa depan hanya dapat terbangun melalui ketaatan total kepada Allah. Karena itu, setiap saat mestinya merupakan kesempatan yang penuh rahmat bagi kita untuk memperlengkapi diri kita dengan memperteguh iman, mempertajam kepekaan sosial, dan berjuang dengan sungguh-sungguh.

REFLEKSI PRIBADI ATAU DISKUSI BERSAMA

1. Setelah mengamati kenyataan kehidupan di sekitar kita:
? Sebutkanlah bentuk-bentuk penghianatan dan praktek “penjualan” sesama yang terjadi dalam masyarakat kita?
? Dalam situasi konkret yang kita hadapi, apa saja yang memberi pengharapan kepada kita berdasarkan iman dan kesadaran kita bahwa Allah sedang melakukan sesuatu untuk mendatangkan kebaikan?
? Pengampunan Yusuf kepada saudara-saudaranya menyembuhkan dan memulihkan persaudaraan. Dalam keadaan masyarakat kita yang sedang menderita penyakit sosial yang sangat parah (karena permusuhan dan peperangan), bagaimana pengampunan kita pahami dan terapkan secara konkret?
2. Dalam kondisi masyarakat kita yang diwarnai oleh berbagai ketidakadilan, ada beberapa kemungkinan posisi kita, di antaranya adalah: (1) Korban ketidakadilan, dimana hak-hak kita diabaikan, ada yang berjuang atetapi ada juga yang pasrah; (2) Pelaku langsung ketidakadilan: pelaku Korupsi, Kolusi, Kekerasan dan Nepotisme (K3N), menjual sesama, dan sebagainya. (3) Pelaku tidak langsung ketidakadilan, tetapi dibesarkan oleh hasil ketidakadilan, misalnya orangtua kita pelaku K3N, menindas dan ‘menjual’ orang lain. (4) Bukan korban dan bukan pelaku ketidakadilan, tetapi tidak perduli terhadap masalah ketidakdilan, atau hanya sebatas penonton yang setia. (5) Bukan korban dan bukan pelaku ketidakadilan serta terlibat dalam usaha-usaha advokasi.
Dengan pertolongan Tuhan, temukan dan renungkanlah posisi Anda, kemudian diskusikan bagaimana peran kita melawan ketidakadilan.
[1] Pernah disampaikan pada Pemahaman Alkitab Konferensi Pemuda HKBP (2000) di Sidikalang

Comment:
Ferdinand Nainggolan said:

Amang Pdt. Victor Tinambunan, PhD ( Candidate ) Yth. Sepakat penghinaan dan penindasan menghancurkan perasaan, tetapi pengampunan menyejukkan hati. Tuhan memakai Amang melalui tulisan dan pemberitaan firman Tuhan. Tuhan memberkati
August 8, 2007 11:30 PM

Terima kasih amang Dr Nainggolan atas comment, dorongan dan doanya. Salam

Orangtua dan Anak


Orangtua dan Anak:
Kuasa atau Kasih?
[1]

Dan kamu, bapa-bapa, janganlah bangkitkan amarah di dalam hati anak-anakmu, tetapi didiklah mereka di dalam ajaran dan nasihat Tuhan (Efesus 6:4)

Kelahiran dan kehadiran seorang anak dalam keluarga merupakan salah satu peristiwa dimana Allah menyatakan kehadiran dan karyaNya yang masih sedang berlangsung. (Tidak berarti bahwa Allah tidak bekerja di tengah keluarga yang tidak atau belum memiliki anak.) Karena itu, menyambut seorang anak adalah menyambut anugerah Tuhan dengan sukacita dan ucapan syukur. Sebagai anugerah, mereka harus dibesarkan dalam keramahan dan bukan kemarahan.

Sekilas pandang, ada yang aneh di sini. Mengapa Paulus berbicara tentang hubungan orangtua dan anak? Jelas, tidak menjadi soal apakah Paulus mempunyai pengalaman mendidik anak atau tidak. Yang paling penting adalah bahwa Paulus mengingat anak-anak yang tidak dilupakan oleh Kristus. Paulus peduli kepada anak-anak karena Kristus peduli kepada mereka. Paulus benar-benar mengikut Kristus dan karena itu ia sungguh-sungguh bergerak seirama dengan gerak Kristus. Tuhan Yesus telah dan sedang menunjukkan kepedulian dan kasihNya kepada anak-anak. RangkulanNya yang begitu hangat dan bersahabat memungkinkan anak-anak bertumbuh dalam suasana rahmat. Dalam hal ini, anak-anak tidak terutama dilihat dari segi “kepemilikan” orangtuanya tetapi dari kepemilikan Kristus; tidak terutama dilihat sebagai tanggungan orangtua tetapi tanggungan dan pemeliharaan Kristus.

Dalam kaitan itu, keluarga merupakan persekutuan iman dengan segala perwujudannya. Artinya, keluarga merupakan jemaat; dan jemaat –sebagaimana disebut oleh Paulus—merupakan satu tubuh dan Kristus adalah kepala. Ketika Kristus menjanjikan dan menjamin: “Aku menyertai kamu senantiasa sampai kepada akhir zaman”, itu berlaku juga untuk keluarga; sampai pada hari ini!

PANGGILAN ORANGTUA: TERBUKA KEPADA KRISTUS

Ayat 4 dimulai dengan “jangan membangkitkan amarah…”, tidak dimulai dengan pernyataan positif “didiklah mereka”. Berbeda dengan ayat sebelum dan sesudahnya, yang dimulai dengan pernyataan: “hai anak-anak, taatilah orangtuamu di dalam Tuhan” (ay 1); hai hamba-hamba, taatilah tuanmu…” (ay 5) ”. Perlakuan membangkitkan amarah dalam hati anak-anak seperti itu mungkin sedang menggejala atau bahkan merajalela ketika itu, sehingga seruan “jangan” lebih mengemuka.

Kepemimpinan seorang bapak yang otoriter biasanya ditandai dengan dua pasal “undang-undang dasar” yang berlaku dalam keluarga.

Pasal 1: Bapak tidak pernah salah.
Pasal 2: Jika bapak salah, berlakukan
pasal 1: bapak tidak pernah salah.

Itu sebabnya ada orangtua yang tidak pernah bersedia meminta maaf kepada anaknya. Tidak heran juga, jika ada anak-anak yang lebih bergembira dan merasa bebas kalau mereka berpisah dengan orangtuanya untuk sementara waktu. Ini merupakan salah satu pertanda pudarnya keakraban di tengah keluarga.

Generasi muda yang memendam amarah dan kebencian dalam hatinya --dan karena itu hidupnya dikendalikan oleh amarah dan kebencian-- menjadikan mereka tertutup kepada Allah, tertutup kepada kebenaran, dan –celakanya—tertutup terhadap kehidupan itu sendiri. Mereka akan cenderung mencari “keakraban” di luar rumah seiring dengan lenyapnya keakraban di dalam keluarga. “Keakraban” di luar rumah ini sering mewujud dengan mengkonsumsi narkotik dan obat terlarang. Ini merupakan semacam “bunuh diri kredit” (angsuran kematian) yang menghancurkan masa depan mereka.

“Jangan membangkitkan amarah di dalam hati anak-anakmu”! Mengapa? Bisa saja anak-anak tidak mengungkapkan kemarahannya tetapi menyimpannya dalam hatinya yang pada gilirannya berkembang menjadi kebencian dan penolakan kepada orangtuanya. Jika kemarahan bersarang dalam hati anak-anak, maka kepatuhan mereka terhadap orangtuanya pun tidak akan tergerak oleh kesadaran dan ketulusan. Mereka berhadapan dengan orangtua yang ‘ditakuti’ karena ‘kuasa’ bukan orangtua yang disegani dan dihormati karena wibawa: yaitu wibawa karena meneladani Kristus dalam kasih dan kepedulianNya kepada anak-anak.

Keluar an 20:12 yang berbunyi, “hormatilah ayah dan ibumu, supaya lanjut umurmu di tanah yang diberikan Tuhan, Allahmu, kepadamu”, merupakan “standar sosial” umat Israel. Bedanya, pada zaman Paulus, peranan kasih orangtua sangat ditekankan. Sebab, sangat sulit (kalau tidak mustahil) ‘menuntut’ anak-anak menghormati orangtuanya, jika ia tidak mendapat kasih sayang orangtuanya. Orangtua, sebagaimana dinasihatkan disini, adalah orangtua yang tidak terutama menuntut rasa hormat dari anak-anak tetapi menuntut diri sendiri untuk mengasihi dan memberi teladan kepada anak-anaknya.

Salah satu godaan yang bisa saja menghinggapi orangtua adalah menuntut anak-anak dengan mengatakan “lakukan seperti yang saya katakan!” bukan “lakukan seperti yang saya lakukan!” (teladani apa yang saya lakukan!). Kepatuhan yang tulus dari seorang anak kepada orangtuanya dimungkinkan dalam suasana penuh kasih antara orangtua dan anaknya.

Nasihat yang segar hanya dapat mengalir dari hati yang tenteram dan sejuk. Dalam hal ini, orangtua perlu memohon agar Tuhan menganugerahkan “lidah seorang murid” (Yes 50:4). Menyampaikan nasihat memang sulit, tetapi dengan ‘lidah seorang murid’ orangtua dapat mengkomunikasikan sesuatu dengan baik kepada anak-anaknya. Yang jauh lebih sulit adalah memberikan keteladanan. Sebab, seribu nasihat bisa saja tidak bermakna apa-apa tanpa satu keteladanan. Artinya, nasihat tidak terbatas pada kata-kata saja tetapi hidup yang meneladani Kristus, yakni: meneladani Kristus yang lemah lembut dan ramah (2 Kor 10:1), mengasihi, mengampuni, memberi perhatian kepada orang-orang kecil; memberi hidup, dan juga bersikap tegas dan keras menentang kemunafikan dan ketidakadilan.

Orangtua yang tidak membangkitkan amarah dalam hati anak-anak adalah orangtua yang membuka hatinya untuk ditenteramkan oleh Tuhan; hati yang diisi dengan hukum kasih yang dari Tuhan; orangtua yang meneduhkan dirinya dalam perlindungan Tuhan. Dalam hal ini posisi anak dan orangtua sama, yakni: sama-sama sebagai anak dan murid Tuhan Yesus. Karena itu, semua orang pantas dihargai dan dihormati.

Mendidik “dalam ajaran dan nasihat Tuhan”, juga berarti “bersama-sama dengan Tuhan”. Tuhan tetap pemilik anak. Tuhan tetap berperan sebagai pemelihara anak. Disini, orangtua berperan sebagai “rekan sekerja Tuhan”.

Tugas panggilan orangtua tidak hanya sekadar mengajar “tentang” Kristus kepada anak-anak, tetapi (dan terutama) bersama-sama datang kepada Kristus. Orangtua dan anak-anak bersama-sama terbuka kepada Kristus! Hanya dengan demikian orangtua dapat menasihati dari kedalaman hati: hati yang disentuh dan didiami oleh Kristus. Sebab, sesungguhnya orangtua yang layak didengar adalah orangtua yang mau dan mampu mendengar Kristus dalam hidupnya. Yang layak ditaati adalah orangtua yang taat kepada Allah.

Nasihat “didiklah” (tidak dikatakan “ajarlah!”), juga berarti “bawa atau arahkan meneladani Kristus”. Dan nasihat ini terkait erat dengan disiplin, baik dalam “kata” maupun “perbuatan”. Disiplin (ada hubungannya dengan disciple) artinya: hidup sebagai seorang murid, yang dalam hal ini sebagai seorang murid Kristus. Sosok orangtua yang layak mendidik anaknya, sebagaimana digambarkan Paulus di sini, adalah orangtua yang berdisiplin, yang bertindak sebagai murid Kristus juga. Jadi, didikan orangtua tidak sebatas agar anak berdisiplin soal waktu, tahu tata krama dsb, tetapi terutama menyangkut iman dan ketaatannya kepada Tuhan. Jika demikian, anak-anak pun akan terbimbing untuk melihat dan memperlakukan orangtuanya sebagai “tangan” Allah. Kepatuhannya juga akan senantiasa digerakkan oleh kepatuhan kepada Tuhan.

Dalam Perjanjian Baru peranan “pendidik” (paedagogos) umumnya berperan mendampingi seorang anak ke sekolah, menjaga agar terhindar dari bahaya, mengawasi tingkah lakunya di sekolah, di jalan, mengajar soal moral dan sebaginya. Paedagogos yang baik adalah perpaduan fungsi seorang perawat, pendamping dan pembimbing. Inilah salah satu tugas utama orangtua seirama dengan karya Kristus yang merawat, mendampingi dan membimbing anak-anak.

Hal ini mengingatkan kita kepada salah satu pertanyaan yang harus dijawab orangtua ketika membawa anaknya untuk dibaptiskan yang berbunyi: “Apakah saudara-saudara bersedia membimbing anak-anak ini agar mereka mengetahui dan melakukan firman Allah?” Orangtua menjawab, “ya saya bersedia”. “Mengetahui” dalam konteks ini, juga dimaksudkan agar anak-anak “merasakan karya Allah melalui seluruh kehidupan orangtuanya”. Anak-anak merasakan kasih Kristus melalui kasih orangtuanya.

PENDIDIKAN: MENELADANI KRISTUS

Ajaran dan nasihat Tuhan sebenarnya menyatu dalam “kasih”. Kasih di sini tidak saja sebatas hubungan interpersonal “aku-engkau”, tetapi kasih yang menjangkau setiap dan semua manusia. Dapat kita catat bahwa Hitler, yang sadis itu, misalnya sangat ‘mengasihi’ keluarganya. Ia bahkan berdoa dan membaca Alkitab secara rutin bersama keluarganya. Tetapi ia begitu sadis hingga membunuh banyak orang. Inilah bentuk “kasih” yang tidak menjangkau orang lain. Orang yang terbuka kepada Kristus selalu anti terhadap segala sesuatu yang merusak kehidupan. Orang yang terbuka kepada Kristus, selalu terbuka kepada sesama manusia yang di tengah-tengah mereka Kristus berkarya.

Mendidik dalam ajaran dan nasihat Tuhan, mencakup pendidikan kepekaan anak terhadap karya Kristus menegakkan keadilan dan kebenaran di dunia ini. Dalam kerangka kepedulian ini juga dibutuhkan sikap “kritis” yaitu menguji segala sesuatu dalam terang kehendak Kristus.

Pertanyaannya adalah, “apakah gerak keluarga kita memang sesuai dengan gerak pembebasan Kristus?” Pengakuan keluarga akan tindakan Kristus yang adil, mejadi dasar bagi kemampuan keluarga memihak kepada keadilan dan kebenaran. Jika satu keluarga sungguh-sungguh berhadapan dengan Kristus yang memberi diriNya bagi kehidupan manusia, maka keluarga itu juga akan bertindak seturut dengan pembebasan Kristus di dunia ini.

Dari keseluruhan perenungan di atas, yang kita pahami bersama Rasul Paulus adalah bahwa didikan kita mesti bertolak dari keterbukaan akan Kristus. Keterbukaan ini, akan nyata dalam kesediaan orangtua memperlakukan anak-anak sebagaimana Kristus memperlakukan mereka. Di situlah seluruh kehidupan keluarga bergerak dan punya arti!

Akhirnya, ijinkanlah saya mengajak pembaca yang budiman untuk berbicara dalam keterbukaan akan Kristus, merenungkan di hadapanNya beberapa pertanyaan ini.

1. Apakah dalam hidup bapak dan ibu pernah mengalami seolah-olah peristiwa pendidikan Tuhan tidak terjadi dalam keluarga kita? Mengapa!
2. Pernahkan terjadi, bahwa bapak dan ibu begitu bergairah atau bersemangat menasihati anak-anak atau generasi muda, tetapi jauh dari Kristus?
3. Apakah ada gerak dalam keluarga kita yang menyuburkan sikap di mana kita tidak terlibat dalam gerak Kristus yang peduli terhadap kehidupan sesama kita?
4. Apakah kita terbuka pada penyegaran kembali akan kasih, nasihat dan ajaran Kristus? Bila demikian, penyegaran ini akan kita temukan di saat kita mengasihi anak-anak dan generasi muda.
[1] Sebelumnya pernah disajikan sebagai pengantar Pemahaman Alkitab pada Sinode Agung HKBP (2000)

Masalah Kekerasan

KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA (KDRT)
Ditinjau dari Ajaran Martin Luther
[1]


Jika setiap keluarga menyapu halaman rumahnya,
Maka seluruh kota akan bersih.

(Pepatah Jerman)

PENGANTAR

Reformator Luther amat prihatin terhadap masalah para orangtua dan kaum muda pada zamannya, yang ia sebut tidak terkendalikan. Luther berkata, “Orangtua juga tak banyak gunanya. Orang tolol justru mendidik orang tolol. Anak-anak mereka hidup sama seperti orangtuanya”[2] Berkaitan dengan keprihatinan itu Luther berusaha mengajak para orangtua dan anak-anak untuk sungguh-sungguh berpaling pada Allah dan menghayati firmanNya dengan benar.
Luther tidak saja mengajak atau menasihatkan, tetapi ia menghidupi apa yang ia imani dan melakukan apa yang ia katakan. Ia berdoa setiap pagi dan setiap ada kesempatan, dengan Doa Bapa kami, Kesepuluh Firman, Pengakuan Iman Rasuli, membaca mazmur, bahkan membaca katekismus juga.

PERNIKAHAN

Akhir-akhir ini tidak sedikit keluarga yang kandas pada perceraian. Kenyataan ini lebih parah di negara-negara maju seperti Amerika Serikat, negara-negara Eropa dan lain-lain yang tingkat perceraiannya sangat tinggi. Di negara-negara tersebut terdapat banyak single parent yang berdampak buruk pada perkembangan dan kepribadian anak-anak di tengah keluarga. Pengalaman serupa sudah mulai melanda Indonesia, terutama di kota-kota termasuk di dalamnya keluarga-keluarga Kristen.

Dalam sebuah ‘kotbah pernikahan’ yang disampaikan oleh Luther, ia menekankan ‘kasih’ sebagai nilai dan pengikat tertinggi sebuah pernikahan. Pernikahan adalah sebuah perjanjian kesetiaan.[3] Luther menekankan perlunya pendampingan pra-nikah, baik dari orangtua maupun dari Gereja. “Janganlah seseorang buru-buru menikah sebelum memahami hukum Tuhan dan sebelum dapat berdoa dengan baik.”[4]

Seperti sudah disinggung sebelumnya, bahwa seluruh uraian Luther tentang pernikahan mencerminkan bahwa ia menjungjung tinggi kesetaraan. Hal ini terlihat misalnya dengan kata kunci saling. Di antaranya:

- “Sungguh penting suami dan istri hidup bersama-sama dalam kasih dan kerukunan, sehingga mereka saling memperhatikan dengan sepenuh hati dan benar-benar setia satu sama lain (saling setia)”[5]
- Luther menegaskan bahwa “Paulus terus menerus mengingatkan para suami dan istri untuk saling mengasihi dan menghormati”.[6]

Apa yang diungkapkan oleh Luther perlu mendapat perhatian khusus keluarga Kristen dewasa ini. Data-data menunjukkan bahwa tingkat perceraian keluarga Kristen meningkat dari tahun ke tahun (terutama di kota-kota).

ORANGTUA TERHADAP ANAK

Tidak diragukan bahwa Martin Luther sangat memberi perhatian pada anak-anak. Ia menyusun Katekismus untuk mengajar anak-anak dan orang awam agar bertumbuh dalam iman dan ketaatan kepada Tuhan.

(1) Tugas Orangtua

Usaha utama para orangtua adalah menasihati dan membina anak-anak untuk menjunjung tinggi Firman Tuhan. Tugas ini sudah ditegaskan secara khusus ketika orangtua membawa anaknya untuk dibaptiskan.

Luther menegaskan, hendaknya orangtua tidak mempersiapkan anak-anaknya hanya untuk menyenangkan dunia dan menjadi kaya, tetapi sejak dini harus dipersiapkan menjadi seorang Kristen yang baik.[7] Penegasan Luther ini perlu mendapat perhatian khusus para orangtua dewasa ini di tengah kecenderungan banyak orangtua yang lebih memikirkan pendidikan anaknya supaya kelak mendapat pekerjaan, jabatan dan menjadi kaya, tetapi kurang menekankan pendidikan karakter dan nurani. Hal ini amat kentara dengan hilangnya persekutuan doa di keluarga dan kurangnya keaktifan kaum muda dalam mengikuti ibadah di gereja.

Dengan tegas Luther mengatakan, “Setiap kepala keluarga harus mengingat bahwa oleh pesan dan perintah Allah mereka wajib mengajar dan mengusahakan agar anak-anak mereka mempelajari apa yang seharusnya mereka ketahui. Mereka hendaknya aktif dalam perayaan Perjamuan Kudus.[8]

Para orangtua juga hendaknya mengharuskan anak-anak dan pemuda untuk aktif dalam ibadah Minggu. Sebab, hari Minggu dimaksudkan juga untuk memberitakan firman Allah kepada kaum muda dan orang banyak (Penjelasan Hukum Taurat IV). Seruan Luther tidak mendapat tempat sepantasnya pada orang-orang Jerman hingga hari ini, terbukti dengan kehadiran peserta kebaktian di gereja-gereja Jerman yang sangat sedikit jumlahnya. Kenyataan ini hendaknya tidak terjadi pada gereja-gereja di Indonesia.

Sebuah hasil penelitian akhir-akhir ini menunjukkan bahwa rata-rata Kecerdasan Intelektual (IQ) generasi sekarang lebih tinggi dibandingkan dengan satu generasi sebelumnya, tetapi Kecerdasan Emosional (EQ) generasi sebelumnya lebih baik ketimbang generasi sekarang. Hal ini dapat dimengerti mengingat perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang memungkinkan fasilitas generasi sekarang lebih baik seperti adanya komputer, internet dan sebagainya yang sebelumnya umumnya tidak digunakan oleh orangtua mereka. Tetapi perbaikan berbagai fasilitas yang ada itu tidak serta merta diimbangi dengan pendidikan karakter generasi muda. Itu sebabnya ada kesan bahwa anak-anak atau pemuda sekarang lebih tidak peduli, memiliki tata krama yang rendah dan sebagainya dibandingkan dengan orangtua mereka.

(2) Metode Pendidikan Anak

Ada begitu banyak kasus kekerasan terhadap anak, walaupun terkadang dikemas dalam slogan demi pendidikan anak. Tidak sedikit anak yang mengalami tindak kekerasan di tengah keluarga, mengalami kekerasan juga di lingkungan sekolah oleh guru, bahkan –ironisnya—ada pula anak-anak sekolah Minggu yang dipukul oleh guru Sekolah Minggu supaya diam dan tenteram. Di manakah tempat yang aman bagi seorang anak yang mengalami hal demikian setiap hari?

Luther menekankan bahwa cara pendidikan anak-anak dan kaum muda hendaknyalah dengan cara sederhana, ramah, gembira dan bergurau (Lihat uraian Luther tentang Hukum Taurat II). Itu artinya menghindari segala bentuk kekerasan seperti kekerasan fisik (memukul, menjewer dan sebagainya) dan kekerasan psikologis: mengancam, menakut-nakuti, menghina, merendahkan dan sebagainya).

Luther menganjurkan agar setiap kepala keluarga wajib menanya anak-anaknya sekurang-kurangnya sekali seminggu untuk melihat apakah mereka telah mempelajari katekismus dan sejauh mana mereka mengetahuinya. Orangtua perlu melatih anak-anak untuk mengulangi setiap hari, ketika mereka bangun tidur, ketika mereka hendak makan dan ketika mereka hendak tidur malam.[9] Luther sendiri menerapkannya kepada anaknya.[10]

Sebagai tambahan, orangtua dapat mengajar anak-anak dengan mazmur dan kidung pujian yang didasarkan pada Katekismus, untuk meresapkan apa yang telah mereka pelajari, supaya kaum muda dituntun kepada Kitab Suci dan makin berkembang setiap hari.

Jika orangtua gagal mendidik anaknya, Luther menganjurkan agar orangtua meminta pertolongan orang lain. Semua usaha perlu ditempuh karena, seperti Luther katakan, ‘anak-anakmu adalah gereja, mimbar, dan perjanjian”.[11]

Apa yang dikemukakan oleh Luther secara tidak langsung berpadanan dengan kerinduan Mahatma Gandhi yang dengan amat mengesankan mengatakan sebagai berikut.

Kalau kita berusaha untuk menciptakan damai di dunia ini, kita harus mulai dengan anak-anak. Dan kalau mereka bertumbuh dalam keluguan alaminya, kita akan memperoleh buah-buah yang dicita-citakan dan kita akan hidup dengan memiliki semangat kasih agar mampu menjadi mengasihi dan memiliki semangat damai sehingga mampu menjadi pencipta perdamaian, hingga akhirnya semua sudut penjuru dunia diliputi oleh perdamaian dan kasih, yang entah disadari atau tidak disadari merupakan kehausan seluruh jagat raya ini.[12]

Dapat ditambahkan bahwa keberadaan anak di tengah keluarga, bukanlah sebagai aset atau sebuah alat pencapaian cita-cita orangtua semata. Sebagai yang demikian, segala unsur pemaksaan ‘memformat’ anak sepenuhnya menurut kehendak orangtua (biasanya disebut dengan mental pigmalion) mesti dihapus dari kamus keluarga.

Seorang pakar dan pemerhati pendidikan terkemuka di Indonesia, D. Drost, SJ., misalnya menyebut beberapa kesalahan yang cukup sering dibuat orangtua, yakni:[13]
¨ Menuntut Sekolah TK mengajarkan berhitung dan membaca, dan menuntut SD mengajarkan bahasa Inggris.
¨ Menyuruh anak SD yang peringkatnya biasa-biasa saja mengikuti bimbingan belajar dan mencarikan guru les untuk meningkatkan peringkatnya.
¨ Memaksa anak TK dan SD masuk les musik dan tari, padahal anak tidak berbakat.
¨ Mencarikan anak SLTP guru-guru les supaya peringkatnya tinggi.
¨ Memaksa anak SLTP masuk SLTA yang terlalu berat.

Semuanya itu, masih menurut Drost, memperlihatkan bahwa orangtua tidak menerima anak apa adanya. Anak bukan anak itu lagi, tetapi rekaan orangtua. Tidak lagi demi kebahagiaan anak, tetapi demi kepuasan orangtua. Itu bukan bimbingan, melainkan penggiringan.
Dapat dibayangkan bagaimana seorang anak akan merasa tertekan bahkan frustrasi dengan penggiringan demikian. Konsekuensinya, anak akan bertumbuh dalam suasana tertekan dan kehilangan kegembiraan sebagai salah satu penghambat pertumbuhan kepribadian dan karakter yang sehat.

Dapat ditambahkan bahwa apa yang diungkapkan oleh Dorothy Nolte berikut dapat menjadi pertimbangan bagi para orangtua dalam pendidikan anak:[14]
Jika anak dibesarkan dengan celaan
Ia belajar memaki.
Jika anak dibesarkan dalam permusuhan,
Ia belajar berkelahi
Jika anak dibesarkan dengan cemoohan,
Ia belajar rendah diri
Jika anak dibesarkan dengan penghinaan
Ia belajar menyesali diri
Jika anak dibesarkan dengan toleransi,
Ia belajar menahan diri.
Jika anak dibesarkan dengan dorongan,
Ia belajar percaya diri.
Jika anak diajarkan dengan sebaik-baiknya perlakuan,
Ia belajar keadilan
Jika anak dibesarkan dengan kasih sayang,
Ia belajar menemukan cinta dan keadilan.

Yang hendak dikemukakan di sini ialah pentingnya orangtua memohon hikmat dari Tuhan untuk memampukan mereka mendidik dan mengasihi anak-anak sebagaimana Tuhan sangat mengasihi anak-anak.[15]

(3) Masalah Kekerasan Terhadap Anak

Amat tegas dan jelas bahwa Luther anti-kekerasan terhadap anak. Ia mengatakan, “kalau kita harus memaksa mereka dengan rotan dan tamparan, kita tidak akan membuat mereka menjadi orang yang berbudi; paling-paling mereka baik selama mereka diancam dengan rotan. Pendidikan yang saya maksudkan berakar dalam hati dan melatih anak-anak dan kaum muda untuk menghormati Allah, bukan rotan dan pentung.”

Luther berpendapat bahwa sesuatu yang baik akan berakar, bertumbuh dan berbuah dan akan berkembang menjadi orang-orang yang dapat memberi kegembiraan dan kesukaan bagi seluruh negeri.

Karena itu, masih menurut Luther, hendaknya kita menghimbau dan mendorong anak-anak untuk menghormati nama Allah serta terus menggunakannya dalam hal apa pun yang terjadi atas mereka atau apa pun yang mereka perhatikan. (Lihat Penjelasan tentang Hukum Taurat II)

Dapat ditambahkan bahwa Luther dengan tegas mengatakan bahwa kita tidak dapat memaksa seseorang untuk beriman (termasuk orang tua tidak dapat memaksa anak-anaknya untuk beriman), (Pengantar Katekismus Kecil). Kata ‘memaksa’ di sini identik dengan kekerasan.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kekerasan terhadap anak dalam bentuk kekerasan psikologis (mengancam, menakut-nakuti, merendahkan, menghina dll.), kekerasan fisik (memukul, melukai, memaksa bekerja melampaui kemampuan anak dsb) serta kekerasan non-fisik (seperti pengabaian dengan tidak memberikan pengobatan jika anak sakit) harus dihindari.

ANAK TERHADAP ORANGTUA

Dalam berbagai kesempatan, Luther menekankan sikap baik anak terhadap orangtua seperti mengasihi, menghormati, memperhatikan kebutuhan mereka ketika mereka tua atau sakit dan sebagainya.

(1) Sikap Anak terhadap Orangtua

Luther menekankan bahwa Allah tidak hanya menyuruh kita ‘mengasihi’ orangtua tetapi juga menghormatinya.[16] Hal ini dapat dimengerti karena anak-anak mendapat kasih Allah melalui kasih orang tua. Pemeliharaan Allah nyata melalui pemeliharaan orangtua terhadap anak. “Mereka (anak-anak) memperoleh tubuh dan hidup dari orangtuanya, serta dipelihara dan diasuh oleh mereka. Jika tidak, tentu sudah ratusan kali mereka mati lemas dalam kotorannya sendiri”.[17]

Karena itu, menurut Luther, anak-anak harus mengasihi dan menghormati orangtuanya yang mewujud dalam sikap sopan, rendah hati, berbicara kepada mereka dengan penuh kasih dan kelembutan, tidak menghardik. Luther menambahkan, anak harus mengormati orangtua mereka kendatipun mereka sangat hina, miskin, lemah dan aneh, mereka tetaplah ayah dan ibu yang diberikan Allah.[18]
[1] Merupakan pengembangan dari ceramah yang disampaikan pada Lokakarya Theologia bagi Warga Gereja, Toledo Inn, Ambarita-Samosir, 11 Nopember 2005
[2] Martin Luther, 1996, hlm. 56
[3] Timothy F. Lull (Ed.), Op.Cit., hlm. 633
[4] Ibid., hlm. 635
[5] Martin Luther, 1996, hlm. 82
[6] Ibid., hlm 83
[7] Timothy F. Lull, op.cit., hlm. .636
[8] Martin Luther, 1996, hlm. 227-228
[9] Martin Luther, 1996, hlm 9
[10] John Bidel Pasaribu (Penerj.), Katekismus Dr Martin Luther, Jakarta: Yayasan Borbor, 2004, hlm. 30.
[11] Timothy F. Lull, Op.Cit., hlm. 637
[12] Dikutip oleh Paskalis Bruno Syukur, “Pendidikan dan Sekolah Berwawasan Ekologis dalam Terang Pemikiran Bonaventura”, dalam Eddy Kristiyanto, (Ed.), Spiritualitas dan Masalah Sosial, Jakarta: Obor, 2005, hlm. 139
[13] J. Drost, Dari KBK sampai MBS. Esai-esai Pendidikan, Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2005, hlm. 103
[14] Sebagaimana dikutip oleh Agustinus Alibata, “Anak-anak Korban Pola Asuh Orangtua” dalam KOMPAS, edisi Minggu, 7 April 2002, hlm. 27
[15] Uraian lebih rinci tentang hal ini lihat Victor Tinambunan, Renungan Seputar Kehidupan Keluarga dan Masyarakat, Gunungsitoli: STT BNKP, 2004, khususnya bagian “Orangtua dan Anak: Kuasa atau kasih”, hlm. 79
[16] Martin Luther, 1996, hlm. 51
[17] Ibid., hlm. 58
[18] Ibid., hlm. 51

Ekologi 1

(Tulisan berikut diambil dari buku: Victor Tinambunan, Gereja dan Orang Percaya: Oleh Rahmat Menjadi Berkat)

TUGAS PANGGILAN
MENGHARGAI CIPTAAN ALLAH
[1]

Firman Tuhan terpadu dalam dua volume, yaitu
dalam alam ciptaan dan dalam Kitab Suci.
Thomas Aquinas (1225-1274)

Allah menuliskan firmanNya tidak saja di dalam Alkitab,
Tetapi juga pada pohon, bunga, awan dan bintang-bintang.
Martin Luther (1483-1546)


DI MANA KITA BERADA?

Dalam hal masalah lingkungan hidup, kita tidak sedang berada di persimpangan jalan di mana kita bisa sejenak beristirahat dan membuat pilihan sederhana antara dua jalan: yang satu jalan kehidupan dan yang lain jalan menuju kematian. Kita sudah menempuh jarak yang jauh dalam jalan menuju kepunahan karena penghancuran lingkungan hidup.[2]

Masalah krisis ekologi merupakan salah satu masalah terbesar dunia masakini. Akan tetapi, penanggulangan yang konkret masih jauh dari yang dibutuhkan. Memang, dalam tataran wacana boleh dikatakan agak memadai dengan munculnya berbagai persidangan dari tingkat nasional hingga internasional, berbagai seminar dan terbitan buku-buku (termasuk di bidang teologi) berkaitan dengan masalah krisis ekologis dan upaya penanggulangannya.

Fakta-fakta krisis ekologis dewasa ini sangat kasat mata. Misalnya, hutan Indonesia mengalami kerusakan sekitar 2,8-3 juta hektare setiap tahun. Sedangkan hutan dunia mengalami kerusakan seluas ¾ wilayah Korea setiap tahun. Akibatnya amat kentara dengan terjadinya berbagai peristiwa banjir, tanah longsor, pemanasan global dan sebagainya. Khusus mengenai yang terakhir ini dapat disebutkan bahwa suhu kota Medan misalnya, saat ini terkadang sudah mencapai 33° C, yang 15-20 tahun silam suhu paling tinggi mencapai 31° C. Jadi, warming global (pemanasan global) bukan lagi sekadar wacana, ia sudah persis di depan mata.

Apa dampak warming global? Para pakar sudah dengan gamblang menjelaskan bahwa pemanasan global akan berdampak pada naiknya permukaan laut karena es di daerah kutub bumi mencair. Sudah ada penelitian bahwa luas es di kutub bumi sudah semakin berkurang. Konsekuensinya, wilayah-wilayah yang rendah di atas permukaan laut akan terancam tenggelam. Misalnya, sudah ada sinyal bahwa akan ada saatnya Jakarta Utara akan hilang ditelan laut karena naiknya permukaan laut ditambah dengan turunnya permukaan tanah karena bangunan dan penyedotan air tanah yang berlebihan.

Kita juga menghadapi masalah kelangkaan berbagai spesis (buaya air berkurang, buaya yang lain bertambah; burung yang terbang berkurang, burung yang hinggap bertambah –seperti patung buaya dan burung yang terbuat dari batu, semen, kayu atau gambar-gambar di buku)

Disamping itu, ibu kota Indonesia, Jakarta, ‘meraih’ Juara III sedunia di bidang polusi udara (dan juara VI terkorupsi di dunia): sebuah ‘prestasi’ yang mencengangkan. Kedua hal ini merupakan dua sisi dari mata uang yang sama. Tingginya tingkat korupsi juga menambah penderitaan alam, karena untuk membayar hutang luar negeri (yang angkanya semakin ‘ngeri’) sumber daya alam terus dieksploitasi secara besar-besaran.

PENYEBAB UTAMA KRISIS EKOLOGI

1. Sejak masa pencerahan, manusia memandang alam ini sebagai objek semata dan alam kehilangan ‘sakralitasnya’. Hal ini berbarengan dengan lahir dan berkembangnya industri komersial dengan mengeksploitasi alam.
2. Masalah ketamakan manusia. Gandhi dengan amat bijak mengatakan, “Bumi ini cukup menyediakan kebutuhan semua orang tetapi tidak cukup menyediakan untuk ketamakan setiap orang.” Konsumerisme dan pola hidup serba instant memberi andil besar terhadap kerusakan alam. Sebagai gambaran dapat diambil contoh kehidupan orang Amerika. Dengan 5% penduduk dunia, AS menghabiskan 40% sumber daya alam di pasar dunia setiap tahun. Kalau seluruh penduduk dunia mau hidup pada taraf kemakmuran di Amerika, ada dua pilihan yang sama-sama tidak mungkin: mengurangi jumlah penduduk global sebanyak 87,5% atau menemukan delapan bumi baru.[3]

Memang masih banyak orang Amerika yang tergabung dalam suatu gerakan baru yang disebut dengan minimalis. Yaitu orang-orang yang menentukan untuk hidup dengan uang sedikit. Mereka membeli lebih sedikit, menghabiskan lebih sedikit, membuat lebih sedikit, dan memiliki lebih sedikit barang.[4] Celakanya, justru orang Indonesia sendiri sudah banyak ketularan gaya hidup negara maju dengan maraknya makanan dan minuman dengan kemasan disposal (sekali pakai), padahal teknologi daur ulang kita belum mampu mengatasinya.
3. Titik berat pembangunan yang keliru. Salah satu contoh nampak melalui alokasi dana negara-negara di dunia dalam jumlah yang sangat besar untuk membiayai militer dan persenjataan yang mematikan, ketimbang sarana dan prasarana yang menopang kehidupan, seperti penghijauan, peningkatan mutu pendidikan, penanganan sampah dan limbah, sarana pemeliharaan kesehatan dan lain-lain. (Küng menyebut bahwa setiap menit negara-negara di dunia menghabiskan uang 1,8 juta US$ untuk perlengkapan tentara)[5]. Untuk konteks Indonesia perlu penelitian yang lebih komprehensif. Yang jelas, alokasi dana untuk sektor pendidikan dan kesehatan dalam APBN masih relatif rendah. Hal ini diperparah lagi karena kedua departemen ini termasuk peringkat atas dalam bidang korupsi di antara departemen-departemen yang ada di Indonesia.

TEOLOGI IKUT BERSALAH?

Lynn White Jr., seorang sejarahwan Amerika mengatakan adanya kesalahan yang dibuat di dalam sistem ajaran Kristen mengenai manusia dan dunia, sehingga menyebabkan terangsangnya orang Kristen di masa lalu untuk mengeksploitasi dunia ini sehabis-habisnya “demi nama Tuhan”.[6]

Apa yang diungkapkan oleh Lynn White dapat terlihat sedikitnya dalam empat hal berikut.

Hidup dan berkembangnya pemahaman anthroposentrik, yang menganggap manusia sebagai pusat. Segala sesuatu yang ada di dunia ini dipahami hanya demi dan untuk manusia. Penciptaan segala sesuatunya sebelum penciptaan manusia pada hari keenam misalnya, dipahami bahwa Allah sudah terlebih dahulu menyiapkan semuanya itu untuk manusia. Di samping itu, penafsiran akan amanat Allah kepada manusia untuk ‘menaklukkan’ (דר, rada) dan ‘berkuasa’ (שבכ, kabasy) sering dipahami sebagai hak istimewa, yang menempatkan manusia sebagai subjek dan makhluk lain sebagai objek semata.
Mengemukanya semangat triumphalis khususnya dalam sejarah misi atau penginjilan. Misalnya, untuk memperkenalkan kuasa Kristus yang melampaui kuasa yang ada di dunia ini didemonstrasikan dengan menebang pohon yang diyakini masyarakat tradisional memiliki ‘penghuni’ dan dianggap ‘angker’. Masalahnya, pohon menjadi korban, sementara Setan terus gentayangan.
Liturgi gereja kurang berpihak pada kelestarian alam. Artinya, tata ibadah gereja-gereja kita masih bercorak anthroposentrik. Di samping itu, banyak nyanyian gereja yang lebih menekankan bahwa dunia ini tempat sementara, ‘lembah ratapan’, tidak tempat menetap dsb.
Umumnya, gereja-gereja sangat terobsesi membangun gedung-gedung mewah dan berusaha aset keuangan gereja sebanyak-banyaknya, yang semuanya secara tidak langsung mengabsahkan pengurasan sumber daya alam. Di samping itu, banyak gereja yang tidak memelihara lingkungan gedung gereja agar tetap hijau dan segar.



MEWUJUDKAN ECO-THEOLOGY KONTEKSTUAL

Gereja dan orang-orang Kristen memiliki dasar Alkitabiah yang amat jelas dan tegas serta warisan tradisi gereja berkaitan dengan keberadaan ciptaan Allah dan tanggung jawab manusia di dunia ini. Dalam hal ini secara singkat dan sederhana dapat disebut beberapa hal pokok sebagai berikut.

(1) Penggunaan kata rada (menaklukkan) dan kabasy (berkuasan(Kej. 1), sebagaimana disebutkan oleh Singgih, harus dilihat dalam hubungannya dengan konteksnya dimana manusia masih vegetarian.[7]
(2) Keberadaan manusia sebagai Imago Dei (yang hanya dimiliki oleh manusia) lebih merupakan tanggung jawab istimewa ketimbang hak istimewa. Manusia sebagai gambar Allah terpanggil untuk seirama dengan Allah mengasihi dan memelihara ciptaanNya.
(3) Perlu ditekankan kepemilikan Allah atas bumi dan segala isinya, yang beberapa kali ditegaskan di dalam Alkitab (salah satu di antaranya lihat Mzm. 24:1).
(4) Dibutuhkan suatu kajian berkaitan dengan ‘ketanahan’ manusia (dan mungkin juga ‘kemanusiaan’ tanah). Sebab, manusia diciptakan dari tanah. Dalam artian tertentu, tanah adalah ‘ibu’ manusia. Jika demikian, masakan manusia berlaku sewenang-wenang terhadap ibunya, malah memperkosa ‘ibunya’ sendiri?
(5) Penegasan bahwa ‘begitu besar kasih Allah akan dunia ini (Yoh. 3:16)—tidak disebut hanya manusia saja, menyatakan bahwa Allah juga mengasihi dunia ciptaanNya. Dalam konteks ini, mengikut Allah berarti mengasihi apa yang ia kasihi, termasuk ciptaanNya.
(6) Tuhan Yesus mengamanatkan, ‘Beritakanlah Injil kepada seluruh makhluk (Mrk. 16:15). Amanat ini tidak berarti bahwa manusia berkhotbah kepada binatang atau membaptis mereka menjadi warga Gereja, tetapi berkaitan dengan tugas panggilan menghargai dan memelihara mereka. Ini juga tidak berarti bahwa manusia tidak boleh mengkonsumsi ternak, sejauh dalam koridor kebutuhan, bukan ketamakan.
(7) Bagian Doa Bapa Kami “berikanlah kami kepada kami pada hari ini makanan kami yang secukupnya”, juga mempunyai implikasi etis dan tugas pemeliharaan alam ciptaan Tuhan. (Studi yang pernah saya lakukan terhadap bagian ini menyimpulkan bahwa terjemahan yang lebih tepat dari bahasa Yunani adalah “berikanlah kepada kami yang kami butuhkan untuk kehidupan’[8]).
(8) Reformator Martin Luther melihat implikasi ekologis dari hukum keempat “ingat dan kuduskanlah hari Sabat” terhadap pemeliharaan alam ciptaan. Dia menekankan bahwa pada Sabat itulah kesempatan bagi ciptaan Tuhan untuk merayakan hidupnya. (Lihat penjelasannya dalam Katekismus Besar dan Katekismus Kecil). Fakta ini menunjukkan kekeliruan Lonning yang mengatakan bahwa para reformator juga dipersalahkan karena ajaran mereka dianggap penyebab timbulnya krisis ekologi khususnya karena ajaran mereka dianggap terfokus pada keselamatan sebagai hubungan personal manusia kepada Allah.[9] Ajaran Martin Luther mewarnai isi Buku Konkord (Inti Pengakuan Iman dan ajaran Gereja Lutheran) yang amat jelas menekankan perlunya sense of enoughness (rasa cukup) dan simplicity life-style (pola hidup sederhana).
(9) Lembaga Gerejawi dari tingkat lokal hingga internasional telah lama dan banyak menggumuli dan berjuang untuk memperdulikan kelestarian alam ciptaan Tuhan. Misalnya, DGD, LWF, CCA, ELCA, PGI dan lain-lain dalam berbagai Sidang Rayanya atau komisi-komisi yang dibentuk sudah banyak merumuskan analisis dan refleksi teologis sekitar tema eco-theology.
(10) C.S. Song[10] yang mendasarkan ‘misi’ tidak saja dari Amanat Agung Tuhan Yesus (Mat. 28:18-20) tetapi juga dari berita penciptaan (Kej. 1). Kalau Allah memelihara ciptaanNya, maka misi Gereja seharusnya juga memelihara ciptaan Tuhan.
(11) Paus Paulus II dalam berbagai kesempatan mengungkapkan gagasannya yang amat mencerahkan menyangkut keberadaan alam ciptaan di hadapan Allah dan bagaimana manusia memperlakukannya. Salah satu di antaranya, ia mengatakan:

Kuasa yang diberikan oleh sang Pencipta kepada manusia, bukanlah kuasa absolut….Sejak awal sang Pencipta sudah menetapkan pembatasan yang secara simbolik dinyatakan melalui larangan memakan buah pohon (tertentu di taman Eden) yang menunjukkan dengan amat jelas bahwa kita tidak saja mengacu pada hukum-hukum biologis tetapi juga pada hukum moral, yang tidak dapat dicemari dengan kebebasan.

Untuk merancang bangun eco-theology kontekstual dibutuhkan kerelaan gereja dan orang Kristen untuk menghargai pemahaman dan sikap budaya tertentu atau penganut agama lain, yang juga memiliki kepedulian akan perdamaian di antara manusia dan perdamaian terhadap alam.

Meskipun bukan seorang teolog, namun pernyataan mantan Sekretaris Jenderal PBB Boutros Boutros-Ghali terkesan amat sarat dengan muatan teologis.

We have been told that we are to love our neighbors as ourselves, and it is true. But now we are learning that we must also love the earth. For thousands of years ancient cultures believed that the earth had a soul, that we live in a spiritual relationship with the world. And today we must restore that sense, in order to build a new ethical and political context to live and act with earth.[11]

Dalam konteks Indonesia, hampir semua kelompok etnis yang ada di negeri ini memiliki semacam ‘kearifan lokal’ dalam bersikap dan bertindak terhadap alam yang memperlakukan makhluk bahkan tumbuhan sebagai ‘subjek’ bukan ‘objek’ semata. Hal ini memang benar secara teologis. Mazmur 150: 6, misalnya, berbunyi, “biarlah segala yang bernafas memuji Tuhan”. Dalam studi biologi jelas bahwa tumbuhan pun bernafas. Setahu saya, teolog Indonesia yang pertama sekali memunculkan dan menekankan ‘kesubjekan’ makhluk dan tumbuhan adalah Dr. A.A. Yewangoe. Ia menegaskan bahwa semuanya itu juga diperdamaikan dengan Allah.[12]

Kembali ke masalah ‘kearifan lokal, apa yang disuguhkan oleh Dr. Geoffrey Lilburn dengan mengangkat contoh pemahaman dan perlakuan suku Aborigin (Australia) dan Suku Indian (Amerika) terhadap tanah amat relevan. Artinya, kita terpanggil untuk menghargai ‘kearifan lokal’, tanpa harus meromantisasi[13] tradisi masa lalu.

Dapat ditambahkan kepada apa yang dikemukakan oleh Geoffrey yakni kearifan kelompok Amish di Amerika Serikat yang sampai sekarang meskipun dalam jumlah yang relatif kecil tetapi masih eksis. Sebuah ‘amsal’ Amish berbunyi, “Kita tidak mewarisi tanah dari nenek moyang kita, kita meminjamnya dari anak-anak kita”.[14]

Masyarakat Batak tradisional pun sebenarnya punya kearifan berkaitan dengan alam. Sebagai contoh, sebelum misionaris datang, orang tidak boleh sembarangan bicara (bicara tidak senonoh) di Danau Toba, apalagi buang air kecil atau buang air besar sangat tabu, karena ‘penghuninya’ bisa marah. Sesudah kekristenan masuk ke tanah Batak, jangankan buang air besar, ‘buang air besar-besaran’ pun (=limbah) ke danau seolah tidak ada masalah dan orang tidak merasa bersalah.

Menyebut contoh lain, pada era Soeharto, pernah sekelompok suku Dayak akan direlokasi atas nama pembangunan. Penduduk setempat menolak dan berkata, “kami tidak tinggal di hutan, kami adalah hutan”. Ini menunjukkan pemahaman dan sikap kedekatan bahkan kesatuan mereka dengan alam.

Di samping itu, dapat dipastikan bahwa agama-agama dunia dan aliran-alairan kepercayaan yang masih hidup sekarang ini pada dasarnya mengajarkan dan menganjurkan sikap santun dan hormat terhadap alam ciptaan Tuhan.

REKOMENDASI

1. Kepada Gereja dan Masyarakat

(1) Gereja-gereja perlu didorong ke arah pelayanan yang berorientasi ‘sadar keutuhan ciptaan’ melalui kurikulum sekolah sidi, seminar, khotbah, tulisan-tulisan di dalam media massa dan majalah gerejawi dan keterlibatan langsung menghijaukan komplek gereja, komplek hunian warga jemaat dan sebagainya.

(2) Warga jemaat dan masyarakat perlu mengembangkan pola hidup atas dasar ‘kebutuhan’ bukan ‘keinginan’. Sudah saatnya warga masyarakat mengembangkan modest life-style (gaya hidup minimalis) dengan rumah kecil, sederhana, sedikit barang-barang dan sebagainya. Sebab, pembangunan rumah-rumah hunian yang besar (padahal penghuninya sangat sedikit) juga akan mengorbankan alam.

2. Kepada Lembaga-lembaga Pendidikan

Sudah saatnya kurikulum pendidikan dari tingkat dasar sampai perguruan tinggi dirancang sedemikian rupa agar ‘ramah lingkungan’. Hal ini disertai dengan penciptaan lingkungan sekolah yang hijau serta penanganan sampah dan sumber polutan lainnya dengan baik.

Khusus untuk universitas-universitas, alangkah baiknya jika dibentuk fakultas Ekologi. Dalam hal ini, mudah-mudahan Universitas HKBP Nommensen dapat memulainya. Isi kurikulum dapat dirumuskan secara bersama-sama oleh berbagai kalangan. Mungkin di antaranya berkaitan dengan ekosistem, masalah sampah rumah tangga, limbah industri, AMDAL, lapisan ozon, penanganan polusi, penghijauan, pupuk, pestisida, manajemen lingkungan, air sehat, dan lain-lain.

Kepada fakultas-fakultas di Universitas, Sekolah Tinggi, Akademi dan sebagainya perlu ditawarkan mata kuliah ‘ekologi’. Untuk Sekolah-sekolah Tinggi Teologi di Indonesia, misalnya dibutuhkan mata kuliah “Keadilan, Perdamaian dan Keutuhan Ciptaan” (KPKC), sebagaimana sejak lama digumuli oleh DGD. Sebagai contoh yang baik dalam hal ini adalah The Lutheran Theological Seminary at Philadelphia, USA), yang menawarkan mata kuliah Environtmental Ethic (Etika Lingkungan Hidup).

Di samping itu, lingkungan kampus juga hendaknya benar-benar ‘ramah lingkungan’ dengan terciptanya kampus yang hijau, penghematan penggunaan kertas dan sampul plastik. Mengambil sebuah contoh sederhana, kalau 400 mahasiswa dengan masing-masing satu tugas kuliah untuk 9 mata kuliah semester menggunakan sampul plastik dengan harga masing-masing Rp. 2000, maka dalam satu semester mahasiswa STT HKBP telah membuang Rp. 7.200.000 hanya untuk sampul tugas kuliah –yang akan menjadi sampah. Jadi, mahasiswa menghabiskan jutaan rupiah untuk menambah sampah, bukan menangani sampah. Hal yang sama bisa dihitung di semua Perguruan Tinggi di Indonesia, yang mungkin angkanya akan sangat mencengangkan.

3. Kepada Pemerintah

Tidak bisa dipungkiri bahwa kebijakan pemerintah yang terutama berorientasi pada pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu penyebab utama krisis ekologi saat ini. Membengkaknya hutang luar negeri (yang sebagian di antaranya habis dikorupsi) juga harus dibayar dengan mengeksploitasi alam secara berlebihan. Mengambil satu contoh, adalah dengan kebijakan pemerintah menaikkan harga BBM baru-baru ini. Presiden Yudoyono mengatakan bahwa kebijakan tersebut (meskipun pahit) diambil demi kebaikan ekonomi Indonesia di masa depan. Hal senada juga dikatakan oleh seorang pakar ekonomi yang bekerja di Bank Indonesia, Dr. Tarmidin Sitorus, dalam ceramahnya di STT HKBP Pematangsiantar, 19 Januari 2006. Pandangan ini perlu dengan sungguh-sungguh ditelaah dengan jernih. Yang jelas, setelah naiknya harga BBM banyak warga desa yang tadinya sudah menggunakan kompor minyak tanah untuk memasak, terpaksa kembali menebangi pohon untuk dijadikan kayu bakar. Tindakan ini akan semakin memperparah kerusakan alam. Bagaimana masa depan Indonesia jika hal ini terus berlanjut? Dalam hal ini, pemerintah perlu dengan sangat serius menempatkan ekonomi dan ekologi secara bersama-sama.

PENUTUP

Secara teologis, ‘akhir zaman’ adalah sesuatu yang dinantikan oleh umat manusia. Akan tetapi, mencermati kecenderungan yang ada, bisa saja ‘akhir zaman’ tiba sebelum waktunya karena ‘dirampas’ oleh manusia sebagai akibat dari pengrusakan alam ciptaan Tuhan. Gereja dan orang Kristen serta seluruh umat manusia terpanggil merawat ciptaan Tuhan.

Weizsäcker (yang sumber atau nama bukunya terlupakan) dengan amat mengesankan mengatakan:
No peace without justice
No justice without peace
No justice without freedom
No freedom without justice
No peace among the people without peace with nature
No peace with the nature without peace among people
Peace is not the absence of trouble but the presence of God

































[1] Merupakan pengembangan dari materi yang pernah disampaikan sebagai bandingan ceramah Dr Geoffrey R. Lilburne dalam ‘diskusi teologi’ Dosen STT HKBP, Pematangsiantar, 02 Desember 2005
[2] John Hart sebagaimana dikutip Geoffrey R. Lilburne, A Sense of Palace. A Christian Theology of the Land, Nashville: Abingdon Press, 1989, hlm. 90
[3] Philipus Tule dan Wilhelmus Djulei (Eds.), Agama-agama Kerabat Alam Semesta, Ende: Nusa Indah, 1994, hlm. 22
[4] David Niven, Rahasia Orang-orang Bahagia, Semarang: Dahara Prize, 2005, hlm. 294
[5] Hans Küng, Global Responsibility. In Search of a New World Ethic, New York: Croassroad, 1991, hlm. 2
[6] Dikutip oleh E.G. Singgih, “Dasar Teologis dari Pemahaman Mengenai Keutuhan Ciptaan, dalam Th. Sumartana dkk. (Peny.), Terbit Sepucuk Taruk. Teologi Kehidupan 60 tahun Dr. Liem Khiem Yang, Jakarta: P3M STTJ dan Balitbang PGI, hlm. 245. Hal yang sama juga disebut oleh Geoffrey R. Lilburne, A Sense of Place. A Christian Theology of the Land, Nashville: Abingdon Press, 1989, hlm. 24
[7] Penjelasan selengkapnya lihat Ibid.
[8] Sebuah tulisan yang pernah diminta oleh Panitia Buku Ulang Tahun Dr. Lothar Schreiner (belum jelas apakah buku dimaksud sudah terbit).
[9] Per Lonning, Creation – An Ecumenical Challenge?, Macon: Mercer University Press, 1982, hlm. 24.
[10] Dikutip oleh David J. Bosch, Transforming Mission. Paradigm Shift in Theology of Mission, Maryknoll: Orbis Books, 1991, dan juga Widi Artanto, Menjadi Gereja Misioner Dalam Konteks Indonesia, Yogyakarta: Kanisius, 1997
[11] Wesley Granberg-Michaelson, Redeeming the Creation. The Rio Earth Summit: Challenge for the Churches, Geneva: WCC, 1992, hlm.25
[12] Lihat A.A. Yewangoe, Pendamaian. Suatu Studi tentang Pemulihan Relasi Antara Allah, Manusia dan Alam Semesta, Jakarta: BPK.
[13] Yang dimaksud dengan ‘meromantisasi’ masa lalu di sini, adalah anggapan bahwa kita harus sepenuhnya kembali seperti masa silam.
[14] Fred van Dyhe, (dkk.), Redeeming Creation. The Biblical Basis for Environtmental Stewardship, Downess Grove, Illinois: Intervarsity Press, 1996, hlm. 71

Friday, May 18, 2007

HIDUP SPIRITUAL

BEBERAPA KUTIPAN DARI THOMAS A KEMPIS

Without love, the outward work is of no value; but whatever is done out of love, be it never so little, is wholly fruitful. For God regards the greatness of the love that prompts a man, rather than the greatness of his achievement.

Never study in order to appear more wise and learned; study rather to overcome your besetting sins, for this will profit you more than will the grasp of intricate problem.
He whom Christ teaches will swiftly gain wisdom and advance far in the life of the spirit.
But those who seek curious knowledge from men, and care nothing for His service,
will discover only sorrow.

God enables the humble-minded to understand more of the ways of the everlasting Truth in a single moment than ten years in the School.

It is better to turn away from controversial matters, and leave everyone to hold their own opinion, than to belabour (dwell on) them with quarrelsome arguments.

True peace dwells only in the heart of the humble: but the heart of the proud is ever full of pride and jealously.

A true understanding and humble estimate of oneself is the highest and most valuable of all lessons. To take no account of oneself, but always to think well and highly of others is the highest wisdom and perfection.

It is vanity to wish for long life, if you care little for a good life.

Let My will be your guide. I know what is best for you. Your mind is but human, and your judgement often influenced by personal consideration.

How can any creature help you, if your Creator abandon you?

I will hear what the Lord God speaks within me. (Ps. Lxxxv,8). Blessed is the soul that hears the Lord speaking within it, (1Sam 3:9), and receives comfort from His Word. Blessed are the ears that hear the still, small voice of God (1 King 19:12), and disregard the whispers of the world. Blessed are the ears that listen to Truth teaching inwardly, and not to the voices of the world. Blessed are the eyes that are closed to outward things, but are open to inward things. Blessed are those who enter deeply into inner things, and daily prepare themselves to receive the secrets of heaven. Blessed are those who strive to devote themselves wholly to God, and free themselves from all the entanglements of the world.

Write My word in your heart, and meditate on them earnestly; they will aid you in temptation….I visit My chosen in two ways; with trial and with consolation. Day by day, I teach them two lessons, one in which I correct their faults, and the other in which I encourage them to progress in virtue.

A wise lover values not so much the gift of the lover, as the love of the giver. He esteems the affection above the gift, and values every gift far below the Beloved. A noble lover is not content with a gift, but desires Myself above all gifts.

On the Good and Peaceful Man:
Firstly, be peaceful yourself, and you will be able to bring peace to others. A man of peace does more good than a very learned man.

When I grant comfort, it remains Mine, and when I withdraw it, I am not taking anything that is yours, for every good gift and every perfect gift is Mine alone (James 1:17).

There is a great difference between the wisdom of a devout man enlightened by God, and the knowledge of a learned and studious scholar. More noble by far is the learning infused from above by divine grace, than that painfully acquired by the industry of man.

A man’s achievements are often discussed, but seldom the principles by which he lives. We inquire whether he is brave, handsome, rich, clever, a good writer, a fine singer, or a hard worker: but whether he is humble-minded, patient and gentle, devout and spiritual is seldom mentioned. Nature regards the outward characteristics of man: Grace considers his inner disposition. And while Nature is often misled, Grace trusts in God and cannot be deceived.

Those who are obsessed by self-interest and self-love are slaves of their own desires (2 Tim 3:2); they are greedy, inquisitive, and discontented.

The Imitation of Christ (New York: Dorset Press, 1986)

Sunday, May 13, 2007

MEDITASI KRISTEN


Meditasi Kristen[1]

BERADA BERSAMA ALLAH, DI DALAM ALLAH
KINI DAN DI SINI



Apa dan Mengapa Meditasi?

Ada banyak bentuk doa, tetapi dapat dikelompokkan menjadi tiga jenis: talking, listening, and being. (berbicara, mendengar dan berada).

Berbicara:
Mengucapkan syukur atas kebaikan Tuhan; mengaku percaya akan kasih dan kebesaran Tuhan, menyampaikan permohonan kepada Tuhan, dan sebagainya. Ini yang paling banyak dilakukan orang Kristen.

Mendengar:
Mendengar sapaan Tuhan melalui pembacaan firman-Nya (Alkitab), mendengar kehendak Tuhan melalui sesama manusia; melalui peristiwa nyata kehidupan sehari-hari. Umumnya Gereja mengajak seluruh pelayan dan warga jemaat untuk mendengar suara Tuhan setiap pagi dan malam melalui pembacaan dan perenungan firman Tuhan sebagaimana diatur dalam Almanak.

Berada:
Bersama dengan Tuhan. Yesus berkata, “Tinggallah di dalam Aku dan Aku di dalam kamu…” (Yoh. 15:4). Meditasi adalah salah satu wahana untuk menghayati dan menerima undangan Tuhan Yesus ini. Jadi, meditasi adalah bagian dari perjumpaan dengan Tuhan bahkan bersatu dengan Tuhan seperti tercermin dari Yoh 15:4 itu.

Yang mana dari yang tiga itu yang paling penting? Menurut Laurence Freeman, itu adalah pertanyaan yang salah. Ini sama dengan menanyakan mana yang paling perlu: otak, jantung atau perut. Salah satu di antaranya tidak terlalu bermanfaat tanpa yang lain. Dalam hal ini, meditasi tidak menggantikan doa-doa yang lain. Satu hal yang mendasar dalam ketiga jenis doa itu adalah soal “hubungan” kita dengan Tuhan. Karenanya, meditasi bukan hanya untuk mereka yang tinggal di biara, para pendeta, mahsiswa teologi tetapi untuk semua orang percaya. Bahkan, Lauarence Freeman menganjurkan anak-anak untuk bermeditasi.

Dalam meditasi kita tidak mengajukan permohonan atau meminta kepada Tuhan. Kita malah tidak berpikir tentang Tuhan, tetapi terutama kita bersama dengan Tuhan. Kita tidak mencari kehadiran-Nya. Dia ada bersama kita dan di dalam kita. Kita hanya perlu menyadarinya dan menyambut-Nya setiap saat, secara khusus dalam meditasi.

Bagaimana Bermeditasi?

John Main menekankan perlunya melakukan meditasi setiap pagi dan malam selama 20-30 menit sepanjang hidup kita. Duduklah bersila atau di atas kursi dengan tulang punggung dalam posisi tegak dan serileks mungkin. Dengan posisi duduk seperti itu, energi akan dapat ‘mengalir’ dengan baik melalui saraf-saraf tulang belakang. Jika Anda membutuhkan waktu untuk melepaskan ketegangan, Anda dapat melakukan rileksasi dengan cara yang sederhana yaitu dengan menyadari pernafasan. Rileksasi melalui latihan pernafasan misalnya dapat dilakukan empat tahap: Sambil menghirup dan mengeluarkan nafas (1) Katakan dalam hati 'hirup'.....'keluar', 5-10 kali (2) Katakan dalam hati: 'dalam'.... 'perlahan' -sambil nafas panjang dan mengeluarkannya secara perlahan 5 kali; (3) tenang...... rileks, 5-10 kali; (4) waktu ini....waktu anugerah, 5 kali).

Dalam keadaan rileks ucapkanlah dalam hati 'kata doa' yang Anda pilih sendiri secara berulang-ulang. Saya menganjurkan 'kata doa' Imanuel yang artinya "Allah beserta kita”.[2] Ulangilah ‘kata doa’ itu dengan perlahan, tanpa suara dan tanpa membuka mulut. Bisa juga dengan mengikuti pernafasan menghirup dan mengelurkan nafas dengan mengucapkan I-ma-nu-el, sambil memberi perhatian pada kehadiran dan penyertaan-Nya, kini dan di sini.

Pada bagian akhir, kita berdoa dengan Doa Bapa Kami secara perlahan dan penuh penghayatan. Ada yang mengatakan bahwa untuk dapat menghayati Doa Bapa Kami dengan sungguh-sungguh, kita membutuhkan waktu sedikitnya lima menit. Kita menghayati setiap bagian dari doa itu dengan sungguh-sungguh. Misalnya, dengan mengatakan “Bapa kami yang di sorga”, kita benar-benar menyadari bahwa kita sedang berhadapan dengan Bapa kita dan kita menyapa-Nya, tidak hanya sekedar memikirkan konsep atau pandangan tentang Allah. Singkatnya, Doa Bapa Kami –sama seperti ketika doa itu diajarkan oleh Tuhan Yesus, bukan hanya sekadar permohonan, tetapi juga menyangkut sikap dan tanggung jawab orang percaya.

Mengatasi Pelanturan

Meditasi sangat sederhana, meskipun harus diakui bahwa ‘sederhana’ tidak selalu mudah, khususnya di era modern ini. Di antara ciri manusia modern adalah: tegang (stress), sangat sulit diam, terperangkap dalam belantara aneka keinginan, dan sebagainya. Hal ini dapat kita mengerti karena kita hidup di tengah media massa konsumerisme. Konon, setiap hari orang kebanyakan memiliki sekitar 60.000 pikiran! (Dyer, 2001, p.48). Barangkali apa yang dikatakan oleh van Kaam bahwa tiga pembunuh utama saat ini adalah kalender, jam dan telpon, ada benarnya. Paling tidak ketiga hal ini dapat membunuh ketenangan batin atau kedamaian hati banyak orang dalam era super-sibuk ini.

Di tengah keadaan seperti itu, sekarang ini ada berbagai bentuk ‘meditasi’ yang secara ilmiah dan medis terbukti sebagai sarana rileksasi dan kesembuhan berbagai penyakit. Akan tetapi, meditasi yang kita maksudkan di sini bukanlah terutama untuk rileksasi, malahan seseorang harus rileks dulu agar dapat melakukan meditasi dengan baik. Dalam meditasi kita sedapat mungkin dalam keadaan diam secara fisik (tidak melakukan gerakan), secara emosi, dan tidak berkata-kata. Pada saat seperti itu kita percaya bahwa Roh Kudus sendiri berdoa untuk kita kepada Allah (Lihat Roma 8:26).

Mungkin saja pikiran kita akan berkeliaran ke masa lalu, ke masa depan dan ke sebuah fantasi atau bahkan semuanya campur baur. Ketika pelanturan seperti itu terjadi, kembalilah ke ‘kata doa’ tadi. Kita harus sabar terhadap diri sendiri. Jangan menjadi putus asa atau menghukum diri sendiri karena tidak bisa konsentrasi. Resapkanlah 'kata doa' itu dengan lembut dan perlahan. Banyak dari mereka yang sudah menghidupi meditasi puluhan tahun tetapi masih tetap mengalami pelanturan. Hanya saja, mereka tidak lagi dikuasai oleh pelanturan itu.

Tantangan lain adalah kemungkin kita menjadi tegang secara fisik dan emosi atau sebaliknya menjadi tidur dengan ‘pikiran-pikiran suci’. Yang kita lakukan tetap sama: kembali ke ‘kata doa’ itu dengan lembut dan penuh kasih, di hadapan dan di dalam Tuhan.

Menjadikan Meditasi Sebagai Bagian dari Kehidupan

Apabila setelah melakukan beberapa kali meditasi kita mengatakan bahwa “ini bukan untuk saya”, ada baiknya kita gumuli secara sungguh-sungguh, karena mungkin saja kesimpulan itu muncul dari ego kita sendiri. Lagi pula, kita harus tekankan bahwa meditasi adalah soal “karena” bukan “supaya”. Kita melakukannya karena kita percaya akan kasih dan kebaikan Tuhan, bukan supaya Allah mengasihi kita.

Dalam kehidupan sehari-hari, daripada membawa keributan dunia ini ke dalam meditasi kita, lebih baik kita ‘membawa’ meditasi kita ke dalam kehidupan sehari hari. Misalnya, daripada gelisah di tengah kemacetan lalulintas kita lebih baik mengucapkan ‘kata doa’ I ma nu el. Daripada gelisah menunggu bus, menunggu hujan reda, menunggu orang yang terlambat datang ke gereja atau ke sebuah pertemuan, lebih baik kita memasuki keheningan dengan meditasi sejenak.

Dapat ditambahkan bahwa kita tidak perlu menilai kemajuan yang kita capai dari meditasi yang kita lakukan. Sebab, kita tidak menetapkan ‘target’ yang akan dicapai melalui meditasi. Di samping itu kita tidak perlu terus bertanya, “apakah saya sudah lebih baik? Apakah saya sudah lebih kudus? Bagaimana pikiran orang sekarang tentang saya?”, dan sebagainya. Banyak dari mereka yang melakukan meditasi sebagai bagian dari hidup mereka berkata bahwa perubahan dalam diri mereka justru pertama sekali dilihat dan dirasakan oleh orang lain, seperti istri, anak-anak, rekan sekerja dan yang lain. Orang melihat mereka lebih damai, tidak mudah mengeluh dan bersungut-sungut, dari yang suka marah menjadi lebih ramah dan sebagainya. Dalam hal ini sukses berarti “sungguh-sungguh merasakan kedamaian yang dari Tuhan, yang secara serta merta menggerakkan kita menjadi pembawa damai dan menjadi berkat.”

Akhirnya, meditasi berkaitan dengan hasrat hati kita yang tergerak oleh kasih. Sebab, Allah lebih melihat kasih yang mendorong tindakan kita ketimbang hasil atau prestasi yang kita capai.

[1] Rujukan utama: http://www.wccm.org/
[2] Kita tahu itulah maksud kedatangan Yesus ke dunia ini (Matius 1:23). Itu juga yang dijanjikan oleh Yesus sebelum kenaikan-Nya (Mat 28:20).

ShoutMix chat widget