Saturday, May 19, 2007

Ekologi 1

(Tulisan berikut diambil dari buku: Victor Tinambunan, Gereja dan Orang Percaya: Oleh Rahmat Menjadi Berkat)

TUGAS PANGGILAN
MENGHARGAI CIPTAAN ALLAH
[1]

Firman Tuhan terpadu dalam dua volume, yaitu
dalam alam ciptaan dan dalam Kitab Suci.
Thomas Aquinas (1225-1274)

Allah menuliskan firmanNya tidak saja di dalam Alkitab,
Tetapi juga pada pohon, bunga, awan dan bintang-bintang.
Martin Luther (1483-1546)


DI MANA KITA BERADA?

Dalam hal masalah lingkungan hidup, kita tidak sedang berada di persimpangan jalan di mana kita bisa sejenak beristirahat dan membuat pilihan sederhana antara dua jalan: yang satu jalan kehidupan dan yang lain jalan menuju kematian. Kita sudah menempuh jarak yang jauh dalam jalan menuju kepunahan karena penghancuran lingkungan hidup.[2]

Masalah krisis ekologi merupakan salah satu masalah terbesar dunia masakini. Akan tetapi, penanggulangan yang konkret masih jauh dari yang dibutuhkan. Memang, dalam tataran wacana boleh dikatakan agak memadai dengan munculnya berbagai persidangan dari tingkat nasional hingga internasional, berbagai seminar dan terbitan buku-buku (termasuk di bidang teologi) berkaitan dengan masalah krisis ekologis dan upaya penanggulangannya.

Fakta-fakta krisis ekologis dewasa ini sangat kasat mata. Misalnya, hutan Indonesia mengalami kerusakan sekitar 2,8-3 juta hektare setiap tahun. Sedangkan hutan dunia mengalami kerusakan seluas ¾ wilayah Korea setiap tahun. Akibatnya amat kentara dengan terjadinya berbagai peristiwa banjir, tanah longsor, pemanasan global dan sebagainya. Khusus mengenai yang terakhir ini dapat disebutkan bahwa suhu kota Medan misalnya, saat ini terkadang sudah mencapai 33° C, yang 15-20 tahun silam suhu paling tinggi mencapai 31° C. Jadi, warming global (pemanasan global) bukan lagi sekadar wacana, ia sudah persis di depan mata.

Apa dampak warming global? Para pakar sudah dengan gamblang menjelaskan bahwa pemanasan global akan berdampak pada naiknya permukaan laut karena es di daerah kutub bumi mencair. Sudah ada penelitian bahwa luas es di kutub bumi sudah semakin berkurang. Konsekuensinya, wilayah-wilayah yang rendah di atas permukaan laut akan terancam tenggelam. Misalnya, sudah ada sinyal bahwa akan ada saatnya Jakarta Utara akan hilang ditelan laut karena naiknya permukaan laut ditambah dengan turunnya permukaan tanah karena bangunan dan penyedotan air tanah yang berlebihan.

Kita juga menghadapi masalah kelangkaan berbagai spesis (buaya air berkurang, buaya yang lain bertambah; burung yang terbang berkurang, burung yang hinggap bertambah –seperti patung buaya dan burung yang terbuat dari batu, semen, kayu atau gambar-gambar di buku)

Disamping itu, ibu kota Indonesia, Jakarta, ‘meraih’ Juara III sedunia di bidang polusi udara (dan juara VI terkorupsi di dunia): sebuah ‘prestasi’ yang mencengangkan. Kedua hal ini merupakan dua sisi dari mata uang yang sama. Tingginya tingkat korupsi juga menambah penderitaan alam, karena untuk membayar hutang luar negeri (yang angkanya semakin ‘ngeri’) sumber daya alam terus dieksploitasi secara besar-besaran.

PENYEBAB UTAMA KRISIS EKOLOGI

1. Sejak masa pencerahan, manusia memandang alam ini sebagai objek semata dan alam kehilangan ‘sakralitasnya’. Hal ini berbarengan dengan lahir dan berkembangnya industri komersial dengan mengeksploitasi alam.
2. Masalah ketamakan manusia. Gandhi dengan amat bijak mengatakan, “Bumi ini cukup menyediakan kebutuhan semua orang tetapi tidak cukup menyediakan untuk ketamakan setiap orang.” Konsumerisme dan pola hidup serba instant memberi andil besar terhadap kerusakan alam. Sebagai gambaran dapat diambil contoh kehidupan orang Amerika. Dengan 5% penduduk dunia, AS menghabiskan 40% sumber daya alam di pasar dunia setiap tahun. Kalau seluruh penduduk dunia mau hidup pada taraf kemakmuran di Amerika, ada dua pilihan yang sama-sama tidak mungkin: mengurangi jumlah penduduk global sebanyak 87,5% atau menemukan delapan bumi baru.[3]

Memang masih banyak orang Amerika yang tergabung dalam suatu gerakan baru yang disebut dengan minimalis. Yaitu orang-orang yang menentukan untuk hidup dengan uang sedikit. Mereka membeli lebih sedikit, menghabiskan lebih sedikit, membuat lebih sedikit, dan memiliki lebih sedikit barang.[4] Celakanya, justru orang Indonesia sendiri sudah banyak ketularan gaya hidup negara maju dengan maraknya makanan dan minuman dengan kemasan disposal (sekali pakai), padahal teknologi daur ulang kita belum mampu mengatasinya.
3. Titik berat pembangunan yang keliru. Salah satu contoh nampak melalui alokasi dana negara-negara di dunia dalam jumlah yang sangat besar untuk membiayai militer dan persenjataan yang mematikan, ketimbang sarana dan prasarana yang menopang kehidupan, seperti penghijauan, peningkatan mutu pendidikan, penanganan sampah dan limbah, sarana pemeliharaan kesehatan dan lain-lain. (Küng menyebut bahwa setiap menit negara-negara di dunia menghabiskan uang 1,8 juta US$ untuk perlengkapan tentara)[5]. Untuk konteks Indonesia perlu penelitian yang lebih komprehensif. Yang jelas, alokasi dana untuk sektor pendidikan dan kesehatan dalam APBN masih relatif rendah. Hal ini diperparah lagi karena kedua departemen ini termasuk peringkat atas dalam bidang korupsi di antara departemen-departemen yang ada di Indonesia.

TEOLOGI IKUT BERSALAH?

Lynn White Jr., seorang sejarahwan Amerika mengatakan adanya kesalahan yang dibuat di dalam sistem ajaran Kristen mengenai manusia dan dunia, sehingga menyebabkan terangsangnya orang Kristen di masa lalu untuk mengeksploitasi dunia ini sehabis-habisnya “demi nama Tuhan”.[6]

Apa yang diungkapkan oleh Lynn White dapat terlihat sedikitnya dalam empat hal berikut.

Hidup dan berkembangnya pemahaman anthroposentrik, yang menganggap manusia sebagai pusat. Segala sesuatu yang ada di dunia ini dipahami hanya demi dan untuk manusia. Penciptaan segala sesuatunya sebelum penciptaan manusia pada hari keenam misalnya, dipahami bahwa Allah sudah terlebih dahulu menyiapkan semuanya itu untuk manusia. Di samping itu, penafsiran akan amanat Allah kepada manusia untuk ‘menaklukkan’ (דר, rada) dan ‘berkuasa’ (שבכ, kabasy) sering dipahami sebagai hak istimewa, yang menempatkan manusia sebagai subjek dan makhluk lain sebagai objek semata.
Mengemukanya semangat triumphalis khususnya dalam sejarah misi atau penginjilan. Misalnya, untuk memperkenalkan kuasa Kristus yang melampaui kuasa yang ada di dunia ini didemonstrasikan dengan menebang pohon yang diyakini masyarakat tradisional memiliki ‘penghuni’ dan dianggap ‘angker’. Masalahnya, pohon menjadi korban, sementara Setan terus gentayangan.
Liturgi gereja kurang berpihak pada kelestarian alam. Artinya, tata ibadah gereja-gereja kita masih bercorak anthroposentrik. Di samping itu, banyak nyanyian gereja yang lebih menekankan bahwa dunia ini tempat sementara, ‘lembah ratapan’, tidak tempat menetap dsb.
Umumnya, gereja-gereja sangat terobsesi membangun gedung-gedung mewah dan berusaha aset keuangan gereja sebanyak-banyaknya, yang semuanya secara tidak langsung mengabsahkan pengurasan sumber daya alam. Di samping itu, banyak gereja yang tidak memelihara lingkungan gedung gereja agar tetap hijau dan segar.



MEWUJUDKAN ECO-THEOLOGY KONTEKSTUAL

Gereja dan orang-orang Kristen memiliki dasar Alkitabiah yang amat jelas dan tegas serta warisan tradisi gereja berkaitan dengan keberadaan ciptaan Allah dan tanggung jawab manusia di dunia ini. Dalam hal ini secara singkat dan sederhana dapat disebut beberapa hal pokok sebagai berikut.

(1) Penggunaan kata rada (menaklukkan) dan kabasy (berkuasan(Kej. 1), sebagaimana disebutkan oleh Singgih, harus dilihat dalam hubungannya dengan konteksnya dimana manusia masih vegetarian.[7]
(2) Keberadaan manusia sebagai Imago Dei (yang hanya dimiliki oleh manusia) lebih merupakan tanggung jawab istimewa ketimbang hak istimewa. Manusia sebagai gambar Allah terpanggil untuk seirama dengan Allah mengasihi dan memelihara ciptaanNya.
(3) Perlu ditekankan kepemilikan Allah atas bumi dan segala isinya, yang beberapa kali ditegaskan di dalam Alkitab (salah satu di antaranya lihat Mzm. 24:1).
(4) Dibutuhkan suatu kajian berkaitan dengan ‘ketanahan’ manusia (dan mungkin juga ‘kemanusiaan’ tanah). Sebab, manusia diciptakan dari tanah. Dalam artian tertentu, tanah adalah ‘ibu’ manusia. Jika demikian, masakan manusia berlaku sewenang-wenang terhadap ibunya, malah memperkosa ‘ibunya’ sendiri?
(5) Penegasan bahwa ‘begitu besar kasih Allah akan dunia ini (Yoh. 3:16)—tidak disebut hanya manusia saja, menyatakan bahwa Allah juga mengasihi dunia ciptaanNya. Dalam konteks ini, mengikut Allah berarti mengasihi apa yang ia kasihi, termasuk ciptaanNya.
(6) Tuhan Yesus mengamanatkan, ‘Beritakanlah Injil kepada seluruh makhluk (Mrk. 16:15). Amanat ini tidak berarti bahwa manusia berkhotbah kepada binatang atau membaptis mereka menjadi warga Gereja, tetapi berkaitan dengan tugas panggilan menghargai dan memelihara mereka. Ini juga tidak berarti bahwa manusia tidak boleh mengkonsumsi ternak, sejauh dalam koridor kebutuhan, bukan ketamakan.
(7) Bagian Doa Bapa Kami “berikanlah kami kepada kami pada hari ini makanan kami yang secukupnya”, juga mempunyai implikasi etis dan tugas pemeliharaan alam ciptaan Tuhan. (Studi yang pernah saya lakukan terhadap bagian ini menyimpulkan bahwa terjemahan yang lebih tepat dari bahasa Yunani adalah “berikanlah kepada kami yang kami butuhkan untuk kehidupan’[8]).
(8) Reformator Martin Luther melihat implikasi ekologis dari hukum keempat “ingat dan kuduskanlah hari Sabat” terhadap pemeliharaan alam ciptaan. Dia menekankan bahwa pada Sabat itulah kesempatan bagi ciptaan Tuhan untuk merayakan hidupnya. (Lihat penjelasannya dalam Katekismus Besar dan Katekismus Kecil). Fakta ini menunjukkan kekeliruan Lonning yang mengatakan bahwa para reformator juga dipersalahkan karena ajaran mereka dianggap penyebab timbulnya krisis ekologi khususnya karena ajaran mereka dianggap terfokus pada keselamatan sebagai hubungan personal manusia kepada Allah.[9] Ajaran Martin Luther mewarnai isi Buku Konkord (Inti Pengakuan Iman dan ajaran Gereja Lutheran) yang amat jelas menekankan perlunya sense of enoughness (rasa cukup) dan simplicity life-style (pola hidup sederhana).
(9) Lembaga Gerejawi dari tingkat lokal hingga internasional telah lama dan banyak menggumuli dan berjuang untuk memperdulikan kelestarian alam ciptaan Tuhan. Misalnya, DGD, LWF, CCA, ELCA, PGI dan lain-lain dalam berbagai Sidang Rayanya atau komisi-komisi yang dibentuk sudah banyak merumuskan analisis dan refleksi teologis sekitar tema eco-theology.
(10) C.S. Song[10] yang mendasarkan ‘misi’ tidak saja dari Amanat Agung Tuhan Yesus (Mat. 28:18-20) tetapi juga dari berita penciptaan (Kej. 1). Kalau Allah memelihara ciptaanNya, maka misi Gereja seharusnya juga memelihara ciptaan Tuhan.
(11) Paus Paulus II dalam berbagai kesempatan mengungkapkan gagasannya yang amat mencerahkan menyangkut keberadaan alam ciptaan di hadapan Allah dan bagaimana manusia memperlakukannya. Salah satu di antaranya, ia mengatakan:

Kuasa yang diberikan oleh sang Pencipta kepada manusia, bukanlah kuasa absolut….Sejak awal sang Pencipta sudah menetapkan pembatasan yang secara simbolik dinyatakan melalui larangan memakan buah pohon (tertentu di taman Eden) yang menunjukkan dengan amat jelas bahwa kita tidak saja mengacu pada hukum-hukum biologis tetapi juga pada hukum moral, yang tidak dapat dicemari dengan kebebasan.

Untuk merancang bangun eco-theology kontekstual dibutuhkan kerelaan gereja dan orang Kristen untuk menghargai pemahaman dan sikap budaya tertentu atau penganut agama lain, yang juga memiliki kepedulian akan perdamaian di antara manusia dan perdamaian terhadap alam.

Meskipun bukan seorang teolog, namun pernyataan mantan Sekretaris Jenderal PBB Boutros Boutros-Ghali terkesan amat sarat dengan muatan teologis.

We have been told that we are to love our neighbors as ourselves, and it is true. But now we are learning that we must also love the earth. For thousands of years ancient cultures believed that the earth had a soul, that we live in a spiritual relationship with the world. And today we must restore that sense, in order to build a new ethical and political context to live and act with earth.[11]

Dalam konteks Indonesia, hampir semua kelompok etnis yang ada di negeri ini memiliki semacam ‘kearifan lokal’ dalam bersikap dan bertindak terhadap alam yang memperlakukan makhluk bahkan tumbuhan sebagai ‘subjek’ bukan ‘objek’ semata. Hal ini memang benar secara teologis. Mazmur 150: 6, misalnya, berbunyi, “biarlah segala yang bernafas memuji Tuhan”. Dalam studi biologi jelas bahwa tumbuhan pun bernafas. Setahu saya, teolog Indonesia yang pertama sekali memunculkan dan menekankan ‘kesubjekan’ makhluk dan tumbuhan adalah Dr. A.A. Yewangoe. Ia menegaskan bahwa semuanya itu juga diperdamaikan dengan Allah.[12]

Kembali ke masalah ‘kearifan lokal, apa yang disuguhkan oleh Dr. Geoffrey Lilburn dengan mengangkat contoh pemahaman dan perlakuan suku Aborigin (Australia) dan Suku Indian (Amerika) terhadap tanah amat relevan. Artinya, kita terpanggil untuk menghargai ‘kearifan lokal’, tanpa harus meromantisasi[13] tradisi masa lalu.

Dapat ditambahkan kepada apa yang dikemukakan oleh Geoffrey yakni kearifan kelompok Amish di Amerika Serikat yang sampai sekarang meskipun dalam jumlah yang relatif kecil tetapi masih eksis. Sebuah ‘amsal’ Amish berbunyi, “Kita tidak mewarisi tanah dari nenek moyang kita, kita meminjamnya dari anak-anak kita”.[14]

Masyarakat Batak tradisional pun sebenarnya punya kearifan berkaitan dengan alam. Sebagai contoh, sebelum misionaris datang, orang tidak boleh sembarangan bicara (bicara tidak senonoh) di Danau Toba, apalagi buang air kecil atau buang air besar sangat tabu, karena ‘penghuninya’ bisa marah. Sesudah kekristenan masuk ke tanah Batak, jangankan buang air besar, ‘buang air besar-besaran’ pun (=limbah) ke danau seolah tidak ada masalah dan orang tidak merasa bersalah.

Menyebut contoh lain, pada era Soeharto, pernah sekelompok suku Dayak akan direlokasi atas nama pembangunan. Penduduk setempat menolak dan berkata, “kami tidak tinggal di hutan, kami adalah hutan”. Ini menunjukkan pemahaman dan sikap kedekatan bahkan kesatuan mereka dengan alam.

Di samping itu, dapat dipastikan bahwa agama-agama dunia dan aliran-alairan kepercayaan yang masih hidup sekarang ini pada dasarnya mengajarkan dan menganjurkan sikap santun dan hormat terhadap alam ciptaan Tuhan.

REKOMENDASI

1. Kepada Gereja dan Masyarakat

(1) Gereja-gereja perlu didorong ke arah pelayanan yang berorientasi ‘sadar keutuhan ciptaan’ melalui kurikulum sekolah sidi, seminar, khotbah, tulisan-tulisan di dalam media massa dan majalah gerejawi dan keterlibatan langsung menghijaukan komplek gereja, komplek hunian warga jemaat dan sebagainya.

(2) Warga jemaat dan masyarakat perlu mengembangkan pola hidup atas dasar ‘kebutuhan’ bukan ‘keinginan’. Sudah saatnya warga masyarakat mengembangkan modest life-style (gaya hidup minimalis) dengan rumah kecil, sederhana, sedikit barang-barang dan sebagainya. Sebab, pembangunan rumah-rumah hunian yang besar (padahal penghuninya sangat sedikit) juga akan mengorbankan alam.

2. Kepada Lembaga-lembaga Pendidikan

Sudah saatnya kurikulum pendidikan dari tingkat dasar sampai perguruan tinggi dirancang sedemikian rupa agar ‘ramah lingkungan’. Hal ini disertai dengan penciptaan lingkungan sekolah yang hijau serta penanganan sampah dan sumber polutan lainnya dengan baik.

Khusus untuk universitas-universitas, alangkah baiknya jika dibentuk fakultas Ekologi. Dalam hal ini, mudah-mudahan Universitas HKBP Nommensen dapat memulainya. Isi kurikulum dapat dirumuskan secara bersama-sama oleh berbagai kalangan. Mungkin di antaranya berkaitan dengan ekosistem, masalah sampah rumah tangga, limbah industri, AMDAL, lapisan ozon, penanganan polusi, penghijauan, pupuk, pestisida, manajemen lingkungan, air sehat, dan lain-lain.

Kepada fakultas-fakultas di Universitas, Sekolah Tinggi, Akademi dan sebagainya perlu ditawarkan mata kuliah ‘ekologi’. Untuk Sekolah-sekolah Tinggi Teologi di Indonesia, misalnya dibutuhkan mata kuliah “Keadilan, Perdamaian dan Keutuhan Ciptaan” (KPKC), sebagaimana sejak lama digumuli oleh DGD. Sebagai contoh yang baik dalam hal ini adalah The Lutheran Theological Seminary at Philadelphia, USA), yang menawarkan mata kuliah Environtmental Ethic (Etika Lingkungan Hidup).

Di samping itu, lingkungan kampus juga hendaknya benar-benar ‘ramah lingkungan’ dengan terciptanya kampus yang hijau, penghematan penggunaan kertas dan sampul plastik. Mengambil sebuah contoh sederhana, kalau 400 mahasiswa dengan masing-masing satu tugas kuliah untuk 9 mata kuliah semester menggunakan sampul plastik dengan harga masing-masing Rp. 2000, maka dalam satu semester mahasiswa STT HKBP telah membuang Rp. 7.200.000 hanya untuk sampul tugas kuliah –yang akan menjadi sampah. Jadi, mahasiswa menghabiskan jutaan rupiah untuk menambah sampah, bukan menangani sampah. Hal yang sama bisa dihitung di semua Perguruan Tinggi di Indonesia, yang mungkin angkanya akan sangat mencengangkan.

3. Kepada Pemerintah

Tidak bisa dipungkiri bahwa kebijakan pemerintah yang terutama berorientasi pada pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu penyebab utama krisis ekologi saat ini. Membengkaknya hutang luar negeri (yang sebagian di antaranya habis dikorupsi) juga harus dibayar dengan mengeksploitasi alam secara berlebihan. Mengambil satu contoh, adalah dengan kebijakan pemerintah menaikkan harga BBM baru-baru ini. Presiden Yudoyono mengatakan bahwa kebijakan tersebut (meskipun pahit) diambil demi kebaikan ekonomi Indonesia di masa depan. Hal senada juga dikatakan oleh seorang pakar ekonomi yang bekerja di Bank Indonesia, Dr. Tarmidin Sitorus, dalam ceramahnya di STT HKBP Pematangsiantar, 19 Januari 2006. Pandangan ini perlu dengan sungguh-sungguh ditelaah dengan jernih. Yang jelas, setelah naiknya harga BBM banyak warga desa yang tadinya sudah menggunakan kompor minyak tanah untuk memasak, terpaksa kembali menebangi pohon untuk dijadikan kayu bakar. Tindakan ini akan semakin memperparah kerusakan alam. Bagaimana masa depan Indonesia jika hal ini terus berlanjut? Dalam hal ini, pemerintah perlu dengan sangat serius menempatkan ekonomi dan ekologi secara bersama-sama.

PENUTUP

Secara teologis, ‘akhir zaman’ adalah sesuatu yang dinantikan oleh umat manusia. Akan tetapi, mencermati kecenderungan yang ada, bisa saja ‘akhir zaman’ tiba sebelum waktunya karena ‘dirampas’ oleh manusia sebagai akibat dari pengrusakan alam ciptaan Tuhan. Gereja dan orang Kristen serta seluruh umat manusia terpanggil merawat ciptaan Tuhan.

Weizsäcker (yang sumber atau nama bukunya terlupakan) dengan amat mengesankan mengatakan:
No peace without justice
No justice without peace
No justice without freedom
No freedom without justice
No peace among the people without peace with nature
No peace with the nature without peace among people
Peace is not the absence of trouble but the presence of God

































[1] Merupakan pengembangan dari materi yang pernah disampaikan sebagai bandingan ceramah Dr Geoffrey R. Lilburne dalam ‘diskusi teologi’ Dosen STT HKBP, Pematangsiantar, 02 Desember 2005
[2] John Hart sebagaimana dikutip Geoffrey R. Lilburne, A Sense of Palace. A Christian Theology of the Land, Nashville: Abingdon Press, 1989, hlm. 90
[3] Philipus Tule dan Wilhelmus Djulei (Eds.), Agama-agama Kerabat Alam Semesta, Ende: Nusa Indah, 1994, hlm. 22
[4] David Niven, Rahasia Orang-orang Bahagia, Semarang: Dahara Prize, 2005, hlm. 294
[5] Hans Küng, Global Responsibility. In Search of a New World Ethic, New York: Croassroad, 1991, hlm. 2
[6] Dikutip oleh E.G. Singgih, “Dasar Teologis dari Pemahaman Mengenai Keutuhan Ciptaan, dalam Th. Sumartana dkk. (Peny.), Terbit Sepucuk Taruk. Teologi Kehidupan 60 tahun Dr. Liem Khiem Yang, Jakarta: P3M STTJ dan Balitbang PGI, hlm. 245. Hal yang sama juga disebut oleh Geoffrey R. Lilburne, A Sense of Place. A Christian Theology of the Land, Nashville: Abingdon Press, 1989, hlm. 24
[7] Penjelasan selengkapnya lihat Ibid.
[8] Sebuah tulisan yang pernah diminta oleh Panitia Buku Ulang Tahun Dr. Lothar Schreiner (belum jelas apakah buku dimaksud sudah terbit).
[9] Per Lonning, Creation – An Ecumenical Challenge?, Macon: Mercer University Press, 1982, hlm. 24.
[10] Dikutip oleh David J. Bosch, Transforming Mission. Paradigm Shift in Theology of Mission, Maryknoll: Orbis Books, 1991, dan juga Widi Artanto, Menjadi Gereja Misioner Dalam Konteks Indonesia, Yogyakarta: Kanisius, 1997
[11] Wesley Granberg-Michaelson, Redeeming the Creation. The Rio Earth Summit: Challenge for the Churches, Geneva: WCC, 1992, hlm.25
[12] Lihat A.A. Yewangoe, Pendamaian. Suatu Studi tentang Pemulihan Relasi Antara Allah, Manusia dan Alam Semesta, Jakarta: BPK.
[13] Yang dimaksud dengan ‘meromantisasi’ masa lalu di sini, adalah anggapan bahwa kita harus sepenuhnya kembali seperti masa silam.
[14] Fred van Dyhe, (dkk.), Redeeming Creation. The Biblical Basis for Environtmental Stewardship, Downess Grove, Illinois: Intervarsity Press, 1996, hlm. 71

No comments:

Post a Comment

Kami sangat menghargai komentar Anda yang membangun.


ShoutMix chat widget