Saturday, May 19, 2007

Masalah Kekerasan

KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA (KDRT)
Ditinjau dari Ajaran Martin Luther
[1]


Jika setiap keluarga menyapu halaman rumahnya,
Maka seluruh kota akan bersih.

(Pepatah Jerman)

PENGANTAR

Reformator Luther amat prihatin terhadap masalah para orangtua dan kaum muda pada zamannya, yang ia sebut tidak terkendalikan. Luther berkata, “Orangtua juga tak banyak gunanya. Orang tolol justru mendidik orang tolol. Anak-anak mereka hidup sama seperti orangtuanya”[2] Berkaitan dengan keprihatinan itu Luther berusaha mengajak para orangtua dan anak-anak untuk sungguh-sungguh berpaling pada Allah dan menghayati firmanNya dengan benar.
Luther tidak saja mengajak atau menasihatkan, tetapi ia menghidupi apa yang ia imani dan melakukan apa yang ia katakan. Ia berdoa setiap pagi dan setiap ada kesempatan, dengan Doa Bapa kami, Kesepuluh Firman, Pengakuan Iman Rasuli, membaca mazmur, bahkan membaca katekismus juga.

PERNIKAHAN

Akhir-akhir ini tidak sedikit keluarga yang kandas pada perceraian. Kenyataan ini lebih parah di negara-negara maju seperti Amerika Serikat, negara-negara Eropa dan lain-lain yang tingkat perceraiannya sangat tinggi. Di negara-negara tersebut terdapat banyak single parent yang berdampak buruk pada perkembangan dan kepribadian anak-anak di tengah keluarga. Pengalaman serupa sudah mulai melanda Indonesia, terutama di kota-kota termasuk di dalamnya keluarga-keluarga Kristen.

Dalam sebuah ‘kotbah pernikahan’ yang disampaikan oleh Luther, ia menekankan ‘kasih’ sebagai nilai dan pengikat tertinggi sebuah pernikahan. Pernikahan adalah sebuah perjanjian kesetiaan.[3] Luther menekankan perlunya pendampingan pra-nikah, baik dari orangtua maupun dari Gereja. “Janganlah seseorang buru-buru menikah sebelum memahami hukum Tuhan dan sebelum dapat berdoa dengan baik.”[4]

Seperti sudah disinggung sebelumnya, bahwa seluruh uraian Luther tentang pernikahan mencerminkan bahwa ia menjungjung tinggi kesetaraan. Hal ini terlihat misalnya dengan kata kunci saling. Di antaranya:

- “Sungguh penting suami dan istri hidup bersama-sama dalam kasih dan kerukunan, sehingga mereka saling memperhatikan dengan sepenuh hati dan benar-benar setia satu sama lain (saling setia)”[5]
- Luther menegaskan bahwa “Paulus terus menerus mengingatkan para suami dan istri untuk saling mengasihi dan menghormati”.[6]

Apa yang diungkapkan oleh Luther perlu mendapat perhatian khusus keluarga Kristen dewasa ini. Data-data menunjukkan bahwa tingkat perceraian keluarga Kristen meningkat dari tahun ke tahun (terutama di kota-kota).

ORANGTUA TERHADAP ANAK

Tidak diragukan bahwa Martin Luther sangat memberi perhatian pada anak-anak. Ia menyusun Katekismus untuk mengajar anak-anak dan orang awam agar bertumbuh dalam iman dan ketaatan kepada Tuhan.

(1) Tugas Orangtua

Usaha utama para orangtua adalah menasihati dan membina anak-anak untuk menjunjung tinggi Firman Tuhan. Tugas ini sudah ditegaskan secara khusus ketika orangtua membawa anaknya untuk dibaptiskan.

Luther menegaskan, hendaknya orangtua tidak mempersiapkan anak-anaknya hanya untuk menyenangkan dunia dan menjadi kaya, tetapi sejak dini harus dipersiapkan menjadi seorang Kristen yang baik.[7] Penegasan Luther ini perlu mendapat perhatian khusus para orangtua dewasa ini di tengah kecenderungan banyak orangtua yang lebih memikirkan pendidikan anaknya supaya kelak mendapat pekerjaan, jabatan dan menjadi kaya, tetapi kurang menekankan pendidikan karakter dan nurani. Hal ini amat kentara dengan hilangnya persekutuan doa di keluarga dan kurangnya keaktifan kaum muda dalam mengikuti ibadah di gereja.

Dengan tegas Luther mengatakan, “Setiap kepala keluarga harus mengingat bahwa oleh pesan dan perintah Allah mereka wajib mengajar dan mengusahakan agar anak-anak mereka mempelajari apa yang seharusnya mereka ketahui. Mereka hendaknya aktif dalam perayaan Perjamuan Kudus.[8]

Para orangtua juga hendaknya mengharuskan anak-anak dan pemuda untuk aktif dalam ibadah Minggu. Sebab, hari Minggu dimaksudkan juga untuk memberitakan firman Allah kepada kaum muda dan orang banyak (Penjelasan Hukum Taurat IV). Seruan Luther tidak mendapat tempat sepantasnya pada orang-orang Jerman hingga hari ini, terbukti dengan kehadiran peserta kebaktian di gereja-gereja Jerman yang sangat sedikit jumlahnya. Kenyataan ini hendaknya tidak terjadi pada gereja-gereja di Indonesia.

Sebuah hasil penelitian akhir-akhir ini menunjukkan bahwa rata-rata Kecerdasan Intelektual (IQ) generasi sekarang lebih tinggi dibandingkan dengan satu generasi sebelumnya, tetapi Kecerdasan Emosional (EQ) generasi sebelumnya lebih baik ketimbang generasi sekarang. Hal ini dapat dimengerti mengingat perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang memungkinkan fasilitas generasi sekarang lebih baik seperti adanya komputer, internet dan sebagainya yang sebelumnya umumnya tidak digunakan oleh orangtua mereka. Tetapi perbaikan berbagai fasilitas yang ada itu tidak serta merta diimbangi dengan pendidikan karakter generasi muda. Itu sebabnya ada kesan bahwa anak-anak atau pemuda sekarang lebih tidak peduli, memiliki tata krama yang rendah dan sebagainya dibandingkan dengan orangtua mereka.

(2) Metode Pendidikan Anak

Ada begitu banyak kasus kekerasan terhadap anak, walaupun terkadang dikemas dalam slogan demi pendidikan anak. Tidak sedikit anak yang mengalami tindak kekerasan di tengah keluarga, mengalami kekerasan juga di lingkungan sekolah oleh guru, bahkan –ironisnya—ada pula anak-anak sekolah Minggu yang dipukul oleh guru Sekolah Minggu supaya diam dan tenteram. Di manakah tempat yang aman bagi seorang anak yang mengalami hal demikian setiap hari?

Luther menekankan bahwa cara pendidikan anak-anak dan kaum muda hendaknyalah dengan cara sederhana, ramah, gembira dan bergurau (Lihat uraian Luther tentang Hukum Taurat II). Itu artinya menghindari segala bentuk kekerasan seperti kekerasan fisik (memukul, menjewer dan sebagainya) dan kekerasan psikologis: mengancam, menakut-nakuti, menghina, merendahkan dan sebagainya).

Luther menganjurkan agar setiap kepala keluarga wajib menanya anak-anaknya sekurang-kurangnya sekali seminggu untuk melihat apakah mereka telah mempelajari katekismus dan sejauh mana mereka mengetahuinya. Orangtua perlu melatih anak-anak untuk mengulangi setiap hari, ketika mereka bangun tidur, ketika mereka hendak makan dan ketika mereka hendak tidur malam.[9] Luther sendiri menerapkannya kepada anaknya.[10]

Sebagai tambahan, orangtua dapat mengajar anak-anak dengan mazmur dan kidung pujian yang didasarkan pada Katekismus, untuk meresapkan apa yang telah mereka pelajari, supaya kaum muda dituntun kepada Kitab Suci dan makin berkembang setiap hari.

Jika orangtua gagal mendidik anaknya, Luther menganjurkan agar orangtua meminta pertolongan orang lain. Semua usaha perlu ditempuh karena, seperti Luther katakan, ‘anak-anakmu adalah gereja, mimbar, dan perjanjian”.[11]

Apa yang dikemukakan oleh Luther secara tidak langsung berpadanan dengan kerinduan Mahatma Gandhi yang dengan amat mengesankan mengatakan sebagai berikut.

Kalau kita berusaha untuk menciptakan damai di dunia ini, kita harus mulai dengan anak-anak. Dan kalau mereka bertumbuh dalam keluguan alaminya, kita akan memperoleh buah-buah yang dicita-citakan dan kita akan hidup dengan memiliki semangat kasih agar mampu menjadi mengasihi dan memiliki semangat damai sehingga mampu menjadi pencipta perdamaian, hingga akhirnya semua sudut penjuru dunia diliputi oleh perdamaian dan kasih, yang entah disadari atau tidak disadari merupakan kehausan seluruh jagat raya ini.[12]

Dapat ditambahkan bahwa keberadaan anak di tengah keluarga, bukanlah sebagai aset atau sebuah alat pencapaian cita-cita orangtua semata. Sebagai yang demikian, segala unsur pemaksaan ‘memformat’ anak sepenuhnya menurut kehendak orangtua (biasanya disebut dengan mental pigmalion) mesti dihapus dari kamus keluarga.

Seorang pakar dan pemerhati pendidikan terkemuka di Indonesia, D. Drost, SJ., misalnya menyebut beberapa kesalahan yang cukup sering dibuat orangtua, yakni:[13]
¨ Menuntut Sekolah TK mengajarkan berhitung dan membaca, dan menuntut SD mengajarkan bahasa Inggris.
¨ Menyuruh anak SD yang peringkatnya biasa-biasa saja mengikuti bimbingan belajar dan mencarikan guru les untuk meningkatkan peringkatnya.
¨ Memaksa anak TK dan SD masuk les musik dan tari, padahal anak tidak berbakat.
¨ Mencarikan anak SLTP guru-guru les supaya peringkatnya tinggi.
¨ Memaksa anak SLTP masuk SLTA yang terlalu berat.

Semuanya itu, masih menurut Drost, memperlihatkan bahwa orangtua tidak menerima anak apa adanya. Anak bukan anak itu lagi, tetapi rekaan orangtua. Tidak lagi demi kebahagiaan anak, tetapi demi kepuasan orangtua. Itu bukan bimbingan, melainkan penggiringan.
Dapat dibayangkan bagaimana seorang anak akan merasa tertekan bahkan frustrasi dengan penggiringan demikian. Konsekuensinya, anak akan bertumbuh dalam suasana tertekan dan kehilangan kegembiraan sebagai salah satu penghambat pertumbuhan kepribadian dan karakter yang sehat.

Dapat ditambahkan bahwa apa yang diungkapkan oleh Dorothy Nolte berikut dapat menjadi pertimbangan bagi para orangtua dalam pendidikan anak:[14]
Jika anak dibesarkan dengan celaan
Ia belajar memaki.
Jika anak dibesarkan dalam permusuhan,
Ia belajar berkelahi
Jika anak dibesarkan dengan cemoohan,
Ia belajar rendah diri
Jika anak dibesarkan dengan penghinaan
Ia belajar menyesali diri
Jika anak dibesarkan dengan toleransi,
Ia belajar menahan diri.
Jika anak dibesarkan dengan dorongan,
Ia belajar percaya diri.
Jika anak diajarkan dengan sebaik-baiknya perlakuan,
Ia belajar keadilan
Jika anak dibesarkan dengan kasih sayang,
Ia belajar menemukan cinta dan keadilan.

Yang hendak dikemukakan di sini ialah pentingnya orangtua memohon hikmat dari Tuhan untuk memampukan mereka mendidik dan mengasihi anak-anak sebagaimana Tuhan sangat mengasihi anak-anak.[15]

(3) Masalah Kekerasan Terhadap Anak

Amat tegas dan jelas bahwa Luther anti-kekerasan terhadap anak. Ia mengatakan, “kalau kita harus memaksa mereka dengan rotan dan tamparan, kita tidak akan membuat mereka menjadi orang yang berbudi; paling-paling mereka baik selama mereka diancam dengan rotan. Pendidikan yang saya maksudkan berakar dalam hati dan melatih anak-anak dan kaum muda untuk menghormati Allah, bukan rotan dan pentung.”

Luther berpendapat bahwa sesuatu yang baik akan berakar, bertumbuh dan berbuah dan akan berkembang menjadi orang-orang yang dapat memberi kegembiraan dan kesukaan bagi seluruh negeri.

Karena itu, masih menurut Luther, hendaknya kita menghimbau dan mendorong anak-anak untuk menghormati nama Allah serta terus menggunakannya dalam hal apa pun yang terjadi atas mereka atau apa pun yang mereka perhatikan. (Lihat Penjelasan tentang Hukum Taurat II)

Dapat ditambahkan bahwa Luther dengan tegas mengatakan bahwa kita tidak dapat memaksa seseorang untuk beriman (termasuk orang tua tidak dapat memaksa anak-anaknya untuk beriman), (Pengantar Katekismus Kecil). Kata ‘memaksa’ di sini identik dengan kekerasan.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kekerasan terhadap anak dalam bentuk kekerasan psikologis (mengancam, menakut-nakuti, merendahkan, menghina dll.), kekerasan fisik (memukul, melukai, memaksa bekerja melampaui kemampuan anak dsb) serta kekerasan non-fisik (seperti pengabaian dengan tidak memberikan pengobatan jika anak sakit) harus dihindari.

ANAK TERHADAP ORANGTUA

Dalam berbagai kesempatan, Luther menekankan sikap baik anak terhadap orangtua seperti mengasihi, menghormati, memperhatikan kebutuhan mereka ketika mereka tua atau sakit dan sebagainya.

(1) Sikap Anak terhadap Orangtua

Luther menekankan bahwa Allah tidak hanya menyuruh kita ‘mengasihi’ orangtua tetapi juga menghormatinya.[16] Hal ini dapat dimengerti karena anak-anak mendapat kasih Allah melalui kasih orang tua. Pemeliharaan Allah nyata melalui pemeliharaan orangtua terhadap anak. “Mereka (anak-anak) memperoleh tubuh dan hidup dari orangtuanya, serta dipelihara dan diasuh oleh mereka. Jika tidak, tentu sudah ratusan kali mereka mati lemas dalam kotorannya sendiri”.[17]

Karena itu, menurut Luther, anak-anak harus mengasihi dan menghormati orangtuanya yang mewujud dalam sikap sopan, rendah hati, berbicara kepada mereka dengan penuh kasih dan kelembutan, tidak menghardik. Luther menambahkan, anak harus mengormati orangtua mereka kendatipun mereka sangat hina, miskin, lemah dan aneh, mereka tetaplah ayah dan ibu yang diberikan Allah.[18]
[1] Merupakan pengembangan dari ceramah yang disampaikan pada Lokakarya Theologia bagi Warga Gereja, Toledo Inn, Ambarita-Samosir, 11 Nopember 2005
[2] Martin Luther, 1996, hlm. 56
[3] Timothy F. Lull (Ed.), Op.Cit., hlm. 633
[4] Ibid., hlm. 635
[5] Martin Luther, 1996, hlm. 82
[6] Ibid., hlm 83
[7] Timothy F. Lull, op.cit., hlm. .636
[8] Martin Luther, 1996, hlm. 227-228
[9] Martin Luther, 1996, hlm 9
[10] John Bidel Pasaribu (Penerj.), Katekismus Dr Martin Luther, Jakarta: Yayasan Borbor, 2004, hlm. 30.
[11] Timothy F. Lull, Op.Cit., hlm. 637
[12] Dikutip oleh Paskalis Bruno Syukur, “Pendidikan dan Sekolah Berwawasan Ekologis dalam Terang Pemikiran Bonaventura”, dalam Eddy Kristiyanto, (Ed.), Spiritualitas dan Masalah Sosial, Jakarta: Obor, 2005, hlm. 139
[13] J. Drost, Dari KBK sampai MBS. Esai-esai Pendidikan, Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2005, hlm. 103
[14] Sebagaimana dikutip oleh Agustinus Alibata, “Anak-anak Korban Pola Asuh Orangtua” dalam KOMPAS, edisi Minggu, 7 April 2002, hlm. 27
[15] Uraian lebih rinci tentang hal ini lihat Victor Tinambunan, Renungan Seputar Kehidupan Keluarga dan Masyarakat, Gunungsitoli: STT BNKP, 2004, khususnya bagian “Orangtua dan Anak: Kuasa atau kasih”, hlm. 79
[16] Martin Luther, 1996, hlm. 51
[17] Ibid., hlm. 58
[18] Ibid., hlm. 51

No comments:

Post a Comment

Kami sangat menghargai komentar Anda yang membangun.


ShoutMix chat widget