Saturday, May 19, 2007

Orangtua dan Anak


Orangtua dan Anak:
Kuasa atau Kasih?
[1]

Dan kamu, bapa-bapa, janganlah bangkitkan amarah di dalam hati anak-anakmu, tetapi didiklah mereka di dalam ajaran dan nasihat Tuhan (Efesus 6:4)

Kelahiran dan kehadiran seorang anak dalam keluarga merupakan salah satu peristiwa dimana Allah menyatakan kehadiran dan karyaNya yang masih sedang berlangsung. (Tidak berarti bahwa Allah tidak bekerja di tengah keluarga yang tidak atau belum memiliki anak.) Karena itu, menyambut seorang anak adalah menyambut anugerah Tuhan dengan sukacita dan ucapan syukur. Sebagai anugerah, mereka harus dibesarkan dalam keramahan dan bukan kemarahan.

Sekilas pandang, ada yang aneh di sini. Mengapa Paulus berbicara tentang hubungan orangtua dan anak? Jelas, tidak menjadi soal apakah Paulus mempunyai pengalaman mendidik anak atau tidak. Yang paling penting adalah bahwa Paulus mengingat anak-anak yang tidak dilupakan oleh Kristus. Paulus peduli kepada anak-anak karena Kristus peduli kepada mereka. Paulus benar-benar mengikut Kristus dan karena itu ia sungguh-sungguh bergerak seirama dengan gerak Kristus. Tuhan Yesus telah dan sedang menunjukkan kepedulian dan kasihNya kepada anak-anak. RangkulanNya yang begitu hangat dan bersahabat memungkinkan anak-anak bertumbuh dalam suasana rahmat. Dalam hal ini, anak-anak tidak terutama dilihat dari segi “kepemilikan” orangtuanya tetapi dari kepemilikan Kristus; tidak terutama dilihat sebagai tanggungan orangtua tetapi tanggungan dan pemeliharaan Kristus.

Dalam kaitan itu, keluarga merupakan persekutuan iman dengan segala perwujudannya. Artinya, keluarga merupakan jemaat; dan jemaat –sebagaimana disebut oleh Paulus—merupakan satu tubuh dan Kristus adalah kepala. Ketika Kristus menjanjikan dan menjamin: “Aku menyertai kamu senantiasa sampai kepada akhir zaman”, itu berlaku juga untuk keluarga; sampai pada hari ini!

PANGGILAN ORANGTUA: TERBUKA KEPADA KRISTUS

Ayat 4 dimulai dengan “jangan membangkitkan amarah…”, tidak dimulai dengan pernyataan positif “didiklah mereka”. Berbeda dengan ayat sebelum dan sesudahnya, yang dimulai dengan pernyataan: “hai anak-anak, taatilah orangtuamu di dalam Tuhan” (ay 1); hai hamba-hamba, taatilah tuanmu…” (ay 5) ”. Perlakuan membangkitkan amarah dalam hati anak-anak seperti itu mungkin sedang menggejala atau bahkan merajalela ketika itu, sehingga seruan “jangan” lebih mengemuka.

Kepemimpinan seorang bapak yang otoriter biasanya ditandai dengan dua pasal “undang-undang dasar” yang berlaku dalam keluarga.

Pasal 1: Bapak tidak pernah salah.
Pasal 2: Jika bapak salah, berlakukan
pasal 1: bapak tidak pernah salah.

Itu sebabnya ada orangtua yang tidak pernah bersedia meminta maaf kepada anaknya. Tidak heran juga, jika ada anak-anak yang lebih bergembira dan merasa bebas kalau mereka berpisah dengan orangtuanya untuk sementara waktu. Ini merupakan salah satu pertanda pudarnya keakraban di tengah keluarga.

Generasi muda yang memendam amarah dan kebencian dalam hatinya --dan karena itu hidupnya dikendalikan oleh amarah dan kebencian-- menjadikan mereka tertutup kepada Allah, tertutup kepada kebenaran, dan –celakanya—tertutup terhadap kehidupan itu sendiri. Mereka akan cenderung mencari “keakraban” di luar rumah seiring dengan lenyapnya keakraban di dalam keluarga. “Keakraban” di luar rumah ini sering mewujud dengan mengkonsumsi narkotik dan obat terlarang. Ini merupakan semacam “bunuh diri kredit” (angsuran kematian) yang menghancurkan masa depan mereka.

“Jangan membangkitkan amarah di dalam hati anak-anakmu”! Mengapa? Bisa saja anak-anak tidak mengungkapkan kemarahannya tetapi menyimpannya dalam hatinya yang pada gilirannya berkembang menjadi kebencian dan penolakan kepada orangtuanya. Jika kemarahan bersarang dalam hati anak-anak, maka kepatuhan mereka terhadap orangtuanya pun tidak akan tergerak oleh kesadaran dan ketulusan. Mereka berhadapan dengan orangtua yang ‘ditakuti’ karena ‘kuasa’ bukan orangtua yang disegani dan dihormati karena wibawa: yaitu wibawa karena meneladani Kristus dalam kasih dan kepedulianNya kepada anak-anak.

Keluar an 20:12 yang berbunyi, “hormatilah ayah dan ibumu, supaya lanjut umurmu di tanah yang diberikan Tuhan, Allahmu, kepadamu”, merupakan “standar sosial” umat Israel. Bedanya, pada zaman Paulus, peranan kasih orangtua sangat ditekankan. Sebab, sangat sulit (kalau tidak mustahil) ‘menuntut’ anak-anak menghormati orangtuanya, jika ia tidak mendapat kasih sayang orangtuanya. Orangtua, sebagaimana dinasihatkan disini, adalah orangtua yang tidak terutama menuntut rasa hormat dari anak-anak tetapi menuntut diri sendiri untuk mengasihi dan memberi teladan kepada anak-anaknya.

Salah satu godaan yang bisa saja menghinggapi orangtua adalah menuntut anak-anak dengan mengatakan “lakukan seperti yang saya katakan!” bukan “lakukan seperti yang saya lakukan!” (teladani apa yang saya lakukan!). Kepatuhan yang tulus dari seorang anak kepada orangtuanya dimungkinkan dalam suasana penuh kasih antara orangtua dan anaknya.

Nasihat yang segar hanya dapat mengalir dari hati yang tenteram dan sejuk. Dalam hal ini, orangtua perlu memohon agar Tuhan menganugerahkan “lidah seorang murid” (Yes 50:4). Menyampaikan nasihat memang sulit, tetapi dengan ‘lidah seorang murid’ orangtua dapat mengkomunikasikan sesuatu dengan baik kepada anak-anaknya. Yang jauh lebih sulit adalah memberikan keteladanan. Sebab, seribu nasihat bisa saja tidak bermakna apa-apa tanpa satu keteladanan. Artinya, nasihat tidak terbatas pada kata-kata saja tetapi hidup yang meneladani Kristus, yakni: meneladani Kristus yang lemah lembut dan ramah (2 Kor 10:1), mengasihi, mengampuni, memberi perhatian kepada orang-orang kecil; memberi hidup, dan juga bersikap tegas dan keras menentang kemunafikan dan ketidakadilan.

Orangtua yang tidak membangkitkan amarah dalam hati anak-anak adalah orangtua yang membuka hatinya untuk ditenteramkan oleh Tuhan; hati yang diisi dengan hukum kasih yang dari Tuhan; orangtua yang meneduhkan dirinya dalam perlindungan Tuhan. Dalam hal ini posisi anak dan orangtua sama, yakni: sama-sama sebagai anak dan murid Tuhan Yesus. Karena itu, semua orang pantas dihargai dan dihormati.

Mendidik “dalam ajaran dan nasihat Tuhan”, juga berarti “bersama-sama dengan Tuhan”. Tuhan tetap pemilik anak. Tuhan tetap berperan sebagai pemelihara anak. Disini, orangtua berperan sebagai “rekan sekerja Tuhan”.

Tugas panggilan orangtua tidak hanya sekadar mengajar “tentang” Kristus kepada anak-anak, tetapi (dan terutama) bersama-sama datang kepada Kristus. Orangtua dan anak-anak bersama-sama terbuka kepada Kristus! Hanya dengan demikian orangtua dapat menasihati dari kedalaman hati: hati yang disentuh dan didiami oleh Kristus. Sebab, sesungguhnya orangtua yang layak didengar adalah orangtua yang mau dan mampu mendengar Kristus dalam hidupnya. Yang layak ditaati adalah orangtua yang taat kepada Allah.

Nasihat “didiklah” (tidak dikatakan “ajarlah!”), juga berarti “bawa atau arahkan meneladani Kristus”. Dan nasihat ini terkait erat dengan disiplin, baik dalam “kata” maupun “perbuatan”. Disiplin (ada hubungannya dengan disciple) artinya: hidup sebagai seorang murid, yang dalam hal ini sebagai seorang murid Kristus. Sosok orangtua yang layak mendidik anaknya, sebagaimana digambarkan Paulus di sini, adalah orangtua yang berdisiplin, yang bertindak sebagai murid Kristus juga. Jadi, didikan orangtua tidak sebatas agar anak berdisiplin soal waktu, tahu tata krama dsb, tetapi terutama menyangkut iman dan ketaatannya kepada Tuhan. Jika demikian, anak-anak pun akan terbimbing untuk melihat dan memperlakukan orangtuanya sebagai “tangan” Allah. Kepatuhannya juga akan senantiasa digerakkan oleh kepatuhan kepada Tuhan.

Dalam Perjanjian Baru peranan “pendidik” (paedagogos) umumnya berperan mendampingi seorang anak ke sekolah, menjaga agar terhindar dari bahaya, mengawasi tingkah lakunya di sekolah, di jalan, mengajar soal moral dan sebaginya. Paedagogos yang baik adalah perpaduan fungsi seorang perawat, pendamping dan pembimbing. Inilah salah satu tugas utama orangtua seirama dengan karya Kristus yang merawat, mendampingi dan membimbing anak-anak.

Hal ini mengingatkan kita kepada salah satu pertanyaan yang harus dijawab orangtua ketika membawa anaknya untuk dibaptiskan yang berbunyi: “Apakah saudara-saudara bersedia membimbing anak-anak ini agar mereka mengetahui dan melakukan firman Allah?” Orangtua menjawab, “ya saya bersedia”. “Mengetahui” dalam konteks ini, juga dimaksudkan agar anak-anak “merasakan karya Allah melalui seluruh kehidupan orangtuanya”. Anak-anak merasakan kasih Kristus melalui kasih orangtuanya.

PENDIDIKAN: MENELADANI KRISTUS

Ajaran dan nasihat Tuhan sebenarnya menyatu dalam “kasih”. Kasih di sini tidak saja sebatas hubungan interpersonal “aku-engkau”, tetapi kasih yang menjangkau setiap dan semua manusia. Dapat kita catat bahwa Hitler, yang sadis itu, misalnya sangat ‘mengasihi’ keluarganya. Ia bahkan berdoa dan membaca Alkitab secara rutin bersama keluarganya. Tetapi ia begitu sadis hingga membunuh banyak orang. Inilah bentuk “kasih” yang tidak menjangkau orang lain. Orang yang terbuka kepada Kristus selalu anti terhadap segala sesuatu yang merusak kehidupan. Orang yang terbuka kepada Kristus, selalu terbuka kepada sesama manusia yang di tengah-tengah mereka Kristus berkarya.

Mendidik dalam ajaran dan nasihat Tuhan, mencakup pendidikan kepekaan anak terhadap karya Kristus menegakkan keadilan dan kebenaran di dunia ini. Dalam kerangka kepedulian ini juga dibutuhkan sikap “kritis” yaitu menguji segala sesuatu dalam terang kehendak Kristus.

Pertanyaannya adalah, “apakah gerak keluarga kita memang sesuai dengan gerak pembebasan Kristus?” Pengakuan keluarga akan tindakan Kristus yang adil, mejadi dasar bagi kemampuan keluarga memihak kepada keadilan dan kebenaran. Jika satu keluarga sungguh-sungguh berhadapan dengan Kristus yang memberi diriNya bagi kehidupan manusia, maka keluarga itu juga akan bertindak seturut dengan pembebasan Kristus di dunia ini.

Dari keseluruhan perenungan di atas, yang kita pahami bersama Rasul Paulus adalah bahwa didikan kita mesti bertolak dari keterbukaan akan Kristus. Keterbukaan ini, akan nyata dalam kesediaan orangtua memperlakukan anak-anak sebagaimana Kristus memperlakukan mereka. Di situlah seluruh kehidupan keluarga bergerak dan punya arti!

Akhirnya, ijinkanlah saya mengajak pembaca yang budiman untuk berbicara dalam keterbukaan akan Kristus, merenungkan di hadapanNya beberapa pertanyaan ini.

1. Apakah dalam hidup bapak dan ibu pernah mengalami seolah-olah peristiwa pendidikan Tuhan tidak terjadi dalam keluarga kita? Mengapa!
2. Pernahkan terjadi, bahwa bapak dan ibu begitu bergairah atau bersemangat menasihati anak-anak atau generasi muda, tetapi jauh dari Kristus?
3. Apakah ada gerak dalam keluarga kita yang menyuburkan sikap di mana kita tidak terlibat dalam gerak Kristus yang peduli terhadap kehidupan sesama kita?
4. Apakah kita terbuka pada penyegaran kembali akan kasih, nasihat dan ajaran Kristus? Bila demikian, penyegaran ini akan kita temukan di saat kita mengasihi anak-anak dan generasi muda.
[1] Sebelumnya pernah disajikan sebagai pengantar Pemahaman Alkitab pada Sinode Agung HKBP (2000)

No comments:

Post a Comment

Kami sangat menghargai komentar Anda yang membangun.


ShoutMix chat widget