Sunday, October 24, 2010

PELAJARAN DARI HUJAN

REFLEKSI SENIN KE-43
25 Oktober 2010

Sudah seminggu lebih hujan tak turun. Debu jalanan mulai berterbangan. Tanaman yang tadinya mekar tampak tak segar. Suhu meningkat dan keringat pun bercucuran. Akhirnya, hujan deras pun turun seperti air ditumpahkan dari langit. Orang-orang berhamburan: menyelamatkan jemuran, menutup dagangan, dan mencari perteduhan. Terlihat ada yang merasa kesal dan sial. Rasa kesal dan sial ini tidak berdasarkan kelompok profesi, tetapi berdasarkan ‘suasana hati yang menyikapinya’. Ada pedagang es dan rujak yang merasa sial karena terpaksa harus pulang berhubung penurunan minat pembeli. Tapi, ada juga pedagang es dan rujak yang lain yang menerima tanpa perubahan raut wajah, karena sudah bersiap untuk menghadapinya dan tidak dapat berbuat apa-apa mencegah hujan. Di sudut yang lain tampak anak-anak telanjang dada berhamburan mandi hujan dengan teriak keceriaan. Berbeda dengan orangtua mereka yang suaranya meninggi menghardik anak-anak mereka untuk masuk ke rumah dan mandi. Beberapa orang dewasa lainnya yang sehari-hari menyiram depan rumahnya yang berdebu merasa lega karena curahan hujan mengambil alih tugas mereka. Lain pula sekelompok orang korban banjir bandang yang keluarga mereka beberapa waktu lalu terhanyut banjir. Kehadiran hujan kali ini membuka kembali memori duka.

Satu peristiwa turunnya hujan dapat menimbulkan reaksi yang berbeda-beda. Di sini, masalahnya bukan hujan melainkan keadaan orang-orang yang menerima curahan hujan. Keadaan ini menggambarkan hampir semua peristiwa kehidupuan. Reaksi-reaksi manusia amat teranyam ketat dengan kondisi (emosional) masing-masing. Karenanya, ketika kita bereaksi terhadap sesuatu kita tidak saja memperhatikan peristiwa ‘luar’ yang terjadi tetapi juga (dan terutama) memeriksa ‘ke dalam’, keberadaan, suasana hati atau kondisi emosional kita. Kita bisa saja kecewa, marah, mengutuki, padahal masalahnya bukan terutama suatu peristiwa yang terjadi, melainkan keadaan kita: ingin cepat mencapai sesuatu, merasa agenda pribadi kita terganggu, penghasilan kita menurun, orang lain untung dan kita merasa rugi, dan lain-lain.

Tetapi, kembali kepada hujan, ada yang berbeda sekarang ini. Hujan bukan semuanya lagi ‘alami’ tetapi sering terjadi ketidakteraturan dan curah hujan berlebihan atau malah sangat kurang untuk daerah tertentu karena perubahan iklim global; dan perubahan iklim global disebabkan oleh kerusakan alam ciptaan Tuhan ini. Kerusakan alam terutrama disebabkan oleh kerakusan manusia. Hujan juga sudah tercemar atau terpolusi. Jadi, menyaksikan hujan turun sekarang ini, kita tidak hanya menerimanya sebagai sesuatu yang alamai dan mensyukurinya sebagai pemberian Tuhan, tetapi juga berbuat secara konkrit merawat alam ciptaan Tuhan ini sebaik dan sebijaksana mungkin. Usaha konkrit yang dimaksudkan anatara lain: menghindari diri dari pola hidup konsumerisme, tidak atau sedikitnya sangat membatasi diri menggunakan barang-barang sekali pakai (kemasan minuman, manakan dll), menanam pohon, menggunakan kendaraan hemat bahan bakar dan sebagainya. Jangan sampai bumi ini kiamat sebelum waktu yang Tuhan tentukan.



No comments:

Post a Comment

Kami sangat menghargai komentar Anda yang membangun.


ShoutMix chat widget