Monday, October 4, 2010

SIAPA DI BALIK APA

REFLEKSI SENIN KE-40
04 Oktober 2010

Teringat pengalaman kuliah ketika masih duduk di semester 5. Karena kehidupan ekonomi yang masih di bawah pas-pasan, bersama dengan tiga orang teman seangkatan saya menerima pekerjaan mencat bangunan kampus [Agaknya upah yang kami terima masih di bawah UMR]. Mahasiswa baru sedang melakukan Kursus Intensif Bahasa Inggris (KIBI) sebelum memulai perkuliahan baru. Para mahasiswa mengira kami sebagai ‘pekerja tukang cat’ sungguhan. Hal ini tercermin dari ekspresi dan kata-kata mereka. Salah seorang di antara mereka pernah ‘menugaskan’ saya untuk membeli anti nyamuk bakar. Karena saya juga ketika itu kurang rela diketahui sebagai seorang mahasiswa merangkap ‘buruh kasar harian’, saya pergi juga membelinya. Ketika menyerahkan anti-nyamuk beserta dengan uang kembaliannya Rp. 500 (sekitar 10 sen dollar Singapura) si mahasiswa berkata, “kembaliannya sama abang aja!”. Kata ‘abang’ yang digunakan, bukan kepada seorang mahasiswa yang lebih senior (yang waktu itu sesuai ‘tradisi’ agak disegani bahkan ditakuti, tetapi kepada seorang tukang cat yang perlu disubsidi.

Peristiwa yang hampir sama dengan versi dan orang yang berbeda terjadi ketika saya baru saja ditugaskan menjadi dosen di perguruan yang sama pada 1999. Meskipun tinggal dalam satu rumah, tetapi karena belum berkeluarga saya sering sarapan di warung. Suatu pagi saya sama-sama sarapan di warung yang sama dengan seorang mahasiswa semester 7. Percakapan pun berlangsung. Entah bagaimana, si mahasiswa sampai pada satu pertanyaan, “Abang mau masuk S2 di kampus ini?” Jawaban ‘diplomatis’ saya waktu itu adalah, “Mungkin saya tidak diterima”. Tiga puluh menit kemudian, kami bertemu di ruang kuliah. Saya bisa lihat ekpresi wajahnya yang agak kaku mengingat kata-kata ‘abang’ yang dikatakannya setengah jam yang lalu harus berubah menjadi ‘bapak’ di ruang kuliah. [Catatan: yang jelas, tidak ada pengaruh peristiwa itu dengan nilai kuliah yang saya berikan kepada mahasiswa ybs, apalagi dia termasuk seorang mahasiswa yang cerdas]

Agaknya hampir semua orang pernah mengalami salah mengenal dan ‘disalah-kenal’. Hal ini menunjukkan bahwa bagaimana kita bersikap dan berkata-kata kepada orang lain, biasanya ditentukan oleh ‘siapa’ orang lain itu menurut pengenalan atau asumsi kita. Pengenalan yang dimaksudkan adalah berdasarkan label-label yang kita tempelkan pada orang lain yang umumnya amat dipengaruhi oleh pekerjaan, usia, penampilan seseorang itu, baik berdasarkan fakta maupun prasangka kita.

Kekristenan sangat menekankan pentingnya sikap ‘tidak memandang muka’ tetapi mengasihi dan menghormati semua dan setiap orang. Hanya dengan demikian kita terhindar dari sikap semena-mena terhadap pekerja upahan dan menjilat kepada orang yang punya tahta dan harta. Hubungan pun akan terbangun terutama atas dasar ‘kesiapaan’ seseorang sebagai sesama ciptaan Allah, sesama yang memiliki harkat yang sama, bukan pada ‘status’ ciptaan manusia.

Demikian pula halnya dalam menyikapi suatu peristiwa atau pengalaman kehidupan. Mengapa kita bersungut-sungut bahakan marah ketika mengalami suatu peristiwa kehidupan yang tidak sesuai dengan keinginan kita? Mungkin kita tidak melihat rencana Tuhan dalam peristiwa itu untuk mendatangkan kebaikan kita. Atau, mungkin kita melihatnya sebagai pekerjaan Tuhan dan kita menganggap Ia tidak adil. Yang jelas, segala perbuatan Tuhan selalu bertujuan untuk kebaikan kita dan keadilan yang sempurna hanya ada dalam Dia. Masalahnya, bagaimana kita melihat setiap peristiwa kehidupan menentukan hubungan dan sikap kita kepada Tuhan. Dan rasa hormat kepada Tuhan memungkinkan kita berserah pada penyelenggaraanNya.







No comments:

Post a Comment

Kami sangat menghargai komentar Anda yang membangun.


ShoutMix chat widget