Sunday, March 7, 2010

'CONTENTMENT', OBAT DEMAM BUMI

REFLEKSI SENIN KE-10
08 Maret 2010

Bumi sedang menderita demam. Bebera hari terakhir ini Singapura misalnya, mencapai 35 derajat Celcius. Manusia menderita, rumput mengering, nafas pohon-pohon terasa hangat, tidak segar lagi. Gejala-gejala gangguan kesehatan mulai terasa. Sulit membayangkan bagaimana keadaannya pada bulan Mei dan Juni nanti, yang biasanya lebih panas dibandingkan dengan bulan lainnya.

Perubahan iklim global yang terjadi akhir-akhir ini sama sekali bukanlah rancangan Tuhan, melainkan karena ulah manusia yang tidak menghormati alam semesta. Pohon-pohon dibabat habis-habisan. Penggunaan enerji berlebihan. Konsumsi sebagian manusia jauh melampui kebutuhan. Hal ini secara khusus dapat dikaitkan dengan ‘kerakusan’ dan ‘rasa tidak puas’ manusia.

Salah satu upaya menurunkan sakit demam bumi ini, kita perlu mengambil obat contentment. Kata contentment dapat diartikan sebagai “kebahagiaan yang dirasakan oleh seserorang dengan apa yang dimiliki”. Jadi ada rasa puas, senang, gembira, dan tenang. Bagi orang Kristen, rasa puas dan rasa cukup datang dari keyakinan yang teguh akan kemampuan Allah menyediakan segala kebutuhan kita (Matius 6:25-34). Contentment dapat kita lihat dalam diri Paulus, “aku telah belajar dari mencukupkan diri dalam segala hal” (Flp 4:11). Di bagian lain, Paulus mengatakan, “Memang Ibadah itu kalau disertai dengan rasa cukup, memberi keuntungan besar (1Tim 6:6). Jika tidak, ibadah dibelokkan untuk mencari kepuasan atau mengambil hati Allah untuk memenuhi keinginan-keinginan kita, yang belum tentu kebutuhan kita.

Tapi, berapa banyak ‘cukup’? Alkitab tidak memberi jawaban langsung atau angka konkret ‘berapa cukup’. Alkitab tidak menetapkan satu rumah, satu kendaraan, satu miliar uang sebagai ‘ukuran cukup’. Pertanyaan yang perlu kita jawab adalah, “apakah kita yang memiliki harta, atau justru harta yang memiliki kita?” Satu tanda bahwa harta benda yang memiliki kita adalah: harta menuntut sebagian besar waktu, enerji, minat dan perhatian kita. Yang jelas, tidak ada alat ukur yang mengukur berapa banyak terlalu banyak. Tetapi ia dapat diukur dengan sikap kita terhadap harta milik. Jika Allah adalah pusat kehidupan kita, bahwa kita dimiliki oleh Tuhan dan bukan dimiliki oleh harta milik kita, maka rasa puas dan rasa cukup akan terjadi dengan sendirinya.

Untuk tiba pada keadaan seperti itu, kita tidak boleh meremehkan pengaruh kekuatan budaya di sekitar kita. Kita mesti waspada terhadap dahsyatnya cengkeraman materialisme yang menggerogoti masyarakat kita sekarang. Tidak diragukan bahwa mayoritas umat manusia, dalam kurun waktu tertentu (atau bahkan seumur hidup), menempatkan harta milik menjadi pusat kehidupan.

Apakah mungkin menjadi kaya tanpa rakus? Dari pengalaman empiris, hal ini jarang kita temukan. Bishop Robert Solomon menyebutkan adanya dua macam kerakusan: kerakusan untuk mendapatkan apa yang tidak kita miliki dan kerakusan menumpuk atau menggenggam yang kita miliki.

Tidak diragukan bahwa kerakusan merusak diri, menghalangi orang hidup berkecukupan, dan menghancurkan alam semesta. Ambillah kerakusan makan sebagai contoh. Kerakusan akan makanan membuat kesehatan kita terganggu (itu sebabnya Martin Fischer berkata bahwa alat bunuh diri yang paling umum adalah sendok dan garpu); orang lain terhalang mendapat makanan secukupnya; terjadi kerusakan alam, baik untuk mendapat bahan makanan, proses pembuatannya, pengangkutan dan kemasan makanan yang merusak alam ciptaan Tuhan. Demikian juga halnya dengan kerakusan dalam bisnis, yang hanya mencari keuntungan ekonomi tanpa mempertimbangkan dampak ekologis, telah menambah penderitaan umat manusia, makhluk hidup dan alam semesta.

Jalan keluarnya? Membuang apa yang kita miliki atau memberikannya kepada orang miskin bukanlah jawaban lengkap --meskipun pada saat tertentu hal ini merupakan cara yang baik. Langkah pertama dan terutama adalah sepenuhnya berserah kepada penyelenggaraan Tuhan. Kita adalah milik Tuhan. Kemudian, dari situ akan jelas langkah berikut yang harus kita tempuh: berbagi dengan orang lain, berhenti berusaha (supaya alam dan makhluk lain dapat menikmati hidupnya), menikmati berkat kecukupan dari Tuhan dan sebagainya. Jadinya, rasa puas tidak hanya berhenti pada saat ‘menerima’ dari Tuhan, tetapi rasa puas ‘menikmati’ kecukupan dan ‘memberi’ apa yang kita terima, serta ‘mempertimbangkan’ dampak setiap tindakan dan pola hidup kita terhadap ekosistem.

Peter Kreeft dengan tepat mengatakan bahwa “obat penawar kerakusan adalah rasa puas dan kemurahan hati." Berkaiatan ini, kita perlu mendefenisikan ulang 'sukses', yang di antaranya mengacu pada firman Tuhan:

Dua hal aku mohon kepadaMu, jangan itu kautolak sebelum aku mati, yakni:
Jauhkanlah dari padaku kecurangan dan kebohongan.
Jangan berikan kepadaku kemiskinan atau kekayaan.
Biarkanlah aku menikmati makanan yang menjadi bagianku.
Supaya, kalau aku kenyang, aku tidak menyangkal-Mu dan berkata:
Siapa Tuhan itu?
Atau, kalau aku miskin, aku mencemarkan nama Allahku.
(Amsal 30:7-9)

No comments:

Post a Comment

Kami sangat menghargai komentar Anda yang membangun.


ShoutMix chat widget