Sunday, March 21, 2010

SALIB, YA! SILAP dan SULAP, TIDAK!

REFLEKSI SENIN KE 12
22 Maret 2010

Suka atau tidak, setuju atau tidak, selama hidup kita di dunia ini, penderitaan pasti akan ada. Maka hati-hatilah! Jika ada orang yang menjanjikan bahwa kalau kita percaya kepada Tuhan maka jalan hidup kita akan selalu lurus dan mulus, ia bukanlah suruhan Tuhan meskipun ia kelihatan sangat rohani. Yesus sendiri tidak pernah menjanjikan laut tanpa gelombang, langit tanpa awan. Bahkan, Ia berkata bahwa siapa yang mau mengikutNya, ia harus memikul salibnya. Jadi, ada penderitaan salib. Salib adalah penderitaan sebagai konsekuensi kesetiaan kita kepada Tuhan. Ada orang percaya dibenci bahkan disiksa karena imannya kepada Tuhan. Sejauh keadaan ini bukan yang dicari-cari atau bukan karena kesalahan sendiri, penderitaan seperti ini adalah salib.

Kehidupan menjadi runyam ketika kita menderita karena ‘silap': penderitaan karena kesalahan kita sendiri. Kita dibenci orang, gereja kita dibakar orang, bukan karena iman dan kesetiaan kita, tetapi justru karena kita mengabaikan keberadaan kita sebagai garam dan terang dunia. Kita gagal mengasihi sesama manusia seperti diri sendiri. Kita tidak menjadi berkat.

Akhir-akhir ini, kita mengalami pula penderitaan oleh karena perpaduan salib dan silap. Bumi sedang menderita demam. Krisis ekologi kian mengancam dan mencekam kehidupan. Keadaan ini bukan kehendak Tuhan, tapi karena ulah manusia yang merusak alam. Kita menderita karena ulah mereka yang mengeksploitasi alam secara berlebihan (=salib dari sesama) ditambah dengan gaya hidup dan perilaku kita sendiri yang tidak bersahabat dengan alam ciptaan Tuhan (silap).

Ketika derita mendera, biasanya kita mengharapkan sebuah perubahan. Kita mengharapkan derita berganti sukacita. Masalahnya, kita sering mengharapkan sulap: perubahan keadaan secara instant. Kertas menjadi uang untuk mengatasi kemiskinan; bukan semangat saling menolong. Mengubah bola pingpong menjadi burung merpati untuk dinikmati; bukan bekerja dengan giat. Padahal, ada kalanya yang kita butuhkan bukan perubahan di luar kita. Yang kita butuhkan adalah justru perubahan di dalam diri kita: bagaimana kita menyikapi suatu pengalaman dengan bijaksana. Apa hikmah dan pelajaran yang kita petik dalam suatu peristiwa kehidupan. Apa yang dapat kita lakukan seturut kehendak Tuhan dalam suatu situasi sulit.

Jika penderitaan kita benar-benar berasal dari luar diri kita dan di luar kemampuan kita, kata-kata Frederic Heiler dapat menjadi bahan perenungan bagi kita: "Saat gempa bumi terjadi, ada kalanya mata air segar merekah di tempat-tempat yang kering, yang membuat tanaman dapat tumbuh dengan baik. Dengan cara yang sama pengalaman penderitaan dan menyakitkan dapat menyebabkan air hidup mengalir di dalam hati manusia".

Jika kita menderita karena sebuah kekuatan di luar diri kita, kita perlu mengasah kepekaan untuk menangkap maknanya dalam kehidupan ini. Yang jelas, penderitaan bukanlah pertanda ketidakhadiran atau ketidakpedulian Tuhan. Jika kita tidak merasakan kehangatan sinar mentari, itu sama sekali tidak berarti kekuatan matahari sudah berkurang. Awan dan hujan adalah kebutuhan kita juga. Di saat-saat semua tidak berjalan seperti kita harapkan, itu bukan pertanda kealpaan kuasa dan penyertaan Allah. Ia mengajar kita melihat karya dan pertolonganNya secara baru.

Ada kalanya kita tidak mengerti akan kenyataan yang kita alami atau kita saksikan dialami oleh orang lain. “Mengapa orang-orang baik menerima nasib buruk, sementara orang berkelakuan buruk sehat-sehat saja dan makmur secara ekonomi?” Atau, seseorang berkata, “Ibu saya rajin ke gereja, tidak pernah lupa memberi persembahan, selalu berbuat baik, mengapa penyakit rematiknya saja tak kunjung sembuh padahal sudah bertahun-tahun berdoa meminta kesembuhan?” Daripada ‘menggugat’ Tuhan dengan pertanyaan seperti itu, apalagi berkesimpulan lebih baik jahat daripada menjadi orang baik, kita seharusnya lebih giat untuk memberi keteladanan kepada orang jahat demi pertobatannya dan mengulurkan pertolongan dan perhatian kepada orang-orang yang sakit.

Di tengah aneka pertanyaan yang mungkin memenuhi benak kita, mari kita lihat semua peristiwa kehidupan dalam kerangka kasih sayang Tuhan. Jika kita menderita bukan karena kesalahan kita, kita perlu bersabar sambil terus berseru minta tolong kepada Tuhan. Jika kita menderita karena kesalahan kita, kita harus kembali. Kita harus berubah, sambil tetap berseru meminta pertolongan Tuhan. Misalnya, untuk kesembuhan bumi yang sedang menderita demam karena ulah kita, kita tidak mengobatinya dengan parasetamol, tapi melalui usaha-usaha konkrit seperti hemat enerji, mengurangi travel, konsumsi secukupnya, menanam pohon, mengurangi sampah dan sebagainya.

Allah yang mendengar teriakan minta tolong dari umat Israel karena penindasan di Mesir (Kel 3:7) maupun penderitaan karena kekerasan hati mereka (misalnya lihat Nehemia 9:27) adalah Allah yang sama, yang mendengar seruan kita hingga hari ini. Hindari penderitaan yang tidak perlu –penderitaan non-salib!

No comments:

Post a Comment

Kami sangat menghargai komentar Anda yang membangun.


ShoutMix chat widget