Sunday, March 28, 2010

DOKTER

REFLEKSI SENIN KE-13
29 Maret 2010


Profesi dokter menjadi dambaan banyak orang. Anak SMP dan SMU pun ditanya, sudah ada di antara mereka yang bercita-cita menjadi dokter. Alasan mereka? Beragam! “Saya ingin merawat papa dan mama saat mereka sudah tua dan sakit-sakitan”, kata yang satu. “Saya ingin menjadi dokter yang baik, yang menolong orang sakit”, kata yang lain. Keduanya dengan niat mulia. Ada pula yang tergerak oleh materi dengan berkata, “Dokter kan kaya!”. Tentu para dokter lebih tahu motivasi mereka menjadi dokter.

Pengalaman empiris menunjukkan bahwa suara sumbang tentang dokter sering terdengar. Seseorang pernah berkata, “dokter lebih kejam dari penyakit saya”. Pasalnya, ia hanya menderita penyakit yang tidak parah sebelum ke dokter. Penyakitnya kian parah setelah ditangani oleh dokter. Dengan bayaran tinggi pula. Ia merasa membeli penderitaan dengan harga tinggi. Pengalaman ini mengigatkan saya kepada kisah seorang pasien yang merasa ‘diselamatkan’ oleh dokter, yang ceritanya kira-kira begini:

Pada awalnya saya hanya menderita penyakit sepele. Saya pergi ke dokter Chung. Penyakit saya semakin parah. Kemudian, saya pergi ke dokter Ching. Penyakit saya kian memburuk. Saya hampir mati. Dalam keadaan sekarat saya pergi ke dokter Chang. Untunglah dia tidak ada. Sebab, jika dokter Chang ada, saya sudah tidak ada sekarang. Dokter Chang ‘menyelamatkan’ saya.

Dr Bettin Marpaung (seorang dokter senior di Medan), ketika menjenguk Ompui Ephorus HKBP yang dirawat di Parkway Hospital-Singapore, menguraikan panjang lebar tentang profesi seorang dokter. Menurut beliau, salah satu yang sangat penting dan mendasar yang harus dihidupi oleh seorang dokter adalah ‘niat hati yang murni dan tulus untuk menolong seorang pasien sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya kepada siapa pun, kapan pun dan di mana pun’. Hal ini, menurut dr Marpaung, mengacu pada ajaran dan anjuran bapak medis, Sokrates. Suatu prinsip profesi yang sangat mulia! Tidak diragukan bahwa semua orang sangat mengharapkan kesetiaan dokter akan janji mulia seperti itu.

Pertanyaannya, apakah dokter boleh menjadi kaya dari penderitaan orang lain? Pertanyaan ini bisa saja mengemuka melihat kenyataan bahwa para dokter umumnya makmur secara materi. Ian Sianturi, seorang Batak yang lahir di Singapura dan warga Negara Singapura, mengatakan bahwa dokter-dokter di Gleanagles dan Mount Elizabeth Singapore banyak yang memiliki mobil dengan harga hingga S$1.000.000 (sekitar Rp.7 miliar). Hal ini tidak mengherankan melihat mahalnya biaya pengobatan di Singapura. Orang-orang Indonesia yang opname di Singapura dapat merasakan bagaimana mahalnya biaya yang harus mereka tanggung, yang bisa mencapai miliaran rupiah.

Agaknya soal kekayaan materi para dokter bukan menjadi masalah sejauh para dokter tetap setia pada janjinya untuk menjunjung tinggi harkat manusia, bukan menjunjung tinggi hartanya dan menyanjung dirinya. Jika para dokter menyanjung harta, mereka bisa terjebak dalam empat titik rawan. Pertama, kurang kerjasama dengan sesama dokter. Semua pasien yang datang kepadanya ditangani sendiri, walaupun ia sadar bahwa ada dokter yang lebih tepat menangani penyakit yang diderita si pasien. Hal ini biasanya terjadi di Indonesia. Berbeda dengan dokter-dokter di Penang dan Singapura yang menerapkan kerjasama dokter sebagai suatu tim. Kedua, pemberian resep obat atas dasar pemasukan uang yang lebih besar. Seorang apoteker pernah mengatakan bahwa ada banyak dokter yang punya semacam ‘ikatan tidak resmi’ dengan produsen obat tertentu. Para dokter diberi bonus oleh pihak farmasi untuk berlibur ke luar negeri, rumah, mobil dan lain sebagainya asal sang dokter menulis resep obat kepada pasien-pasiennya yang diproduksi oleh farmasi bersangkutan. Ketiga, mencuri organ tubuh pasien yang baru meninggal dunia untuk dijual kepada orang lain. Kasus seperti ini sudah pernah terjadi. Keempat, para dokter memberi perhatian ekstra kepada pasien berduit dan kurang peduli pada mereka yang miskin.

Tetapi, bagaimana pun juga, kita mesti melihat profesi dokter dari sisi lain. Mungkin ada dokter yang tidak setia pada janji dokternya. Mungkin ada dokter yang demi uang melakukan malpraktek. Mungkin ada dokter yang membeda-bedakan pasien berduit dan miskin. Ada juga dokter yang kurang peka menyelami perasaan para pasien ketika mereka menanyakan tentang kondisi penyakitnya. Dokter hanya berbicara seperempat menit dan langsung menulis resep. Keadaan seperti ini merupakan kesalahan yang mestinya ditanggalkan dan ditinggalkan oleh para dokter. Akan tetapi, kita perlu lebih banyak melihat sisi positif keberadaan para dokter. Kita bisa bayangkan betapa runyamnya dunia ini tanpa para dokter. Kehadiran para dokter di tenga-tengah kita, terlepas dari kekurangan mereka, telah membuat hidup ini lebih baik. Mereka adalah alat di tangan Tuhan untuk memberi kesembuhan.

Dalam hal ini, adalah tugas kita untuk menopang para dokter dengan doa; mendukung mereka untuk dapat hidup sejahtera dan bahagia; membantu mereka mengembangkan kemampuan atau kompetensi; mengingatkan mereka untuk tetap setia pada janjinya. Tugas kita pula menjaga kesehatan dengan menerapkan pola hidup, pola kerja, pola makan yang baik dan menjaga kelestarian alam, agar kita tidak membebani para dokter dengan terlalu terlalu banyak pasien.

Catatan tambahan:

Sumpah Dokter[1]

Saya bersumpah bahwa :
Saya akan membaktikan hidup saya guna kepentingan perikemanusiaan.
Saya akan menjalankan tugas saya dengan cara terhormat dan bersusila, sesuai dengan martabat pekerjaan saya.
Saya akan memelihara dengan sekuat tenaga martabat dan tradisi luhur jabatan kedokteran.
Saya akan merahasiakan segala sesuatu yang saya ketahui karena pekerjaan saya dan karena keilmuan saya sebagai dokter.
Kesehatan penderita senantiasa akan saya utamakan.
Dalam menunaikan kewajiban terhadap penderita, saya berikhtiar dengan sungguh-sungguh supaya saya tidak terpengaruh oleh pertimbangan Keagamaan, Kebangsaan, Kesukuan, Politik Kepartaian atau Kedudukan Sosial.
Saya akan memberikan kepada guru-guru saya penghormatan dan pernyataan terima kasih yang selayaknya.
Teman sejawat akan saya perlakukan sebagai saudara kandung.

Saya akan menghormati setiap hidup insani mulai dari saat pembuahan.
Sekalipun diancam saya tidak akan mempergunakan pengetahuan Kedokteran saya untuk sesuatu yang bertentangan dengan hukum perikemanusiaan.
Saya ikrarkan sumpah ini dengan sungguh-sungguh dan dengan mempertaruhkan kehormatan diri saya.

[1] http://wapedia.mobi/id/Sumpah_Dokter, diakses 28 Maret 2010

2 comments:

  1. Horas ...! Tulisan yang sangat menyentuh ... justru ketika kredibilitas dokter di Indonesia sangat banyak di pertanyakan, namun yang perlu saya tanyakan kenapa mesti Dr. Bettin Marpaung yang dijadikan referensi, apakah karena kebetulan beliau dekat secara pribadi dengan Ompui ..?!

    ReplyDelete
  2. Dr Bettin Marpaung menjadi referensi, karena baru dengan beliau saya mendapat kesempatan berdiskusi; mudah-mudahan ada kesempatan berbicara kepada dokter lain pada kesempatan lain. Dan, yang lebih penting, pemikiran beliau sangat jernih soal tugas panggilan dokter.

    ReplyDelete

Kami sangat menghargai komentar Anda yang membangun.


ShoutMix chat widget