Tuesday, February 16, 2010

CALON PENDETA HKBP: Dari STh Menjadi MDiv

Sekitar delapan tahun yang lalu, saya pernah mengusulkan melalui sebuah artikel di Majalah Immanuel HKBP, agar syarat menjadi mahasiswa STT bukan lagi lulusan SMU tetapi dari sarjana. Sebelumnya memang sudah ada program Master of Divinity (MDiv), tetapi jumlahnya masih relatif kecil dan ada pula yang meragukan kualitas kesarjanaan mereka. Dalam rangka peningkatan kualitas lulusan STT, sudah saatnya program MDiv menggantikan program Sarjana Theologia (STh) dan mahasiswa mendapat beasiswa penuh selama kuliah. Beberapa pertimbangan adalah sebagai berikut.

1. Sedikitnya ada dua hal yang sangat menolong dalam mempersiapkan/ memperlengkapi mahasiswa lulusan sarjana. Pertama, lulusan sarjana sudah lebih dewasa dari segi usia dan lebih matang secara psikologis. Keadaan selama ini, STT masih banyak mengurusi hal-hal yang berhubungan dengan kepribadian mahasiswa. Hal ini dapat dimengerti, karena usia mereka baru beranjak dari remaja. Tidak realistis memaksa mereka menjadi 'dewasa'. Kedua, mereka lebih mudah mengikuti perkuliahan dengan pengalaman perkuliahan mereka sebelumnya.

2. Dulu, syarat untuk menjadi siswa Sekolah Guru Jemaat dan Sekolah Bibelvrouw adalah lulusan SMP. Sekarang, syarat untuk memasuki kedua pendidikan teologi ini adalah dari SMU, sama dengan STT. Jadi, kalau syarat untuk memasuki Pendidikan Guru Jemaat, Bibelvrouw dan Diakones ditingkatkan dari SMP menjadi SMU, maka sudah saatnya juga syarat untuk diterima menjadi mahasiswa STT ditingkatkan juga dari SMU menjadi lulusan Perguruan Tinggi. Tingkat pendidikan warga jemaat juga terus meningkat dari tahun ke tahun.

3. Jangka waktu perkuliahan di STT dapat diselesaikan dalam 4 tahun (selama ini biasanya rata-rata 5 tahun). Hal ini dimungkinkan karena Mata Kuliah Dasar Umum (MKDU) tidak perlu dipelajari lagi, dan mata kuliah wajib di STT sudah lebih mudah diikuti berdasarkan pengalaman perkuliahan di Perguruan Tinggi sebelumnya. Bagaimana kalau mereka mau menikah semasa kuliah? STT dapat mengaturnya. Yang penting, jangan dihalangi. Mereka harus diberi kesempatan menikah, entah memberi cuti setengah tahun, atau melangsungkan pada awal libur semester supaya ada kesempatan mengawali pernikahannya selama dua bulan sebelum melanjutkan perkuliahan.

4. Saat ini sudah banyak anak-anak warga HKBP yang sarjana, baik yang bekerja tetapi bisa saja terpanggil untuk menjadi pendeta, maupun yang belum bekerja dan bersedia memenuhi panggilan untuk menjadi pendeta.

5. Seluruh mahasiswa hendaknya mendapat beasiswa penuh (paling tidak uang asrama, uang kuliah). Beasiswa kepada mereka bisa dari jemaat, dari pribadi-pribadi warga jemaat yang terbeban dengan tugas pelayanan ini, atau bisa diorganisir oleh distrik-distrik HKBP. Jemaat HKBP yang begini besar harusnya mampu melakukannya. Mengapa mereka menerima beasiswa penuh? Pertama, mereka sudah pasti mengeluarkan banyak uang untuk kuliah sebelumnya. Kedua, agar para amahasiswa lebih fokus pada perkuliahan dan pengembangan spiritual tanpa diganggu oleh masalah dana. Ketiga, para pendeta tidak dipersiapkan untuk menjadi kaya, mereka dipersiapkan untuk melayani. Kecuali, ada mahasiswa yang tidak bersedia menerima beasiswa, keputusan mereka harus dihargai dan diberi kesempatan membayar uang kuliah dan uang asramanya sebagai bagian dari persembahannya.

6. Seminari-seminari di Amerika Serikat dan Theological College di Singapura sudah melakukan hal seperti ini. Tidak berarti HKBP harus meniru dari gereja-gereja di Negara lain, tetapi berdasarkan kebutuhan jemaat-jemaat kita yang tingkat pendidikan warganya juga semakin meningkat.

Sebagai tambahan, ada pernyataan baik dan menarik dari Darrel L. Bock soal ‘kematangan’ seorang pelayan gereja sebagai berikut.

Since Jesus’ ministry was build around his teaching and since he showed that God’s will was not what the religious culture was delivering, then how careful should we be to make sure that our communities are well instructed and grounded in God’s truth! Such instruction means careful pastoral preparation of messages, including giving the pastor enough time to do it as well as developing training institutions that focus on substance. Encouragement should be given to underwrite students who seek to train for ministry, not by seeing how quickly the can complete their training, but how deeply grounded they will be when they emerge to enter ministry. A colleague of mine has asked how many of us would be proud and comforted to hear from a heart surgeon before we are wheeled into the operating theater that he got his degree in a year or two! How much more for those who minister to the soul! If teaching is central to effective ministry of the church, then solid training should be at the top of the list.[1]


[1] Darrel L. Bock, Luk. The NIV Application Commentary: From Biblical Text to Contemporary Life, Grand Rapids, Michigan: Zondervan, 1996, p 141.

1 comment:

Kami sangat menghargai komentar Anda yang membangun.


ShoutMix chat widget