Sunday, November 29, 2009

BERTOBAT ATAU KIAMAT

REFLEKSI SENIN KE-48
30 NOPEMBER 2009


Hari-hari ini kita dihentakkan oleh pemberitaan media akan ancaman musibah yang bakal terjadi sebagai akibat dari pemanasan global seperti perubahan cuaca, kenaikan permukaan laut, dan aneka bencana alam sebagai konsekuensinya. Di samping tanggung jawab negara-negara untuk mengurangi tingkat pencemaran, sebenarnya setiap warga bumi ini harus mengambil bagian dalam suatu perubahan radikal, khususnya dalam hal gaya hidup.

Keadaan lingkungan hidup semakin menguatirkan terutama karena dua penyebab (1) Pertambahan penduduk dunia, yang sampai saat ini berkisar 6,5 miliar, dan (2) Konsumsi berlebihan sebagian orang. Sekiranya, semua manusia hidup atas dasar ‘kebutuhan’, sebenarnya bumi ini masih mampu menghasilkannya. Mahatma Gandhi benar ketika ia berkata, “bumi ini cukup menyediakan untuk kebutuhan semua orang, tetapi tidak cukup untuk ketamakan setiap orang”.

Celakanya, justru ketamakanlah yang kian kuat merasuk dan merusak kehidupan pada azaman ini. Menurut pengamatan Simmel, begitu kelas bawah mulai mengenakan busana tertentu, yang tadinya hanya dimiliki kelas atas, mereka menghancurkan perbedaan antara kelas-kelas. Kemudian, kalangan atas membuang pakaian lama dan memakai mode baru untuk mempertahankan perbedaan. Begitulah terus berjalan tanpa ujung.[1] Di Negara-negara kaya seperti Amerika, Jerman, Singapura dan lain-lain kita dapat menyaksikan begitu banyak barang-barang yang sebenarnya masih layak pakai (tempat tidur, sofa, pakaian, peralatan olahraga, alat-alat elektonik, mainan anak-anak) di depan rumah atau di pinggir jalan, atau ditumpuk di tempat penampungan yang disediakan oleh gereja Salvation Army (Bala Keselamatan). Di salah satu tempat penampungan barang-barang bekas di Salvation Army, Singapura, mereka mengangkut sedikitnhya satu truk setiap hari. Kemudian, pihak Salvation Army menjualanya dengan harga murah. Orang-orang berpenghasilan pas-pasan pun mengenakan pakaian bermerk yang dibuang oleh orang-orang kaya.

Bagaiamana barang-barang mewah merusak alam? Sombart mengemukakan beberapa alasan mengapa barang-barang mewah diproduksi untuk kelas atas. Satu faktor terletak pada sifat dari proses produksi itu sendiri. Sebagian besar bahan baku berasal dari negara lain, sehingga waktu dan biaya harus diinvestasikan untuk mengimpornya. Pembuatan barang-barang mewah itu juga umumnya lebih rumit, memakan waktu lama, dan singkatnya mahal: membutuhkan keahlian dan spesialisasi tingkat tinggi para pekerja. Fator lain adalah sifat distribusi dan penjualan barang-barang yang eksklusif. Perdagangan mewah tidak hanya tergantung pada tetapi juga sangat rentan terhadap perubahan dalam mode. Untuk bisa sukses diperlukan modal untuk bertahan hidup di tengah pasar yang berubah-ubah dan fleksibilitas dalam menyesuaikan proses produksi agar sesuai dengan perubahan permintaan pasar.[2] Jadi, mulai dari proses pembuatan, import bahan baku dan ekspor bahan jadi, hingga pembuangannya yang masih dalam kondisi layak pakai, menguras enerji yang sangat banyak dan menghasilkan polusi.

Sebagai umat beriman, sikap hormat kita kepada Allah mestinya ampak dari sikap hormat kita kepada kehidupan. Sikap hormat kita kepada ciptaan Allah dan sesama manusia. Hal ini hendaknya nampak sedikitnya dalam dua perubahan radikal.

Pertama, pola pikir. Erich Fromm pernah mengatakan, “Jika aku adalah apa yang kumiliki, siapakah aku kalau yang kumiliki hilang?”[3] Kita hendaknya tidak mengidentifikasikan diri dengan apa ayang kita miliki, tetapi siapa Pemilik kita, yaitu Allah sendiri. Dalam hal ini, sudah saatnya kita lebih berpaling ke dalam hati nurani untuk membeli dan melakukan sesuatu, yang semuanya pasti berdampak terhadap kelestarian alam ciptaan Tuhan. Kita tidak perlu terlalu banyak menggunakan “pikiran orang lain” soal barang yang kita pakai. Saatnya ‘gengsi’ harus dikaji dan diuji. Sebab, tidak jarang terjadi, atas nama ‘tampil kren’, seseorang memakasa diri. Ada orang yang penghasilnanya pas-pasan, ingin terlihat seperti orang kaya. Ini terjadi karena ada suatu pemahaman keliru bahwa harga diri diukur berdasarkan jenis dan harga barang yang digunakan. Agaknya tidak berlebihan mengatakan tidak logis dan tidak etis seorang yang tidak memiliki pekerjaan, tetapi menggunakan handphone seharga Rp. 4 juta rupiah, dan belum dua tahun sudah ‘dipaksa’ oleh iklan untuk ditinggalkan.

Kedua, pola hidup. Setiap orang mesti menyadari dan terutama mengurangi apa yang disebut dengan carbon footprint.Carbon Footprint sama dengan jumlah total karbon dioksida (CO2) dan gas-gas pemicu pemanasan global lainnya yang dihasilkan oleh suatu produk atau jasa. Misalnya, jika kita membeli sepasang pakaian, carbon footprintnya dihitung mulai dari memproduksi bahan baku pakaian, menjahit, mengemas, mengangkutnya ke toko atau mall, memajang di toko yang membutuhkan listrik, dan seterusnya. Demikian juga untuk barang-barang lain yang kita pakai seperti sepatu, perlengkapan mandi, alat-alat masak, alat-alat kantor, komputer, kendaraan dan lain-lain.

Mereka yang mampu membeli segala sesuatu, justru membutuhkan pertobatan radikal. Tidak sedikit orang kaya yang merasa malu memiliki sepuluh pakaian mewah, tas mewah, sepatu mewah (dan merasa malu memakainya tiga kali berturut-turut), ditambah lagi lima mobil mewah. Tanpa ada niat untuk mengurusi harta kekayaan mereka yang kaya, mereka perlu ditolong untuk bisa menjadi orang kaya yang bertanggungjawab. Saat ini, kelihatannya orang-orang sederhana lebih hormat kepada orang-orang kaya bukan karena apa yang mereka punyai tetapi dengan apa yang mereka sumbangkan untuk kebaikan sesama manusia. Sikap seperti ini perlu ditumbuh-kembangkan oleh setiap orang.


Doa:
Bapa Kami yang di sorga, berikanlah kami pada hari ini yang kami butuhkan untuk kehidupan, dan ketika kami memiliki lebih dari cukup kami dapat mengendalikan diri dan menolong mereka yang berkekurangan.





[1] Ulrich Lehmann, Tigersprung. Fashion in Modernity, Massachusetts: Massachusetts Institute of Technology, 2000, p. 169.
[2] Ulrich Lehmann, Tigersprung, p. 170.
[3] Cited by Stan J. Katz and Aimee E. Liu, Success Trap: Rethink your ambitions to achieve greater personal and professional fulfillment, New York: Ticknor & Fields, 1990, p. 185

Sunday, November 22, 2009

MASALAH TANPA BERUJUNG MUSIBAH

REFLEKSI SENIN KE-47
23 Nopember 2009


Seorang penjaga gawang sepakbola Jerman beberapa hari lalu bunuh diri. Media Singapura juga memberitakan seorang ayah yang tega membunuh dua anaknya sebelum ia bunuh diri dengan menerjunkan diri dari lantai 12 apartemennya. Mengapa? Jawabannya: mereka punya ‘masalah’.

Sebenarnya, penyakit, penderitaan, kegagalan mendapat keinginan, penolakan orang lain, dan sebagainya yang biasanya kita sebuat dengan ‘masalah kehidupan’ tidak akan pernah lepas dari kehidupan di dunia ini. Hal ini di satu segi karena kita punya kelemahan dan keterbatanan. Di segi lain, Yesus sendiri tidak pernah menjanjikan jalan hidup yang selalu lurus dan mulus saja. Yang Yesus janjikan adalah ‘penyertaan-Nya’ setiap saat. Itu sebabnya kebenaran ini perlu kita pegang: “Jangan minta supaya laut tidak bergelombang, tetapi mintalah agar Tuhan menyertai kita dalam mengarunginya”.

Dalam hal ini kita dapat menyikapi ‘masalah dalam’ dan ‘masalah luar’ dalam hubungan dengan Tuhan.

Masalah dalam

Masalah terbesar dalam diri kita adalah ‘keinginan untuk lebih’: lebih kaya, lebih ganteng/ cantik, lebih populer, lebih dari orang rata-rata dan sebagainya. Untuk mencapai keinginan-keinginan seperti itu kita tergoda bahkan terjatuh ‘memanafaatkan orang lain’ bahkan memanfaatkan Tuhan. Jika suatu keinginan terpenuhi, mungkin ia dapat member kelegaan sementara yang pada gilirannya akan menciptakan kehausan baru. Jika keinginan tidak terpenuhi, kita kecewa, murung, serba negatif, bersikap pahit atau sinis, mempersalahkan, stress bahkan depresi. Jika hal ini tidak ditangani dengan iman, maka ia bisa berujung pada musibah pada diri sendiri bahkana orang lain.

Untuk menghadapi kenyataan demikian, saya teringat pada dua nasihat bernas sebagai berikut:

Anda ada di sini bukan secara kebetulan, melainkan karena rencana dan pilihan Allah.
Tangan-Nya membentuk Anda dan meciptakan Anda sebagai pribadi sebagaiamana Anda ada.
Ia tidak membandingkan Anda dengan siapa pun. Anda unik.
Anda tidak kekurangan apa pun, yang anugerahNya tidak dapat memberikannya kepada Anda.
Allah mengijinkan Anda berada di sini, dalam perjalanan sejarah yang ada di tangan-Nya untuk mewujudkan rencanaNya kepada generasi sekarang
(Roy Lessin).

Setiap kali kita mencoba untuk menghindari atau melarikan diri dari kesulitan hidup, kita mengambil jalan pintas sebuah proses, menunda pertumbuhan kita, dan akan berakhir dengan kepedihan yang lebih buruk. Bila Anda memahami konsekuensi dari pengembangan karakter Anda, Anda akan berdoa lebih sedikit dengan doa "comfort me" (tolong aku merasa baik) dan lebih banyak doa “conform me" (pakailah masalah ini untuk membuat saya semakin serupa dengan Engkau) (Rick Warren).

Kadang-kadang kita merasa terlalu lama mengetuk pintu dan seolah Allah tidak membuka pintu. Kita tidak menyadari bahwa kita berada di dalam rumah, di hadapan Allah. Sering terjadi bahwa kita menganggap bahwa ‘pintu’ rahmat Allah yang tertup, padahal justru pintu hati kitalah yang tertutup karena terganjal oleh keinginan kita. Kita menginginkan itu, tetapi yang terjadi adalah ini. Jika kita hidup di hadapan Allah, maka kehendak-Nya menjadi kehendak kita. Kita dapat menempatkan keinginan kita di hadapanNya agar kita dapat melihat mana di antara keinginan itu yang benar-benar kebutuhan untuk selanjutnya kita perjuangkan mengandalkan pertolongan-Nya.

Selanjutnya, di samping kita dapat melampaui masalah yang kita hadapi, kita dapat menolong orang lain yang sedang dalam masalah kehidupan. Dalam hal ini kita perlu memegang nasihat P.T. Forsyth: “Anda harus hidup bersama dengan orang untuk memahami persoalan hidupnya, dan hidup di dalam Tuhan untuk dapat menyelesaikanya”

Masalah luar

Kemarin, sebuah ferry tenggelam dalam perjalanan Batam-Dumai, yang menelan korban jiwa. Musibah ini terjadi karena perpaduan dua masalah: masalah luar (tinggi gelombang sekitar enam meter) dan ‘masalah dalam’: jumlah penumpang lebih banyak dari kapasitas kapal dan tidak semuanya terdaftar (suatu masalah kronis dalam perhubungan Indonesia).

Sampai saat ini kita tidak punya ‘kuasa’ untuk mengurangi ketinggian gelombang dari 6 meter menjadi 1 meter agar perjalanan ferry mulus. Tetapi, pola hidup manusia sebenarnya bisa mengurangi tingkat bencana alam. Sebab, banyak ketidakteraturan cuaca saat ini terjadi karena pemanasan global; dan pemanasan global terjadi karena ulah manusia yang mengekploitasi dan merusak alam ini dengan penebangan hutan, polusi kendaraan dan industri, konsumsi berlebihan dan lain-lain.

Mungkin kita sedang mengamban tanggung jawab untuk kesejahteraan dan keselamatan orang lain karena kita bekerja di bidang pengangkutan darat, laut, atau udara. Mungkin kita bekerja dalam lingkungan produksi makanan, pedagang, di rumah sakit dan di mana pun. Di situlah Tuhan memakai kita untuk kebaikan orang lain, bukan menambah masalah apalagi membuat musibah.

PESAN PASTORAL EPHORUS HKBP KEPADA JEMAAT HKBP DI LUAR NEGERI

Ephorus (istilah yang digunakan untuk pimpinan) HKBP , Pdt Dr Bonar Napitupulu menyampaikan ‘Bimbingan Pastoral’ saat beliau mengikuti ibadah Minggu 22/11/2009 di HKBP Singapura. Bimbingan Pastoral tersebut khususnya ditujukan kepada jemaat-jemaat HKBP di luar negeri . Intinya menekankan bahwa Jemaat HKBP di luar negeri merupakan satu kesatuan degan HKBP secara keseluruhan. Sehubungan dengan itu beliau menekankan sedikitnya empat hal:

1. HKBP menganut pelayanan holistik (spiritual dan jasmani secara utuh). Karena itu jemaat HKBP yang ada di luar negeri, termasuk warga jemaatnya secara perorangan, hendaknya memperhatikan jemaat-jemaat HKBP dan anggota keluarga yang ada di Indonesia dengan membantu mereka untuk hidup sejahtera. Misalnya, membantu orangtua yang ada di ‘bonapasogit’ dengan membangun sanitasi yang memadai, membangun kandang ternak bagi mereka yang beternak dan sebagainya. Sebab, masih banyak rumah-rumah di bonapasogit yang tidak memiliki WC. Binatang peliharaan seperti babi dan ayam juga berkeliaran yang sering memicu pertengkaran dengan sesamaa warga desa. Mereka perlu dibantu, bukan hanya sekedar memberi uang untuk beli sirih atau membeli ikan sekali makan.

2. Jemaat HKBP di luar negeri hendaknya tetap menggunakan Tata Ibadah sebagaimana dirumuskan dalam Agenda HKBP. Itu adalah salah satu jati diri HKBP. Jadi tidak perlu meniru-niru dari jemaat lain.

3. HKBP membutuhkan biaya sekitar Rp. 2 miliar setiap bulan hanya untuk para pelayan yang menerima belanja melalui kantor pusat HKBP. (Catatan: Jumlah pelayan dan pegawai yang bekerja di kantor Pusat, Lembaga pendidikan seperti STT HKBP, Sekolah Pendeta, Sekolah Bibelvrouw, Pendidikan Diakones, dll lumayan banyak). Jemaat-jemaat di luar negeri hendaknya tidak hanya memikirkan keperluan jemaat seendiri, tetapi memenuhi kewajibannya. (Catatan: Peraturan HKBP mengatakan bahwa persembahan kedua setiap minggu disetor ke Kantor Pusat HKBP).

4. Para pelayan penuh waktu HKBP adalah ‘gembala’, bukan ‘profesi’ yang menekankan ‘gaji’.

Ompui ephorus berada di Singapura dalam rangka pengobatan lanjutan pasca-kecelakaan berat yang beliau alami tanggal 16 Agustus lalu, ketika mobil yang beliau kendarai sendiri masuk jurang sedalam 160 meter di Sipintupintu, dekat Balige. Saat ini kondisi kesehatan beliau kian membaik. Terpujilah Tuhan.

Saturday, November 21, 2009

EPHORUS HKBP: SOAL ROKOK

Ompui Ephorus HKBP, Pdt Dr Bonar Napitupulu istri boru Sitanggang menjalani medical check-up dan terapi lanjutan di Mount Elizabeth Hospital, Singapura (18/11). Ephorus Napitupulu menuturkan penjelasan Dr Jeffry (yang mengoperasi Ompui) bahwa kondisi tulang pinggul beliau sudah pulih. Dr Jeffry sangat kagum dengan perkembangan kesehatan Ompui karena saat dioperasi tgl 21 Agustus lalu, tulang pinggul Ephorus mengalami keretakan yang sangat parah. Tetapi, saat ini semua bagian tulang yang retak sudah menyatu sedemikian rupa. Ke dapan ini, ompui tidak perlu melakukan check-up lagi ke Singapura; beliau hanya perlu melatih menggerakkan kaki hingga pulih. Sementara itu, Ibu boru Sitanggang yang mengalami patah kaki di bagian pergelangan juga semakin pulih. Ompui Ephorus dan Ibu yang didampingi oleh Pdt Donald Sipaahutar (Kepala Biro Personalia HKBP) dan Esther Napitupulu (putri Dr Napitupulu) akan bertolak ke Sumatra, Senin, 24 Nopember 2009. Tugas-tugas pelayanan sudah menanti, di antaranya penahbisan Guru Jemaat HKBP akhir Nopember 2009 dan Penahbisan Pendeta HKBP awal Desember 2009 di Medan.

Di antara beberapa pandangan yang disampaikan oleh Ompui dalam percakapan santai di penginapan beliau adalah menyangkut kehidupan pelayan HKBP khususnya masalah 'rokok' dan 'jenggot atau jambang'. Intinya, menurut beliau, keduanya, bukan didekati dari soal 'boleh' atau 'tidak boleh', melainkan dengan menjawab pertanyaan, "apakah itu berguna/ mendukung dalam pelayanan atau justru menghalanginya". Dalam hal ini, ompui memberi kesempatan kepada kita yang belum menjawab untuk menjawabnya. Yang jelas, sudah banyak yang menjawab bahwa merokok tidak membangun pelayanan (bahkan dalam artian tertentu merusak pelayanan; bagaimana mungkin persembahan di gereja yang sebagian menjadi uang belanja pelayan gereja justru dibelanjakan untuk rokok yang merusak kesehatan?).

Saturday, November 14, 2009

TEDUH DI TENGAH KEBISINGAN DUNIA

REFLEKSI SENIN KE-46
15 NOPEMBER 2009



Tingkat kebisingan dunia sekitar kian meningkat seiring dengan perkembangan teknologi dan konsentrasi penduduk di perkotaan (yang diperkirakan dalam waktu tidak lama 80% penduduk dunia akan tinggal di perkotaan). Deru mesin kendaraan, alat-alat berat konstruksi, mesin penyapu jalan, sirene polisi, pemadam kebakaran, ambulans dan sebagainya mengusik keteduhan. Belum lagi orang-orang yang tidak berperikemakhlukan yang dengan sengaja merombak knalpot mobil atau sepeda motornya hingga membuat tekanan darah meninggi. Kebisingan juga mucul dari musik ‘hard rock’ dan sejenisnya yang mewarnai pertelevisian dan media elektronik lain. Tidak diragukan, kebisingan tengah mengitari, bahkan menggempur, kehidupan keseharian kita.

Di samping itu, kebisingan yang tidak kalah dahsyatnya adalah kebisingan dalam diri kita: apa yang menjejali pikiran dan hati kita. Ia bisa dalam bentuk obsesi atau hasrat ekstra-kuat untuk mencapai sesuatu; keinginan kuat untuk menggenggam atau mempertahankan sesuatu agar tidak lepas seperti jabatan, tempat tinggal, pendapat, dan harta. Itu juga bisa dalam bentuk kebencian dan sakit hati menahun kepada orang, situasi, tempat, atau apa saja.

Kita tidak dapat berbuat banyak terhadap kebisingan luar. Kebanyakan kebisingan itu di luar kendali kita. Tetapi, kita dapat mengurusi kebisingan yang ada dalam diri kita. Untuk itu kita perlu meluangkan waktu untuk ‘hening’ atau berdiam diri. Di sini, diam tidak saja berarti tanpa kata-kata, tetapi seperti yang dikatakan oleh van Kaam "diam atau hening spiritual adalah mengosongkan diri dalam rangka memberi ruang kepada Allah dalam hidup ini”. Menyadari kehadiran dan pekerjaan Allah kini dan di sini. Hanya dengan demikian, kita dapat melihat kehidupan ini dengan penglihatan Tuhan sendiri dan menapaki perjalanan dengan pimpinan-Nya. Sebab, sadar atau tidak, seringkali hidup, aktivitas, dan pola berpikir kita berada di luar pimpinan Tuhan. Semuanya telah dipandu oleh TV, mall, keinginan orang lain, dan keinginan diri sendiri. Inilah yang membuat hidup menjadi amat berat atau malah hampa tanpa makna serta kehilangan pengharapan.

Jalan menuju keheningan batin adalah ‘meditasi Kristen’. Duduk dengan tegak tetapi rileks; percaya dan menyadari kehadiran Tuhan kini dan di sini; mengatakan kata doa seperti ‘Imanuel’ (Allah beserta kita) secara teratur dan berulang-ulang, sekaligus menolong kita mengatasi pelanturan pikiran yang biasanya berkelana ke tiga tempat (1) masa lalu, (2) masa depan, (3) angan-angan atau ilusi. Dalam meditasi kita tidak berkata-kata, tidak meminta kepada Tuhan, tetapi ‘berada bersama Tuhan’.

Barangkali pertanyaan yang paling umum mengemuka adalah: “APA YANG SAYA DAPAT DARI MEDITASI?” Hal ini dapat kita mengerti karena orang-orang pada zaman ini sudah terbiasa menggunakan kalkulator. Semua dihitung berdasarkan pertimbangan ‘untung-rugi’. Celakanya, cara yang sama juga diterapkan dalam hal kehidupan spiritual atau bergereja. Cara itu mestinya tidak berlaku untuk meditasi Kristen. Ia tidak alat untuk rileksasi, bukan pula alat untuk mendapat kebahagiaan (walaupun itu semua penting dan bisa saja datang dari meditasi). Kita hendaknya meninggalkan 'mental hadiah' ketika kita berhadapan dengan Allah, Bapa kita yang sempurna. Yang kita dapat dalam meditasi adalah: ALLAH ITU SENDIRI. Dan kita tahu, jika kita memiliki Allah, kita memiliki segala sesuatu yang Ia kehendaki. Jadi, kita fokus pada Sang Pemberi, Allah kita, bukan pada pemberian-Nya.

Hidup di dalam dan bersama Tuhan itulah menentukan seluruh cara hidup, pola berpikir, sikap, reaksi, tindakan kita bergerak. Kita akan melihat pekerjaan dan kehendak Tuhan dalam setiap situasi yang kita hadapi. Menerima apa yang tidak bisa kita ubah. Perjumpaan kita dengan orang lain akan jauh berbeda. Kita akan lebih toleran karena kita menghargai semua dan setiap manusia. Kita akan lebih tabah menghadapi beban yang perlu dan mampu membuang beban yang bukan salib. Hidup menjadi apa adanya, tanpa dipaksa dan memaksa.

Saya teringat pada sebuah kata-kata bijak, “Siapa menjual masa mudanya untuk sebuah kekayaan, ia harus bersiap-siap menjual kekayaannya untuk kesehatan, yang belum tentu berhasil.” Syukur kepada Tuhan, kita dimungkinkan hidup dalam kerajaan Allah, meskipun kita masih di dunia ini. Kerajaan Allah, di mana, semuanya berjalan seturut rancangan Allah, bukan rekayasan manusiawi.

“Bapa, datanglah kerajaan-Mu, di bumi dan dalam diri kami, seperti di sorga.” Amin

Saturday, November 7, 2009

MENGAPA SAYA HADIR DI DUNIA INI?

REFLEKSI SENIN KE-45
09 Nopember 2009

.
Berikut ini adalah salah satu “cerita bijak” Y. Sumantri dalam bukunya Angin Barat Angin Timur.
.
Dunia membutuhkan orang-orang:

yang tidak bisa dibeli
yang perkataan-perkataannya bisa diandalkan
yang lebih menghargai karakter daripada kekayaan
yang mempunyai pendapat sendiri dan berkemauan keras
yang lebih besar dari jabatannya
yang tidak gentar untuk mengambil risiko
yang tidak kehilangan individualtasnya dalam kumpulan massa
yang jujur terhadap soa-soal yang kecil maupun yang besar
yang tidak mengadakan kompromi dengan yang jahat
yangtidak hanya memikirkan kepentingannya sendiri
yang tidak mengatakan bahwa mereka melakukan sesuatu karena “tiap orang melakukannya”
yang setia kepada kawan-kawannya dalam keadaan susah dan senang
yang tidak percaya bahwa kelicikan, keras kepala, dan tipu muslihat adalah cara-cara untuk mencapai sukses
yang tidak malu atau takut untuk berpegang pada kebenaran meskipun tidak populer
Dan yang dapat berkata “tidak” dengan tegas, meskipun seluruh dunia berkata “ya”.

Yang inti dari untaian kata-kata amat bermakna di atas adalah pentingnya menjadi diri sendiri sebagaimana Tuhan menghendakinya. Pribadi yang peka menangkap apa kehendak Tuhan dari hidup ini. Dalam hal ini dibutuhkan nurani yang terbuka mendengarkan sapaan Tuhan dan kehidupan yang bebas dari segala macam belenggu yang melumpuhkan kehidupan.

Gambaran tentang gajah yang dirantai mungkin sudah sering kita dengar. Karena begitu lama dirantai (dan ranatai itu tertanam dalam benak sang gajah), ketika rantai yang kokoh itu diganti dengan tali rafia, sikap gajah tetap sama seperti menghadapi rantai besi. Sebenarnya, ia bisa lepas dan bebas karena kekuatannya jauh melampaui kekuatan tali rafia. Masalahnya, tali pengikat berubah, tetapi pikiran gajah tidak berubah. Lepas dari belenggu rantai, masuk ke belenggu pikiran. Hasilnya sama: tidak menjalani hidup sebagaimana mestinya.

Gambaran yang sama tidak asing dalam pengalaman kita keseharian, baik dalam kehidupan pribadi maupun dalam sebuah persekutuan atau bahkan dalam kehidupan berbangsa. Bayangkan seorang yang sudah menderita sakit puluhan tahun, yang sudah terbisa atau ‘menyesuaikan diri’ dengan penyakit itu sendiri. Pada saat kondisinya lebih baik atau mendekati sembuh, bisa saja ia tetap merasa sakit. Pembatasan-pembatasan fisik seperti makanan, pergerakan, bahan pemikiran, aktivitas masih tetap seperti ‘pola sakit’. ‘Merasa’ tidak mampu melakukan sesuatu. Padahal, yang masalah hanyalah ‘perasaan’ atau ‘isi pikiran’, bukan sebuah kenyataan.

Begitu juga dalam kehidupan bergereja yang mungkin sejak lama terus menerus dicemari perselisihan (Menyedihkan juga memang. Sebab, justru di gerejalah sebenarnya kita mendapat keteduhan dan sekaligus menjadi alat perdamaian. Sayang sekali, kedagingan, yang mewujud dalam arogansi, pementingan dan penonjolan diri, perasaan hebat, kerakusan akan kuasa dan harta telah menggerogoti tubuh gereja-gereja masakini). Pengalaman-pengalaman nyata sebelumnya, sadar atau tidak, sering mempengaruhi sikap kita terhadap gereja. Kita menjadi apatis dan sinis. “Ah, tidak rahasia lagi kok, memang gereja-gereja tak ada yang beres!” Demikian, misalnya, ungkapan kekecewaan berbaur rasa pesimisme yang mengemuka.

Sikap dan reaksi demikian tidak akan pernah membawa kita pada maksud dan tujuan kita diciptakan dan ditempatkan ke dunia ini. Sebab, keadaan demikian membuktikan bahwa kita terbelenggu atau lebih tepatnya membelenggu diri. Kita beranggapan (keliru) bahwa keadaan kita berubah jika keadaan sekitar berubah. Padahal, sebaliknyalah yang terjadi: keadaan sekitar akan berubah jika kita berubah. Berubah dalam artian kembali ke rencana awal kelahiran dan kehadiran kita di dunia ini.

Dalam hal ini, mari kita sungguh-sungguh berpaling pada hati nurani, hati nurani yang dimurnikan dan didiami oleh Roh Tuhan, di mana kita dapat dengan jernih melihat tujuan hidup kita. Dengan demikian, kita akan dapat menerima diri sendiri, bahagia dengan diri sendiri, dan mewujudkan tugas panggilan yang dipercayakan Tuhan kepada kita dengan sukacita. Pada waktu yanga sama, kita juga bahagia dengan karunia Tuhan yang dicurahkan kepada orang lain, tanpa berkeinginan ‘menjadi seperti orang lain’; terbeban dengan kekurangan diri sendiri dan orang lain tanpa menghukum diri dan menghakimi orang lain.

Jika kita iklas memulainya pagi ini, kita akan melihat buahnya mulai nanti sore.

KETERATURAN SINGAPURA

Salah satu yang sangat mengesankan dari kehidupan di Singapaura adalah penataan setiap sudut pulau kecil ini yang begitu baik dan rapi.

ShoutMix chat widget