Sunday, November 30, 2008

SURAT YANG MENYEMBUHKAN

Mungkin Anda pernah merasa disakiti karena kata-kata atau perbuatan orang lain yang menyebabkan Anda terdorong untuk menumpahkan amarah melalui surat atau email. Ketika Anda mengalami hal demikian, nasihat Henri J. Nouwen untuk menunda mengirimkannya, membacanya berulang-ulang dan menulis surat yang baru, merupakan nasihat yang sangat tepat dan bermanfaat.

Jika Anda menulis sebuah surat atau email yang bernada sangat marah kepada seorang teman yang begitu amat dalam menyakiti hati Anda, jangan kirim surat itu. Biarkan surat itu 'berbaring' di meja atau di dalam komputer Anda sebagai draft untuk beberapa hari dan baca kembali berulangkali. Kemudian, tanyakan diri Anda, “Apakah surat atau email ini membawa kebaikan bagi saya dan teman saya itu? Apakah surat ini membawa kesembuhan dan menjadi berkat?" Anda tidak perlu mengabaikan kenyataan bahwa Anda benar-benar merasa disakiti. Anda tidak perlu menyembunyikan perasaan terluka yang Anda rasakan karena perbuatan teman Anda. Tetapi Anda dapat merespon dengan suatu cara yang dapat membawa penyembuhan dan pengampunan serta membuka jalan untuk kehidupan yang lebih baik. Setelah itu, tuliskanlah surat yang baru menggantikan yang pertama jika Anda merasa bahwa surat yang baru itu akan meneguhkan dan menjadi berkat. Krimkanlah itu disertai doa. Dengan demikian, Anda telah menambahkan kebaikan dalam dunia yang dicemari perselisihan ini. Anda pun akan lebih lega dan berbahagia dengan cara demikian.

Monday, November 24, 2008

FOKUS PADA SANG PEMBERI, BUKAN PEMBERIAN

Kehidupan Yakub masih relevan kita renungkan saat ini. Kita hidup di tengah zaman di mana begitu banyak orang yang berusaha dengan berbagai cara untuk mendapatkan apa yang diingankannya tanpa peduli pada kebenaran dan kehendak Tuhan.

Sejak lahir, sudah ada sesuatu yang ganjil dari kehidupan Yakub, yaitu bahwa ia memegang tumit Esau ketika lahir (Kej 25:26). Itu juga mencerminkan kehidupannya yang selalu meraih atau menarik sesuatu dari orang lain untuk dirinya sendiri. Ia mengambil hak kesulungan dari Esau dan kemudian mengambil berkat dari ayahnya. Ia mengambil Rahel dari ayahnya dan kemudian ia mengambil harta milik Laban juga.

Ketika ia menginginkan berkat dari ayahnya, ia berusaha meraihnya dengan kebohongan, bahkan dengan menggunakan nama Allah. Ketika Ishak, ayahnya, meragukan kehadirannya yang begitu cepat, Yakub menjawab: "Karena TUHAN, Allahmu, membuat aku mencapai tujuanku." (Kej 27:20). Ia sama sekali tidak takut akan Allah, yang penting keinginannya tercapai.

Tuhan sudah menyatakan diri kepada Yakub di Bethel dan memberikan janji seperti yang dijanjikan kepada Abraham. Allah (1) Memberikan tanah tempat mereka berdiam (2) memberikan keturunan yang banyak (3) Membuat mereka menjadi berkat. Tetapi, Yakub malah berpikir seolah dia yang akan ‘memberi’ kepada Tuhan berupa persepuluhan dari pemberian Tuhan (Kej. 28:13-22). Yakub lebih fokus pada pemberian Tuhan dari pada Tuhan sang Pemberi. Nazarnya untuk memberi sepersepuluh dari pemberian Tuhan hanyalah untuk mengharapkan sesuatu dari Tuhan. Sikap seperti ini tidak jarang kita temukan dalam kehidupan kekristenan sekarang: memberi supaya menerima. Padahal, kita memberi adalah karena kita sadar akan pemberian Tuhan bukan supaya Tuhan memberikan lebih banyak lagi kepada kita.

Sesudah peristiwa di Bethel ini, di mana Yakub tidak bergerak seirama dengan janji Tuhan, tetapi menempuh jalannya sendiri, ia mengalami berbagai peristiwa yang membuatnya merasa terancam. Salah satu di antaranya adalah kedatangan Esau dan pasukannya untuk menyerangnya. Dalam suasana ketakutan ia kembali mengingat janji Tuhan dan ia berdoa memohon kelepasan (32:9-10). Tetapi, ia tidak saja berdoa. Ia juga merancang strategi untuk ‘menjinakkan’ kegeraman Esau. Ia mempersiapkan segala macam pemberian yang akan dipersembahkan kepada Esau sebagai sarana melunakkan hati Esau. Dalam situasi seperti itu, Yakub pasti merasa lelah. Itulah juga yang terjadi dalam hidup ini ketika kita merasa tidak aman dan selalu berjuang dengan cara-cara kita sendiri untuk medapatkan apa yang kita inginkan. Tidak ada ketenangan dan kedamaian.

Berkat yang sesungguhnya ternyata bukan datang dari Ishak, ayahnya. Yakub mendapat berkat yang sesungguhnya dari Allah setelah Yakub berubah. Ia tidak lagi menipu dan berusaha menggenggam atau meraih yang duniawi, tetapi ia ‘bergumul’ dengan Tuhan. Artinya, ia memusatkan perhatian pada Tuhan Sang Pemberi hidup. Ia tidak mau melepaskan Tuhan dalam hidupnya. Yakub melihat Allah dan nyawanya tertolong (ayat 30). Ketika kita melihat atau memusatkan perhatian pada apa yang ada di dunia ini, semuanya itu tidak dapat menolong kita. Tetapi, ketika kita melihat dan berpegang pada Tuhan serta menerima dengan sukacita segala pemberianNya, kita akan mengalami kedamaian meskipun tantangan terkadang masih menghadang. Jika kita memiliki Allah, kita memiliki segala sesuatu yang Ia kehendaki. Sebaliknya, meskipun kita memiliki segala sesuatu tetapi tidak memiliki Allah, semuanya tidak punya arti apa-apa.

Friday, November 21, 2008

BUKAN KITA, TAPI DIA*)

Iblis tidak takut kepada orang percaya. Iblis takut dan takluk kepada Kristus yang diam dalam diri orang percaya.


Ada satu pernyataan para murid yang diutus sebagaimana dikisahkan dalam Lukas 10:17-20 yang mudah terluput dari perhatian kita. Mari kita perhatikan isi ‘laporan’ mereka kepada Yesus. Para murid itu berkata, "Tuhan, juga setan-setan takluk kepada kami demi nama-Mu." Kata-kata: “takluk kepada kami demi nama-Mu” telah menggeser pelaku utama dari Yesus menjadi murid-murid. Mereka merasa berhasil ‘memakai’ nama Yesus. Mereka bergembira mengagumi keberhasilan mereka.

Yang indah dan meneguhkan dari cara Yesus ialah bahwa Ia tidak membiarkan mereka menjadi sombong. Yesus tidak membiarkan mereka fokus pada diri dan keberhasilan mereka. Yesus berkata, “Aku melihat Iblis jatuh dari langit”. Artinya: Yesus ada di situ. Ia tahu dan melihat persis apa yang terjadi. Dan, yang paling penting, yang melakukannya bukan murid-murid itu, tetapi Yesus sendiri. Dari pernyataan Yesus tersebut sudah seharusnya murid-murid itu mengubah pernyataan mereka menjadi, “juga setan-setan tunduk kepada-Mu”. Itulah kebenaran yang sesungguhnya. Sebab, Iblis tidak takut kepada orang percaya. Iblis takut dan takluk kepada Kristus yang diam dalam diri orang percaya.

Selanjutnya, Yesus mengarahkan para murid dan kita juga kepada yang bernilai kekal, bukan kegembiraan yang bersifat sementara saja. Murid-murid gembira karena keberhasilan mereka. Ini adalah semacam perasaan senang yang tidak bernilai kekal. Dalam hal ini Yesus mengatakan, “bersukacitalah karena namamu ada terdaftar di sorga" (ayat 21). Yesus menawarkan sukacita yang bernilai sorgawi atau bernilai kekal. Bukankah sesuatu pemberian yang luar biasa berharga bahwa kita satu kewargaan dengan Kritus sendiri? Kita hidup, bekerja dan melayani di dunia sebagai warga sorga. Anugerah yang luar biasa!

‘Status’ kita sebagai warga kerajaan sorga mengubah hidup kita, mengubah pemahaman kita akan pekerjaan dan pelayanan, mengubah cara kita memperlakukan dan menghadapi orang lain. Salah satu di antaranya adalah kuasa untuk “menginjak ular dan kalajengking dan kuasa untuk menahan kekuatan musuh, sehingga tidak ada yang akan membahayakan kita”. Ini adalah gambaran. Jangan kita coba-coba memegang kalajengking atau ular dan sejenisnya. (Ular dan kalajengking yang mau menggigit tidak pernah lebih dulu bertanya apakah seseorang itu Kristen atau bukan!). Ular dan kalajengking menggambarkan berbagai godaan licik dan bahaya-bahaya yang ditabur dan ditebarkan oleh Iblis dan orang-orang yang menyerahkan dirinya pada pekerjaan Iblis.
.
Hidup kita tidak lagi ditentukan oleh faktor-faktor luar, baik yang kelihatan seolah-olah baik dan menjanjikan seperti pujian, pengakuan, kesuksesan menurut ukuran dunia dan lain-lain maupun yang jelas-jelas menyesatkan seperti menyangkal dan meninggalkan Tuhan. Rekasi kita juga akan berbeda. Kita tidak begitu gampang tersulut amarah, tidak cepat menghakimi, tidak memendam dendam, tidak gampang bersungut-sungut, tidak suka mengeluh. Mengapa? Kerajaan sorga tidak memiliki itu semua. Karena itu, sebagai warga sorga kita hidup dan bekerja dalam sukacita sorgawi.

Sebagai warga kerajaan sorga kita akan memasuki kehidupan kita: pekerjaan dan pelayanan kita sehari-hari. Mari kita resapkan dalam hati kita:

(1) Tuhan sudah lebih dulu ada di tempat di mana kita berada. Bukan kita membawa Kristus atau membawa kuasaNya. KuasaNya lebih besar dari kita. Karenanya, kita tidak pergi ‘membawa’ kuasa Yesus, tetapi kita pergi, melayani, menjadi saksi oleh kuasaNya.
.
(2) Kita tidak menggunakan Tuhan untuk rencana-rencana kita, meskipun kelihatan sangat ‘rohani’. Tuhanlah yang memakai kita untuk pekerjaan-Nya. Tanpa kita pun sebenarnya kerajaan dan pekerjaan-Nya dapat berjalan terus. Dengan kerendahan hati kita bersyukur karena kita diiuktsertakan dalam pekerjaan-Nya.
.
(3) Setiap kali Tuhan mengutus Ia selalu menyertai. Ia yang mengutus kita menjadi saksi-Nya, Ia juga yang menyertai kita.
.
(4) Kita harus melepaskan ketergantungan kita pada indikator atau tolok ukur keberhasilan dengan prestasi yang kita capai.
.
(5) Yang memenuhi visi kita bukanlah talenta, bakat, ketrampilan, kemampuan, materi, atau pemberian-Nya melainkan Kristus sang Pemberi itu. Zac Poonen benar ketika ia mengatakan, “Ketika sang Pemberi memenuhi hati kita dan visi kita, maka kita akan dapat menggunakan talenta, bakat dan milik kita dengan baik. Jika tidak, kita akan menyalahgunakannya untuk untuk pementingan dan pengagungan diri”.
.
*) Rangkuman renungan yang saya sampaikan pada Penutupan Seminar Haggai Institute, Singapore, 15 Nopember 2008

Sunday, November 16, 2008

ADA KEKUATAN DALAM KELEMAHLEMBUTAN

Satu di antara sekian banyak pemberian yang sangat berharga yang dapat kita berikan dalam hidup ini tanpa mengeluarkan biaya adalah 'kelemahlembutan'. Ia hanya membuthukan 'modal' kerelaan.

Kelemahlembutan kepada orang lain

Kita menemukan beberapa kali dalam Kejadian 1 yang mengatakan bahwa apa yang diciptakan Allah itu baik. Puncaknya, setelah semua diciptakan Allah, dikatakan dalam
Kej. 1:31: “Maka Allah melihat segala yang dijadikan-Nya itu, sungguh amat baik.” Dengan kelemahlembutan kita mengalami kembali betapa baiknya ciptaan dan rancangan Allah itu. Dunia ini menjadi kacau seiring dengan hilangnya kelemahlembutan dan digantikan dengan kekasaran dan kekerasan. Dunia ini akan kembali kepada keadaan ‘baik’ sebagaimana dikehendaki Allah sejak penciptaan ketika kelemahlembutan mewarnai kehidupan keseharian.

Lemah lembut tidak sama dengan ‘lembek’. Malahan, kelemahlembutan adalah merupakan kekuatan. Itu sebabnya Padovano dengan tepat berdoa, “Ya Tuhan, jadikanlah hati kami lemah lembut supaya kami dapat menjadi kuat.” Hanya dengan kelemahlembutan kita dapat memberi yang terbaik bagai orang lain. Bukan terutama melalui tekanan suara (walaupun itu penting) tetapi yang paling penting adalah kelemahlembutan ‘dari dalam’ –hati nurani yang murni. Lemah-lembut berarti kita tidak pernah memaksa orang lain termasuk pada hal-hal yang kelihatan mulia menurut ukuran kita sendiri. Kelemah-lembutan yang dimaksud di sini bukanlah terutama masalah ‘teknis’ atau ‘faktor luar’ (yang dapat dipelajari) seperti biasanya diterapkan oleh mereka-mereka yang mempromosikan produk tertentu yang hanya bertujuan untuk menjual produknya. Kelemahlembutan kristiani mengalir dari dalam hati, hati yang didiami oleh Roh Tuhan, yang ditujukan kepada semua orang dengan tulus.

Kelemahlembutan terhadap diri sendiri

Kelemahlembutan nampak melalui hidup yang bebas dari kekerasan (pikiran, perkataan dan perbuatan), tidak membalas kejahatan dengan kejahatan baru, meskipun kita mempunyai kesempatan dan kemampuan melakukan pembalasan. Kelemahlembutan adalah salah satu dari buah-buah Roh (Gal. 5:22-23).

Lemah lembut terhadap diri sendiri dapat juga kita artikan ‘ramah terhadap diri sendiri’.
Ada kesan bahwa pada umumnya budaya dan ajaran kekristenan lebih banyak menekankan keramahan kepada orang lain. Jarang sekali kita dengar nasihat untuk bersikap ramah terhadap diri sendiri. Ramah terhadap diri sendiri tidak sama dengan ’cinta diri’ atau 'pementingan diri'. Ramah terhadap diri sendiri adalah bagian dari ’mengasihi diri’. Bagi orang Kristen, ’mengasihi diri’ bukanlah sesuatu yang salah. Yang salah adalah self-pity (rasa kasihan terhadap diri sendiri, yang nampak misalnya dengan banyak mengeluh dan bersungut-sungut), selfishness (pementingan diri sendiri). Allah sendiri mengasihi kita, karenanya kita harus mengasihi apa yang Tuhan kasihi.

Keramahan terhadap diri sendiri mewujud dalam sikap menerima diri dengan segala keberadaannya, tidak memaksa diri menjadi seperti orang lain (karena kita akan stress dan bahkan frustrasi), mensyukuri apa yang Tuhan anugerahkan kepada kita, mensyukuri apa yang Tuhan anugerahkan kepada orang lain; tidak cemburu pada keberhasilan orang, tidak memendam dendam dalam hati. Jadi, ketika kita menerima segala sesuatu yang Tuhan anugerahkan dalam kehidupan di dunia ini dan bersikap serta berbuat sebagaimana Tuhan kehendaki dalam kehidupan keseharian, di situlah terjadi kebahagiaan sejati. Kebahagiaan seperti itu dapat kita peroleh saat ini juga dengan pertolongan Tuhan.

Monday, November 10, 2008

MENGAPA ANDA KE GEREJA?

Ada kisah tentang seekor anjing yang ‘religius’. Preta, seekor anjing di Portugal, sanggup berjalan menempuh jarak 26 kilometer setiap minggu untuk bisa mengikuti ibadah. Setiap hari Minggu Preta pergi meninggalkan rumah tuannya pada jam lima pagi. Bekas anjing jalanan ini berjalan sendirian menuju ke sebuah gereja untuk mengikuti ibadah pada pukul 07.30 dan berada di tempat favoritnya di dalam gereja yakni di samping altar. Pada saat jemaat berdiri atau duduk, Preta juga melakukan hal yang serupa. Ketika ibadah usai, biasanya ia kembali berjalan kaki, namun kadangkala ia menumpang naik mobil orang-orang yang dikenalnya. Jumlah jemaat gereja tersebut meningkat karena banyak orang yang ingin melihat kehadiran anjing tersebut (Dikutip oleh Yustinus Sumantri dari Harian Surabaya Post Rabu, 11 Juli 2001).

Mengapa orang-orang Kristen datang ke gereja pada hari Minggu? Nampaknya, masing-masing punya alasan tersendiri. Ada yang mau melihat sesuatu yang menarik, ada yang mungkin merasa takut dihukum Tuhan, ada yang merasa malu jika orang lain tahu ia tidak pergi ke gereja, ada yang mau bertemu dengan teman-teman, bahkan bisa saja ada yang hanya sekadar kebiasaan saja tanpa mengerti makannya (seperti Preta).

Hukum Taurat berbunyi, “Ingatlah dan kuduskanlah hari Sabat.” (Kel 20:8). Kata sabat berasal dari kata Ibrani ‘Sabbath’ yang artinya: istrirahat, yaitu istirahat dari pekerjaan sekaligus beribadah kepada Tuhan. Perubahan waktu istirahat dan ibadah dari hari Sabtu menjadi hari Minggu, dimulai oleh jemaat mula-mula, terutama mengacu pada hari kebangkitan Tuhan Yesus dan karena faktor kebijakan pemerintahan Romawi yang membuat hari Minggu menjadi hari libur resmi dalam wilayah kekuasaannya. Perubahan ini tidak menjadi masalah, karena yang penting adalah ‘isinya’ yaitu mengkhususkan hari untuk istirahat dan beribadah secara khusus. Dalam hal ini sedikitnya ada empat hal yang perlu kita renungkan berkaitan dengan hari Sabat (Minggu).

Pertama, bersekutu secara khusus dan khusuk dengan Tuhan melalui pujian, doa dan terutama mendengarkan firmanNya. Inilah waktu untuk memuliakan Tuhan yang akan berlanjut pada hari Senin sampai Sabtu untuk tidak menyembah dan mengabdi kepada Mamon atau ilah materialisme yang banyak dipuja oleh orang pada zaman konsumerisme ini. Pada hari Minggu, kita merayakan keselamatan kita oleh penebusan Tuhan Yesus yang sudah mengalahkan maut melalui kebangkitanNya.

Kedua, beristirahat secara fisik, intelektual, dan emosional. Sabat mengingatkan kita untuk tidak mengandalkan pikiran kita dengan berbagai rencana dan cara kita mencapai keinginan-keinginan kita tetapi sepenuhnya mengandalkan Allah. Sabat adalah juga kesempatan untuk istirahat memikirkan pekerjaan. Sayangnya, ada orang Kristen yang mendambakan untuk beribadah di gereja pada saat dia bekerja, tetapi membayangkan pekerjaannya ketika dia berada di gereja. Sabat hendaknya memberi kedamaian hati dan pikiran dengan membuang segala macam yang mengganggu pikiran, ambisi, dan aneka keinginan.

Ketiga, bersekutu dengan sesama umat percaya. Dalam berbagai jemaat hal ini sangat sulit karena banyak orang yang tidak saling mengenal. Orang datang, duduk, dan pulang tanpa saling menyapa dengan yang lain. Jemaat-jemaat masakini hendaknya berusaha mempererat persaudaraan di antara sesama anggota jemaat.

Keempat, memberi kesempatan kepada ciptaan atau makhluk lain merayakan hidupnya. Dulu, banyak ternak dipekerjakan dalam pertanian dan pada hari Sabat mereka juga diberi kesempatan beristirahat. Saat ini makhluk ciptaan Tuhan banyak yang terganggu oleh aktivitas manusia dan deru suara berbagai peralatannya yang memekakkan telinga. Sabat dapat juga sebagai sarana menerapkan pola hidup sederhana dengan tidak melahap makanan berlebihan dan memboroskan enerji dan benda-benda yang merusak lingkungan.

Singkatnya, dengan istirahat dan beribadah pada hari Minggu dapat membawa kedamaian di dalam hati kita secara pribadi, damai dengan sesama umat dan damai dengan makhluk dan alam ciptaan Tuhan. Sebab, Tuhan telah mendamaikan diri-Nya dengan kita.

Perlu ditambahkan bahwa kita harus menjaga agar Sabat tidak dibelokkan menjadi alasan ketidakpedulian terhadap sesama. Hal ini terjadi dalam kehidupan orang-orang Yahudi, yang membuat peraturan dengan sangat kaku hingga mereka menganggap bersalah melakukan penyembuhan pada hari Sabat. Itu sebabnya Yesus dengan tegas menolak pandangan itu dengan mengatakan, "Hari Sabat diadakan untuk manusia dan bukan manusia untuk hari Sabat, jadi Anak Manusia adalah juga Tuhan atas hari Sabat" (Markus 2:27-28).

Sunday, November 2, 2008

HILANG DI RUMAH SENDIRI

Agaknya kita jarang memberi perhatian pada sikap anak sulung dan sikap bapa terhadap anak sulung seperti terdapat dalam perumpamaan tentang anak yang hilang (Lukas 15). Biasanya kita fokus pada kasih bapa kepada anak bungsu yang besikap dan berperilaku bobrok dan pertobatannya. Mungkin kita merasa tidak seperti anak yang bungsu. Baik, tentu. Kiranya kita tidak ‘hilang’ juga seperti anak yang sulung.

Zac Poonen menganalogikan anak sulung itu sebagai orang-orang Kristen yang aktif dalam kehidupan bergereja. Jika si bapa di dalam perumpamaan ini menggambarkan Allah, anak yang lebih tua ini dapat digambarkan sebagai seorang Kristen. Dalam perumpamaan ini disebutkan bahwa ia pulang ke rumah sesudah bekerja di ladang ayahnya. Ia bukan seorang anak muda yang malas, yang duduk di rumah ayahnya dan menikmati kekayaan bapanya. Ia adalah seorang yang bekerja keras untuk bapanya. Ia kelihatan lebih mengasihi bapanya dan kelihatan lebih saleh ketimbang adiknya. Tetapi sesungguhnya ia sama saja dengan adiknya dalam hal ‘pementingan diri’. Anak yang sulung ini menggambarkan orang-orang percaya yang aktif dalam pekerjaan Tuhan dan kelihatannya mengabdi kepada Tuhan, tetapi masih berpusat kepada dirinya sendiri tidak berpusat kepada Bapa.

Berdasarkan sikap anak yang sulung ini, kita bisa melihat sedikitnya empat ciri-ciri orang yang 'terinfeksi virus' pementingan dan pengagungan diri.

(1) Kecemburuan. Anak sulung ini cemburu kepada saudaranya yang bungsu dan kecemburuannya membuatnya marah. Saat adiknya pulang, ia merasa posisinya di dalam rumah terancam. Ia merasa adiknya sudah menjadi pusat perhatian di rumah. Orang yang ‘cinta diri’ senang mendapat perhatian dan pujian orang lain. Orang yang ‘cinta diri’ sangat mudah merasa sedih, mengeluh dan marah.

(2) Kesombongan. Anak sulung itu mengatakan: Telah bertahun-tahun aku melayani bapa dan belum pernah aku melanggar perintah bapa, tetapi kepadaku belum pernah bapa memberikan seekor anak kambing untuk bersukacita dengan sahabat-sahabatku (ayat 29). Ia menyombongkan kesetiaannya kepada bapanya. Kesombongan seseorang muncul, bukan saja karena kebaikan-kebaikan dan keberhasilannya, melainkan juga karena seseorang itu merasa orang-orang di sekitarnya tidak sebaik dirinya. Kesombongan selalu merupakan akibat dari pembandingan diri sendiri dengan orang lain. Jika anak yang bungsu ini lebih baik melayani bapanya, yang sulung tidak akan merasa sombong.

Kesombongan jugalah penyakit orang Farisi yang berdoa “Terima kasih Tuhan karena aku tidak seperti orang lain....... “ Terkadang dalam bentuknya yang lebih halus bisa juga guru sekolah Minggu terjatuh pada kesombongan yang sama dengan berdoa, “Terima kasih Tuhan, karena kami tidak seperti orang Farisi”. Bahkan kita pun bisa saja terjatuh dalam kesombongan kalau dalam hati kita berkata, “Terima kasih Tuhan karena kami tidak seperti guru sekolah Minggu itu”.

(3) Menghakimi. Yang sulung berkata bahwa adiknya telah memboroskan harta kekayaan bapa bersama-sama dengan pelacur-pelacur (ayat 30). Ia lebih senang mengungkapakan kekurangan adiknya ketimbang menutupinya. Padahal, ia sendiri tidak mengetahui secara pasti apakah adiknya benar-benar seperti itu. Apakah kita mengetahui kesalahan-kesalahan orang lain? Apakah secara tersembunyi kita senang melihat kajatuhan orang lain, khususnya mereka yang tidak kita sukai? Ketika kita membenci seseorang, kita sangat senang mengatakan kekurangan orang lain. Dan ini tidak sehat.

4. Ketidakpedulian. Orang yang cinta diri tidak memiliki kasih yang murni kepada orang lain. Inilah akar dari sikap tidak bersahabat bahkan kebencian terhadap orang lain. Yang sulung ini tidak pernah berusaha secaraa sukarela mencari adiknya ini, padahal sudah bertahun-tahun meninggalkan rumah. Ia tidak peduli apakah adiknya hidup atau mati. Bagaimana sikap kita terhadap orang yang meninggalkan kita, keluarga kita, gereja kita? Lebih mudah mempersalahkan bahkan menghukumnya. Lebih sulit mengasihi dan menolong mereka.

Kasih Bapa

Kini saatnya kita mengalihkan perhatiaan dari perumpamaan ini kepada Allah, Bapa kita, dan diri kita sendiri. Dalam perumpamaan ini kita lihat bahwa bapa itu memiliki kasih yang sama kepada kedua anaknya. Ia menyambut anaknya yang bungsu. Ia juga keluar mendapatkan anaknya yang sulung. Perumpamaan ini menyatakan kepada kita betapa besarnya kasih Allah. Ia mengasihi kita. Ia menghendaki kita memiliki milikNya, tetapi Ia harus membebaskan kita pertama-tama dari sikap ‘pementingan dan pengagungan diri’. Kita pun akan kembali ke ‘rumah’ yaitu kembali menjadi bagian dari keluarga Allah.

ShoutMix chat widget