Sunday, November 2, 2008

HILANG DI RUMAH SENDIRI

Agaknya kita jarang memberi perhatian pada sikap anak sulung dan sikap bapa terhadap anak sulung seperti terdapat dalam perumpamaan tentang anak yang hilang (Lukas 15). Biasanya kita fokus pada kasih bapa kepada anak bungsu yang besikap dan berperilaku bobrok dan pertobatannya. Mungkin kita merasa tidak seperti anak yang bungsu. Baik, tentu. Kiranya kita tidak ‘hilang’ juga seperti anak yang sulung.

Zac Poonen menganalogikan anak sulung itu sebagai orang-orang Kristen yang aktif dalam kehidupan bergereja. Jika si bapa di dalam perumpamaan ini menggambarkan Allah, anak yang lebih tua ini dapat digambarkan sebagai seorang Kristen. Dalam perumpamaan ini disebutkan bahwa ia pulang ke rumah sesudah bekerja di ladang ayahnya. Ia bukan seorang anak muda yang malas, yang duduk di rumah ayahnya dan menikmati kekayaan bapanya. Ia adalah seorang yang bekerja keras untuk bapanya. Ia kelihatan lebih mengasihi bapanya dan kelihatan lebih saleh ketimbang adiknya. Tetapi sesungguhnya ia sama saja dengan adiknya dalam hal ‘pementingan diri’. Anak yang sulung ini menggambarkan orang-orang percaya yang aktif dalam pekerjaan Tuhan dan kelihatannya mengabdi kepada Tuhan, tetapi masih berpusat kepada dirinya sendiri tidak berpusat kepada Bapa.

Berdasarkan sikap anak yang sulung ini, kita bisa melihat sedikitnya empat ciri-ciri orang yang 'terinfeksi virus' pementingan dan pengagungan diri.

(1) Kecemburuan. Anak sulung ini cemburu kepada saudaranya yang bungsu dan kecemburuannya membuatnya marah. Saat adiknya pulang, ia merasa posisinya di dalam rumah terancam. Ia merasa adiknya sudah menjadi pusat perhatian di rumah. Orang yang ‘cinta diri’ senang mendapat perhatian dan pujian orang lain. Orang yang ‘cinta diri’ sangat mudah merasa sedih, mengeluh dan marah.

(2) Kesombongan. Anak sulung itu mengatakan: Telah bertahun-tahun aku melayani bapa dan belum pernah aku melanggar perintah bapa, tetapi kepadaku belum pernah bapa memberikan seekor anak kambing untuk bersukacita dengan sahabat-sahabatku (ayat 29). Ia menyombongkan kesetiaannya kepada bapanya. Kesombongan seseorang muncul, bukan saja karena kebaikan-kebaikan dan keberhasilannya, melainkan juga karena seseorang itu merasa orang-orang di sekitarnya tidak sebaik dirinya. Kesombongan selalu merupakan akibat dari pembandingan diri sendiri dengan orang lain. Jika anak yang bungsu ini lebih baik melayani bapanya, yang sulung tidak akan merasa sombong.

Kesombongan jugalah penyakit orang Farisi yang berdoa “Terima kasih Tuhan karena aku tidak seperti orang lain....... “ Terkadang dalam bentuknya yang lebih halus bisa juga guru sekolah Minggu terjatuh pada kesombongan yang sama dengan berdoa, “Terima kasih Tuhan, karena kami tidak seperti orang Farisi”. Bahkan kita pun bisa saja terjatuh dalam kesombongan kalau dalam hati kita berkata, “Terima kasih Tuhan karena kami tidak seperti guru sekolah Minggu itu”.

(3) Menghakimi. Yang sulung berkata bahwa adiknya telah memboroskan harta kekayaan bapa bersama-sama dengan pelacur-pelacur (ayat 30). Ia lebih senang mengungkapakan kekurangan adiknya ketimbang menutupinya. Padahal, ia sendiri tidak mengetahui secara pasti apakah adiknya benar-benar seperti itu. Apakah kita mengetahui kesalahan-kesalahan orang lain? Apakah secara tersembunyi kita senang melihat kajatuhan orang lain, khususnya mereka yang tidak kita sukai? Ketika kita membenci seseorang, kita sangat senang mengatakan kekurangan orang lain. Dan ini tidak sehat.

4. Ketidakpedulian. Orang yang cinta diri tidak memiliki kasih yang murni kepada orang lain. Inilah akar dari sikap tidak bersahabat bahkan kebencian terhadap orang lain. Yang sulung ini tidak pernah berusaha secaraa sukarela mencari adiknya ini, padahal sudah bertahun-tahun meninggalkan rumah. Ia tidak peduli apakah adiknya hidup atau mati. Bagaimana sikap kita terhadap orang yang meninggalkan kita, keluarga kita, gereja kita? Lebih mudah mempersalahkan bahkan menghukumnya. Lebih sulit mengasihi dan menolong mereka.

Kasih Bapa

Kini saatnya kita mengalihkan perhatiaan dari perumpamaan ini kepada Allah, Bapa kita, dan diri kita sendiri. Dalam perumpamaan ini kita lihat bahwa bapa itu memiliki kasih yang sama kepada kedua anaknya. Ia menyambut anaknya yang bungsu. Ia juga keluar mendapatkan anaknya yang sulung. Perumpamaan ini menyatakan kepada kita betapa besarnya kasih Allah. Ia mengasihi kita. Ia menghendaki kita memiliki milikNya, tetapi Ia harus membebaskan kita pertama-tama dari sikap ‘pementingan dan pengagungan diri’. Kita pun akan kembali ke ‘rumah’ yaitu kembali menjadi bagian dari keluarga Allah.

No comments:

Post a Comment

Kami sangat menghargai komentar Anda yang membangun.


ShoutMix chat widget