Thursday, August 16, 2007

MEMAKNAI PERJUMPAAN DENGAN TUHAN


Dalam pengalaman keseharian kita, sedikitnya ada tiga suasana perjumpaan yang berbeda.

1. Perjumpaan yang ‘berkobar-kobar’ atau yang dipenuhi oleh kegembiraan.

Bayangkan bagaimana suasana ketika seorang ibu di Bonapasogit bertemu putri yang dikasihinya yang bekerja di Singapura dan sudah beberapa tahun tidak bertemu. Di situ ada kegembiraan yang meluap-luap, bukan? Meskipun air mata berderai, ia adalah air mata kegembiraan. ‘Ngobrol’ sampai jam tiga pagi tidak terasa.

2. Perjumpaan yang ‘suam-suam kuku’ atau malah dingin.

Ada banyak orang yang sudah bertetangga puluhan tahun tetapi tidak saling mengenal dan tidak terlalu sering saling menyapa. Mungkin sesekali mereka saling melempar senyum ketika berpapasan di lift (malah ada yang sama sekali tidak saling menyapa). Memang mereka tidak saling mengganggu atau bermusuhan, tetapi mereka juga tidak terlalu peduli satu sama lain. Pada zaman ini, ada yang punya begitu banyak kenalan, tetapi memiliki hanya sedikit sahabat. Malah, yang lebih parah, kenalan pun tidak punya.

3. Perjumpaan yang menghancurkan.

Ini bisa terjadi dalam lingkungan yang saling mengenal dan tidak mengenal. Ia bahkan bisa terjadi dalam sebuah persekutuan gerejawi. Setiap kali ada pertemuan, ada saja orang yang selalu saling menyindir, perang urat saraf, perang mulut bahkan, ironinya, hingga saling memukul.

Orang-orang Batak yang pernah duduk di Sekolah Rakyat (SR, sekarang SD) mungkin masih mengingat sebuah cerita dalam buku bacaan sekolah yang berjudul “Hambing Na Tangkang” (Kambing yang jahat). Ada sebuah jembatan kecil dan dua kambing bertemu di tengahnya. Mereka tidak bisa saling berpapasan karena jembatannya sempit. Tidak ada satupun di antara keduanya yang mau mengalah dan mundur. Akhirnya mereka beradu tabrak dan saling tanduk di tengah jembatan itu. Apa yang terjadi? Ooooh betapa malangnya mereka. Keduanya jatuh ke sungai dan tewas ‘tanpa tanda jasa’. Perjumpaan yang menghancurkan, bukan? Kambing buntung, ikan sungai beruntung.

Bagaimana perjumpaan kita dengan Tuhan? Dari pihak Tuhan sendiri tidak ada masalah. Ia datang menjumpai kita dengan kasih. Yang perlu adalah sambutan kita. Apakah kita menyambutnya dengan kasih dan sukacita atau tidak peduli.

Dari pemberitaan Alkitab kita belajar, bahwa setiap orang yang berjumpa dengan Tuhan dan menyambut-Nya sebagai Tuhan dan Juruselamat, hati mereka berkobar-kobar dan mereka selalu bergerak memberitakannya kepada orang lain. Menyebut beberapa contoh:

- Perempuan Samaria dan orang banyak sebagaimana diberitakan dalam Yohanes 4 berjumpa dalam suasana kekaguman dan kegembiraan. Perempuan Samaria ini heran dan bergembira ketika Yesus mengenalnya dan menerima keberadaannya tanpa sebuah ancaman. Perempuan Samaria ini pergi memberitakannya kepada orang lain.


- Para perempuan yang berjumpa dengan Yesus pada peristiwa kebangkitan itu, mereka bergegas memberitakannya (Matius 28:1-10).

- Dua orang yang berjumpa dengan Yesus di jalan ke Emaus sesudah kebangkitan-Nya, hati mereka berkobar-kobar dan pergi memberitakannya (Lukas 24:13-35)

- Rasul Paulus berjumpa dengan Tuhan sebelum pertobatannya, ia bertobat dan bergerak terus melakukan kehendak Tuhan.

Ada satu kebenaran yang sangat perlu kita renungkan dan hidupi berdasarkan pengakuan orang banyak seperti Yoh 4:42 yang mengatakan: “Kami percaya, tetapi bukan lagi karena apa yang kaukatakan, sebab kami sendiri telah mendengar Dia dan kami tahu, bahwa Dialah benar-benar Juruselamat dunia.”

Orang banyak itu tidak mengabaikan peranan perempuan Samaria itu yang memberitakan Yesus kepada mereka. Tetapi, yang jauh lebih penting adalah perjumpaan mereka secara langsung kepada Yesus yang akhirnya membuat mereka mengaku, “Dialah benar-benar Juruselamat”.

Tidak menjadi soal dari siapa kita pertama kali mendengar tentang Yesus dan tidak menjadi soal bagaiamana awal perjumpaan kita dengan Tuhan. Mungkin awalnya melalui orangtua, teman, Penginjil, bacaan dan lain-lain. Mereka adalah perpanjangan tangan Tuhan untuk menyapa kita –yang mengawali perjumpaan kita secara langsung dengan Tuhan.

Perlu ditegaskan disini bahwa peristiwa perjumpaan kita dengan Tuhan lebih merupakan sarana dan bukan tujuan. Perjumpaan kita dengan Tuhan mesti berlanjut dengan:

(1) Pengakuan iman percaya kita kepada-Nya, “Dialah juruselamat dunia”. Dia yang memelihara dan menyelamatkan dunia ini dan segala isinya sekarang hingga ke masa kehidupan yang kekal.

(2) Kita bersatu dengan-Nya sesuai dengan undangan-Nya kepada kita: “tinggallah di dalam Aku dan Aku di dalam kamu” (Yoh. 15:4). Rasul Paulus juga berulangkali menggunakan kata en to Christo (Bahasa Yunani yang berarti: di dalam Kristus). Paulus hidup dan bekerja di dalam Tuhan dan ia menasihatkan orang-orang Kristen untuk mengikuti teladannya. “Hendaklah hidupmu tetap di dalam Tuhan” (Kolose 2:6).

(3) Melakukan kehendak-Nya. Jadinya, seluruh gerak hidup kita seirama dengan gerak Tuhan, sambil tetap siuman bahwa kita adalah pengikut Tuhan dan bukan tuhan kecil. “Dan inilah tandanya, bahwa kita mengenal Allah, yaitu jikalau kita menuruti perintah-perintah-Nya….Barang siapa mengatakan, bahwa ia ada di dalam Dia, ia wajib hidup seperti Kristus telah hidup” (1 Yoh. 2:6)

Dalam kaitan itu, sekiranya kita memiliki pengalaman khusus dalam hal perjumpaan dengan Tuhan, kita dapat saja mengenangnya sambil bergerak kepada yang lebih penting yakni: kita di dalam Tuhan (bersatu dengan Tuhan) dan melakukan kehendak-Nya. “Saya berjumpa dengan Tuhan dalam suatu KKR di Korea,” kata seseorang misalnya kepada teman-temannya. Sebelum mengungkapkan hal seperti ini, seseorang perlu terlebih dulu memeriksa niat hatinya. Apakah ‘kesaksian’ seperti ini menolong diri sendiri untuk bertumbuh dan meneguhkan sesama untuk mengikut Tuhan? Jangan sampai kata “berjumpa dengan Tuhan” yang sangat indah ini disalahgunakan sebagai ‘pengumuman’ bahwa ia pernah ke Korea. Akibatnya bisa lebih panjang dari yang kita bayangkan. Misalnya, ia beranggapan bahwa hanya di suatu tempat tertentu boleh berjumpa dengan Tuhan; ia akan berusaha kembali ke tempat itu, walaupun dengan harga yang mahal; orang lain bisa mengganggap bahwa ia tidak akan pernah bisa bertemu dengan Tuhan karena dia tidak mampu membiayai perjalanannya ke luar negeri.

Contoh lain, “Kami semua dipenuhi Roh Kudus, ketika kami berdoa bersama dengan menangis kepada Tuhan,” kata anggota-anggota kelompok doa misalnya. Mengenang peristiwa dimana seseorang meyakini dipenuhi Roh Kudus memang baik. Tetapi, menunjukkan bahwa seseorang dipenuhi oleh Roh Kudus melalui buah-buah Roh (Gal 5:22-23) jauh lebih baik ketimbang asyik menceritakan peristiwa kepenuhan Roh itu sendiri. Perjumpaan dengan Tuhan hanya bermakna jika disertai dengan buahnya.

Saya ingin mengakhirinya dengan nasihat indah dari James W. More sebagai berikut:[1]
(Katakan) aku adalah anak Allah. Allah bersama denganku. Aku adalah rekan sekerja Allah. Aku bekerja bersama dengan Allah dan untuk Allah, dan Ia bekerja melalui Aku. Pengakuan seperti itu akan:
Mengubah caramu bekerja
Mengubah caramu berbicara
Mengubah tekanan suaramu
Mengubah caramu berhubungan dengan yang lain.
Mengubah tingkat enerjimu
Mengubah penampilanmu
Mengubah perilakumu.
……….dan hidupmu akan lebih baik.

[1] James W. More, You can Get Bitter or Better, (Nashville: Dimension for Living, 2006).

No comments:

Post a Comment

Kami sangat menghargai komentar Anda yang membangun.


ShoutMix chat widget