Sunday, November 28, 2010

T E M P A T

REFLEKSI SENIN KE-48
29 Nopember 2010

Seorang sahabat menuturkan betapa indahnya pengalamannya dua puluh tahun lalu semasih kuliah. Ia mengaku kampusnya begitu indah, teman-temannya sangat baik, dosen-dosennya berkualitas. Padahal, dulu ketika ia menjalani perkuliahannya, kampus itu dirasa bagai penjara yang kalau bisa sesegera mungkin ditinggalkan dan memulai suatu suasana kehidupan yang baru.

Agaknya sahabat saya ini tidak sendirian. Mungkin setiap orang pernah merasa jenuh bahkan membenci suatu tempat atau keadaan dan berusaha keluar dari tempat tersebut tetapi justru berhadapan dengan keadaan yang jauh lebih tidak mengenakkan. Sering kali suatu keadaan yang kita bayangkan jauh lebih indah pada saat diidam-idamkan dibandingkan dengan ketika mencapai atau menemukannya.

Yang jelas, setiap tempat dan keadaan yang tidak kita sukai adalah penjara bagi kita. Ada dua cara utama untuk keluar dari penjara seperti itu. Pertama, keluar secara fisik. Tanggalkan dan tinggalkan! Langkah ini dapat diambil jika masalahnya terutama pada orang sekitar atau lingkungan itu sendiri. Langkah ini memang tidak selalu mudah, tetapi butuh keberanian dan usaha gigih. Misalkan Anda menyewa rumah atau kost di lingkungan yang terpolusi s atau tempat-tempat mangkalnya para pemabuk, penjudi, pencuri. Memang yang paling ideal adalah kalau kita tidak terkontaminasi oleh lingkungan sekaligus bisa mengubah keadaan. Tetapi, jika keadaan tidak berubah bahkan kita cenderung terkontaminasi oleh lingkungan maka lebih baik meninggalkannya. Rasul Paulus pernah menegaskan, “Janganlah kamu sesat: Pergaulan yang buruk merusakkan kebiasaan yang baik.” Jika ini yang terjadi, maka keadaan masa lalu bukanlah sesuatu yang kita rinddukan.

Kedua, mengubah sikap dan cara pandang kita terhadap tempat dan keadaan itu. Langkah ini dapat ditempuh terutama jika masalahnya terutama ada dalam diri kita. Mungkin harapan, gengsi, standard kita terlalu tinggi, kita kurang kesabaran dan toleransi dan sebagainya. Maka, mengubah sikap dan cara pandang kita menjadi sebuah keharusan. Orang yang benar-benar meringkuk dalam penjara pun dapat mempunyai sikap yang berbeda satu sama lain. “Dua orang meringkuk dalam penjara yang sama melihat ke luar dari jendela kecil. Yang satu melihat ke lumpur di jalanan, yang lainnya melihat indahnya bintang-bintang di langit”. Jadi, kalau orang yang meringkuk dalam penjara sungguhan pun dapat memaknai keadaan dan pengalamannya, apalagi kita yang bebas melakukan pilihan-pilihan baik kita.

Bercermin pada yang kedua ini, maka kita tidak akan buru-buru angkat kaki meninggalkan pekerjaan, pindah rumah, memisahkan diri dari suatu persekutuan, seperti membuka gereja baru, kelompok baru dan sebagainya. Sebab, dengan menempuh langkah ini mungkin saja kita sedang menciptakan penjara bagi diri kita sendiri dan orang-orang yang kita kasihi. Menguji dan mengkaji segala sesuatu dengan hikmat merupakan bagian integral dari iman.

Sunday, November 21, 2010

LAKI-LAKI DAN PEREMPUAN

REFLEKSI SENIN KE-47
22 Nopember 2010

Saya pernah menerima yang berikut melalui email, yang terjemahan bebasnya sebagai berikut:

Seorang laki-laki akan membayar Rp. 20.000 –yang biasanya hanya seharga Rp. 10.000 (sungkan menawar, ‘gengsi dong!”)-- suatu barang yang dia butuhkan.
Seorang perempuan akan membayar Rp. 10.000 –yang biasanya seharga Rp. 20.000 (mungkin sangat pintar menawar)—suatu barang yang tidak dibutuhkannya.

Seorang perempuan cemas akan masa depan hingga ia menemukan seorang suami.
Seorang laki-laki tidak pernah cemas akan masa depan; ia cemas ketika ia sudah mendapat seorang istri.

Seorang laki-laki sukses adalah yang menghasilkan uang lebih dari yang dapat dibelanjakan isterinya.
Seorang perempuan sukses adalah yang berhasil mendapatkan laki-laki seperti itu.

Untuk dapat hidup bahagia dengan seorang laki-laki: mengerti dia banyak dan cintai dia sedikit.
Untuk dapat hidup bahagia dengan seorang perempuan: Anda harus mencintainya lebih banyak dan mengerti lebih sedikit.

Setiap laki-laki yang menikah harus melupakan kesalahan-kesalahannya; tidak perlu dua orang meningat hal yang sama (artinya: istri akan tetap mengingatnya dengan baik!)

Seorang perempuan menikah dengan seorang laki-laki dengan harapan si laki-laki akan berubah, tetapi ternyata tidak berubah.
Seorang laki-laki menikah dengan seorang perempuan dengan harapan si perempuan tidak berubah, tetapy si perempuan justru berubah.

Daftar ini bisa lebih panjang lagi. Tapi, tidak bijaksana melakukan stereotyping. Malah bisa menimbulkan masalah. Apalagi, selama ini perempuan seringkali diperlakukan secara tidak adil dalam banyak hal. Bahkan, ada pula yang menyelewengkan ayat-ayat Alkitab untuk menunjukkan bahwa perempuan lebih rendah dari laki-laki. Misalnya dengan mengatakan bahwa (1) Perempuan diciptakan sesudah laki-laki (2) Perempuan diciptakan sebagai penolong laki-laki (3) Perempuanlah yang menggoda laki-laki sehingga jatuh ke dalam dosa, dan seterusnya. Padahal, kalau mau memperbandingkan dari urutan penciptaan, justru ‘kualitas’ perempuanlah lebih baik. Sebab, laki-laki diciptakan dari debu tanah sementara perempuan dari tulang manusia.

Bagi orang Kristen, keberadaan dan hubungan laki-laki dan perempuan mesti dilihat dari persamaan dan perbedaannya sebagaimana Tuhan menghendakinya. Laki-laki dan perempuan adalah sama-sama ciptaan Allah. Hal ini juga mau menegaskan bahwa keberadaan laki-laki dan perempuan harus dilihat dari segi ‘kepemilikan’ Allah atas laki-laki dan perempuan. Perempuan dan laki-laki memang berbeda tetapi keduanya adalah sederajat (Kejadian 1:26-27). Kodrat perempuan (yang sampai hari ini belum berubah) mengandung, melahirkan dan menyusui anak, tidak dapat digunakan sebagai pembenaran menempatkan perempuan lebih rendah dari laki-laki.

Di samping itu, perempuan dan laki-laki adalah sama-sama Imago Dei ‘gambar Allah’. Tidak ada dikatakan di dalam Alkitab bahwa laki-laki adalah Imago Dei dan perempuan adalah Imago Satanas (gambar setan). Sebagai sesama gambar Allah, laki-laki dan perempuan mewarisi sifat-sifat Allah yang mampu mengasihi, berbuat baik, bertanggung jawab dan sebagainya. Yang perlu sekarang adalah pemberlakuannya dalam hidup keseharian.

Sunday, November 14, 2010

BERBEDA, BOLEH?

REFLEKSI SENIN KE-46
15 Nopember 2010

Mobil suami-sitri Bapak dan Ibu Sipahutar terhenti sejenak. Seekor ular berwarna-warni melintas di tengah jalan pada malam itu. Sambil menyaksikan ular itu melintas Pak Sipahutar berkata kagum “Wah, cantik sekali”. Sedangkan ibu Sipahutar berkata, “Ah, menjijikkan dan mengerikan”. Dua kesan yang sangat berbeda terhadap suatu objek. Tetapi, mereka tetap menikmati perjalanan dan hidup damai meski berbeda. Si ular juga hidup dengan damai dalam dunianya.

Dua pendapat di atas sebenarnya berpotensi menjadi perdebatan sengit hingga pertengkaran Bapak dan Ibu Sipahutar. Bayangkan jika Ibu Sipahutar mulai mengembangkannya ke topik percakapan lain dengan mengatakan, “Papa kejam sekali, masakan papa bilang ular yang menjijikkan dan menyeramkan itu ‘cantik’, padahal kita sudah menikah 30 tahun satu kali pun papa tidak pernah bilang mama ini cantik”. Apalagi kalau Pak Sipahutar berkata begini, “Lha, mama baru tahu bahwa ular lebih cantik dari mama? Ini seius ma!” Kalau Ibu Sipahutar semakin tak terkendali, bisa-bisa ia berkata, “turunkan saya di sini, nikah sama ular aja kamu!” Pak Sipahutar dan Ibu Sipahutar bisa bertengkar dan ular sudah tenang dalam belukar.

Perbedaan pendapat akan selalu ada. Tetapi perbedaan tidak harus berujung pada pertengkaran. Hal ini bisa terjadi jika setiap orang yang memiliki sebuah pendapat berusaha sebaik-baiknya dan sejernih-jernihnya memahami sudut pandang orang lain. Misalnya, mengapa Pak Sipahutar mengatakan ular itu cantik dan mengapa Ibu Sipahutar mengatakannya menjijikkan dan mengerikan. Dengan mengetahui alasan di balik pernyataan sesama, seseorang paling tidak dapat memahami, meskipun tidak harus menerima atau sependapat dengan mitra bicaranyha.

Di samping itu, perbedaan pendapat harus disikapi dengan argumentasi bukan dengan emosi negatif, apalagi mengaitkannya dengan masalah lain yang tidak relevan. Misalnya, dalam kasus di atas, pernyataan suami bahwa ‘ular itu cantik’ dan tidak pernah mengatakan istrinya cantik itu sama sekali tidak bisa disamakan bahwa suami melihat ular lebih cantik dari istrinya. Persoalan muncul ketika si istri menafsirkan bahkan menyimpulkannya seperti itu. Jadi, perlu menanggapi suatu pendapat atau kesan berdasarkan sudut pandang yang memberi pendapat atau kesan bukan berdasarkan rekaan atau penilaian yang mendengarkannya saja.

Yang paling penting dari semua itu, hubungan antar pribadi sangat menentukan kualitas percakapan. Jika ada saling menerima dan saling mengasihi, percakapan akan mengalir dengan baik. Sebaliknya, kalau hubungan antar pribadi kurang harmonis, kata-kata yang baik pun bisa ditanggapi secara negatif. Maka terapi hubungan diperlukan setiap saat. Hubungan baik itulah yang membuat Bapak dan Ibu Sipahutar menikmati perjalanan dan hidup damai meskipun ada perbedaan pendapat mereka.

Sunday, November 7, 2010

ANTI BOCOR

REFLEKSI SENIN KE-45
08 Nopember 2010

Sudah hampir sebulan pipa air bocor di pinggir jalan. Terjadi pemborosan. Jalan juga menjadi rusak. Satu hal yang pasti: pipa air ini tidak mungkin pulih tanpa diperbaiki. Demikian juga kebocoran yang lain. Di sini dapat disebutkan tiga bidang kebocoran yang perlu disumbat.

Satu, bocor kata-kata (dalam Amsal 20:19 disebut dengan “bocor mulut”). Tidak sulit menemukan orang yang terlalu boros kata-kata yang biasanya banyak di antaranya yang tidak berguna atau bahkan merusak. Langkah terbaik mengontrol kran kata-kata ini adalah si pemilik kran itu sendiri. Hal ini termasuk orang-orang yang didaulat memberi kata sambutan, supaya benar-benar hanya 'menyambut' tidak malah berpidato atau berceramah. Demikian juga kepada mereka yang berdoa dalam ibadah Minggu yang lumayan banyak sangat bertele-tele, seolah-olah Tuhan baru mengetahui sesuatu yang terjadi di bumi ini setelah si pendoa memberitahukannya. Tidak baik kalau sampai orang lain menyumbat mulut seseorang dalam rangka menghemat kata-kata atau melakukan interupsi saat berdoa. (Dua kali Minggu berturut-turut saya mengikuti ibadah di sebuah gereja, doa syafatnya hampir sama dengan lama kotbah!)

Dua, bocor pikiran. Lai Chiu Nan pernah mengatakan bahwa pikiran adalah salah satu tempat terbesar bocornya enerji. Pikiran memang harus 'dipakai', tapi menjadi masalah kalau terlalu banyak apalagi saling tabrak dalam benak. Dalam hal ini Rasul Paulus menasihatkan, “Janganlah kamu memikirkan hal-hal yang lebih tinggi dari pada yang patut kamu pikirkan, tetapi hendaklah kamu berpikir begitu rupa, sehingga kamu menguasai diri menurut ukuran iman, yang dikaruniakan Allah kepada kamu masing-masing.” (Roma 12:3).

Tiga, kebocoran juga sering terjadi dalam bidang anggaran atau keuangan. Beberapa waktu lalu istri saya membeli mesin cuci pesanan mertuanya. Ketika istri saya meminta kwitansi, si penjual bertanya, “kwitansinya ditulis berapa, Bu?” Suatu pertanyaan yang aneh. Rupanya, sudah hal yang biasa para pembeli barang meminta kwitansi pembelian di atas harga yang sebenarnya. Hal ini terjadi dalam pembelian barang-barang untuk kantor pemerintah maupun swasta (dan celakanya dalam lingkungan agama juga). Bagaimana cara menutupi kebocoran seperti ini? Pertama dan terutama adalah integritas pribadi-pribadi yang terlibat langsung dalam pengelolaan keuangan. Kemudian, perlu pengawasan yang lebih ketat dari semua pihak yang terkait. Misalnya, untuk pengadaan barang-barang atau pembangunan yang dilakukan sebuah lembaga dibutuhkan transparansi dengan melakukan perbandingan harga, tim pengadaan bahan, dan pengawasan yang baik.

Saat ini, lubang-lubang kebocoran bertebaran di mana-mana, bahkan ada kalanya lubang kebocoran lebih besar dari aliran utama. Ada kalanya “pipa” lama yang perlu disumbat kebocorannya. Tapi, mungkin juga justru “pipa” baru yang dibutuhkan khususnsya jika lubang kebocoran sudah terlalu banyak atau terlalu lebar.

ShoutMix chat widget