Sunday, March 28, 2010

DOKTER

REFLEKSI SENIN KE-13
29 Maret 2010


Profesi dokter menjadi dambaan banyak orang. Anak SMP dan SMU pun ditanya, sudah ada di antara mereka yang bercita-cita menjadi dokter. Alasan mereka? Beragam! “Saya ingin merawat papa dan mama saat mereka sudah tua dan sakit-sakitan”, kata yang satu. “Saya ingin menjadi dokter yang baik, yang menolong orang sakit”, kata yang lain. Keduanya dengan niat mulia. Ada pula yang tergerak oleh materi dengan berkata, “Dokter kan kaya!”. Tentu para dokter lebih tahu motivasi mereka menjadi dokter.

Pengalaman empiris menunjukkan bahwa suara sumbang tentang dokter sering terdengar. Seseorang pernah berkata, “dokter lebih kejam dari penyakit saya”. Pasalnya, ia hanya menderita penyakit yang tidak parah sebelum ke dokter. Penyakitnya kian parah setelah ditangani oleh dokter. Dengan bayaran tinggi pula. Ia merasa membeli penderitaan dengan harga tinggi. Pengalaman ini mengigatkan saya kepada kisah seorang pasien yang merasa ‘diselamatkan’ oleh dokter, yang ceritanya kira-kira begini:

Pada awalnya saya hanya menderita penyakit sepele. Saya pergi ke dokter Chung. Penyakit saya semakin parah. Kemudian, saya pergi ke dokter Ching. Penyakit saya kian memburuk. Saya hampir mati. Dalam keadaan sekarat saya pergi ke dokter Chang. Untunglah dia tidak ada. Sebab, jika dokter Chang ada, saya sudah tidak ada sekarang. Dokter Chang ‘menyelamatkan’ saya.

Dr Bettin Marpaung (seorang dokter senior di Medan), ketika menjenguk Ompui Ephorus HKBP yang dirawat di Parkway Hospital-Singapore, menguraikan panjang lebar tentang profesi seorang dokter. Menurut beliau, salah satu yang sangat penting dan mendasar yang harus dihidupi oleh seorang dokter adalah ‘niat hati yang murni dan tulus untuk menolong seorang pasien sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya kepada siapa pun, kapan pun dan di mana pun’. Hal ini, menurut dr Marpaung, mengacu pada ajaran dan anjuran bapak medis, Sokrates. Suatu prinsip profesi yang sangat mulia! Tidak diragukan bahwa semua orang sangat mengharapkan kesetiaan dokter akan janji mulia seperti itu.

Pertanyaannya, apakah dokter boleh menjadi kaya dari penderitaan orang lain? Pertanyaan ini bisa saja mengemuka melihat kenyataan bahwa para dokter umumnya makmur secara materi. Ian Sianturi, seorang Batak yang lahir di Singapura dan warga Negara Singapura, mengatakan bahwa dokter-dokter di Gleanagles dan Mount Elizabeth Singapore banyak yang memiliki mobil dengan harga hingga S$1.000.000 (sekitar Rp.7 miliar). Hal ini tidak mengherankan melihat mahalnya biaya pengobatan di Singapura. Orang-orang Indonesia yang opname di Singapura dapat merasakan bagaimana mahalnya biaya yang harus mereka tanggung, yang bisa mencapai miliaran rupiah.

Agaknya soal kekayaan materi para dokter bukan menjadi masalah sejauh para dokter tetap setia pada janjinya untuk menjunjung tinggi harkat manusia, bukan menjunjung tinggi hartanya dan menyanjung dirinya. Jika para dokter menyanjung harta, mereka bisa terjebak dalam empat titik rawan. Pertama, kurang kerjasama dengan sesama dokter. Semua pasien yang datang kepadanya ditangani sendiri, walaupun ia sadar bahwa ada dokter yang lebih tepat menangani penyakit yang diderita si pasien. Hal ini biasanya terjadi di Indonesia. Berbeda dengan dokter-dokter di Penang dan Singapura yang menerapkan kerjasama dokter sebagai suatu tim. Kedua, pemberian resep obat atas dasar pemasukan uang yang lebih besar. Seorang apoteker pernah mengatakan bahwa ada banyak dokter yang punya semacam ‘ikatan tidak resmi’ dengan produsen obat tertentu. Para dokter diberi bonus oleh pihak farmasi untuk berlibur ke luar negeri, rumah, mobil dan lain sebagainya asal sang dokter menulis resep obat kepada pasien-pasiennya yang diproduksi oleh farmasi bersangkutan. Ketiga, mencuri organ tubuh pasien yang baru meninggal dunia untuk dijual kepada orang lain. Kasus seperti ini sudah pernah terjadi. Keempat, para dokter memberi perhatian ekstra kepada pasien berduit dan kurang peduli pada mereka yang miskin.

Tetapi, bagaimana pun juga, kita mesti melihat profesi dokter dari sisi lain. Mungkin ada dokter yang tidak setia pada janji dokternya. Mungkin ada dokter yang demi uang melakukan malpraktek. Mungkin ada dokter yang membeda-bedakan pasien berduit dan miskin. Ada juga dokter yang kurang peka menyelami perasaan para pasien ketika mereka menanyakan tentang kondisi penyakitnya. Dokter hanya berbicara seperempat menit dan langsung menulis resep. Keadaan seperti ini merupakan kesalahan yang mestinya ditanggalkan dan ditinggalkan oleh para dokter. Akan tetapi, kita perlu lebih banyak melihat sisi positif keberadaan para dokter. Kita bisa bayangkan betapa runyamnya dunia ini tanpa para dokter. Kehadiran para dokter di tenga-tengah kita, terlepas dari kekurangan mereka, telah membuat hidup ini lebih baik. Mereka adalah alat di tangan Tuhan untuk memberi kesembuhan.

Dalam hal ini, adalah tugas kita untuk menopang para dokter dengan doa; mendukung mereka untuk dapat hidup sejahtera dan bahagia; membantu mereka mengembangkan kemampuan atau kompetensi; mengingatkan mereka untuk tetap setia pada janjinya. Tugas kita pula menjaga kesehatan dengan menerapkan pola hidup, pola kerja, pola makan yang baik dan menjaga kelestarian alam, agar kita tidak membebani para dokter dengan terlalu terlalu banyak pasien.

Catatan tambahan:

Sumpah Dokter[1]

Saya bersumpah bahwa :
Saya akan membaktikan hidup saya guna kepentingan perikemanusiaan.
Saya akan menjalankan tugas saya dengan cara terhormat dan bersusila, sesuai dengan martabat pekerjaan saya.
Saya akan memelihara dengan sekuat tenaga martabat dan tradisi luhur jabatan kedokteran.
Saya akan merahasiakan segala sesuatu yang saya ketahui karena pekerjaan saya dan karena keilmuan saya sebagai dokter.
Kesehatan penderita senantiasa akan saya utamakan.
Dalam menunaikan kewajiban terhadap penderita, saya berikhtiar dengan sungguh-sungguh supaya saya tidak terpengaruh oleh pertimbangan Keagamaan, Kebangsaan, Kesukuan, Politik Kepartaian atau Kedudukan Sosial.
Saya akan memberikan kepada guru-guru saya penghormatan dan pernyataan terima kasih yang selayaknya.
Teman sejawat akan saya perlakukan sebagai saudara kandung.

Saya akan menghormati setiap hidup insani mulai dari saat pembuahan.
Sekalipun diancam saya tidak akan mempergunakan pengetahuan Kedokteran saya untuk sesuatu yang bertentangan dengan hukum perikemanusiaan.
Saya ikrarkan sumpah ini dengan sungguh-sungguh dan dengan mempertaruhkan kehormatan diri saya.

[1] http://wapedia.mobi/id/Sumpah_Dokter, diakses 28 Maret 2010

Sunday, March 21, 2010

SALIB, YA! SILAP dan SULAP, TIDAK!

REFLEKSI SENIN KE 12
22 Maret 2010

Suka atau tidak, setuju atau tidak, selama hidup kita di dunia ini, penderitaan pasti akan ada. Maka hati-hatilah! Jika ada orang yang menjanjikan bahwa kalau kita percaya kepada Tuhan maka jalan hidup kita akan selalu lurus dan mulus, ia bukanlah suruhan Tuhan meskipun ia kelihatan sangat rohani. Yesus sendiri tidak pernah menjanjikan laut tanpa gelombang, langit tanpa awan. Bahkan, Ia berkata bahwa siapa yang mau mengikutNya, ia harus memikul salibnya. Jadi, ada penderitaan salib. Salib adalah penderitaan sebagai konsekuensi kesetiaan kita kepada Tuhan. Ada orang percaya dibenci bahkan disiksa karena imannya kepada Tuhan. Sejauh keadaan ini bukan yang dicari-cari atau bukan karena kesalahan sendiri, penderitaan seperti ini adalah salib.

Kehidupan menjadi runyam ketika kita menderita karena ‘silap': penderitaan karena kesalahan kita sendiri. Kita dibenci orang, gereja kita dibakar orang, bukan karena iman dan kesetiaan kita, tetapi justru karena kita mengabaikan keberadaan kita sebagai garam dan terang dunia. Kita gagal mengasihi sesama manusia seperti diri sendiri. Kita tidak menjadi berkat.

Akhir-akhir ini, kita mengalami pula penderitaan oleh karena perpaduan salib dan silap. Bumi sedang menderita demam. Krisis ekologi kian mengancam dan mencekam kehidupan. Keadaan ini bukan kehendak Tuhan, tapi karena ulah manusia yang merusak alam. Kita menderita karena ulah mereka yang mengeksploitasi alam secara berlebihan (=salib dari sesama) ditambah dengan gaya hidup dan perilaku kita sendiri yang tidak bersahabat dengan alam ciptaan Tuhan (silap).

Ketika derita mendera, biasanya kita mengharapkan sebuah perubahan. Kita mengharapkan derita berganti sukacita. Masalahnya, kita sering mengharapkan sulap: perubahan keadaan secara instant. Kertas menjadi uang untuk mengatasi kemiskinan; bukan semangat saling menolong. Mengubah bola pingpong menjadi burung merpati untuk dinikmati; bukan bekerja dengan giat. Padahal, ada kalanya yang kita butuhkan bukan perubahan di luar kita. Yang kita butuhkan adalah justru perubahan di dalam diri kita: bagaimana kita menyikapi suatu pengalaman dengan bijaksana. Apa hikmah dan pelajaran yang kita petik dalam suatu peristiwa kehidupan. Apa yang dapat kita lakukan seturut kehendak Tuhan dalam suatu situasi sulit.

Jika penderitaan kita benar-benar berasal dari luar diri kita dan di luar kemampuan kita, kata-kata Frederic Heiler dapat menjadi bahan perenungan bagi kita: "Saat gempa bumi terjadi, ada kalanya mata air segar merekah di tempat-tempat yang kering, yang membuat tanaman dapat tumbuh dengan baik. Dengan cara yang sama pengalaman penderitaan dan menyakitkan dapat menyebabkan air hidup mengalir di dalam hati manusia".

Jika kita menderita karena sebuah kekuatan di luar diri kita, kita perlu mengasah kepekaan untuk menangkap maknanya dalam kehidupan ini. Yang jelas, penderitaan bukanlah pertanda ketidakhadiran atau ketidakpedulian Tuhan. Jika kita tidak merasakan kehangatan sinar mentari, itu sama sekali tidak berarti kekuatan matahari sudah berkurang. Awan dan hujan adalah kebutuhan kita juga. Di saat-saat semua tidak berjalan seperti kita harapkan, itu bukan pertanda kealpaan kuasa dan penyertaan Allah. Ia mengajar kita melihat karya dan pertolonganNya secara baru.

Ada kalanya kita tidak mengerti akan kenyataan yang kita alami atau kita saksikan dialami oleh orang lain. “Mengapa orang-orang baik menerima nasib buruk, sementara orang berkelakuan buruk sehat-sehat saja dan makmur secara ekonomi?” Atau, seseorang berkata, “Ibu saya rajin ke gereja, tidak pernah lupa memberi persembahan, selalu berbuat baik, mengapa penyakit rematiknya saja tak kunjung sembuh padahal sudah bertahun-tahun berdoa meminta kesembuhan?” Daripada ‘menggugat’ Tuhan dengan pertanyaan seperti itu, apalagi berkesimpulan lebih baik jahat daripada menjadi orang baik, kita seharusnya lebih giat untuk memberi keteladanan kepada orang jahat demi pertobatannya dan mengulurkan pertolongan dan perhatian kepada orang-orang yang sakit.

Di tengah aneka pertanyaan yang mungkin memenuhi benak kita, mari kita lihat semua peristiwa kehidupan dalam kerangka kasih sayang Tuhan. Jika kita menderita bukan karena kesalahan kita, kita perlu bersabar sambil terus berseru minta tolong kepada Tuhan. Jika kita menderita karena kesalahan kita, kita harus kembali. Kita harus berubah, sambil tetap berseru meminta pertolongan Tuhan. Misalnya, untuk kesembuhan bumi yang sedang menderita demam karena ulah kita, kita tidak mengobatinya dengan parasetamol, tapi melalui usaha-usaha konkrit seperti hemat enerji, mengurangi travel, konsumsi secukupnya, menanam pohon, mengurangi sampah dan sebagainya.

Allah yang mendengar teriakan minta tolong dari umat Israel karena penindasan di Mesir (Kel 3:7) maupun penderitaan karena kekerasan hati mereka (misalnya lihat Nehemia 9:27) adalah Allah yang sama, yang mendengar seruan kita hingga hari ini. Hindari penderitaan yang tidak perlu –penderitaan non-salib!

Sunday, March 14, 2010

MENANTI JAWABAN

REFLEKSI SENIN KE-11
15 Maret 2010



Seringkali orang bertanya kepada Yesus. Motifnya beragam. Ada karena ketidaktahuan disertai keingin-tahuan, ada pula karena ingin membenarkan diri, bahkan dengan tujuan untuk menjebakNya. Tapi, semua pertanyaan yang diajukan kepadaNya mendapat jawaban. Memang, jawabannya sering tidak seperti diharapkan oleh si penanya. Tapi, yang jelas semua dijawab dengan cara dan tujuanNya sendiri.

Bagimana dengan kita? Barangkali kita semua pernah mengajukan pertanyaan kepada Tuhan melalui doa kita. Hal yang biasa pula kita bertanya kepada hamba Tuhan bagaimana menurut mereka ‘jawaban’ Tuhan terhadap pertanyaan yang mengganjal di benak kita. Ada kalanya kita merasa mendapat ‘jawaban’ Tuhan. Ada juga kalanya kita sama sekali tidak mendapat jawaban seperti apa yang kita mau. Tetapi sebenarnya kita tetap mendapat jawaban, yang biasanya jelas ketika kita tidak fokus pada pertanyaan kita, melainkan dengan menguji kembali pertanyaan kita disertai dengan suatu usaha.

Bayangkan Anda menderita sakit perut. Dalam doa khusuk Anda bertanya, “Tuhan, apakah sakit perut saya ini karena kesalahan saya atau suatu ujian dari padaMu? Dan apakah sakit perut ini karena keracunan makanan atau karena masuk angin?” Anda terus menanti jawaban dari Tuhan, dan Ia tidak ‘menjawab’ sesuai dengan pertanyaan Anda. Berhari-hari, berminggu-minggu tanpa sebuah usaha pengobatan. Anda bisa bayangkan bagaimana keadaan Anda selanjutnya.

Atau, Anda seorang gadis yang mau menetukan pilihan calon suami bertanya dalam doa, “Tuhan berilah tanda kepadaku apakah Ali atau Eli yang Engkau kehendaki menjadi suamiku?” Anda menunggu tanda tapi tidak muncul-muncul. Mungkin Anda tidak akan pernah menerima tanda sebagaimana Anda inginkan. Apakah Tuhan tidak menjawab? Tuhan menjawab! Jawabannya, Tuhan ‘menugaskan’ Anda untuk melihat hati Anda, menguji motivasi Anda, mengenal kedua pilihan Anda lebih baik dan sebagainya. Artinya, ‘tanda’ itu justru muncul dari usaha Anda, bukan dihantar oleh Tuhan ke dalam mimpi Anda.

Ada banyak contoh yang dapat kita sebutkan dari pengalaman orang-orang percaya yang mengajukan pertanyaan kepada Tuhan. Kita dapat melihat beberapa contoh dari Alkitab dan mengambil hikmahnya dalam kehidupan kita. (P=Pertanyaan; J=Jawaban Yesus).

P: “Siapakah di antara ketujuh orang itu yang menjadi suami perempuan itu pada hari kebangkitan?” (Mat. 22: 28). Pertanyaannya adalah “siapa”, yang membutuhkan jawaban ‘nama orang’, bukan?
J: “Kamu sesat, sebab kamu tidak mengerti Kitab Suci maupun kuasa Allah” (ay 29). Masalah di sini, si penanya tidak mengerti Kitab Suci maupun kuasa Allah. Jadi, pertanyaannya pun menjadi salah juga. Yang dibutuhkan oleh si penanya adalah ‘mengerti Kitab Suci dan kuasa Allah’. Pertanyaannya pun akan berbeda. Bahkan, bukan pertanyaan lagi yang muncul, melainkan pernyataan yang meneguhkan.
*********

P: “Apakah diperbolehkan membayar pajak kepada Kaisar atau tidak?” (Mat 22:17). Sebenarnya, pertanyaan ini hanya membutuhkan jawaban “boleh” atau “tidak boleh”.
J: “Mengapa kamu mencobai Aku, hai kamu orang-orang munafik? Tunjukkanlah kepadaKu mata uang untuk pajak itu” (ay 18-19). Sampai di sini sudah ada dua ‘jawaban’ Yesus. Yang bertanya mencobai Yesus dan meminta mereka menunjukkan mata uang. Dalam hal ini jawaban Yesus adalah untuk (1) Menyadarkan mereka, bahwa mereka salah: mereka mencobai Yesus. (2) Mereka perlu mendapat jawaban dari apa yang mereka punyai, yaitu mata uang. Mereka perlu berpikir, bergerak atau berbuat sesuatu. Artinya, mereka memiliki jawabannya sendiri, jika mereka mau berpikir jernih.
*********

P: “Guru, hukum manakah yang terutama dalam hukum Taurat?” (Mat 22:36). Pertanyaannya hanya satu, yakni “hukum yang terutama”.
J: “Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu. Itulah hukum yang terutama dan yang pertama. Dan hukum yang kedua, yang sama dengan itu, ialah: Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri” (37-39). Di sini Yesus memberi jawaban lebih dari yang diminta. Sebuah “jawaban yang lengkap” kepada sebuah “pertanyaan yang kurang lengkap”. Kita juga mengalaminya jika kita memeriksa pengalaman hidup kita.
*********

P: “Katakanlah kepada kami, bilamanakah itu terjadi dan apakah tanda kedatanganMu dan tanda kesudahan dunia?” (Mat 24:3). Di sini juga jelas sekali isi pertanyaan: “kapan” dan “apa tanda” kedatangan Yesus dan kesudahan dunia. Jawaban yang mereka harapkan adalah : 10 tahun, 100 tahun atau ‘pada masa generasi mendatang”. Mereka butuh jawaban konkret.
J: “Waspadalah supaya jangan ada yang menyesatkan kamu!” (ay 4). Lagi-lagi, jika pertanyaannya di sekolahan, jawaban itu salah bukan? Tak ‘nyambung’! Tapi itulah cara Yesus mengarahkan para murid untuk fokus pada apa yang paling perlu bagi mereka. Yang paling penting adalah murid harus ‘berjaga-jaga’. Jangan kita alihkan tanggung jawab kita.
*********

P: “Siapakah sesamaku manusia?” (Luk. 10:29). Pertanyaan ini muncul dari seorang ahli Taurat yang mau mencobai Yesus. Pertanyaan ini membutuhkan “daftar nama” yang jelas, apakah nama pribadi atau nama berdasarkan suku, agama dan lain-lain. Pertanyaan ini mengisyaratkan adanya sesama dan yang bukan sesama.
J: “Adalah seorang yang turun dari Yerusalem…..” (ay 30-35). Kita tahu kelanjutan cerita ini. Akhirnya, Yesus balik bertanya, “Siapakah di antara ketiga orang ini, menurut pendapatmu, adalah sesama manusia dari orang yang jatuh ke tangan penyamun itu?” (ay 36). Di sini, Yesus menjawab pertanyaan dengan (1) Perumpamaan dan (2) Pertanyaan baru. Kita dapat memeriksa pertanyaan kita kepada Tuhan. Bisa saja ada di antaranya yang sebenarnya kita tahu jawabannya, hanya saja kita ingin membenarkan diri dan mau mengalihkan tanggung jawab.
*********

P: (Melihat seorang yang buta sejak lahir, murid-murid bertanya kepada Yesus) “Siapakah yang berbuat dosa, orang ini sendiri atau orangtuanya, sehingga ia dilahirkan buta?” Dari penggunaan kata ‘atau’ pertanyaan ini membutuhkan satu jawaban pasti dari dua pilihan.
J: “Bukan dia dan bukan juga orangtuanya, tetapi ksrena pekerjaan-pekerjaan Allah harus dinyatakan di dalam dia”. Jawaban Yesus ini menyatakan bahwa pemahaman murid-murid terbatas. Mereka tidak melihat apa yang Tuhan lihat dan Yesus memperlihatkannya kepada mereka. Dalam kasus yang lain kita bisa saja sibuk menanyakan yang mana satu di antara dua kemungkinan, padahal bukan hanya dua kemungkinan. Kita perlu menerobos batas-batas penglihatan kita atau pengetahuan kita dan menerima penglihatan dan pengetahuan Tuhan.
*********

Dari uraian di atas kita pun dapat mengaku:
Tuhan mengenal kita lebih baik ketimbang kita mengenal diri kita sendiri.
Tuhan lebih mengetahui apa yang terbaik bagi kita ketimbang kita mengetahuinya
Tuhana lebih mengasihi kita ketimbang kita mampu mengasihi diri kita sendiri.

Sunday, March 7, 2010

'CONTENTMENT', OBAT DEMAM BUMI

REFLEKSI SENIN KE-10
08 Maret 2010

Bumi sedang menderita demam. Bebera hari terakhir ini Singapura misalnya, mencapai 35 derajat Celcius. Manusia menderita, rumput mengering, nafas pohon-pohon terasa hangat, tidak segar lagi. Gejala-gejala gangguan kesehatan mulai terasa. Sulit membayangkan bagaimana keadaannya pada bulan Mei dan Juni nanti, yang biasanya lebih panas dibandingkan dengan bulan lainnya.

Perubahan iklim global yang terjadi akhir-akhir ini sama sekali bukanlah rancangan Tuhan, melainkan karena ulah manusia yang tidak menghormati alam semesta. Pohon-pohon dibabat habis-habisan. Penggunaan enerji berlebihan. Konsumsi sebagian manusia jauh melampui kebutuhan. Hal ini secara khusus dapat dikaitkan dengan ‘kerakusan’ dan ‘rasa tidak puas’ manusia.

Salah satu upaya menurunkan sakit demam bumi ini, kita perlu mengambil obat contentment. Kata contentment dapat diartikan sebagai “kebahagiaan yang dirasakan oleh seserorang dengan apa yang dimiliki”. Jadi ada rasa puas, senang, gembira, dan tenang. Bagi orang Kristen, rasa puas dan rasa cukup datang dari keyakinan yang teguh akan kemampuan Allah menyediakan segala kebutuhan kita (Matius 6:25-34). Contentment dapat kita lihat dalam diri Paulus, “aku telah belajar dari mencukupkan diri dalam segala hal” (Flp 4:11). Di bagian lain, Paulus mengatakan, “Memang Ibadah itu kalau disertai dengan rasa cukup, memberi keuntungan besar (1Tim 6:6). Jika tidak, ibadah dibelokkan untuk mencari kepuasan atau mengambil hati Allah untuk memenuhi keinginan-keinginan kita, yang belum tentu kebutuhan kita.

Tapi, berapa banyak ‘cukup’? Alkitab tidak memberi jawaban langsung atau angka konkret ‘berapa cukup’. Alkitab tidak menetapkan satu rumah, satu kendaraan, satu miliar uang sebagai ‘ukuran cukup’. Pertanyaan yang perlu kita jawab adalah, “apakah kita yang memiliki harta, atau justru harta yang memiliki kita?” Satu tanda bahwa harta benda yang memiliki kita adalah: harta menuntut sebagian besar waktu, enerji, minat dan perhatian kita. Yang jelas, tidak ada alat ukur yang mengukur berapa banyak terlalu banyak. Tetapi ia dapat diukur dengan sikap kita terhadap harta milik. Jika Allah adalah pusat kehidupan kita, bahwa kita dimiliki oleh Tuhan dan bukan dimiliki oleh harta milik kita, maka rasa puas dan rasa cukup akan terjadi dengan sendirinya.

Untuk tiba pada keadaan seperti itu, kita tidak boleh meremehkan pengaruh kekuatan budaya di sekitar kita. Kita mesti waspada terhadap dahsyatnya cengkeraman materialisme yang menggerogoti masyarakat kita sekarang. Tidak diragukan bahwa mayoritas umat manusia, dalam kurun waktu tertentu (atau bahkan seumur hidup), menempatkan harta milik menjadi pusat kehidupan.

Apakah mungkin menjadi kaya tanpa rakus? Dari pengalaman empiris, hal ini jarang kita temukan. Bishop Robert Solomon menyebutkan adanya dua macam kerakusan: kerakusan untuk mendapatkan apa yang tidak kita miliki dan kerakusan menumpuk atau menggenggam yang kita miliki.

Tidak diragukan bahwa kerakusan merusak diri, menghalangi orang hidup berkecukupan, dan menghancurkan alam semesta. Ambillah kerakusan makan sebagai contoh. Kerakusan akan makanan membuat kesehatan kita terganggu (itu sebabnya Martin Fischer berkata bahwa alat bunuh diri yang paling umum adalah sendok dan garpu); orang lain terhalang mendapat makanan secukupnya; terjadi kerusakan alam, baik untuk mendapat bahan makanan, proses pembuatannya, pengangkutan dan kemasan makanan yang merusak alam ciptaan Tuhan. Demikian juga halnya dengan kerakusan dalam bisnis, yang hanya mencari keuntungan ekonomi tanpa mempertimbangkan dampak ekologis, telah menambah penderitaan umat manusia, makhluk hidup dan alam semesta.

Jalan keluarnya? Membuang apa yang kita miliki atau memberikannya kepada orang miskin bukanlah jawaban lengkap --meskipun pada saat tertentu hal ini merupakan cara yang baik. Langkah pertama dan terutama adalah sepenuhnya berserah kepada penyelenggaraan Tuhan. Kita adalah milik Tuhan. Kemudian, dari situ akan jelas langkah berikut yang harus kita tempuh: berbagi dengan orang lain, berhenti berusaha (supaya alam dan makhluk lain dapat menikmati hidupnya), menikmati berkat kecukupan dari Tuhan dan sebagainya. Jadinya, rasa puas tidak hanya berhenti pada saat ‘menerima’ dari Tuhan, tetapi rasa puas ‘menikmati’ kecukupan dan ‘memberi’ apa yang kita terima, serta ‘mempertimbangkan’ dampak setiap tindakan dan pola hidup kita terhadap ekosistem.

Peter Kreeft dengan tepat mengatakan bahwa “obat penawar kerakusan adalah rasa puas dan kemurahan hati." Berkaiatan ini, kita perlu mendefenisikan ulang 'sukses', yang di antaranya mengacu pada firman Tuhan:

Dua hal aku mohon kepadaMu, jangan itu kautolak sebelum aku mati, yakni:
Jauhkanlah dari padaku kecurangan dan kebohongan.
Jangan berikan kepadaku kemiskinan atau kekayaan.
Biarkanlah aku menikmati makanan yang menjadi bagianku.
Supaya, kalau aku kenyang, aku tidak menyangkal-Mu dan berkata:
Siapa Tuhan itu?
Atau, kalau aku miskin, aku mencemarkan nama Allahku.
(Amsal 30:7-9)


ShoutMix chat widget