Sunday, February 28, 2010

'GERAKAN DALAM' DAN 'GERAKAN LUAR'

REFLEKSI SENIN KE-9
01 Maret 2010


Amatilah kehidupan Anda sejenak. Ada dua ‘gerakan’—yakni: gerakan dalam dan gerakan luar-- yang mempengaruhi bagaimana Anda mengambil keputusan, bagaimana berkata-kata, bereaksi, bertindak dan termasuk bagaimana Anda berhubungan dengan Allah, orang lain dan alam ciptaan Tuhan. Orang-orang yang memperhatikan gerakan-gerakan ini dengan baik akan lebih mampu memahami apa yang terjadi dalam hidup mereka.

Bagi Joan Mueller ‘gerakan luar’ mencakup fakta-fakta kejadian sehari-hari, keadaan keuangan, pendapat umum, kesehatan, kesempatan, jenjang pendidikan, deadline tugas, suhu politik, dan sebagainya. Sedangkan ‘gerakan dalam’ antara lain suasana hati, kecenderungan, keinginan, perasaan, yang memikat hati dan sebagainya. Kedua gerakan ini mempengaruhi orang-orang dalam hubungan mereka dengan Tuhan, orang lain dan alam milik Tuhan.

Untuk lebih praktis dan memudahkan, di sini digambarkan dua contoh untuk melihat bagaimana ‘gerakan luar’ dan ‘gerakan dalam’ itu bertemu.

Contoh 1: Fakta - orang sombong
Misalkan kita menyikapi fakta orang sombong. Sedikitnya ada 3 sikap yang berbeda menghadapi seorang yang sombong. (1) Jika orang yang rendah hati berhadapan dengan orang sombong, mungkin tidak terlalu banyak menmbulkan masalah. Yang rendah hati lebih sabar dan lebih toleran. Komunikasi bisa berjalan relatif lebih mulus. Hal ini memang tidak menjadi jaminan bisa mengubah yang sombong menjadi rendah hati, khususnya kalau yang rendah hati sama sekali tidak menyinggung masalah kesombongan mitra bicaranya. Kemungkinan terjadinya perubahan orang sombong menjadi rendah hati dalam hubungannya dengan seorang rendah hati adalah jika yang rendah hati dengan caranya yang bersahabat mengingatkan yang sombong. Atau, yang sombong itu sendiri tergerak hatinya meneladani yang rendah hati. (2) Orang yang ‘rendah diri’ berhadapan dengan orang sombong. Perjumpaan seperti ini amat rawan terhadap pertentangan hingga permusuhan. Dalam bidang matematika, negatif dikali negatif memang menjadi positif. Tetapi ‘rendah diri’ (negatif) berhadap dengan ‘kesombongan’ (negatif) menimbulkan negatif ganda. Pembicaraan mereka tidak ‘nyambung’. (3) Lain lagi jika orang sombong dengan orang sombong berhadapan. Keduanya negatif. Perjumpaan mereka bisa seperti api yang menghanguskan bereka berdua. Mereka sama-sama saling menaikkantingkat kesombongannya dan sama-sama jatuh berkeping-keping dan terbakar pula. Tetapi, celakanya, bisa kekuatan mereka berdua menghanguskan orang lain, jika mereka menjadi satu tim yang kompak dan menyatu. Kekuatan mereka menjadi api raksasa menghancurkan orang lain. Mudah-mudahan tidak akan ada “Persekutuan Orang-orang Sombong Sedunia” --suhu panas sekarang saja sudah tidak tertahankan.

Jadi, untuk lebih praktisnya, jika kita melihat seorang sombong (gerakan luar), pertama harus kita lihat ke dalam: apakah kita seorang rendah hati, rendah diri, atau sombong. Reaksi kita akan ditentukan oleh keadaan kita (gerakan dalam).

Contoh 2: Kejadian dan opini tentang kasus pelecehan seksual.

Hal yang sama bisa kita terapkan juga dalam menyikapi suatu pergerakan penegakan hak asasi manusia. Misalnya, pergerakan yang memperjuangkan pembelaan terhadap korban pelecehan seksual dan penerapan hukuman kepada pelakunya. Tidak ada keragukan bahwa pelecehan seksual itu adalah tindakan tidak berperikemanusiaan, tindakan amoral, harus dihapuskan, harus dicegah. Korban-korban harus dilindungi, harus ditolong, harus dibela. Itu satu hal yang sangat penting dan tidak bisa ditawar-tawar. Satu hal lain, adalah yang memperjuangkan pembelaan korban dan penghukuman pelaku. Di antara berbagai kemungkinan adalah: (1) Gerakan dari mereka yang bebas dari kesalahan yang sama: tidak pernah melakukan pelecehan seksual. Bahkan bebas dari kesalahan-kesalahan lain: mereka tidak pemabuk, tidak penjudi, tidak perusak lingkungan, tidak pemarah, tidak pembunuh, tidak pencuri dan pelaku korupsi, selalu berbuat baik kepada semua orang, dan beriman teguh kepada Tuhan. Jika demikian, gerakan penghapusan pelecehan seksual akan jauh lebih baik, apakah dilakukan secara bersama dan terang-terangan maupun melalui pendekatan pribadi tanpa media massa. (2) Gerakan dari orang-orang yang terbebas dari pelecehan seksual, tetapi terjatuh dalam keburukan lain, mulai dari yang amat halus hingga yang sangat kasat mata dan berat: pencemburu, pemarah, haus popularitas, sok bersih, punya agenda dalam pemilihan jabatan tertentu, menggunakan pergerakan sebagai mata pencaharian. Gerakan seperti ini bisa mengubah orang lain (artinya kasus pelecehaan diselesaikan) tetapi tidak mengubah diri mereka. Malah, gerakan seperti dapat masuk dalam kategori kemunafikan. Sebab, tidak lebih besar dosa pelaku pelecehan seksual dengan kesombongan, iri hati, amarah dan sebagainya. (3) Gerakan yang dilakukan oleh para pelaku pelecehan seksual. Tidak banyak yang dapat diharapkan dari gerakan mereka. Kemungkinan besar, mereka akan melindungi pelakunya.

Jadi, sekali lagi, sikap, reaksi, kata-kata, tindakan kita dalam setiap peristiwa atau kejadian atau berhadapan dengan orang lain (gerakan luar) sangat ditentukan ‘gerakan dalam’ diri kita.

Apa yang kita butuhkan adalah: membiarkan ‘gerakan dalam’ ini bersumber dari Roh Tuhan. Hati kita adalah ciptaan dan milik Tuhan. Pergerakannya juga mestinya dari Dia. Maka sebelum bersikap, berkata-kata, bertindak, bergabung dalam sebuah pergerakan (merespon gerakan luar) kita harus memeriksa hati. Mueller menegaskan, “membuat keputusan ketika seseorang sedang gundah, depresi, kurang iman, harapan dan kasih merupakan tindakan tidak bijaksana”. Mengapa? Karena perasaan gundah, depresi, tanpa kasih adalah tanda-tanda tidak bekerjanya Roh Kudus dalam hidup kita. Dan motivasi dan buah dari perjuangan yang lahir dari hal-hal negatif ini tidak mendatangkan keadilan dan damai sejahtera.

Saatnya kita relakan hati dan hidup kita dimurnikan, diisi dan dipimpin oleh Roh Tuhan, sehingga kehidupan kita, yang mencakup suasana hati, sikap, kata-kata dan perilaku kita, membuahkan kasih, sukacita, damai sejahtera, kesabaran, kebaikan, kemurahan, kesetiaan, kelemahlembutan dan penguasaan diri.

Sunday, February 21, 2010

YANG BENAR TAPI TAK BAIK?

REFLEKSI SENIN KE-8
22 Pebruari 2010

Di jalan raya, seorang pengendara sepeda motor berada pada posisi yang benar: berkendara di sebelah kiri jalan. Dari depan sebuah mobil datang menghampiri. Pengemudi mobil jelas salah. Pengemudi sepeda motor bertahan dalam ‘kebenarannya’. Ia tidak mau menyingkir. Padahal, masih ada peluang untuk lepas dari celaka. Ia pun tewas tergilas. Tergilas dalam ‘kebenarannya’ sendiri. Ia benar tetapi tidak baik.
******
Seorang warga jemaat menumpahkan isi hatinya, termasuk rahasia peribadi kepada gembala jemaatnya, dengan harapan mendapat jalan keluar dari beban hidup yang sedang menghimpitnya. Gembala jemaat tidak dapat memberi jalan keluar, tetapi ia mendoakannya pada saat itu. Hari Minggu berikutnya, dalam kotbahnya, gembala jemaat memberitahukan seluruh percakapannya itu. Warga jemaat tadi merasa dikhianati dan dipermainkan. Hatinya terluka. Memang gembala jemaat itu tidak menyebut namanya. Ia juga tidak meminta sebelumnya kepada yang bersangkutan agar pergumulannya itu dapat disebut di dalam kotbahnya. Apa yang diungkapkan oleh gembala jemaat itu ‘benar’ tetapi ‘tidak baik’.
******
Satu pasangan suami istri dan seorang anak mereka berusia 12 tahun mengunjungi teman mereka yang sudah lama tidak bertemu. Setelah berbincang-bincang agak lama, tibalah saatnya membicarakan anak-anak. Setelah memperhatikan dengan seksama wajah dan postur tubuh anak temannya itu, sang tamu melihat tidak ada sama sekali kemiripannya dengan kedua orangtuanya. Ia pun berkata kepada temannya, “Anakmu kok beda sekali dengan kalian berdua. Sedikit pun tidak ada miripnya”. Wajah pasangan suami istri itu secara spontan menunjukkan perasaan tidak enak dan cepat-cepat mengalihkan topik percakapan, walaupun mereka tahu persis bahwa anak itu 100% anak mereka. Sekali lagi, “benar” tetapi tidak “baik”.
********
Dalam sebuah rapat, seorang pimpinan jemaat dengan suara agak meninggi mengatakan, “saya pimpinan di sini, saya berhak………………” Ia benar. Semua orang tahu. Tapi, menunjukkan ‘berhak’ tidak baik. Lebih baik menunjukkan diri sebagai pimpinan melalui keteladanan, kualitas kehidupan dan visi yang jelas, maka yang dipimpin akan menyadari fungsi dan tugas masing-masing.
********
Seorang warga jemaat ‘pendiri’ sebuah jemaat berkata dengan nada marah, “kami dulu yang mendirikan gereja ini, kalian yang baru anggota jemaat di sini tinggal menerima yang enaknya saja. Jangan ‘macam-macam’ kalian di sini”. Fakta membuktikan, ia ‘benar’ ikut menggagasi dan membangun gedung gereja, tetapi perkataannya dan nada suaranya ‘tidak baik’ untuk pertumbuhan spiritualitas yang sehat dan membangun kehidupan.
********
Kita dapat membuat daftar panjang “yang benar” tetapi “tidak baik”.

Apakah kita berada dalam posisi ‘yang benar’ dan ingin menyatakannya? Kita perlu memadukannya dengan “yang baik” juga. Bahkan, ada kalanya ‘yang baik’ lebih berguna dari ‘yang benar’. Lebih ‘baik’ lepas dari kecelakaan ketimbang tewas mengenaskan mempertahankan yang benar di jalan raya. Lebih baik menyimpan dalam hati sambil berdoa atas suatu pergumulan orang lain, ketimbang memberitahukannya dan menimbulkan pergumulan baru.

Persoalan seringkali timbul dalam hubungan antar-sesama dan dalam sebuah persekutuan ketika ‘yang benar’ tidak dipadukan dengan ‘yang baik’. Salah satu cara memastikan ‘apa’ yang kita lakukan atau katakan itu ‘benar’ dan ‘baik’ adalah dengan menjawab ‘mengapa’ dan ‘bagaimana’ kita mengatakan atau melakukan sesuatu.

Pertanyaan 'mengapa’ bertalian dengan motivasi –yang menggerakkan dari dalam diri kita. Jika motivasi kita jelas-jelas berisi kasih, maka kata-kata dan tindakan kita akan membangun dan meneguhkan. Dalam hal ini kita perlu memeriksa terlebih dahulu suasana hati kita, kecenderungan-kecenderungan kita, harapan-harapan kita. Semua ini dapat menjelaskan ‘mengapa’ kita mengatakan atau berbuat sesuatu. Sedangkan pertanyaan ‘bagaimana’ bekaitan dengan ‘cara’ yang kita tempuh mengatakan atau melakukan sesuatu. Jika motivasi jernih (motivasi kasih), cara-cara yang kita tempuh pun akan memancarkan kasih juga.

Dunia ini, jemaat, keluarga, hubungan antar sesama dapat lebih baik ke depan ini jika kita senantiasa memadukan yang benar dan baik.

Saturday, February 20, 2010

GURU SEKOLAH MINGGU PENUH WAKTU

Bicara tentang anggapan perlunya pelayanan kepada anak-anak Sekolah Minggu dan langkah-langkah konret yang ditempuh oleh jemaat-jemaat dapat terlihat dari ‘percakapan’ berikut:

Majelis Jemaat: Pelayanan terhadap anak-anak Sekolah Minggu, harus diprioritaskan. Bukan yang sampingan dalam pelayanaan.
Warga jemaat: Setujuuuuuuuuuuuuuuuuuuu!
Majelis Jemaat: Terima kasih. Terima kasih.
Warga Jemaat: “Anggaran untuk pelayanan anak-anak sekolah Minggu harus ditingkatkan menjadi 30% dari total anggaran tahunan”
Majelis Jemaat: Tunggu dulu……. sabar, sabar. Tahun ini kita banyak pengeluaran: akan ada retreat, kunjungan jemaat, pemasangan AC baru, untuk sewa rumah dan pengeluaran rutin gembala jemaat.
Warga Jemaat: Kualitas guru-guru sekolah Minggu harus terus ditingkatkan.
Majelis Jemaat: Setujuuuuuuuuuuuuuuuuuu!
Sekolah Minggu: Kami butuh guru sekolah Minggu yang penuh waktu, yang disekolahkan secara khusus, yang bertumbuh dalam iman dan mengasihi kami anak-anak.
Majelis Gereja + Warga Jemaat: Ssssssssssssssssssstttt, anak-anak jangan ‘berisik’, ini urusan orang tua!

Gereja-gereja kita aneh. Tak ada masalah soal kesepahaman dalam prioritas pelayanan anak-anak Sekolah Minggu. Tidak ada perdebatan soal pentingnya kualitas guru-guru sekolah Minggu. Sama sekali tidak ada keraguan bahwa pendidikan anak-anak Sekolah Minggu sekarang amat menentukan kualitas kekristenan mereka di masa depan. Tetapi, ketika tiba pada upaya konkrit, ada yang diam, ada yang berpikir panjang, ada menolak dengan tegas.

Jika gereja sungguh-sungguh memberi perhatian pada pelayanan anak-anak SM, maka sebagian besar jemaat (yang memiliki warga 200 KK ke atas, misalnya), sudah seharusnya memiliki guru sekolah Minggu penuh waktu. Bagaimana caranya?

1. Untuk sementara ini, para lulusan S1 Pendidikan Agama Kristen (PAK) dapat dipersiapkan secara khusus. Misalnya, kursus selama 6 bulan mendalami metodologi pendidikan anak.

2. Untuk jangka panjang dan dilakukan secara kontinu, membuka salah satu jurusan di STT khusus untuk guru-guru sekolah Minggu. Entash D3, atau apa pun nama dan programnya. Mungkin selama 3 tahun perkuliahan sebagaimana layaknya kuliah-kuliah di STT dan 1 tahun khusus mendalami metode pengajaran Sekolah Minggu dan pendampingan pastoral kepada anak-anak. Mereka ditahbiskan menjadi guru sekolah Minggu dan ditempatkan sebagai pelayan penuh waktu.

3. Untuk gereja-gereja partner UEM, bisa juga di antara para pendeta atau bibelvrouw, yang memiliki talenta khusus untuk mendampingi dan mengajar anak-anak, dipersiapkan secara khusus melalui sebuah pelatihan. Mungkin masalahnya adalah: mereka tetap melakukan pelayanan lainnya, tidak fokus sepenuhnya pada pelayanan anak-anak. Tetapi, hal ini bisa diatasi kalau ada saling pengertian dalam sebuah jemaat.

4. Tugas mereka adalah mengajar sekolah Minggu, memperlengkapi guru-guru sekolah Minggu yang tidak penuh waktu, memberi mimbingan pastoral kepada anak-anak sekolah Minggu.

5. Mungkin jemaat-jemaat yang di kota bisa memulainya.


Jika demikian, percakapan akan berubah menjadi begini:

Sekolah Minggu: “Kami butuh guru sekolah Minggu yang penuh waktu, yang disekolahkan secara khusus, yang menolong kami bertumbuh dalam iman dan mengasihi kami anak-anak!”

Majelis Gereja + Warga Jemaat: “Benar, benar, anak-anak. Kita akan mulai!”

----------
Kepada jutaan guru-guru sekolah Minggu sukarela di seluruh dunia, terima kasih atas atas dedikasi Anda semua. Kiranya Tuhan mencurahkan berkatnya melimpah dalam hidup Anda semuanya.

Tuesday, February 16, 2010

CALON PENDETA HKBP: Dari STh Menjadi MDiv

Sekitar delapan tahun yang lalu, saya pernah mengusulkan melalui sebuah artikel di Majalah Immanuel HKBP, agar syarat menjadi mahasiswa STT bukan lagi lulusan SMU tetapi dari sarjana. Sebelumnya memang sudah ada program Master of Divinity (MDiv), tetapi jumlahnya masih relatif kecil dan ada pula yang meragukan kualitas kesarjanaan mereka. Dalam rangka peningkatan kualitas lulusan STT, sudah saatnya program MDiv menggantikan program Sarjana Theologia (STh) dan mahasiswa mendapat beasiswa penuh selama kuliah. Beberapa pertimbangan adalah sebagai berikut.

1. Sedikitnya ada dua hal yang sangat menolong dalam mempersiapkan/ memperlengkapi mahasiswa lulusan sarjana. Pertama, lulusan sarjana sudah lebih dewasa dari segi usia dan lebih matang secara psikologis. Keadaan selama ini, STT masih banyak mengurusi hal-hal yang berhubungan dengan kepribadian mahasiswa. Hal ini dapat dimengerti, karena usia mereka baru beranjak dari remaja. Tidak realistis memaksa mereka menjadi 'dewasa'. Kedua, mereka lebih mudah mengikuti perkuliahan dengan pengalaman perkuliahan mereka sebelumnya.

2. Dulu, syarat untuk menjadi siswa Sekolah Guru Jemaat dan Sekolah Bibelvrouw adalah lulusan SMP. Sekarang, syarat untuk memasuki kedua pendidikan teologi ini adalah dari SMU, sama dengan STT. Jadi, kalau syarat untuk memasuki Pendidikan Guru Jemaat, Bibelvrouw dan Diakones ditingkatkan dari SMP menjadi SMU, maka sudah saatnya juga syarat untuk diterima menjadi mahasiswa STT ditingkatkan juga dari SMU menjadi lulusan Perguruan Tinggi. Tingkat pendidikan warga jemaat juga terus meningkat dari tahun ke tahun.

3. Jangka waktu perkuliahan di STT dapat diselesaikan dalam 4 tahun (selama ini biasanya rata-rata 5 tahun). Hal ini dimungkinkan karena Mata Kuliah Dasar Umum (MKDU) tidak perlu dipelajari lagi, dan mata kuliah wajib di STT sudah lebih mudah diikuti berdasarkan pengalaman perkuliahan di Perguruan Tinggi sebelumnya. Bagaimana kalau mereka mau menikah semasa kuliah? STT dapat mengaturnya. Yang penting, jangan dihalangi. Mereka harus diberi kesempatan menikah, entah memberi cuti setengah tahun, atau melangsungkan pada awal libur semester supaya ada kesempatan mengawali pernikahannya selama dua bulan sebelum melanjutkan perkuliahan.

4. Saat ini sudah banyak anak-anak warga HKBP yang sarjana, baik yang bekerja tetapi bisa saja terpanggil untuk menjadi pendeta, maupun yang belum bekerja dan bersedia memenuhi panggilan untuk menjadi pendeta.

5. Seluruh mahasiswa hendaknya mendapat beasiswa penuh (paling tidak uang asrama, uang kuliah). Beasiswa kepada mereka bisa dari jemaat, dari pribadi-pribadi warga jemaat yang terbeban dengan tugas pelayanan ini, atau bisa diorganisir oleh distrik-distrik HKBP. Jemaat HKBP yang begini besar harusnya mampu melakukannya. Mengapa mereka menerima beasiswa penuh? Pertama, mereka sudah pasti mengeluarkan banyak uang untuk kuliah sebelumnya. Kedua, agar para amahasiswa lebih fokus pada perkuliahan dan pengembangan spiritual tanpa diganggu oleh masalah dana. Ketiga, para pendeta tidak dipersiapkan untuk menjadi kaya, mereka dipersiapkan untuk melayani. Kecuali, ada mahasiswa yang tidak bersedia menerima beasiswa, keputusan mereka harus dihargai dan diberi kesempatan membayar uang kuliah dan uang asramanya sebagai bagian dari persembahannya.

6. Seminari-seminari di Amerika Serikat dan Theological College di Singapura sudah melakukan hal seperti ini. Tidak berarti HKBP harus meniru dari gereja-gereja di Negara lain, tetapi berdasarkan kebutuhan jemaat-jemaat kita yang tingkat pendidikan warganya juga semakin meningkat.

Sebagai tambahan, ada pernyataan baik dan menarik dari Darrel L. Bock soal ‘kematangan’ seorang pelayan gereja sebagai berikut.

Since Jesus’ ministry was build around his teaching and since he showed that God’s will was not what the religious culture was delivering, then how careful should we be to make sure that our communities are well instructed and grounded in God’s truth! Such instruction means careful pastoral preparation of messages, including giving the pastor enough time to do it as well as developing training institutions that focus on substance. Encouragement should be given to underwrite students who seek to train for ministry, not by seeing how quickly the can complete their training, but how deeply grounded they will be when they emerge to enter ministry. A colleague of mine has asked how many of us would be proud and comforted to hear from a heart surgeon before we are wheeled into the operating theater that he got his degree in a year or two! How much more for those who minister to the soul! If teaching is central to effective ministry of the church, then solid training should be at the top of the list.[1]


[1] Darrel L. Bock, Luk. The NIV Application Commentary: From Biblical Text to Contemporary Life, Grand Rapids, Michigan: Zondervan, 1996, p 141.

Sunday, February 14, 2010

BERPIKIR DENGAN HATI

REFLEKSI SENIN KE-7
15 Pebruari 2010

Pikiran kita bagaikan air yang amat mudah dan cepat mengalir ke mana-mana. Tetapi, sama seperti air yang dapat kita salurkan, pikiran juga dapat kita alirkan agar ia teratur, terarah dan berguna. Atau, pikiran juga digambarkan seperti monyet liar yang cepat melompat ke sana ke mari. Berbeda dengan monyet yang sudah dijinakkan, ia relatif lebih tenang. Pikiran juga bisa liar, tetapi kita 'berkuasa' menjinakkannya.

Biasanya, pikiran kita mengarlir atau terpencar sedikitnya ke tiga tempat (1) masa lalu, (2) masa depan, (3) angan-angan atau ilusi. Dengan demikian, sebenarnya kita jarang ‘hidup’ pada ‘saat ini’. Hidup kita terpaut pada masa lalu, masa depan, dan ilusi-ilusi kita. Tiga tempat atau keadaan itu pun masih dapat dibedakan antara yang baik (seperti yang menyenangkan, mengembirakan dan meneguhkan) dan yang buruk (seperti yang menakutkan, mengecewakan, menggeramkan dan menenggelamkan).

Pikiran itu sendiri adalah baik dan sangat bermanfaat. Jadi kata-kata “jangan gunakan otakmu dalam hal-hal yang berhubungan dengan iman” adalah nasihat menyesatkan. Tuhan menganugerahkan pikiran untuk kita gunakan menimbang kehendak Tuhan dalam hidup kita. Tugas kita adalah untuk menjaga pikiran untuk tetap menjadi sumber ‘air tawar’ yang menyejukkan dan menghidupkan.

Dalam Yakobus 3:11-12 dikatakan “Adakah sumber memancarkan air tawar dan air pahit dari mata air yang sama?.... Demikian juga mata air asin tidak dapat mengeluarkan air tawar”. Jika pikiran kita terpelihara dengan baik, bebas dari segala macam polusi yang merusak kehidupan, keadaan itu akan memancarkan keindahan dan segala buah-buah yang baik. Sebaliknya, jika pikiran kita terkontaminasi dengan hal-hal yang buruk, itu pula yang akan memperkeruh kehidupan kita dan orang-orang di sekitar kita. Paus Yohanes XXII benar ketika ia berkata, “Kebiasaan berpikiran buruk kepada segala sesuatu dan setiap orang amat melelahkan diri kita sendiri dan orang lain di sekitar kita.”

Berkaitan dengan itu, George Ong pernah mengatakan, “Banyak persoalan di dunia ini disebabkan oleh perpaduan “pikiran sempit” dengan “mulut lebar dan bocor”. Tidak jarang kita bertemu dengan yang mengatakan lebih banyak dari yang diketahuinya. Saya beberapa kali bertemu dengan orang yang selalu punya ‘keahlian’ tentang apa saja topik pembicaraan, mulai dari politik luar negeri hingga soal-soal luar angkasa, jenis mobil, gempa bumi, psikologi dan lain-lain. Bukan karena ia benar-benar mengetahuinya, tapi ia ingin tampil sebagai seorang yang serba-tahu. Idealnya, kita mengetahui lebih banyak dari apa yang kita katakan. Jadi, satu di antara sekian cara mengurangi masalah di dunia ini adalah perpaduan “pikiran luas” dan “mulut proporsional”.

Allah, dalam rancanganNya yang agung, menempatkan otak lebih tinggi dari mulut kita. Salah satu makna yang dapat kita petik dari rancangan ini adalah keharusan kita memikirkan terlebih dahulu sebelum berkata-kata. Ironisnya, banyak sekali kata-kata yang beredar di dunia ini yang bukan hasil pemikiran matang. Lebih celaka lagi, kata-kata yang sudah sempat berkeliaran tanpa hasil olah pikir dibiarkan begitu saja dan tidak ada kemauan untuk memikirkan ulang walaupun sudah jelas-jelas berakibat buruk terhadap sesama. Dalam hal ini firman Tuhan bernar adanya, "setiap orang hendaklah cepat untuk mendengar, tetapi lambat untuk berkata-kata" (Yak 1:19).

Untuk itulah kita mesti berpikir dengan hati. Artinya, pikiran harus bertemu dengan hati sebelum segala keputusan diambil, baik keputusan untuk berkata-kata, berdiam, bereaksi, berbuat, beristirahat dan sebagainya. "Hikmat mengandung pengetahuan kapan dan bagaimana berbicara serta kapan dan di mana berdiam diri" (Jean Pierre Camus).

Sunday, February 7, 2010

KETIKA HATI TERLUKA

REFLEKSI SENIN KE-6
08 Pebruari 2010
.
Jika kita dekat dengan Tuhan, tidak akan ada orang yang mampu menyakiti hati kita; dan kita tidak akan mau --meskipun mampu-- dengan sengaja menyakiti hati sesama.
.
Tidak ada orang (normal) yang girang merasa senang dioperasi. Mereka selalu bertanya apakah masih ada kemungkinan lain. Operasi selalu ditempuh sebagai jalan terakhir yang tidak bisa dihindari. Mengapa orang tidak mempersoalkan sayatan pisau operasi dokter yang ‘menyakiti’ dan dengan bayaran mahal, bahkan hingga meminjam uang untuk operasi? Rasa enak dan uang simpanan harus dikorbankan untuk sementara demi kesembuhan.

Bagaimana dengan operasi ‘penyakit karakter', seperti kesombongan, kerakusan, pementingan diri, dan kejahatan? Jika masih dalam ‘stadium 1’ penyakit-penyakit ini masih bisa diatasi dengan ‘obat-obatan’ seperti nasihat lembut dan cerita-cerita anekdot. Tetapi, jika penyakit itu sudah berada pada tahap ‘stadium 3’, ia membutuhkan operasi dan kemoterapi: untuk mengangkat sel-sel tumor dan membasmi akar-akarnya. Operasi dan kemoterapinya memang bisa antara si pasien dan Sang Dokter Agung, Tuhan sendiri. Tetapi, rasa sakit pasti ada di situ. Apalagi, kalau operasi dilakukan oleh orang lain –yang bisa saja dilakukan tanpa obat bius—pasti jauh lebih sakit.

Dalam hal ini sedikitnya ada tiga kemungkinan 'posisi' kita yang kiranya kita sikapi sebaik-baiknya dan sebenar-benarnya.

Sebagai yang membutuhkan operasi

Jika kita benar-benar sebagai pasien penderita aneka penyakit karakter yang harus dioperasi, kita harus menerimanya dengan ikhlas. Tidak perlu menolak apalagi memberontak. Mengapa kalau operasi ke dokter seorang pasien rela menanggung rasa sakit dan membayar pula, sementara menerima ‘operasi’ penyakit karakter yang gratis tidak diterima dengan lapang dada? Masalah yang mungkin mengganjal kerelaan kita adalah: bertakhtanya keakuan. Hal ini secara serta merta membawa perasaan harga diri ambruk. Berhadapan dengan kekurangan diri sendiri itu terkadang menyakitkan. Celakanya, ada orang yang baru saja mengalami ‘operasi’ dengan teganya mencari ‘obat penenang’ dengan menyakiti si tukang operasinya sendiri dengan melukainya dengan menebar fitnah dan menabur kebencian.

Sebagai tukang operasi

Jika kita merasa terpanggil menyembuhkan penyakit sesama, kita hendaknya datang sebagai ‘dokter’ bukan buldoser. Kita harus memastikan bahwa kita menanganinya dengan baik. Jika ternyata kita salah melakukan operasi, dengan rendah hati kita mesti mengakuinya. Kita harus senantiasa terhubung dengan Tuhan dalam melakukan tugas panggilan kita. Hal ini perlu, tidak untuk mempersoalkan dan terikat ke masa lalu sambil mengutuki bahkan menghukum diri sendiri tetapi untuk menjadi pelajaran dan tekad perbaikan di masa datang.

Sebagai korban malpraktek

Bayangkan kalau ada orang yang menyatakan diri sudah mendiagnosa penyakit Anda dan ia cepat-cepat melakukan ‘operasi’. Padahal, ia salah mendiagnosa. Ia menuduhkan yang tidak benar tentang Anda dan mengumumkannya kepada orang lain atas dasar kebencian. Luka bisa saja terjadi dalam sanubari Anda dan dalam hati sahabat-sahabat Anda. Dalam keadaan seperti ini perlu kita renungkan apa yang dikatakan oleh Augustinus, "Jika Anda menderita karena perlakuan tidak adil seseorang yang jahat, ampunilah dia, kalau tidak, akan ada dua orang yang jahat".

Barangkali, hal ini masuk dalam salah satu kategori paling sulit dalam kehidupan. Lebih sulit lagi, ketika orang lain ikut-ikutan pula menekan dan mempersalahkan kita. Semua bisa semakin memperparah luka hati. Lihatlah bagaimana reaksi orang menghadapi kenyataan seperti ini, mulai dari yang mendiamkannya tetapi tetap membiarkannya membara di dada, sampai memakai jasa orang lain untuk membalas, hingga menghadapi dengan gagah berari hingga titik darah penghabisan. Untuk pembenarannya mungkin dilabeli dengan “Mereka harus diberi pelajaran”. Semua ini tidak menyembuhkan. Malahan, justru membuat orang semakin banyak terluka.Tidak berarti bahwa kita tidak boleh ‘membela diri’ dengan memberi klarifikasi. Itu malah sebuah kebutuhan. Yang penting jangan terlarut mempersoalkannya hingga menimbulkan persoalan baru.

Di dunia ini sudah terlalu banyak orang yang terluka, kita tidak perlu menambahkannya. Dalam situasi ketika kita mengalami korban malpraktek, Mzm 31:10 kiranya menjadi mazmur kita juga:

Kasihanilah aku, ya Tuhan,
Sebab aku merasa sesak; karena sakit hati mengidaplah mataku,
meranalah jiwa dan tubuhku.

ShoutMix chat widget