Sunday, July 4, 2010

PENJARA MEMORI

REFLEKSI SENIN KE-27
05 Juli 2010

Seorang bekas tahanan di kamp konsentrasi Nazi mengunjungi seorang kawan yang juga mengalami malapetaka itu bersamanya.
“Apakah engkau sudah melupakan orang-orang Nazi?” tanya kawannya.

“Ya, sudah.”
“Saya belum. Saya masih dikuasai rasa benci terhadap mereka.”
“Kalau begitu,” kata kawan itu dengan tenang, “mereka masih memenjara dirimu.”
…..(musuh kita bukanlah mereka yang membenci kita tetapi mereka yang kita benci)…
(Anthony de Mello)


Tidak ada orang berpikiran normal ingin meringkuk di penjara. Bukan saja karena label ‘sampah masyarakat’ yang kerap ditempelkan ke identitas mereka tetapi juga karena berbagai kekangan. Itu sebabnya penghuni penjara selalu dengan segala usaha untuk keluar, melalui usaha halal bahkan penyogokan hingga melarikan diri.

Berbeda dengan pemenjaraan pikiran. Sebenarnya, manusia sepenuhnya punya pilihan untuk terpenjara atau bebas. Tetapi sadar atau tidak seringkali manusia lebih memilih terpenjara oleh olahan memorinya sendiri. Sebutlah sebuah pengalaman peristiwa pahit atau kata-kata orang lain yang menggores hati. Tidak sedikit orang yang begitu kuat dipengaruhi oleh pengalaman pahit di masa lalu dalam berpikir, bersikap dan bertindak hari ini. Bukan saja mempengaruhi sikap kepada pelakunya sendiri, tetapi –sedihnya—juga terhadap orang-orang yang berhubungan dengan pelakunya, bahkan yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan si pelaku. Bukankah rasa gundah kita karena perlakuan orang lain mempengaruhi raut wajah kita yang pada gilirannya mempengaruhi interaksi kita dengan orang lain?

Di samping itu, ada pula pemenjaraan oleh pinjaman memori orang lain. Ketika tim Belanda bemain sepak bola beberapa waktu lalu, muncul berbagai komentar bernada tidak mendukung tim Belanda karena melabeli mereka sebagai ‘penjajah’. Padahal, yang mengalami langsung penjajahan Belanda di Indonesia sudah hampir tidak ada lagi. Para pemain sebak bola Belanda pasti tidak ikut menjajah Indonesia. Ketidaksenangan kepada tim Belanda merupakan buah dari pemenjaraan pinjaman memori --suatu penghalang menikmati pertandingan sepak bola.

Yang lebih memprihatinkan adalah pemenjaraan oleh suntikan fitnahan orang lain. Si A tidak suka si B. Kemudian A menyebarkan fitnahan tentang B kepada C. Sebenarnya C tidak ada masalah apa-apa dengan B. Tetapi, celakanya, C percaya pada A dan merelakan diri terpenjara oleh pikirannya hingga menutup pintu hatinya ke B.

Apa pun penyebab dan bentuknya, setiap pemenjaraan menghalangi pertumbuhan emosional dan spiritual seseorang. Pemenjaraan pikiran menghalangi kita bergerak mewujudkan keberadaan kita, membelokkan arah perjalanan hidup kita, meredupkan rasa takjub kita, hingga melumpuhkan kehidupan itu sendiri. Kata-kata “rasa benci kita kepada musuh lebih melukai kebahagiaan kita ketimbang mereka” mengandung kebenaran yang tidak membutuhkan perdebatan.

No comments:

Post a Comment

Kami sangat menghargai komentar Anda yang membangun.


ShoutMix chat widget