Sunday, July 11, 2010

GAGAL KAYA BERHASIL BAHAGIA

REFLEKSI SENIN KE-28
12 JULI 2010

Kebahagiaan membuat orang miskin merasa kaya,
dan ketidakbahagiaan membuat orang kaya merasa miskin.
(Benjamin Franklin)

**********
Allah tidak menghendaki kita semuanya untuk
menjadi kaya atau berkuasa atau ternama,
Tetapi Ia menghendaki kita semuanya bersahabat.
(Ralph Waldo Emerson)


Judul di atas berbeda dengan apa yang dituliskan oleh Gede Prama, “berhasil kaya gagal bahagia” dalam bukunya: Jalan-jalan Penuh Keindahan: Dari Kejernihan untuk Kepemimpinan Kehidupan. “Gagal kaya berhasil bahagia” mau menegaskan bahwa gagal menjadi kaya tidak mesti menjadi gagal bahagia, malahan keadaan itu dapat menjadi sarana untuk tetap berbahagia.

1. Mencermati ‘Posisi’ Kita

Ada yang mengelompokkan manusia menurut keberadaan ekonominya berkaitan dengan soal ‘makan’ sebagai berikut:

Kelompok 1 : Besok apa makan?

Mereka ini adalah yang ragu apakah akan mendapat makanan untuk besok, karena mereka tidak mempunyai persediaan makanan. Mereka miskin secara materi.

Kelompok 2 : Besok makan apa?

Makanan untuk besok sudah ada. Tinggal memilih, apakah ayam goreng, capcai goreng, sangsang B2 atau B1 (cincang daging babi dan anjing). Tetapi, makannya tetap di rumah, yang dimasak oleh si ibu atau mbak Iyem. Mereka ini bisa dikatakan berkecukupan.

Kelompok 3 : Besok makan di mana?

Pilihan untuk kelompok ini makin terbuka seiring dengan keadaan keuangan yang lebih memadai. Mereka tinggal pilih: makan di restoran mewah di pinggir pantai atau di hotel berbintang. Jika perlu, sarapan di Singapura makan siang di Hongkong makan malam di Tokyo. Credit Card selalu terselip di dompet. Barangkali mereka dapat disebut “kaya”.

Kelompok 4 : Besok makan siapa?

Mereka adalah pemilik modal dan perusahaan raksasa yang tidak berperikemanusiaan yang bisa dengan gampang membuat perusahaan lain gulung tikar. Mereka ini mungkin dapat disebut “kaya raya”.

Barangkali pengelompokan ini terlalu sederhana dan tidak dapat mencerminkan kenyataan yang dialami setiap orang. Namun pengelompokan ini sedikitnya dapat menolong kita memahami keadaan kaya dan miskin secara ekonomi tanpa mendefinisikan kemiskinan dan kekayaan.

Pengelompokan di atas tidak bisa menjadi pengelompokan tingkat kebahagiaan. Tidak menjadi jaminan bahwa kelompok “besok makan dimana” lebih bahagia dibandingkan dengan kelompok “besok apa makan”. Di samping itu kelompok “besok makan siapa” pastilah bukan orang-orang yang berbahagia secara kristiani.

2. Pesan Alkitabiah

Alkitab tidak memberi definisi “kaya” dan “miskin”, tetapi di dalam Alkitab kita dapat menemukan beberapa contoh orang miskin dan kaya. Contoh itupun sebenarnya tidak dapat disejajarkan dengan kenyataan sekarang. Misalnya, kalau dulu seseorang disebut kaya karena ia punya kereta kuda, sekarang ia mungkin masuk dalam kategori miskin jika dibandingkan dengan orang yang memiliki pesawat jet pribadi. Tetapi yang jelas, orang-orang miskin adalah mereka yang tidak mendapatkan kebutuhan sehari-hari, baik karena kesalahan mereka sendiri (misalnya karena malas) maupun karena diperlakukan orang lain secara tidak adil (tidak mendapat upah yang pantas, diperbudak, dirampas, dan sebagainya).

Yang mengejutkan bagi saya ialah, bahwa Alkitab tidak mengidealkan kekayaan atau kemiskinan. Mari kita simak sebuah doa berikut:

Jangan berikan kepadaku kemiskinan atau kekayaan. Biarkanlah aku menikmati makanan yang menjadi bagianku. Supaya, kalau aku kenyang, aku tidak menyangkal-Mu dan berkata: Siapa Tuhan itu? Atau, kalau aku miskin, aku mencuri, dan mencemarkan nama Allahku. (Ams. 30:8b-9).

Berdasarkan ayat Alkitab ini, sedikitnya ada tiga hal yang perlu mendapat perhatian kita: (1) Yang terpenting adalah menerima dan menikmati apa yang diperuntukkan oleh Tuhan. Hal ini mengingatkan kita kepada suatu yang lebih ideal, yakni “kecukupan”. Yesus sendiri mengajar kita berdoa “Berikanlah kepada kami pada hari ini makanan kami yang secukupnya”. (2) Kekayaan bisa menjadi ilah, membuat orang tidak peduli pada Allah dan menjadi sombong. Ada yang mengibaratkan harta dunia ini seperti meminum air laut, semakin diminum semakin haus. Rasul Paulus menasihatkan, “Asal ada makanan dan pakaian, cukuplah. Tetapi mereka yang ingin kaya terjatuh ke dalam pencobaan….karena akar segala kejahatan ialah cinta uang (1Tim. 6:8-10). Memang kita membutuhkan uang, tetapi kita tidak boleh “cinta uang” –yang adalah akar segala kejahatan. (3) Kemiskinan juga bisa menjadi godaan bagi seseorang untuk mencuri, khususnya kemiskinan yang dikarenakan oleh kemalasan.

Apakah menjadi kaya boleh menurut kekristenan? Jawabannya tergantung sedikitnya pada tiga hal. Pertama, apakah itu panggilan Tuhan untuk seseorang. Saya percaya, Tuhan tidak menghendaki semua orang menjadi kaya. Saya tidak bisa bayangkan kalau masing-masing semua yang 6 miliar penduduk dunia sekarang punya pesawat jet pribadi, mobil pribadi, rumah pribadi dan ‘kepribadian’ yang lain. Tetapi, Tuhan menghendaki semua manusia hidup berkecukupan. Kedua, bagaimana kekayaan itu diperoleh. Ketiga, bagaimana kekayaan itu digunakan. Jika jawaban ketiganya berdasarkan kehendak Tuhan, maka kekayaan seperti itu adalah “berkat Tuhan” dan si kaya juga dapat “menjadi berkat” bagi sesama. Inilah orang kaya yang berbahagia. Orang kaya seperti itu pasti terhindar dari apa yang disebut dalam bahasa Batak: Mardasar mardosor tutungon porapora. Na sala i gabe sintong molo hata ni na mora. (Yang salah menjadi benar kalau yang mengatakannya orang kaya). Gereja juga hendaknya tidak akan pernah terinfeksi oleh virus seperti itu.

Apakah miskin itu dosa? Tunggu dulu! Seperti disebut di atas, kalau kemiskinan itu terjadi karena kemalasan, itu adalah dosa dan akan melahirkan dosa-dosa baru: mencuri, dengki, iri, bersungut-sungut bahkan membunuh. Tetapi, ada yang disebut dengan “kemiskinan sukarela” seperti mereka-mereka yang hidup di biara dan mereka yang mengabdikan diri untuk pelayanan sesama. Ada juga orang yang meskipun secara ekonomi mampu membeli lebih banyak, tetapi mereka memilih untuk hidup sederhana. Dengan demikian mereka bisa menolong orang miskin.

3. Yang Miskin Yang Berbahagia

Terry Hampton dan Ronnie Harper benar ketika mereka mengatakan:

"Kadang-kadang hal-hal yang kita pikirkan, mungkin termasuk impian-impian kita, sesungguhnya sekadar rasa iri kita terhadap apa yang dimiliki oleh orang lain. Beberapa hal yang kelihatannya memikat kita hanyalah karena hal tersebut milik orang lain dan kita tidak mampu memilikinya….Orang sering kali membuat diri mereka sendiri tidak bahagia dengan melihat milik orang lain, padahal kebahagiaan itu harus dimulai dengan berpuas dan bersyukur untuk segala sesuatu yang kita miliki saat ini."

Tuhan Yesus mengajarkan “Berbahagialah orang yang miskin di hadapan Allah, karena merekalah yang empunya Kerajaan Sorga (Mat. 5:3). Apa yang dikatakan oleh Yesus sulit diterima oleh pikiran manusia, apalagi di tengah zaman ini yang ditandai dengan pengejaran kesenangan dan kenikmatan belaka dengan berbagai cara. Kita perlu memahami pengajaran Yesus ini sebaik-baiknya.

Miskin di hadapan Allah adalah menyangkut kesederhanaan hidup dengan membiarkan diri kehilangan berbagai hal yang kelihatan perlu seperti gengsi, prestasi dan lain-lain. Ini adalah menyangkut sikap hidup yang tidak menggantungkan diri pada apa dan siapapun kecuali kepada Allah. Orang yang berbahagia dalam konteks ini adalah yang tidak menumpuk harta karena kuatir akan masa depan.

Apa yang dikatakan Yesus sama sekali bukan orang yang tidak mendapat makan, tidak punya pakaian atau kebutuhan pokok lainnya yang berbahagia. Orang yang berbahagia seperti ini adalah kita yang menerima Tuhan dan segala kehendak-Nya terjadi dalam hidup kita serta dengan sukacita mewujudkan kehendak Tuhan dalam hidup kita yang di antaranya menolong orang-orang miskin.

Untuk mengakhirinya, cerita berikut amat baik menjadi renungan bagi orang kaya dan yang ingin kaya:

Aku punya kenalan.
Hidup ekonominya semakin kuat.
Menu makanan tinggal pilih.
Rumah dan perabotnya besar dan lengkap.
Lapangan dan bidang bisnisnya semakin luas.
Pegawainya juga tambah banyak.
Tersedia kendaraan sesuai bidang kebutuhan.
Rekening uang di bank bertambah.
Bersamaan dengan itu pengaruhnya meningkat.
Tetangganya bertambah hormat dan taat.
Orang semakin yakin Tuhan memberkatinya.
Pikiran dan perasaan kenalanku lain.
Sekarang yang dituntut dariku bertambah, keluhnya.
Aku harus hati-hati memilih makanan.
Aku perlu menghindari lemak dan gula.
Aku harus membuat pagar kuat demi keamanan.
Aku khawatir para pegawaiku mogok kena hasut.
Aku perlu garasi besar dan perawat kendaraan.
Aku perlu cepat tanggap bila bank kalah kliring.
Aku harus mempertahankan nama baik perusahaanku.
Aku khawatir orang datang minta sumbangan.
Aku semakin takut situasi akan berubah.

Kalau begitu,
Serahkan semuanya pada saudaramu
Biar engkau bebas dari beban, kataku menasihati.
Tak mungkin, keluhnya.
Roda sudah terlanjur berputar.

Sumber:
Victor Tinambunan, Apa Yang Kamu Cari?,
Pematangsiantar, L-SAPA, 2008.

1 comment:

  1. dalam tulisan pak pdt, apakah menjadi kaya boleh menurut kekristenan, memunculkan pertanyaan bagi saya apakah kita menjadi orang-orang kristen yang percaya pada "takdir"..karena mungkin kita sudah berusaha siang dan malam dengan segala analisa yang tepat untuk menjadi kaya ternyata tidak datang jua kekayaan itu..sehingga apakah takdir seseorang bahwa dia harus menjadi orang gagal dan miskin seumur hidupnya...mohon penjelasan

    ReplyDelete

Kami sangat menghargai komentar Anda yang membangun.


ShoutMix chat widget