Sunday, January 10, 2010

S T A T U S

REFLEKSI SENIN KE-2
12 januari 2010


Poles-memoles sudah menjadi hal yang sangat biasa dalam kehidupan ini. Mobil tua dipoles dengan cat metalik. Jadilah, mobil yang eksteriornya mengkilat, tapi interior dan mesinnya keropos. Nama juga dipoles dengan penempatan aneka gelar di depan dan di belakang nama. Dan, tentu, wajah dan penampilan juga tidak ketinggalan. Operasi plastik masih terus diminati orang saat ini, walaupun harganya amat mahal. Bukan hanya dengan nilai uangnya, tetapi juga menjadi taruhan nyawa. (Minggu lalu seorang CEO meninggal karena operasi plastik, belum lama berselang seorang artis usia belia meninggal karena kasus yang sama).

Mengapa semua ini diminati banyak orang? Pemolesan ini dianggap sebagai bagian usaha naik kelas status. Biasanya status seseorang diukur berdasarkan jadwal sibuk, label, kartu dan koneksi.

Sibuk
Ada sebuah pemahaman keliru yang kian merambah dalam era posmo ini, yakni: “Semakin sibuk seseorang semakin bergengsi dia.” Kata-kata “Saya tahu Anda sibuk” biasanya orang telan sebagai sebuah pengakuan kekaguman. Padahal, ketika pusat perhatian hanyalah pada ‘kesibukan’, bukan pada apa dan bagaimana kualitas hasil ‘kesibukan’ itu sendiri, maka kesibukan hanyalah sebuah kekerasan: terhadap diri sendiri dan orang lain.

Kesibukan yang tidak sehat sering menjadi pembenaran pengabaian kepedulian terhadap kebutuhan orang lain. Kesibukan juga disalahgunakan menjadi sebuah SIM (Surat Izin Marah). Kita ingat cerita Marta yang menyalahkan Maria yang duduk mendengarkan Yesus. Marta malah mencari pembenaran dan pembelaan dari Yesus.

Hadirnya alat-alat seperti komputer, telepon, kendaraan dll seharusnya membantu manusia untuk tidak menguras tenaga habis-habisan. Sayang sekali bahwa kelihatannya bukan manusia yang ‘memakai’ komputer, handphone, dan berbagai alat-alat canggih itu, tetapi justru alat-alat itu yang ‘memakai’ (=menguasai) manusia. Manusia semakin sibuk dengan komputer, telepon, kendaraan, dan alat-alat canggih.

Label
'Merek' barang merupakan ilah baru yang menguasai banyak orang pada zaman ini. Labal-label (merek) pakaian, tas, sepatu, jam tangan, mobil, aksesoris biasanya ikut berperan dalam menentukan status seseorang. Foto-foto yang terpajang di ruang tamu, facebook, website bagi sebagian orang dianggap sebagai sarana menaikkan status. Ada foto liburan di pegunungan bersalju atau berlatar bangunan pencakar langit kota megapolitan. Ada pula foto bersama dengan 'orang penting' (apakah karena ada hubungan dekat atau hanya kebetulan bisa permisi berfoto bersama) dianggap bisa ‘mendongkrak’ status. Pada dirinya sendiri, sebenarnya tak ada yang salah dengan semuanya itu sejauh pengalaman-pengalaman seperti ini semakin memurnikan hati, semakin memperdalam pemahaman akan makna kehidupan, semakin membuka diri dan tangan demi kebutuhan dan kebaikan orang lain. Yang celaka adalah kalau label-label seperti itu berubah menjadi ‘senjata’ penobatan diri pada posisi superior sambil menindas orang lain melalui kata dan sikap menghakimi. Jadi, tak perlu menurunkan semua foto-foto dari ruang tamu. Yang penting adalah menurunkan semua penggerak negatifnya atau motivasi terpolusi.

Kartu
Dunia ini mengukur status dari penghuni tetap dompet: berapa jenis kartu ATM, apakah dilengkapi dengan Amex, Visa, MarterCard, kartu keanggotaan golf, dan lain-lain. Bagaimana dengan kartu nama? Orang menilai status dengan gelar di depan atau belakang nama. Alamat juga sering dianggap membedakan status. Orang yang beralamat di Jln. Sudirman No 212, amat berbeda dengan yang beralamat di Jln Sudirman Gg. Buntu No 212. Sama-sama ‘Sudirman’ tetapi Gg. Buntu ini yang membedakan status.

Koneksi
Hubungan seseorang, entah hubungan keluarga, satu RT, teman satu SD dulu, dengan seorang pejabat atau publik figur biasanya ikut mendongkrak status seseorang. Tidak heran urusannya bisa lebih mulus. Permintaannya gampang dikabulkan.

Semua yang disebutkan di atas, tidak ada yang salah pada dirinya. Kartu kredit sah-sah saja. Anda tak perlu merasa bersalah memilikinya (kesalahan biasanya ada pada menyikapi dan menggunakannya). Tidak salah berlibur (bahkan suatu kebutuhan). Tidak ada yang jelek kalau berfoto dengan publik figur. Intinya adalah ini: status kita bukan diukur berdasarkan ‘apa yang kita miliki’ tetapi terutama ‘siapa Pemilik kita’. Dalam hal ini secara singkat dapat disebut tentang ‘status kristiani seperti berikut ini.

Status Kristiani

Penggerak paling umum cita-cita dan aktivitas adalah ‘motivasi sukses’ dan ‘inspirational stories’. Misalnya, bagaimana seorang tukang sapu menjadi milioner, seorang muntir upah harian menjadi pemilik berusahaan mobil raksasa. Kita tidak sadar bahwa setiap kita unik, mendapat pemberian khusus. Artinya, ‘status’ biasanya diukur berdasarkan sukses ‘angka’ berhubungan dengan timbangan atau kalkulator.

Kita membutuhkan transformasi. Status dasar kita sebagai orang Kristen adalah: keberadaan kita sebagai anak-anak Allah, yang sudah ditebus, yang adalah rekan sekerja Allah. Karena itu, sibuk, label, kartu, dan koneksi juga menentukan ‘status’ kita. Hanya saja keempat hal itu tidak berdasarkan ukuran dunia. Kita harus ‘sibuk’, sama seperti Tuhan Yesus juga sibuk dulu hingga hari ini. Hanya saja kesibukan kita bukan mendongkrak status kita di mata dunia, tetapi agar kita semakin serupa dengan Kristus. Kita sibuk bukan memaksa diri, memaksa orang lain, memaksa sebuah kejadian. Kata-kata bijak ini mengandung kebenaran: “Siapa menjual masa mudanya untuk sebuah kekayaan, ia harus bersiap-siap menjual kekayaannya untuk kesehatan, yang belum tentu berhasil.”

Di samping itu, sebuah pepatah Denmark berbunyi, "Membakar sebuah lilin dari kedua ujungnya, membuatnya tidak dapat bertahan lama". Gambaran hidup supersibuk memaksa diri. Lilin memang harus dibakar pada saatnya dibutuhkan, itupun hanya dari bagian atasnya. Lilin yang tidak dibakar tidak melakukan fungsinya. Jadi, hidup seimbang itu perlu, dengan lima "si": meditasi, kreasi, aksi, rekreasi, dan refleksi". Meditasi, misalnya, merupakan kebutuhan kita untuk bisa bertumbuh. Dalam meditasi kita meneduhkan diri di hadapan Tuhan. Dalam meditasi kita tidak meminta kepada Tuhan. Kita hanya menyadari bersama dengan Allah (apa dan bagaimana meditasi Kristen silahkan lihat di dalam blog ini di bagian “MEDITASI KRISTEN).

Label yang kita kenakan adalah salib Kristus. Kartu-kartu kita tidak terutama dalam bentuk kertas atau plastik, tetapi keberadaan kita sebagai garam dan terang dunia. Kartu-kartu dunia ini adalah alat akses untuk menarik sesuatu kepada diri kita sendiri. Kartu kristiani adalah kerelaan kita menjadi berkat bagi sesama.

Sehubungan dengan ini, koneksi kita dengan apa dan siapa pun selalu ditentukan oleh koneksi kita dengan Tuhan, Pemilik kita. Kita tidak menunjukkan “foto bersama” kita dengan Tuhan, tetapi bagaimana orang lain dapat melihat ‘gambar Tuhan’ melalui seluruh kehidupan kita. Sebab, kita adalah gambar Allah. Kiranya orang lain bisa melihat dan mengalami kasih Allah melalui kasih kita.

Ternyata, dengan demikian, ‘status’ kita bukan sesuatu yang kita raih melalui segala usaha kita, melainkan apa yang kita terima dari Tuhan: Tuhan sendiri dan pemberianNya. Atau, Pemberi dan pemberianNya sekaligus.

No comments:

Post a Comment

Kami sangat menghargai komentar Anda yang membangun.


ShoutMix chat widget