Saturday, July 4, 2009

SUKSES dan RASA MALU

REFLEKSI MINGGU KE-27
06 JULI 2009



Agaknya, semua orang ingin ‘sukses’. Tapi tidak semua orang memiliki pemahaman yang sama tentang ‘sukses’. Umumnya orang mengukur sukses berdasarkan angka-angka atau pencapaian: meraih gelar sarjana, menduduki jabatan atau posisi tertentu, mendapat keuntungan besar, memiliki 2 perusahaan, mendapat sekian banyak piagam peng-hargaan dan sebagainya. Artinya, ‘sukses’ diukur terutama berdasarkan suatu perolehan atau pencapaian. Kelihatannya, ‘sukses’ seperti inilah yang terutama dikejar kebanyakan orang dari dulu hingga hari ini. Dan justru karena pengejaran ‘sukses’ yang demikianlah dunia ini kehilangan kedamaian dan kebahagiaan sejati. Sebab, untuk sebuah ‘sukses’ manusia memaksa diri, mengenakan berbagai topeng (untuk menarik perhatian anak gadis, laki-laki misanya tampil kren dan pinjam mobil, berlagak orang ‘sukses’), mengabaikan sesama manusia (dengan persaingan tidak sehat dsb), menghancurkan alam ciptaan Tuhan (dengan polusi dan konsumsi berlabihan).

Jika demikian, yang seharusnya malu bukan mereka yang memiliki cukup pakaian sederhana, tetapi mereka yang berlebihan pakaian dan super-mahal pula dengan berusaha menarik perhatian orang lain kepada diri mereka, bukan memperhatikan orang lain yang sangat membutuhkan pertolongan.

Yang seharusnya malu, bukan orang yang gagal menempati suatu jabatan kepemimpinan walaupun dia lebih layak untuk jabatan itu, melainkan mereka yang ‘berhasil’ menduduki suatau jabatan karena berbagai cara dan rekayasa.

Yang seharusnya malu bukan mereka yang makan ala kadarnya di rumahnya dengan hasil jerih payahnya sendiri, melainkan mereka-mereka yang melahap makanan sambil pamer diri di restoran super-mahal padahal hasil curian dan korupsi.

Yang seharusnya malu, bukan mereka yang tinggal di rumah sederhana hasil perjuangan halal mereka, melainkan para penghuni rumah-rumah mewah dilengkapi perabot serba wah serta dilengkapi dengan kamera pengintai, satpam dan anjing raksasa, padahal hasil curian dan penindasan bawahan.

Tetapi, sekiranya orang-orang 'sukses' seperti itu sudah kehilangan rasa malu, kita tidak boleh ‘mempermalukan’ mereka. Toh mereka adalah saudara-saudara kita. Mereka perlu ditolong melalui doa dan sapaan yang menggugah untuk sebuah perubahan dari dalam diri mereka sendiri. Hanya kasih yang dapat menghasilkan perubahan yang baik. Perlu ditekankan pula di sini bahwa tidak semua yang berpakaian bagus itu yang pamer diri, tidak semua orang yang makan di restoran itu dari hasil curian, tidak semua orang yang memiliki rumah mewah itu tukang korupsi.

Dapat ditambahkan, bahwa Gereja yang sukses bukan diukur berdasarkan ‘keberhasilannya’ membangun gedung gereja miliaran rupiah, berhasil juara 1 sedunia paduan suara, memiliki saldo uang segudang (walaupun semua ini tidak salah pada dirinya). Gereja yang sukses adalah gereja yang mewujudkan kehendak Bapa, Sang Pemilik gereja itu sendiri. Singkatnya apakah jawaban gereja dan warga jemaat atas pertanyaan Yesus, “apakah Engkau mengasihi Aku?” Sedihnya, hingga saat ini, kedagingan, keakuan, kelompoksisme, kehausan akan keberhasilan material dan penampilan fisik begitu kuat menjerat gereja-gereja. Kita membutuhkan pertobataan terus-menerus.

Sukses yang sesungguhnya bukan terutama berkaitan dengan pencapaian sebuah prestasi atau posisi; bukan pula diukur dari jumlah uang yang dikumpulkan. Ada dua unsur hakiki keberhasilan yang kristiani. Satu, menerima dan mensyukuri keberadaan diri sebagaimana Tuhan kehendaki. Dua, mewujudkan tugas panggilan sebagaimana Tuhan amanatkan: menjadi garam dan terang dunia atau menjadi berkat. Jadi, sukses adalah ‘menerima’ dan ‘memberi’ diri seturut rencana dan rancangan Tuhan. Kita dapat melihat bagaiamana Yesus ‘mengukur’ sukses kehadiranNya di dunia ini yang berkata: “Aku datang, bukan untuk melakukan kehendak-Ku, melainkan kehendak Dia yang mengutus Aku” (Yoh 6:38). Dalam hal ini John C. Maxwell benar ketika ia menekankan salah satu defenisi SUKSES: ‘menaburkan benih yang membangun sesama'.

Akhirnya, kata-kata Jean Fleming berikut amat tepat kita hidupi:
"Jika kita mengijinkan masyarakat mendefenisikan sukses untuk kita, kita menjadi domba yang digembalakan oleh seorang gembala yang defenisinya 180 derajat dari kehendak Allah. Orang Kristen mestinya tidak memiliki motivasi berdasarkan penampilan, status, harta milik atau pencapaian, melainkan atas kesetiaan akan apa yang Allah firmankan. Tolaklah pengertian umum sukses dan suatu saat Anda akan mendengar Tuhan berkata, “baik sekali perbuatanmu, hambaku yang setia”(Mat 25:21).

No comments:

Post a Comment

Kami sangat menghargai komentar Anda yang membangun.


ShoutMix chat widget