Sunday, September 26, 2010

CITRA DIRI

REFLEKSI SENIN KE-39
27 September 2010

Yang dimaksudkan dengan ‘citra diri’ di sini adalah ‘bagaimana seseorang melihat dirinya sendiri dalam hubungannya dengan orang lain’. Kita dapat membedakan tiga bentuk citra diri berdasarkan ‘penggeraknya’.

1. Menurut keinginan sendiri

Seseorang meginginkan dirinya seperti ini atau seperti itu dan sudah tampil seperti yang diinginkan walaupun belum atau bahkan tidak akan pernah mencapai seperti yang diinginkan itu. Ia pun tampil sebagai seseorang yang berbeda dengan dirinya yang sebenarnya. Ia hanya tampil ‘seolah-olah’: seolah-olah pintar, seolah-olah kaya, seolah-olah bintang film, seolah-olah penguasa. Sadar atau tidak, seseorang itu selalu mengenakan ‘topeng’. Menampilkan sesuatu yang berbeda dari yang asli. Itulah sebabnya mengapa remaja atau pemuda yang baru saja menonton film ‘action’ berjalan seperti jago karate. Baru menonton balab mobil, pulang mengendarai mobilnya merasa seperti Schumacher, padahal mobilnya hanyalah Suzuki Carry. Atau, seseorang yang ingin tampil kaya membeli dompet seharga Rp.1 juta yang didalamnya diselipkan beraneka kartu-kartu “seolah-olah” ATM atau kartu credit tapi isi yanag sebenarnya tidak pernah lebih dari Rp 300.000. Citra diri menurut keinginan ini pulalah yang membuat orang meniru model dan warna rambut orang lain. Tampillah rambut BUCARI –bule cat sendiri. Ada masih banyak contoh yang dapat kita saksikan (atau mungkin kita perankan sendiri) sehari-hari. Biasanya citra diri seperti ini amat melelahkan dan terkadang bisa membawa hingga ke frustrasi.

2. Menurut pendapat orang lain

Bayangkan seorang dosen mendengar orang lain menilainya sebagai seorang jenius. Dari penilaian objektif, dia sadar betul bahwa dia bukan seorang jenius. Tetapi karena ada orang yang mengatakannya seorang jenius, ia pun meampilkan diri seperti jenius: menyampaikan ide-ide yang sulit dicerna dan membuat orang bingung, mengajukan pertanyaan-pertanyaan sulit, memberi pendapat dan argumentasi untuk semua topik percakapan, mulai dari soal pilkada, politik luar negeri, hingga masalah ruang angkasa. Orang seperti ini biasanya sulit mengatakan ‘tidak’ terhadap permintaan orang lain walaupun ia tidak sanggup melakukannya. Ia pun sering memaksa diri supaya cocok dengan ‘citra diri’ seperti yang dicitrakan orang lain. Artinya, memakai citra diri seperti ini juga amat melelahkan dan dapat menjadi sumber ketegangan berkepanjangan.

3. Menurut keadaan sebenarnya dan seharusnya

Citra diri seperti ini lahir dari pemahaman objektif dan realistis terhadap diri sendiri serta berorientasi pada dampak positif setiap gerak hidup terhadap orang lain. Jika dalam ‘citra diri menurut yang diinginkan’ (nomor 1) seseorang yang ekonominya pas-pasan tapi tampil seperti konglomerat, sebaliknya dalam citra diri menurut keadaan yang sebenarnya seorang kaya raya justru tampil bersahaja. Dengan kebersahajaannya, seseorang itu menunjukkan bahwa dirinya tidak identik dengan yang dia miliki sekaligus meruntuhkan tembok pemisah kepada orang lain. Sebab, kesederhanaan dapat merupakan jembatan persaudaraan sejati. Dengan citra diri seperti ini pula seseorang tidak akan pernah meaksa diri. Ia bebas tanpa beban mengatakan ‘tidak’ terhadap sesuatu yang tidak mampu ia lakukan dan mengatakan ‘ya’ dengan sukacita jika memang mampu dan baik melakukan sesuatu tanpa memaksa diri. Ia tidak bergerak oleh celaan, pujian, amarah, paksanaan. Di sini, hati nurani lebih banyak bicara. Mereka yang hidup dengan citra diri menurut keadaan sebenarnya dan seharusnya adalah orang-orang merdeka dan mampu memerdekakan.



Monday, September 20, 2010

MENGUBAH DIRIKU

REFLEKSI SENIN KE-38
20 September 2010

Sufi Bayazid bercerita tentang dirinya seperti berikut ini:

Waktu masih muda, aku ini revolusioner dan selalu berdoa:
“Tuhan berilah aku kekuatan untuk mengubah dunia”

Ketika aku sudah setengah baya dan sadar bahwa setengah hidupku sudah lewat tanpa mengubah satu orang pun, aku mengubah doaku menjadi: “Tuhan berilah aku rahmat untuk mengubah semua orang yang berhubungan denganku: keluarga dan kawan-kawanku, dan aku akan merasa puas”.


Sekarang ketika aku sudah menjadi tua dan saat ajal sudah dekat, aku mulai melihat betapa bodohnya aku. Doaku satu-satunya sekarang adalah: “Tuhan berilah aku rahmat untuk mengubah diriku sendiri”.
Seandainya sejak semula aku berdoa demikian, maka aku tidak begitu menyia-nyiakan hidupku.

(Anthoni de Mello)

Dari pengalaman empiris kita dapat belajar bahwa Sufi Bayazid tidak sendirian. Ada begitu banyak orang saat ini yang berusaha memperbaiki keadaan penjara, padahal mereka sendiri juga perlu keluar dari aneka bentuk penjara. Tidak sedikit orang yang dengan suara lantang menyerukan penegakan keadilan, tetapi –sedihnya—justru pada saat yang sama menindas orang lain. Seruan ekstra kencang juga sering terdengar untuk pembaharuan dalam lingkungan agama, padahal yang paling mendesak dilakukan adalah pertobatan mereka secara pribadi, yang pada akhirnya dapat terjadi pertobatan institusional.

Berubahlah oleh pembaharuan budimu” (Roma 12:2)





ALPA

REFLEKSI SENIN KE-37
12 September 2010

Sunday, September 5, 2010

B A R U

REFLEKSI SENIN KE-36
06 September 2010

Drg Theresa memncabut gigi kedua anak saya, Christi dan William, masing-masing dua buah. Gigi ‘asli’ mereka belum copot, sementara yang baru –yang juga ‘asli’-- sudah mulai muncul. Anak-anak saya merasa kesakitan. Mereka kelihatan lebih jelek dari biasanya. Istri saya harus membayar mahal pula. Sakit, jelek dan membayar berpadu sedemikian rupa melengkapi sebuah ‘pengorbanan’.

Mengapa pencabutan ini dilakukan? Yang pasti bukan bertujuan untuk melukai anak. Bukan memberi hukuman dengan membuat mereka kelihatan sedikit lebih jelek. Bukan pula membantu drg Theresa secara finansial (uangnya jauh lebih banyak!). Alasan dan tujuannya jelas: agar gigi mereka tumbuh normal, sehat dan kelihatan bagus.

‘Cabut-mencabut’ ini menyatakan hal-hal yang secara alami harus berlangsung dalam hidup ini yang tidak bisa ditolak jika kita mau hidup ini semakin lebih baik. Selain berkaitan dengan fisik, dalam beberapa hal ‘cabut-mencabut’ ini juga menggambarkan aneka segi kehidupan lainnya. Ada kalanya kita harus ‘mengorbankan’ sesuatu untuk keadaan yang lebih baik. Bertahan menghindari sedikit rasa sakit, tenaga maupun biaya bisa mengakibatkan penderitaan yang lebih parah dan lebih lama. Itu sebabnya, misalnya, anak sekolah rela berlelah dan orangtua tabah melangkah memperjuangkan anak-anaknya. Itu pula yang terjadi ketika operasi harus terjadi mengatasi suatu penyakit.

Di samping itu, dalam batas-batas tertentu ini juga dapat mengingatkan kita pada pergantian sebuah fungsi, jabatan atau tempat tugas seseorang. Dapat kita bayangkan apa yang terjadi jika seseorang tidak mau meninggalkan tempat tugasnya padahal sudah ada yang menggantikannya. Perbedaan paling hakiki antara manusia dengan gigi adalah ‘kesadaran’. Jika gigi lama masih bertahan sementara yang baru sudah tumbuh, maka gigi lama harus dicabut. Manusia seharusnya tidak perlu ‘dicabut’ karena ia dapat melangkah –dengan kesadaran—untuk kebaikan dirinya dan kebaikan yang lebih luas.

Alm Eka Darmaputera benar ketika ia berkata, “Lebih baik kehilangan sesuatu daripada kehilangan segala sesuatu”.

ShoutMix chat widget