Monday, June 28, 2010

PENCERAHAN DAN KESEGARAN DARI LIBURAN

REFLEKSI SENIN KE-26
28 JUNI 2010

Menurut James W. More tiga pembunuh terbesar saat ini adalah: jam, kalender dan telepon. Salah satu antidotenya adalah liburan –yang menyegarkan dan mencerahkan, bukan jadi beban pikiran.

Tidak jarang orang mempersiapkan liburan berbulan-bulan, tetapi saat liburan ia hanya sibuk mengambil foto-foto untuk ditunjukkan kepada orang lain. Ia gagal menangkap misteri dan inspirasi dari tempat dan peristiwa yang dialami. Agar liburan sungguh-sungguh bermanfaat, beberapa hal perlu dipertimbangkan.

Bagaimanakah kita menetapkan tujuan? penetapan tujuan. Proses penetapan tempat liburan tidak selalu berjalan mulus. Kadang, liburan keluarga bisa diawali dengan perang mulut karena perbedaan selera masing-masing anggotanya. Selaraskan dulu inti tujuan berlibur, yaitu “apa yang diharapkan terjadi dalam hidup ini melalui liburan”.

Sudahkah kita melepas beban yang tidak perlu? Ada orang yang pada saat ia bekerja selalu membayangkan betapa menyenangkan liburan, tetapi saat liburan pikirannya justru digempur oleh beban pekerjaan. Khusus liburan ke luar negeri beban kian sarat oleh kalkulator saat belanja. Belum lagi perasaan sial dan kecewa berat jika yang dibeli justru produk negeri sendiri. Ini bisa dihindari dengan fokus pada ‘perayaan’ liburan itu sendiri tanpa dikendalikan oleh kalkulator, handphone, laptop, dan kamera.

Liburan merupakan peluang emas untuk mengamati diri sendiri dari kejauhan. Seseorang dapat melihat bagaimana hidup keseharian dijalani. Bagaimana aksi dan reaksi berlangsung. Bagaimana keputusan diambil. Bagaimana hubungan dibangun. Dengan begitu, seseorang dapat mengetahui mana yang perlu dikembangkan, mana yang harus ditanggalkan dan ditinggalkan. Pencerahan baru akan terjadi saat liburan.

Akhirnya, apakah liburan kita bersahabat dengan alam? Kita perlu mempertimbangkan carbon footprint (total karbon dioksida (CO2) dan gas-gas rumah kaca lainnya yang dihasilkan oleh suatu produk atau jasa) aktivitas dan gaya hidup kita. Pesawat yang kita tumpangi, barang-barang yang kita beli semuanya punya carbon footprint. Bumi sedang menderita demam. Liburan kita hendaknya tidak memperparah masalah.



Sumber: INDOCONNEX edisi Juni 2010
Publisher: Wanhope Vista Media, Singapore
www.indoconnex.com
Penulis: Victor Tinambunan

Sunday, June 20, 2010

MENGASAH KECERDASAN INTERAKSI

REFLEKSI SENIN KE-25
21 JUNI 2010

Pelangi

Perpaduan aneka warna yang menyajikan keindahan. Tugas kitalah merajut perbedaan di antara kita untuk saling membangun dan saling meneguhkan.

Pohon gugur daun

Mengingatkan kita pada dua hal. Pertama, terkadang kita mengalami kehilangan yang bisa saja menyakitkan. Tetapi, kita membutuhkannya untuk suatu kehidupan yang baru. Kedua, banyak pohon yang terbunuh setiap hari karena kerakusan manusia yang mengakibatkan aneka bencana. Kita bertanggungjawab memelihara alam ciptaan Tuhan.

Jalan

Hidup ini adalah perjalanan. Jalan tersedia meskipun tidak selalu lurus dan mulus. Dalam perjalanan hidup ini, kita tidak saja menikmati ‘tujuan’ tetapi juga perjalanan itu sendiri dengan berbagai tantangan dan keindahannya.

Pelangi, pohon gugur daun, dan jalan mencerminkan isi buku:
MENGASAH KECERDASAN INTERAKSI
oleh
Victor Tinambunan
Yang baru saja terbit
(Juni 2010)

Pemesanan 10 ex atau lebih, silahkan email ke Logisto Ritonga logian_stick@yahoo.com atau ke Ibu Warni warni.pangaribuan@gmail.com

Sunday, June 13, 2010

T I M

REFLELSI SENIN KE-24
14 June 2010

Towers Watson, konsultan sumber daya manusia, yang melakukan jajak pendapat kepada 20.000 pekerja di 22 negara dari Nopember 2009 hingga Januari 2010, menemukan bahwa 2/3 responden menempatkan ‘kepedulian terhadap kesejahteraan orang lain’ sebagai karakter yang paling diinginkan dari seorang pimpinan. Menyusul sesudahnya sifat dapat dipercaya, mendorong pengembangan bakat. Hasil survey yang sama juga menunjukkan bahwa di Singapura, misalnya, banyak penekanan pada kemampuan individual, yang membuat orang sangat kompetitif secara individual tetapi mengalami kesulitan dalam kerja tim dan bekerjasama dengan unit-unit kerja yang lain (Straits Times 24 April 2010).

Kerjasama dalam sebuah tim bukan hanya merupakan tuntutan masyarakat atau lingkungan kerja tetapi sesuatu yang amat hakiki dalam iman dan tugas panggilan orang Kristen. Sayang sekali, kehidupan dan kerjasama sebuah tim sering mengalami aneka benturan hingga perseteruan. Penyebabnya? Di antara sekian banyak penyebab macetnya kerjasama suatu tim terkait dengan masih tingginya tingkat kadar kekanak-kanakan anggota tim. Dan seberapa kental kadar kekanak-kanakan dalam diri orang seorang dewasa sangat tergantung pada kesediaan seseorang itu melihat sedikitnya dua pembentukan sejak masa kecil.

Pertama, mental juara. Agaknya keinginan menjadi juara terbentuk sedemikian rupa melalui pengaruh hampir semua bidang kehidupan seperti keluarga, sekolah, dan masyarakat luas. Akibatnya? Berikut sebuah contoh faktual. Ada seorang anak yang berhasil tenjadi juara di sekolahnya. Sayang sekali, kemampuannya berelasi dengan sesamanya amat rendah. Suatu ketika dia main game dengan teman-temannnya. Setelah beberapa kali kalah, dia marah dan berkata, “Aku tidak mau main lagi dengan kalian. Ini adalah permainan bodoh”. Inilah yang terjadi jika ‘mental juara’ begitu mendominasi. Ada keinginan untuk menjadi juara dalam segala hal. Jika tidak tercapai menjadi menarik diri sambil mengkambinghitamkan orang lain atau kegiatan itu sendiri.

Dalam peristiwa dan bentuknya yang berbeda, hal yang sama tidak jarang terjadi dalam kelompok orang-orang dewasa. Gagal menguasai, beralih ke marah, menarik diri dan mengkambinghitamkan.

Kedua, pemanjaan. Thubten Chodron mengatakan, “Menyayangi anak tidak berarti Anda membiarkan mereka melakukan apa saja yang mereka mau atau memberikan semua yang mereka inginkan. Perlakuan seperti ini merusak anak-anak. Kebiasaan seperti itu secara serta merta mengembangkan kebiasaan buruk membuat mereka mengalami kesulitan menjalin hubungan sehat dengan orang lain. Salah satu keahlian yang paling perlu dimiliki oleh orang tua adalah mengajar anak mereka menghadapi rasa frustrasi karena tidak mendapat apa yang merekeka inginkan. Jika keinginan-keinginan anak-anak tidak dipenuhi dan mereka tidak belajar bahagia ketika keinginannya tidak dikabulkan, mereka akan mengalami kesulitan membangun berhubungan dengan orang lain saat mereka dewasa. Tentu, orangtua juga perlu memberi contoh dengan sikap mereka sendiri pada saat keinginan mereka tidak terpenuhi.”

Mengapa orangtua memberikan semua keinginan anak? Sedikitnya ada tiga keungkinan. Satu, orangtua mampu memberikannya. Apalagi, hal ini dipadu dengan tujuan untuk ‘menjinakkan’ anak yang aktif dan mengganggu pekerjaan. Dua, sebagai kompensasi kebersamaan yang hilang. Tiga, menunjukkan nilai ‘lebih’ kepada anak-anak orang lain. Hal ini nampak khususnya orangtua yang sangat tanggap melihat apa yang dimiliki anak-anak orang lain atau bahkan mencari apa yang belum dimiliki oleh anak orang lain. Semua langkah ini merupakan proses ‘pemanjaan’ anak, yang dapat menjadi penghalang pembentukan kemampuan menjalin hubungan sehat dengan sesama.

Perasaan tidak kekurangan apa-apa dapat menumbuh-kembangkan sikap ketidakpedulian bahkan anti-sosial. Perasaan aman dengan apa dan siapa yang dimiliki bisa saja membawa seseorang menikmati dirinya dan miliknya sendiri.

Bagaimana mengembangkan kemampuan menjalin hubungan yang sehat dan bekerjasama dengan orang lain? Memutus mata rantai kekanak-kanakan dan memulai sesuatu yang baru! Bertambah usia dan bertambah tua tidak terhindarkan. Tetapi, bertumbuh dewasa (dalam berpikir, bersikap, berperilaku) sepenuhnya pilihan dan kemauan kita.

Sunday, June 6, 2010

MERAYAKAN KEBERSAMAAN

REFLEKSI SENIN KE-23
07 Juni 2010

Berikut ini adalah sebuah ‘kisah’ dari penulis anonim yang saya temukan dalam selipan warta jemaat sebuah gereja baru-baru ini:

Ketika saya masih kecil, ibu saya sering menyajikan makanan yang seharusnya sarapan menjadi makan malam. Saya ingat pada suatu malam ketika dia membuat makan malam setelah hari yang melelahkan. Pada malam itu, ibu saya menyediakan telur, sosis dan roti bakar gosong di hadapan ayah. Saya menunggu untuk melihat apa yang bakal terjadi. Namun, apa yang ayah saya lakukan adalah meraih roti bakar gosong itu, tersenyum pada ibu saya dan menanyakan bagaimana sekolah saya hari itu. Saya tidak ingat apa yang saya katakan malam itu, tapi ingat persis bahwa dia mengolesi roti gosong itu dengan mentega dan selai dan nampak bahwa ia menikmatinya.

Ketika saya hendak beranjak dari meja makan, ibu saya meminta maaf kepada ayah atas roti bakar yang gosong itu. Dan saya tidak akan pernah melupakan apa yang ayah katakan, "Sayang, aku suka roti bakar gosong."

Sebelum tidur malam itu, saya pergi mencium ayah dan saya bertanya apakah dia benar-benar menyukai roti gosong. Dia meraihku ke dalam pelukannya dan berkata, "Ibumu sangat lelah bekerja hari ini. Lagi pula, sepotong roti gosong tidak pernah menyakiti siapapun!"

Dari kisah ini, penulis menyimpulkan pesannya sebagai berikut:

Anda tahu, hidup ini penuh dengan hal-hal tidak sempurna dan orang-orang yang tidak sempurna juga. Apa yang telah saya pelajari selama bertahun-tahun adalah bahwa belajar saling menerima dan memilih untuk merayakan perbedaan masing-masing adalah salah satu hal yang paling penting untuk menciptakan hubungan yang bertumbuh sehat dan langgeng.

Dan itu harapan dan doa saya untuk Anda hari ini. Bahwa Anda akan belajar untuk mengambil yang baik, yang buruk, dan bagian-bagian jelek dari kehidupan Anda dan meletakkannya di kaki Tuhan. Karena pada akhirnya, hanya Dialah satu-satunya yang dapat memberikan suatu hubungan di mana roti gosong tidak mampu menjadi perusak suasana dan hubungan baik.

Kisah ini bertolak belakang dengan sikap Robert dalam film 70x07. Ketika anaknya yang masih kecil minta disuap (yang bisa saja tanda kerinduan dan kasihnya kepada ayahnya), Robert malah membanting meja makan dan meninggalkannya dengan marah. Istrinya, Naomi, sudah mempersiapkan makanan dengan baik sambil menjaga dua anaknya yang masih kecil. Sedangkan Robert asyik dengan dunianya di bar dan berselingkuh pula.

Dalam kisah pertama di atas: istri lelah bekerja, mempersiapkan roti gosong, suami tidak marah. Sedangkan kisah 70x07: istri capek bekerja, mempersiapkan makanan dengan baik, suami marah.

Dua kisah di atas tidak saja menggambarkan kehidupan keluarga. Ia juga dapat menggambarkan kehidupan suatu persekutuan jemaat. ‘Roti gosong’ dalam sebuah persekutuan bisa terjadi karena faktor ketidaksengajaan. Seseorang yang bertanggungjawab untuk melakukan sesuatu dalam sebuah persekutuan jemaat bisa saja tidak menjalankan tugasnya dengan sempurna. Ada kekurangan yang bisa dimengerti penyebabnya. Memang, ada juga orang yang sulit menerima kenyataan seperti itu, dan terus mengomentari, apalagi dengan marah-marah pula, kekurangan yang hanya sepele itu. Tidak jarang sebuah persekutuan menjadi rusak, hanya gara-gara sedikit kesalahan. Dengan kerelaan memahami keadaan sesama dan fokus ke yang baik yang dilakukan orang (karena telur dan sosis tidak gosong), maka ‘roti gosong’ tidak akan merusak kehidupan jemaat.

Yang lebih sulit dan rumit adalah ketika sebuah persekutuan jemat diterpa mirip kasus Robert: yang melakukan yang baik dan lelah menjadi sasaran amarah dan yang bersalah malah marah-marah pula. Amat menyedihkan jika hal seperti ini justru terjadi dalam sebuah jemaat. Marah-marah karena sudah merasa melakukan yang baik saja pun di gereja tidak dibenarkan. Apalagi, yang marah-marah justru hanya menyembunyikan ketidaksetiaanya pada tugas panggilannya. Marah-marah untuk menyembunyikan kesalahan.

Naomi meminta maaf kepada Robert dalam film 70x07. Beberapa penonton protes keras. “Masakan Robert, yang mengkhianati pernikahannya, justru Naomi yang meminta maaf?”, demikian dasar pertimbangan mereka. Dalam hal ini, perlu diperhatikan lebih seksama apa yang Naomi katakan. Naomi tidak mengatakan bahwa “sayalah yang bersalah dan Robert tidak salah”. Naomi tahu persis bahwa Robert salah. Naomi juga tidak meminta Robert untuk meminta maaf. Yang Naomi katakan adalah kira-kira begini, “maafkan aku kalau aku kurang memperhatikanmu….”. Artinya, Naomi terbuka pada kemungkinan adanya kelemahannya. Jadi, ia ‘mengurusi’ yang menjadi bagiannya.

Dalam sebuah persekutuan jemaat yang terancam retak ada kalanya mereka yang menjadi sumber utama masalah tidak mau meminta maaf, malah menutupi kekurangannya dengan marah-marah sambil melempar kesalahan atau mengkambinghitamkan orang lain dan bahkan menebar kebohongan. Tidak jarang orang, atas nama gengsi, ingin tampil bersih, dan jaga image (secara keliru) sama sekali tidak mau mengaku bersalah. Dalam merajut kembali keutuhan persekutuan, ‘yang korban’ dapat juga memohon ampun “kalau saja” ada dari diri mereka yang membuat keadaan memburuk. Kita tahu bahwa melakukan ini berat. Malahan, mungkin amat berat. Tetapi, dengan memilih langkah bijak ini, kita tidak terhalang menerima berkat, yaitu: damai sejahtera.

ShoutMix chat widget