Thursday, February 26, 2009

SEMINAR HAGGAI INSTITUTE

Hari ini, Kamis 25 Pebruari 2009, Seminar Kepemimpinan yang diselenggarakan Ikatan Haggai Institute Indonesia di Singapura dimulai dengan Ibadah Pembukaan yang dipimpin oleh Pdt Petrus. Seminar ini akan berlangsung hingga Sabtu, 28 Pebruari. Jumlah peserta yang hadir sebanyak 20 orang dari berbagai daerah di Indonesia (Jakarta, Medan, Riau, Batam) dan juga dari Singapura. Seminar serupa akan dilaksanakan di Singapura 28-30Mei 2009. Bapak, Ibu dan Saudara yang berhalangan mengikutinya kali ini, silahkan mengikuti seminar berikutnya. Kami akan dengan senang hati menyampaikan info seputar seminar dimaksud kepada Anda yang membutuhkan informasi lebih lanjut.

Pembicara kali ini adalah Christov Wiloto, Pdt Yusuf Gunawan, dan Pak Decky Lumentut

Peserta

James Tehubijuluw (Gereja Presbyterian)
Rita Kusmiaty
Eliakim Sitorus (HKBP)
Bpk. Wilyanto Deng
Bpk. Tjandra Lineng
Pak Audi Wuisang
Bp. Rudijanto Gunawan
Bp. Hantarto Tjandra
Pdt Rudi Sembiring (GBKP)
Ibu Diana Lie
Pak Indra Darmawan
Ibu Tima Warni Pangaribuan (HKBP)
Pak Bagio Tjandra
Pak Kelvin Wu
Pak Albertus Hendrawan Adiwahono
Pak Sigit Triyono
Pak Wissel P. Siregar (HKBP)
Bpk. Benhard Ambarita (Gereja Presbyterian)
Bapak Yulius Setiawan
Pak Godbless S.V. Lumentut

Susunan panitia:

Ketua : Pr Chandra Koewoso
Wakil Ketua : Pak Subakti
Resident Coordinator (RC) : Philips, Pak Petrus
Sekretaris : Minda
Bendahara : Pak Lee
Fund raising coordinator : Pak Subakti
Sie Acara : Chika, Pak Petrus
Sie Rekrutmen : Stevin
Sie Perlengkapan dan sie IT : Henry Palit
Sie Transportasi : Pak Subakti
Sie Doa : Pak Wisin
Sie Konsumsi : Ibu Novita, Chika
Sie Akomodasi (pembagian kamar) : Minda
Si Dokumentasi : Michael

Sunday, February 22, 2009

YANG ISTIMEWA DARI ORANG PERCAYA


REFLEKSI SENIN KE-9 2009


‘Hukum pemberian berbasalan setimpal’ tidak asing dalam kehidupan kita keseharian. Misalnya, kalau orang lain memberi hadiah ulang tahun kepada kita, kita merasa tidak enak kalau tidak memberi hadiah pada ulang tahunnya. Bagi sebagian orang mungkin hadiahnya pun diusahakan agar harganya kurang lebih sama dengan yang pernah diterima. Jika orang yang kita undang tidak menghadiri pesta kita, kita tidak merasa apa-apa jika kita tidak menghadiri pestanya di kemudian hari. Bahkan, hal yang sama bisa merembes ke dalam kehidupan bergereja. Jika seseorang hadir pada saat PA di rumah kita, kita akan datang ke rumahnya pada saat PA berikutnya diadakan di rumahnya. Kalau tidak, kita juga tidak datang mengikuti PA di rumahnya. Itulah ‘hukum pemberian berbalasan”. Itu pula yang sudah lama terjadi bahkan pada zaman Yesus.

Melihat kenyataan seperti itu, Yesus menantang pendengar-Nya dulu dan menyapa kita pada saat ini bahwa sikap demikian sebenarnya tidak ada istimewanya. Sebab, orang-orang berdosa pun melakukan hal yang sama. Kita dapat melihat lebih jelas dalam teguran Yesus sebagaimana tertulis dalam Lukas 6:

· Tidak ada istimewanya mengasihi orang yang mengasihi kita, karena orang berdosa pun berbuat demikian (ay 32)
· Tidak ada istimewanya berbuat baik kepada orang yang berbuat baik kepada kita, karena orang berdosa pun berbuat demikian (ay 33)
· Tidak ada istimewanya meminjamkan sesuatu kepada orang dengan berharap bahwa kita akan menerima sesuatu dari padanya, karena orang berdosa pun berbuat demikian (ay 34)

Sebagai pengikut Tuhan, kita seharusnya menunjukkan sesuatu yang lain, melampaui kebiasaan umat manusia. Dikatakan dalam ayat 35, “Tetapi kamu, kasihilah musuhmu......” Ini merupakan sesuatu yang sangat sulit dari dulu hingga hari ini. Buktinya? Orang yang mengasihi kita saja terkadang kita tidak sungguh-sungguh mengasihinya. Kita terkadang tergoda ‘memanfaatkan’ mereka, apalagi mengasihi musuh. Amat berat! Pada zaman Yesus, bagi sebagian orang untuk mengatakan mengasihi musuh saja sangat sulit, apalagi melakukannya. Pada waktu itu, orang-orang menghendaki agar musuh-musuh mereka mendapat celaka. Kalau musuh mendapat celaka mereka mungkin berkata, “tahankan biar tahu rasa kau!” “Itu belum setimpal dengan kesalahanmu”. “Kok tidak mati saja dia sekalian!” dan sebaginya.

Bagaimana dengan sekarang? Pengalaman kita menunjukkan, bahwa apa yang terjadi pada zaman Yesus masih merupakan penyakit yang sama hingga hari ini. Itu sebabnya perang terjadi di mana-mana, dari perang urat saraf hingga perang dengan pedang dan senapan. Yesus dengan tegas mengamanatkan, “kasihilah musuhmu...” Amat berat, tetapi tugas panggilan kita adalah untuk menjadi berkat dan menjadi sahabat bagi semua orang. Kemauan dan kemampuan kita mengasihi musuh akan melahirkan perdamaian di dunia ini dan itu akan menjadi kemuliaan bagi Tuhan, sekaligus untuk kedamaian hati dan kebahagiaan kita juga. Sebab, orang yang menyimpan kebencian tidak mungkin berbahagia.

Sedikitnya ada tiga hal penting berkaitan dengan mengasihi musuh. Pertama, kebahagiaan untuk diri kita sendiri karena hati kita tidak diracuni oleh permusuhan. Kedua, menjadi kesaksian bagi orang lain yang dapat menolong mereka untuk bertobat dan berbalik bersahabat dengan kita. Ketiga, Allah kita dimuliakan karena kita anak-anakNya hidup dalam perdamaian dan saling mengasihi. Lagipula, ketika kita bermurah hati kepada orang lain bahkan kepada musuh, sesungguhnya kita telah terlebih dahulu menerima kemurahan hati Allah (ayat 36). Artinya, kemurahan hati bukanlah dari diri kita sendiri tetapi kita terima dari Tuhan dan kita teruskan kepada orang lain.

Monday, February 16, 2009

RENUNGAN SENIN - MINGGU VIII 2009:16/02


JANGAN TAKUT

Kita dapat menemukan di dalam Alkitab sekitar 365 kali kata “jangan takut”. Hal ini seolah mengingatkan kita setiap kali bangun pagi selama setahun penuh (365 hari): “jangan takut!” Di samping itu, kita juga menemukan 138 kali kata “takut akan Tuhan” di dalam Alkitab. Tetapi, kata ‘takut’ dalam “jangan takut” dan “takut akan Tuhan” tidak sama. “Takut akan Tuhan” berkaitan dengan cara hidup seseorang yang selalu dekat dengan Tuhan dan hidup seturut kehendak-Nya.

Sikap dan keadaan orang ketika menghadapi apa yang ditakuti atau persoalan kehidupan biasanya adalah “tiga F”:

Fight: melawan atau menundukkan. Masalahnya, kalau yang ditakuti jauh lebih kuat, maka sekuat apa pun kita melawannya kita tetap menjadi korban. Kita kehabisan tenaga, bahkan kehabisan segala sesuatu.

Flee: melarikan diri. Banyak orang yang mengambil sikap seperti ini yang terkadang juga tidak menolong. Misalnya, karena takut bertengkar di rumah, ada yang merasa lebih baik melarikan diri. Tidak merasa senang dengan seseorang di gereja, pergi ke tempat lain. Padahal, tindakan seperti itu bisa saja memperburuk keadaan.

Frozen: Lumpuh dan tidak berdaya sebelum melakukan sesuatu. Langsung pasrah dan menyerah. Keadaan seperti ini makin mempermudah kita menjadi korban empuk.

Dalam menghadapi masalah kehidupan ini, biasanya kita juga masuk dalam salah satu keadaan di atas. Hal yang sama terjadi pada murid-murid yang sedang ditekan rasa takut (Baca Matius 14). Karena “hantu” begitu menguasai hati dan pikiran mereka, maka ketika Yesus menampakkan diri mereka menyangkaNya hantu. Dalam keadaan demikian, Yesus membuang ketakutan mereka dengan mengatakan, "Tenanglah! Aku ini, jangan takut!" Di sini Yesus memberikan yang paling mereka butuhkan, yakni: “ketenangan” ganti ‘ketakutan’. Yesus juga memberikannya kepada kita hingga hari ini.

Sebagai orang percaya, kita mesti menghadapi persoalan kehidupan dengan F yang keempat yakni Faith (iman). Artinya, kita harus mempercayakan diri pada pertolongan dan penyelenggaraan Tuhan. Kita sadar bahwa dari diri kita sendiri kita tidak mampu menjalani hidup ini. Kita juga tidak ahli menangani persoalan hidup kita. Yang menggembirakan kita ialah bahwa Tuhan lebih besar dari segala yang kita takuti di dunia ini. Dan, Ia selalu dekat dan bersedia mendengar dan menolong kita. Dalam Ratapan 3:57 dikatakan, “Engkau dekat tatkala aku memanggil-Mu, Engkau berfirman: Jangan takut!" Kiranya, pengakuan seperti ini menguatkan kita dalam menjalani kehidupan ini.
.
Jika Tuhan bersama kita, tidak ada alasan kita untuk takut. Mata-Nya tertuju pada kita, tangan-Nya menjangkau kita, telinga-Nya terbuka terhadap doa-doa kita, anugerah-Nya cukup bagi kita dan janji-Nya tidak pernah berubah

Sunday, February 8, 2009

RENUNGAN SENIN - MINGGU VII 2009: 09/02

MEMECAH KERAGUAN AKAN TUHAN


‘Keraguan’ amat mengganggu dalam kehidupan. Keraguan membuat kita melangkah dengan setengah hati atau dengan tujuan yang tak jelas. Keraguan membuat kita mempertanyakan apa yang sudah kita lakukan. Bahkan, keraguan dapat membuat kita putus asa. Saat ini, saya ingin mengajak kita secara khusus memberi perhatian pada pengalaman Yohanes Pembaptis dan kaitannya dengan kehidupan keseharian kita.
.
Dari dalam penjara, Yohanes menyuruh murid-muridnya bertanya kepada Yesus: "Engkaukah yang akan datang itu atau haruskah kami menantikan orang lain?" Ada keraguan dalam diri Yohanes. Tetapi ia tidak mau tinggal dalam keraguan. Ia menginginkan kepastian dari Yesus. Check and recheck ada benarnya!
Ada apa dibalik munculnya ‘keraguan’ kita kepada Tuhan? Berdasarkan pengalaman Yohanes Pembaptis –dan mungkin saja terjadi bagi kita—sedikitnya ada tiga penyebab munculnya keraguan.
.
Pertama, keraguan muncul dari harapan yang tidak terpenuhi. Yohanes mengharapkan Yesus melakukan beberapa hal tetapi Yesus tidak melakukannya. Misalnya, Yohanes wajar saja mengharapkan Yesus menghukum mereka-mereka yang melakukan kejahatan. Yohanes sudah memberitakan sebelumnya apa yang akan Yesus lakukan: “Alat penampi sudah ditangan-Nya. Ia akan membersihkan tempat pengirikan-Nya dan mengumpulkan gandum-Nya ke dalam lumbung, tetapi debu jerami itu akan dibakar-Nya dalam api yang tidak terpadamkan." (Mat 3:12). Padahal jelas-jelas Yohanes mendapat perlakuan tidak adil dari Herodes yang memenjarakannya (bahkan akhirnya kepalanya dipenggal atas permintaan Herodias). Herodes tetap berkuasa dan bertindak leluasa. Keraguan Yohanes pun muncul. Apakah ada harapan kita yang tidak terpenuhi yang membuat kita ragu akan kuasa Tuhan Yesus? Mohon luangkan waktu sejenak memikirkan hal ini dengan jernih......
.
Mungkin itu berkaitan dengan keadaan masyarakat, keadaan gereja, keadaan keluarga dan sebagainya. Kita mengharapkan Tuhan melakukan ini, tetapi yang terjadi adalah itu. Semuanya membuat kita ragu, apakah Tuhan benar-benar di sini, apakah Dia benar-benar berkuasa? Mohon teruskan perenungan Anda.
.
Kedua, keraguan muncul dari situasi-situasi sulit. Ketika kita berada dalam situasi sulit, emosi atau perasaan menguasai pikiran kita. Apa yang kita percayai diredupkan oleh perasaan kita. Yohanes, yang adalah hamba Tuhan, tidak bersalah apa-apa tetapi ia meringkuk di penjara. Itu adalah situasi sulit yang bisa menimbulkan keraguan. Ketika kita menghadapi keadaan sulit dan emosi kita tidak stabil, kita perlu membiasakan diri untuk tidak menghakimi diri kita, orang lain, bahkan Tuhan sendiri. Keadaan kurang tidur, stress, keadaan kurang sehat badan, bahkan keadaan menjelang atau masa haid (bagi perempuan) dapat mempengaruhi keadaan emosi kita yang sekaligus dapat menimbulkan keraguan terhadap apa yang kita sudah percayai dalam hubungan kita dengan Tuhan.
.
Ketiga, keraguan muncul dari kesombongan manusia. Yang satu ini tidak ada hubungannya dengan Yohanes Pembaptis. Tetapi kesombongan manusia selalu mengganggu hubungan manusia dengan Tuhan. Hal ini nampak dalam bentuk ‘rasa kasihan terhadap diri sendiri’ (self-pity) dengan mengatakan, “Bagaimana mungkin Tuhan tidak peduli pada keadaan saya yang menderita seperti ini.” Ia bisa munacul melalui ‘pengagungan diri sendiri’ (self-glory): “Apa yang akan terjadi pada nama baik saya, apa kata orang nanti tentang saya dengan kenyataan ini?” Keraguan yang muncul dari kesombongan biasanya nampak dari perasaan dan kata-kata seperti: “Saya tidak mendapatkan apa yang saya inginkan”. “Saya mendapat apa yang tidak pantas saya terima”. “Bagaimana mungkin saya mengalami penderitaan ini padahal saya sebenarnya lebih baik dari kebanyakan orang?” Yesus menghendaki Yohanes Pembaptis dan kita untuk tidak ragu akan kedaulatanNya, meskipun semuanya tidak berjalan seperti yang kita harapkan.
.
Ketika keraguan muncul, marilah kita bertanya kepada Tuhan, tidak mempertanyakan Tuhan dan terlarut dalam keadaan emosi kita, tidak dikuasai oleh situasi sulit dan kesombongan kita. Hidup kita pun akan tetap damai dan penuh sukacita, sebab Tuhan berkuasa.

Sunday, February 1, 2009

RENUNGAN SENIN - MINGGU VI 2009: 02/02

USIA 40-AN: USIA KRISIS?



Banyak orang yang menyebut usia 40-an sebagai “usia krisis”. Beberapa alasan di balik pemahaman ini adalah sebagai berikut.

  • Muncul tanda-tanda penuan seperti tumbuhnya uban, keriput di wajah, bercak-becak hitam dan berbagai ‘noda’ yang tidak dikehendaki. Bagi sebagian orang ‘tumbuhnya uban’ dianggap sebagai ‘kiamat kecil’. (Mohon dicatat: ketika uban Anda mulai muncul, pakailah kesempatan itu bersyukur karena pemeliharaan Tuhan sekaligus bertanya, “apakah saya makin berhikmat?
  • Hasil medical check up menunjukkan adanya kelebihan kolestrol, asam urat, gula darah. Makanya ada pula yang tidak mau melakukan medical check up karena takut mengetahui penyakitnya.
  • Pernikahan diuji. Bagi sebagian pasangan, sikap kritis mulai mendominasi. Celakanya, ada pula yang sudah menikah lebih dari 15 tahun masih bertanya-tanya dalam hati, “jangan-jangan ini bukan jodoh saya. Padahal, anak-anaknya sudah remaja!
  • Seiring dengan meluasnya lingkaran keluarga, makin terbuka pula kemungkinan konflik. Beruntunglah kalau orangtua atau mertua tidak terlalu campur kepada keluarga anak-anaknya. Ketidakcocokan bisa terjadi kepada keluarga pihak istri atau suami.
  • Mengubah pekerjaan sudah jauh lebih sulit, meskipun kebutuhan keluarga melebihi penghasilan. Tanggungan meningkat: anak-anak, orangtua yang sudah lanjut usia, anggota keluarga dari pihaka suami dan istri.

Apakah masalah-masalah itu membenarkan label ‘usia krisis”? Sebenarnya, bagi orang Kristen tidak ada “usia krisis”. Setiap tahapan perjalanan hidup ada di tangan Tuhan.

Benar, kalau tahun bertambah, usia kita pasti bertambah juga. Kalau usia kita bertambah sesudah usia dewasa, akan banyak bula yang berkurang dari kita di samping hal-hal yang bertambah.

YANG BERKURANG SAAT USIA BERTAMBAH

Ingatan berkurang. Mengingat nama orang makin susah. Baru bertemu, sudah tidak ingat namanya. Lupa di mana kunci diletakkan. Padahal, baru dia pegang. Tapi (anehnya) kesalahan orang 37 tahun lalu tetap diingat.

Kesehatan berkurang. Waktu muda, segala macam makanan boleh dimakan; sudah tua perut sudah malas mencerna. Kalau sudah tua, mau tidur semua kaki pegal, waktu bangun pagi punggung yang pegal. Singkatnya, banyak yang berkurang. Penglihatan berkurang, pendengaran berkurang dan sebagainya. Sebagian yang kurang ini bisa digantikan dengan yang palsu: warna rambut palsu, mata palsu (kaca mata), gigi palsu, alis mata palsu, bahkan ada yang memakai hidung palsu dengan operasi plastik.

Tetapi satu hal yang tidak akan berkurang (dan itu yang paling penting) adalah: kesetiaan dan pemeliharaan Tuhan. Artinya, dalam hal-hal tertentu kita berubah tetapi Allah tidak berubah: kasih dan pemeliharaanNya tetap. Itu cukup bagi kita.

Dalam Yes. 46:4 dengan sangat jelas dikatakan bagaimana Allah terus campur tangan, yaitu:

Mengendong : Allah tetap memelihara dan melindungi anak-anakNya hingga tua.
Menanggung: Bukan tabungan kita, bukan yang kita bangun yang menjadi sandaran kita. Kita sepenuhnya tetap tergantung pada kemurahan dan pemberian Allah.
Memikul dan Menyelamatkan: Allah menebus kita dengan mengampuni dosa-dosa kita. Keselamatan Tuhan sediakan dalam kehidupan di dunia ini sampai pada kehidupan yang kekal.

Di segi lain, kalau usia bertambah, ada juga yang ikut bertambah. Mudah-mudahan yang bertambah bukan yang tidak baik, tetapi biarlah yang baik yang bertambah.

YANG BERTAMBAH SAAT USIA MAKIN BERTAMBAH

(1) Bertambah keluhan: bisa karena perilaku anak-anak, suami, mertua; keadaan masyarakat, gereja dan lain-lain. Keriput dan bercak hitam di wajah, dan uban bertambah pula. Mohon diingat, mengeluhkan semua ini akan mempercepat pertambahan keriput wajah dan uban.

(2) Bertambah gampang tersinggung dan marah. Mohon diingat bahwa ketika marah wajah kita jelek lho! Perempuan yang sangat cantik sekali pun, jika marah tidak enak dipandang mata. Makanya jarang orang yang mau berkaca kalau ia lagi marah. Kalau mau, Anda bisa coba bawa cermin kecil ke mana-mana dan berkaca pada saat Anda marah. Mudah-mudahan dengan melihat wajah kita yang ‘semrawut’ itu kita tidak akan marah-marah lagi di lain waktu. Itulah antara lain yang terjadi jika usia bertambah namun iman tindak bertumbuh.

Idealnya, pertambahan usia seirama dengan pertumbuhan iman hingga mencapai kedewasaan iman. Kita juga menyaaksikan bahwa pertambahan usia juga sering diikuti dengan bertambahnya hikmat –sesuatu yang sangat penting dan ditekankan di dalam Alkitab. Apakah kita semakin berhikmat seiring dengan pertambahan usia? Apakah kita bertumbuh ke arah kedewasaan iman seiring dengan pertambahana usia? Semoga.



ShoutMix chat widget