Sunday, April 18, 2010

MENATA KEMBALI PERSEKUTUAN YANG 'FALS'

REFLEKSI SENIN KE-16
19 April 2010


“Jangan hanya mengkritik, tetapi beri solusi!” Kalimat yang biasa kita dengar, bukan? Masalahnya adalah, “Apakah kita dapat memberi solusi terhadap seluruh masalah?” Tidak mungkin! Seringkali kita bisa merasakan adanya sesuatu yang tidak beres dalam hidup ini, tetapi kita tidak tahu letak masalahnya dan tidak ada solusi langsung yang dapat kita tawarkan. Yang dibutuhkan dalam hal ini adalah orang yang mengetahui sumber masalah dan mau memberitahukannya demi penyelesaian yang baik.

Bayangkan sebuah koor sedang dikumandangkan. Semua kita dapat merasakan jika koor itu fals, tetapi tidak semua kita tahu di mana masalahnya. Tidak tahu di grup suara mana (tenor, alto, bariton, bas) atau, lebih spesifiknya lagi, suara siapa yang tidak pas dan membuat fals. Bahkan, anggota paduan suara itu sendiri tidak semua tahu suara siapa yang fals. Yang jelas, koor itu tidak pas alias fals. Mengandaikan masalahnya bukan pada lagu itu sendiri, sedikitnya ada dua cara untuk bisa memperbaikinya. Pertama, orang yang suaranya fals itu sendiri tahu bahwa suaranya yang membuat fals. Ia bisa langsung belajar untuk memperbaiki. Jika ini terjadi, maka proses perbaikan pun akan lebih cepat. Sebab, tidak membutuhkan ‘campur tangan’ pelatih dan anggota paduan suara lainnya. Kedua, pelatih paduan suara sendiri mengetahui mana yang perlu diperbaiki. Dengan caranya sendiri, sang pelatih dapat memberitahukan dan memperbaikinya.

Akan tetapi, koor fals seperti itu tidak akan pernah dapat menjadi baik jika (1) Yang fals tidak tahu bahwa suaranya atau suara kelompoknya yang fals dan tidak mau pula diberitahu bahwa suaranya membuat fals. Yang lebih repot adalah jika yang bersuara fals ngotot bahwa mereka benar dan sumber masalah ada pada suara orang lain. (2) Masalahnya justru adalah si Pelatih sendiri. Pelatih tidak tahu suara mana yang belum benar. Atau, pelatih tahu mana yang fals, tetapi justru mereka yang sudah benar yang terus dilatih, sedangkan yang membutuhkan bantuan diabaikan. Yang lebih parah si pelatih mengajarkan yang salah atau suara pelatih sendiri yang fals. Repot!

Dengan menggunakan paduan suara ini sebagai contoh, maka kita tidak bisa mengatakan, “Anda jangan hanya mengkritik, tetapi berilah solusi!” Kita tidak selamanya tahu suara siapa yang fals dalam suatu paduan suara. Yang dapat kita katakan bahwa sesuai pendengaran kita paduan suara itu fals. Dan kita dapat memastikan bahwa masalah bukan di telinga kita.

Dalam hidup sebuah persekutuan, kita bisa merasakan adanya sesuatu yang tidak beres. Kurang harmoni. Kurang kehangatan. Hilang keceriaan. Singkatnya, sebuah persekutuan itu ‘fals’. Pengalaman empiris menunjukkan bahwa dalam kebersamaan hidup di dunia ini kita selalu membutuhkan perbaikan. Kita tinggal bersama dengan orang-orang sulit. Kita berhadapan dengan orang-orang yang memaksakan keinginan, dan sebagainya.

Stanley Hauerwas dan Jean Vanier pernah berkata, “persekutuan terbentuk dengan adanya kehidupan saling memperhatikan dan adanya kelemah-lembutan satu sama lain dalam kehidupan sehari-hari. Di situ terdapat gerak-gerik yang bersahabat, pelayanan dan pengorbanan. Di situ terungkap kata-kata “Saya mengasihi Anda dan saya bahagia bersama Anda”. Yang terjadi di sini adalah membiarkan orang lain di depan Anda, tidak berusaha membuktikan bahwa Anda yang paling benar dalam sebuah diskusi. Persekutuan yang indah adalah di mana seorang mengangkat beban orang lain”.

Jika persdekutuan kita terasa fals, sedikitnya tiga hal yang secara mendasar perlu kita perhatikan. Pertama, memeriksa diri sendiri. Apakah saya memberi andil dalam keadaan ini? Mungkin bukan hanya kita sendiri, tetapi yang paling penting kita dengan jujur dan rendah hati melihat dengan jernih keberadaan kita. Jika memang ternyata kita menemukan diri masuk dalam kategori ‘sumber masalah’, kita dapat memperbaiki diri. Jika orang lain yang menemukan bahwa tindakan kita atau kata-kata kita menjadi sumber masalah, kita mesti menerimanya secara dewasa tanpa disesah rasa bersalah. Kita tidak perlu membela diri. Kita juga tidak perlu menghukum diri sendiri hingga tidak bisa tidur. Kita bisa belajar dari pengalaman itu untuk lebih baik di masa depan. Singkatnya, kita tidak perlu larut berkata dengan hati terluka, “kok saya begitu ya, aduh....” tetapi dengan hati terbuka berkata, “saya akan begini (yang lebih baik) ke depan ini.”

Kedua, jika kita bukan sumber masalah dan tidak mengetahui tindakan siapa yang mengakibatkan suatu permasalahan, kita dapat mengungkapkan apa yang kita rasakan. Kita katakan saja ada yang tidak beres, seperti yang disebut tadi: kurang adanya harmoni, kurang kehangatan, hilang keceriaan, persekutuan kita dalam keadaan ‘fals’. Tetapi, jika kita mengetahui sumber masalahnya, kita dapat menyampaikannya dan memberi masukan untuk perbaikannya. Yang paling penting di sini, agar kita tetap dalam semangat kasih dan ‘orisentasi solusi’. Di sini, kita tidak menyerang orang tetapi memperbaiki kesalahan. Tujuan kita bukan untuk larut di masa lalu, tetapi bergerak ke depan dengan lebih baik. Misalnya, kita menghindari kata-kata, “Gara-gara kau! Dasar tak tahu diri, goblok!”. Itu tidak memberi solusi tetapi malah dapat memperparah masalah. Kita bisa berkata, “menurut saya Anda harus menghentikan kata-kata ini atau perbuatan ini demi kebaikan kita bersama”.

Ketiga, membiarkan pemimpin mengambil tindakan: memberi penilaian dan langkah yang perlu ditempuh. Pemimpin sudah dipercayakan untuk melakukan yang terbaik dalam sebuah persekutuan. Memang, menjadi masalah besar jika justru ‘suara pemimpin sendiri yang fals’, atau si pemimpin mengajarkan yang salah. Ada yang mengatakan bahwa ikan, yang pertama busuk adalah kepalanya. Kemudian, menjalar ke badannya. Hal yang sama sering terjadi dalam sebuah persekutuan. Dalam hal ini para pemimpin mesti memelihara kehidupan spiritualitas yang nampak dalam karakter dan integritasnya. Jika pemimpin ‘fals’, apakah anggota bisa menegurnya? Suatu tugas panggilan! Suatu keharusan!

Satu hal yang sangat penting diperhatikan adalah: proses. Kecenderungan dunia ini adalah menekankan ‘hasil’ yang kerap dibungkus dengan berbagai penyelewengan hingga kekerasan. Yang kita kagumi adalah kemegahan candi Borobudur. Jarang kita bertanya, adakah orang-orang yang dikorbankan untuk kemegahan seperti itu? Untuk bisa tampil hebat dalam koor, dalam kemajuan organisasi, dalam pembangunan suatu proyek, ada saja orang yang ditindas, dihina, disepelekan, diejek, direndahkan, dibunuh. Itulah tujuan yang mengabaikan proses. Jadi, proses itu sangat penting. Dalam pencapaian apa pun, kita harus menghargai manusia sebagai manusia yang berharkat sejak perencanaan hingga penyelesaian suatu program.

No comments:

Post a Comment

Kami sangat menghargai komentar Anda yang membangun.


ShoutMix chat widget