.
Satu hal yang perlu kita pikirkan adalah bagaimana sikap kita pada saat menunggu. Bayangkan petugas bandara udara mengumumkan keberangkatan pesawat akan ditunda 6 jam. Reaksi orang dapat saja amat beragam, tergantung pada suasana hati masing-masing. Mungkin ada yang mengumpat, ada yang membantingkan koper, ada yang protes dan sebagainya (walaupun reaksi seperti itu tidak dapat mengubah jam keberangkatan). Tetapi, bisa saja ada yang tinggal tenang dan menggunakan waktu 6 jam untuk hal-hal yang bermakna seperti membaca, berdoa, menelpon dan apa saja yang bermanfaat.
Ada yang yang istimewa dalam hal 'menanti' sebagaimana diserukan dalam Zakharia 9:9-10. Penantian di sini berkaitan dengan 'siapa' dan 'bagaimana'. Yang dinantikaan adalah Mesias, sang Raja. 'Bagaimana' sikap penanatian? Dikatakan supaya 'bersorak-sorak dengan nyaring', yang artinya dengan penuh sukacita.
Ketika nubuatan ini diperdengarkan, orang-orang Israel sedang menanti-nantikan seorang raja. Mereka sudah memiliki pengalaman beberapa raja sebelumnya dan mereka juga mengalami penaklukan penguasa-penguasa lain. Mereka merindukan keadilan dan kedamaian. Di tengah situasi seperti itulah seruan untuk bersukacita menyambut seorang Raja diperdengarkan. Raja yang datang itu amat berbeda dengan raja-raja atau penguasa dunia. Selengkapnya Zak 9:9-10 berbunyi:
Bersorak-soraklah dengan nyaring, hai puteri Sion, bersorak-sorailah, hai puteri Yerusalem! Lihat, rajamu datang kepadamu; ia adil dan jaya. Ia lemah lembut dan mengendarai seekor keledai, seekor keledai beban yang muda. Ia akan melenyapkan kereta-kereta dari Efraim dan kuda-kuda dari Yerusalem; busur perang akan dilenyapkan, dan ia akan memberitakan damai kepada bangsa-bangsa. Wilayah kekuasaannya akan terbentang dari laut sampai ke laut dan dari sungai Efrat sampai ke ujung-ujung bumi.
Nubuatan itu dipenuhi dalam diri Yesus. Yesus megendarai keledai memasuki Yerusalem di mana orang banyak menyambut-Nya dan berseru, "Hosana! Diberkatilah Dia yang datang dalam nama Tuhan, Raja Israel!" (Yohanes 12:13).
Di sini dapat disebut sedikitnya tiga hal untuk kita renungkan.
1. Raja itu yang datang melawat umat-Nya. “Lihat, rajamu datang kepadamu” (ayat 9).
Ia sendiri yang mengambil prakarsa untuk datang karena kasih-Nya. Allah tahu keadaan umat-Nya. Ia peduli pada umatNya. Kenyataan inilah yang boleh meneguhkan kita untuk tetap beriman teguh kepadaNya.
Perlu kita resapkan dalam hati bahwa Tuhan mengetahui setiap detil kehidupan kita, khususnya keadaan kita yang tidak dapat lepas dari kuasa maut karena dosa-dosa kita. Ia tahu yang terbaik dalam hidup kita. Dan, lebih dari itu, Ia menghendaki agar kita selamat dan hidup dalam pemeliharaan-Nya. Itu sebabnya tidak ada kata ‘putus asa’ dalam kamus orang yang percaya kepada Tuhan. Tuhan memberi kesempatan kepada kita bersukacita meskipun gelombang terkadang menghadang.
2. Karekter Raja yang akan datang itu adalah adil, jaya (menyelamatkan), dan lemah lembut. Sempurna! Semuanya ini merupakan kebutuhan umat manusia dari dulu hingga hari ini yang hanya dapat diberikan oleh Tuhan dengan sempurna. Ia adalah adil, memberikan yang terbaik untuk umat manusia. Kualitas seperti itulah yang semestinya dimiliki oleh seorang raja, bukan memberatkan atau menuntut di luar kemampuan orang lain. Raja itu ‘jaya’ atau ‘menyelamatkan’, bukan mencelakakan. Kita tahu bahwa Yesus memberi diri-Nya menjadi korban untuk menyelamatkan umat manusia. Berbeda dengan penguasa dunia yang dengan mudah mengorbankan orang lain untuk ‘menyelamatkan’ dirinya. Raja itu juga lemah lembut, sesuatu yang bertolak belakang dengan keangkuhan manusia. Raja atau penguasa dunia dan para pengagumnya menghendaki ‘wibawa’ yang identik dengan ‘sedikit seram’ dan ditakuti. Berbeda dengan sang Raja itu yang lemah-lembut. dan kita tahu bahwa kelemahlembutan berulangkali ditekankan di dalam Alkitab. Itu berarti karakter Sang raja itu hendaklah menjadi karakter para pengikut-Nya.
3. Tugas Sang Raja yang akan datang itu adalah melenyapkan perangkat-perangkat perang. Dan yang terpenting, Ia memberitakan damai kepada bangsa-bangsa (ayat 10). Kita melihat bahwa pengajaran dan pelayanan Yesus benar-benar menekankan damai. Puncaknya, Ia mati di kayu salib untuk mendamaikan kita orang-orang berdosa dengan Allah. Damai itu juga yang Ia kehendaki diwujudkan oleh para pengikut-Nya dalam kehidupan di dunia ini. Ia berfirman, “Berbahagialah orang yang membawa damai, karena mereka akan disebut anak-anak Allah” (Matius 5:9).
Dalam hal ini tugas kita adalah membawa damai. Perlu kita perhatikan bahwa kita bukan ‘membuat’ atau ‘menciptakan’ damai. Kita diutus ‘membawa’ damai. Artinya, kita harus terlebih dahulu memiliki damai itu sebelum membawa damai kepada orang lain. Hal ini juga menegaskan bahwa tugas pemberitaan Injil bukan dengan pedang atau senjata dan sikap arogansi, melainkan dengan kerendahan hati dan semangat damai.