Seringkali orang kehilangan akal sehat ketika keinginan begitu membara di dada. Baru kemudian, sesudah nasi terlanjur menjadi bubur, muncullah perasaan tidak aman. Takut reputasi terpuruk jika perbuatan buruk tersingkap. Kita bisa belajar dari kasus Daud. Ia bekerja sebagai gembala sebelum menjadi raja. Melalui 2 Samuel 11 kita bisa tahu bahwa Daud sudah berada pada puncak ‘karir’. Sekarang hidupnya sukses. Ia juga terkenal. Ia tidak maju lagi berperang. Ia cukup memerintahkan para jenderalnya dan pasukannya maju berperang. Ia pun banyak waktu luang. Dalam ayat 1-2 dikatakan bahwa ia berjalan berkeliling istana dan saat itulah ia melihat Batsyeba dan akhirnya membawa dia jatuh ke dalam dosa. Ia jatuh ke dalam dosa sesudah ‘sukses’. (Hati-hatilah dengan kesuksesan dan kekuasaan duniawi! Dan tidak ada salahnya juga hati-hati terhadap orang yang sukses dan punya kuasa).
Ketika dosanya mulai tersingkap (karena Batsyeba mengandung), Daud mulai merasa tidak aman. Dosanya akan merusak reputasinya sebagai orang terhormat. Ia pun berusaha memoles diri dengan menutupinya melalui strategi yang terbilang amat ‘rapi’ walaupun amat rapuh.
Strategi 1
Uria disuruh pulang dari medan perang (ayat 6-11). Mengapa? Daud mau menciptakan kesan kepada orang bahwa kehamilan Batsyeba adalah hasil hubungannya dengan suaminya, Uria. Tetapi, Uria tidak pulang ke rumah, ia tinggal di istana. Mungkin ia merasa tugasnya lebih penting daripada urusan keluarga. Strategi pertama gagal.
Stategi 2
Daud membuat Uria mabuk dengan harapan, ia akan pulang menemui istrinya. Uria tidak pergi juga kepada istrinya (ayat 12-13). Strategi kedua gagal juga.
Strategi 3
Daud memasuki strategi kekejaman. Ia menyuruh Uria kembali ke medan perang dan berpesan agar ia ditempatkan pada barisan terdepan. Uria pun terbunuh. Daud merasa senang, tetapi Allah tidak senang. Sebab, perbuatan Daud jahat di mata Tuhan (ayat 27). Untuk sementara Daud merasa ‘aman’. Rasa aman yang semu. Ia dapat memoles dirinya seolah tidak bersalah apa-apa.
Rasa aman semu ini tidak bertahan lama. Tuhan mengutus nabi Natan menegur Daud. Tugas nabi Natan ini bukanlah pekerjaan mudah. Sebab, raja punya kuasa dan dapat dengan mudah membunuh Natan. Natan menyampaikan cerita tentang perlakuan tidak adil seorang kaya terhadap si miskin (2 Sam 12: 2-4). Mendengar itu Daud sangat marah dan berkata, “Demi Tuhan yang hidup: orang yang melakukan itu harus dihukum mati” (ayat 5). Kemudian, Natan berkata kepada Daud, “Engkaulah orang itu!”
Kita bisa bayangkan bagaimana Daud mendengar perkataan Natan itu. Mungkin rasanya seperti disambar petir. Dugaan Daud, apa yang dikatakan Natan adalah fakta yang terjadi di lingkungan kerajaannya, sehingga ia mengatakan bahwa pelakunya harus dibunuh. Hukuman kepada orang lain boleh berjalan, kesalahan sendiri boleh ditutupi! Ternyata, pelakunya adalah Daud sendiri. Tetapi akhirnya Daud mengaku, “Aku sudah berdosa kepada Tuhan.” (12:13). Ini adalah pengakuan yang bisa saja berat tetapi ia adalah bagaikan obat. Rasa aman yang sempurna hanya dapat kita peroleh dari kebaikan dan pengampunan Tuhan.
Mungkin ada pertanyaan yang mengemuka, “Bukankah Batsyeba juga bersalah? Mengapa ia tidak menjaga diri ketika mandi supaya tidak dilihat orang lain? Mengapa ia mau memenuhi keinginan Daud? Hal-hal senada sering muncul selama ini secara khusus untuk mengalihkan persoalan atau sedikitnya mengurangi rasa bersalah para pemerkosa. Memang perempuan juga perlu menjaga diri supapa tidak menimbulkan pencobaan kepada laki-laki.Tetapi, dalam kasus Daud, inti masalahnya adalah penyalahgunaan kekuasaan. Daud harus bertanggungjawab atas dosanya. Dan ternyata, Daud sendiri tidak melempar kesalahan. Ia sadar atas dosanya.
Ketika kita jatuh ke dalam dosa, yang bentuknya bisa saja beragam mulai dari yang amat halus seperti kecemburuan dan iri hati, hingga yang amat kentara seperti pembalasan dendam dan sebagainya, kita mesti mengatasinya dengan sikap kristiani. Ketika kita terjatuh memperlakukan orang secara tidak adil dalam pikiran, kata dan perbuatan, kita tidak akan merasa aman jika kita terus berusaha dengan strategi-strategi licik untuk menutupi kelemahan kita bahkan hingga mengorbankan orang lain. Ketika kita jatuh, Tuhan terbuka menerima kita kembali jika kita dengan tulus mengaku dosa dan pengampunan Tuhan mendorong serta menguatkan kita untuk hidup lebih berkenan kepada-Nya.
Ketika dosanya mulai tersingkap (karena Batsyeba mengandung), Daud mulai merasa tidak aman. Dosanya akan merusak reputasinya sebagai orang terhormat. Ia pun berusaha memoles diri dengan menutupinya melalui strategi yang terbilang amat ‘rapi’ walaupun amat rapuh.
Strategi 1
Uria disuruh pulang dari medan perang (ayat 6-11). Mengapa? Daud mau menciptakan kesan kepada orang bahwa kehamilan Batsyeba adalah hasil hubungannya dengan suaminya, Uria. Tetapi, Uria tidak pulang ke rumah, ia tinggal di istana. Mungkin ia merasa tugasnya lebih penting daripada urusan keluarga. Strategi pertama gagal.
Stategi 2
Daud membuat Uria mabuk dengan harapan, ia akan pulang menemui istrinya. Uria tidak pergi juga kepada istrinya (ayat 12-13). Strategi kedua gagal juga.
Strategi 3
Daud memasuki strategi kekejaman. Ia menyuruh Uria kembali ke medan perang dan berpesan agar ia ditempatkan pada barisan terdepan. Uria pun terbunuh. Daud merasa senang, tetapi Allah tidak senang. Sebab, perbuatan Daud jahat di mata Tuhan (ayat 27). Untuk sementara Daud merasa ‘aman’. Rasa aman yang semu. Ia dapat memoles dirinya seolah tidak bersalah apa-apa.
Rasa aman semu ini tidak bertahan lama. Tuhan mengutus nabi Natan menegur Daud. Tugas nabi Natan ini bukanlah pekerjaan mudah. Sebab, raja punya kuasa dan dapat dengan mudah membunuh Natan. Natan menyampaikan cerita tentang perlakuan tidak adil seorang kaya terhadap si miskin (2 Sam 12: 2-4). Mendengar itu Daud sangat marah dan berkata, “Demi Tuhan yang hidup: orang yang melakukan itu harus dihukum mati” (ayat 5). Kemudian, Natan berkata kepada Daud, “Engkaulah orang itu!”
Kita bisa bayangkan bagaimana Daud mendengar perkataan Natan itu. Mungkin rasanya seperti disambar petir. Dugaan Daud, apa yang dikatakan Natan adalah fakta yang terjadi di lingkungan kerajaannya, sehingga ia mengatakan bahwa pelakunya harus dibunuh. Hukuman kepada orang lain boleh berjalan, kesalahan sendiri boleh ditutupi! Ternyata, pelakunya adalah Daud sendiri. Tetapi akhirnya Daud mengaku, “Aku sudah berdosa kepada Tuhan.” (12:13). Ini adalah pengakuan yang bisa saja berat tetapi ia adalah bagaikan obat. Rasa aman yang sempurna hanya dapat kita peroleh dari kebaikan dan pengampunan Tuhan.
Mungkin ada pertanyaan yang mengemuka, “Bukankah Batsyeba juga bersalah? Mengapa ia tidak menjaga diri ketika mandi supaya tidak dilihat orang lain? Mengapa ia mau memenuhi keinginan Daud? Hal-hal senada sering muncul selama ini secara khusus untuk mengalihkan persoalan atau sedikitnya mengurangi rasa bersalah para pemerkosa. Memang perempuan juga perlu menjaga diri supapa tidak menimbulkan pencobaan kepada laki-laki.Tetapi, dalam kasus Daud, inti masalahnya adalah penyalahgunaan kekuasaan. Daud harus bertanggungjawab atas dosanya. Dan ternyata, Daud sendiri tidak melempar kesalahan. Ia sadar atas dosanya.
Ketika kita jatuh ke dalam dosa, yang bentuknya bisa saja beragam mulai dari yang amat halus seperti kecemburuan dan iri hati, hingga yang amat kentara seperti pembalasan dendam dan sebagainya, kita mesti mengatasinya dengan sikap kristiani. Ketika kita terjatuh memperlakukan orang secara tidak adil dalam pikiran, kata dan perbuatan, kita tidak akan merasa aman jika kita terus berusaha dengan strategi-strategi licik untuk menutupi kelemahan kita bahkan hingga mengorbankan orang lain. Ketika kita jatuh, Tuhan terbuka menerima kita kembali jika kita dengan tulus mengaku dosa dan pengampunan Tuhan mendorong serta menguatkan kita untuk hidup lebih berkenan kepada-Nya.
No comments:
Post a Comment
Kami sangat menghargai komentar Anda yang membangun.