Saya menerima ‘kisah’ berikut melalui email, yang terjemahannya kira-kira begini.
Ayah dan ibu sedang menonton TV. Kemudian, ibu berkata, “Saya sangat capek, dan sekarang sudah larut malam. Saya mau tidur."
.
Ia pergi ke dapur memeriksa apakah bahan makanan besok tersedia. Ia membersihkan blender, memeriksa persediaan beras, mengisi tempat gula, meletakkan sendok dan garpu di atas meja untuk keperluan sarapan pagi besok.
Kemudian, ia menaruh beberapa pakaian kotor ke dalam mesin cuci, menyeterika pakaian dan memperbaiki kancing baju yang lepas. Ia mengumpulkan potongan-potongan game anaknya yang bertaburan di lantai, mencas handphone dan meletakkan buku telpon pada rak.
.
Ayah berkata, “saya kira mama sudah tidur’. “Ya, saya sudah mau tidur”, jawab ibu.
Ia menaruh air di tempat minum anjing dan menempatkan kucing ke luar rumah. Ia memeriksa apakah pintu sudah terkunci dan lampu luar menyala. Ia melihat anak-anaknya di tempat tidur masing-masing dan mematikan lampu belajar serta menggantikannya dengan lampu tidur, menggantungkan pakaian yang tergeletak di lantai, meletakkan kaus kaki kotor di tempat pakaian kotor, dan ia masih berbicara sejenak dengan seorang anaknya yang masih mengerjakan Pekerjaan Rumahnya.
Di dalam kamar tidurnya, ia menyetel alarm jamnya, meletakkan pakaian yang akan ia dan ayah pakai keesokan harinya. Ia menambahkan tiga hal lagi ke keenam hal terpenting dalam daftar yang akan dikerjakannya. Kemudian, ia berdoa dan memeriksa apakah tujuannya tercapai.
.
Pada saat yang sama, ayah mematikan TV dan mengumumkan tanpa menyebut nama, “Saya akan tidur!” Dan ia memang benar-benar tidur tanpa ada pikiran lain.
*******
Kisah di atas belum seberapa dibandingkan dengan kenyataan sebenarnya yang dialami kaum ibu. Di desa-desa kaum ibu mempunyai pergumulan tersendiri. Di samping merawat anak dan mengurus suami, mereka harus bekerja keras di ladang, memelihara ternak dan sebagainya.
Rasa sakit yang ditanggung kaum ibu, khususnya yang memiliki anak, tidak terperikan. Saya berada dekat istri saya ketika kedua anak kami lahir. Saya menyaksikan sendiri bagaimana istri saya menanggung rasa sakit yang juga disertai dengan kecemasan. Dia harus menanggung sendiri rasa sakitnya karena tidak bisa dibagi atau diwakilkan. Baru saya mengerti ungkapan seorang ibu yang pernah saya dengar yang ditujukan kepada anaknya yang agak nakal, “Kalau saya mengingat betapa sakitnya melahirkan engkau, saya sangat sedih melihat tingkah lakumu yang tidak menghormati orang tua”.
Saatnya kita merenungkan pengorbanan kasih para ibu. Mari kita terus mendoakan mereka. Juga, menjadi tanggung jawab kita semua mengormati dan mengasihi mereka sepenuh hati.
**********Hari ini, Senin, 22 Desember 2008, bersamaan dengan 'hari ibu', istri saya Tima Warni Pangaribuan genap berusia 38 tahun. 'Kisah' di atas memang berbeda dengan keseharian kami. Bukan karena kami tidak memiliki anjing dan kucing, tetapi saya mencoba menjadi suami yang agak baik dengan membantu hingga membersihkan lantai dan piring di saat mana perlu. Yang jelas, saya tahu persis bagaimana kesungguhan istri saya menguras tenaga mengurus dan merawat keluarga tanpa kenal lelah. Terima kasih banyak, istriku, pemberian Tuhanku, atas kebaikan hatimu. Doa dan harapan kita, Tuhan senantiasa memberkati dan menguatkan kita untuk melayani-Nya dan menjadi berkat bagi yang lain.
No comments:
Post a Comment
Kami sangat menghargai komentar Anda yang membangun.