Kata-kata punya power, konstruktif atau destruktif. Tergantung pada yang mengatakannya atau yang meresponinya. Kata-kata bisa membuat hati berbunga-bunga, tetapi bisa juga membuat hati terluka amat dalam. Bisa membuat orang bangkit dari keterpurukan, tetapi bisa menjatuhkan semangat. Bisa membuat tidur nyenyak dengan mimpi indah, tetapi bisa juga sampai membuat orang tak bisa tidur hingga bunuh diri. (Ingat kisah seorang remaja di Jakarta yang bunuh diri hanya gara-gara temannya mengalamatkan kata-kata sebuah iklan “hari gini gak punya henpon?” kepadanya).
Tidak asing dalam pengalaman keseharian kita adanya orang-orang yang mulai hari Senin hingga Sabtu, kebanyakan kata-kata yang keluar dari mulutnya masuk dalam kategori 3K :keras, kasar, kotor. Senin sampai Jumat mulai dari perjalanan menuju hingga di tempat kerja kata-kata yang keluar adalah ‘brengsek kamu’, ‘dasar begu elo’, ‘kampungan banget kamu’, ‘kurang ajar kau’, ‘gila/ sinting/ edan elo’, 'biar disambar gledek aja kamu sekalian', dan semua jenis makhluk yang ada di kebun binatang atau binatang peliharaan bahkan yang ada di toilet. Pada hari Sabtu, mereka tidak bekerja, tetapi kata-kata yang sama ditujukan kepada anggota keluarganya di rumah. Seorang ayah misalnya berkata kepada anaknya, “dasar anak setan!” (Lha, siapa dulu dong, bapaknya?). Baru hari Minggu kata-kata 3K-nya berhenti. Bukan karena beribadah di gereja, tapi karena tidur seharian. Mungkin mimpinya masuk 3K juga.
Orang-orang seperti itu juga sangat bermasalah dalam bereaksi terhadap suatu kejadian. Bayangkan seseorang menerima telpon salah sambung. (Mudah-mudahan Anda bebas dari 'kasus' seperti ini). Ketika telpon berdering dan ternyata salah sambung ia sudah mulai marah. Hal ini kedengaran dari nada suaranya yang ketus: ‘salah sambung!’ Ketika telpon birdering keduakalinya, pikirannya masih ke telepon sebelumnya. Jika ternyata masih salah sambung (apakah orang yang sama atau orang yang berbeda) amarahnya semakin meninggi, “Salah sambung!”, sambil membantingkan gagang telpon. Celakanya, kalau berselang beberapa saat lagi telpon berdering ketiga kalinya, ia sudah memvonis bahwa itu tetap salah sambung dari orang yang sama. Ia tidak berpikir panjang dan langsung merespon dengan kata-kata keras dan kasar, “Sekali lagi kau telpon, kucari kau sampai ke ujung dunia dan kuhajar kau!” Bayangkan kalau di ujung sana si penelpon berkata, “jangan main hajar gitu dong Pak?” saya hanya mau mengucapkan ‘selamat ulang tahun’. Ketika hatinya mulai melunak bercampur malu ia bertanya (walau sudah sangat terlambat), “Dengan siapa ini Pak?”. “Saya Pendeta Nonhajar, Pak!”. Bayangkanlah percakapan selanjutnya.
Manusia cenderung memiliki ‘otomatisasi reaksi’. Reaksi sudah terformat sedemikian rupa untuk setiap kejadian. Jika seseorang berbuat begini, reaksinya begini. Jika seorang mengatakan seperti ini, balasannya seperti ini. Reaksi-reaksi ini sebenarnya selalu ditentukan oleh apa yang ada ‘di dalam’, di pusat diri kita yang terdalam. Sama seperti jeruk yang diperas, yang keluar pastilah air jeruk, tidak mungkin jus apel. Sia pun memerasnya, di mana pun diperas, kapan pun diperas, dengan alat apa pun diperas, yang keluar sama: air jeruk. Kata-kata manusia juga seperti itu. Jika kata-kata keras, kasar, kotor yang keluar, itulah yang ada di dalam. Kata-kata kita mencerminkan keberadaan kita.
Memang ada sedikit kekecualian. Ada kalanya kata-kata ‘manis’ yang keluar dari hati yang pahit. Tetapi pada saatnya yang tepat akan terasa juga aslinya. Pasangan suami-istri menghadiri suatu jamuan makan. Hidangan lezat, bergizi, berlemak, mengandung banyak kolerstrol. Si istri dengan lembut menyapa suaminya yang sedang makan agak lahap, “Honey, Sweety!”, sambil melambaikan tangan. Wajah sang suami memerah dan mengungkapkan kata-kata amarah kepada istrinya. Yang menyaksikan kejadian itu heran dan berkata, “kok bapak marah? Kata-kata itu ‘kan ungkapan cinta dan rasa hormat seorang istri kepada suami?” Si suami berkata, “Bukan begitu. Saya menderita penyakit diabetes dan harus membatasi makanan. Ia tidak mengatakan ‘sweety’ sebagai bahasa cinta, tetapi menyindir!”. Tapi yang ini hanyalah ‘kasus’ langka. Yang jelas, isi hati menentukan kata-kata: membangun atau merusak.
Saat ini sudah banyak tersedia buku, kursus bahkan jurusan di perguruan tinggi yang mengkhuskan diri dalam hal ‘berkata-kata’. Secara teknis, hal itu dapat menolong. Di berbagai studio televisi tersedia salon khusus untuk para pembicara yang diundang ke studio. Laki-laki juga diberi pewarna bibir atau lipstick warna alami. Sayangnya lipstik tak menolong agar terhindar dari salah bicara. Tetap saja ada yang ngawur. Sebab, di dalam memang ngawur.
Untuk itulah kita membutuhkan jamahan Tuhan. Ketika hati dan mulut kita dimurnikan oleh Tuhan, reaksi kita terhadap segala situasi selalu dalam pimpinan Tuhan. Kata-kata kita menjadi lain. Body language kita beda. Semuanya meneguhkan dan membangun. Awasi kata-kata Anda mulai hari ini dan sikapi kata-kata yang ditujukan kepada Anda dengan hati bijaksana.
No comments:
Post a Comment
Kami sangat menghargai komentar Anda yang membangun.