Ada sebuah biara di mana para penghuninya merasa jengkel mengeluh karena ada satu orang di antara mereka yang hidupnya benar-benar tidak sesuai sebagai seorang biarawan. Mereka merasa terganggu dengan yang satu orang ini. Sikap mereka pun menjadi sinis, tidak peduli bahkan membencinya. Mungkin karena tidak tahan, biarawan yang mengecewakan ini memutuskan untuk keluar dari biara. Anehnya, pimpinan biara mencari dan memintanya kembali ke biara dan ia akan mendapat gaji tetap. Mendengar itu para biarawan yang lain keberatan dan protes. Bagaimana mungkin seorang yang tidak punya itikad baik dan yang sudah keluar dari biara diajak kembali dan diberi gaji pula? Dengan tenang pimpinan biara berkata, “Sebab, dengan tinggalnya dia di sini bersama kalian semua, kalian dapat belajar kesabaran”.
Mungkin ada kalanya kita hidup bersama dengan orang yang kita anggap menjengkelkan, mengganggu ketenangan, apakah itu di tengah keluarga, di lingkungan kerja, di tengah masyarakat, bahkan --celakanya-- bisa saja di dalam gereja pula. Perasaan kita semakin tidak enak, apalagi kalau yang bersangkutan sehat-sehat saja atau makmur secara ekonomi.
Cerita di atas sama sekali tidak dimaksudkan untuk membenarkan dua hal: (1) Tidak membenarkan orang-orang yang menjengkelkan, mengecewakan, menimpakan beban yang tidak perlu terhadap sesama untuk terus-menerus mempertahankan sikap dan perilakunya. (2) Tidak membenarkan perilaku buruk, dengan alasan bahwa keburukan dibutuhkan untuk 'mendidik' orang lain, dan bisa menjadi sarana mendapat 'penghasilan' esktra.
Cerita di atas terutama berlaku dalam konteks 'latihan kesabaran'. Bagaimana bersikap dalam menghadapi orang-orang yang menjengkelkan? Pertama, kita perlu memeriksa ‘ke dalam’; ke dalam hati kita sendiri. Mungkin perilaku buruk seseorang itu benar dan berdasarkan fakta yang tidak bisa disangkal. Tetapi, kita ‘merasa jengkel’ adalah masalah lain. Itu adalah pilihan kita sendiri. Artinya, kita sendirilah yang memutuskan apakah kita mau merasa jengkel atau tidak. Keadaan atau suasana hati kita sangat menentukan sikap dan reaksi kita terhadap orang lain dan situasi tertentu. Jadi, kalau kita merasa jengkel, dongkol, atau bahkan berang, itu semua bukan 'karena' orang lain, tetapi 'karena' kita sendiri.
Kedua, kita berusaha dengan segenap hati dan pikiran untuk memahami orang lain. Hanya dengan kerelaan seperti inilah kita bisa menerima diri seseorang meskipun kita menolak kebiasaan dan keburukannya. Jika ada seseorang yang selalu mendaftarkan ‘kehebatannya’ atau koneksinya dengan ‘orang-orang penting’, misalnya, kita tidak perlu merasa benci dan mencapnya sebagai seorang yang sombong. Mungkin seseorang itu sedang ditekan rasa rendah diri, yang sejak kecil hingga dewasa orang lain tidak pernah menghargainya. Untuk menutupi rasa rendah diri, ia tampil seperti orang hebat. Dengan memahami latar belakang seseorang dan kenyataan hidupnya saat ini, kita lebih mudah menerima dirinya. Sikap ini juga mengindari kita untuk menyebarluaskan kekurangan seseorang kepada orang lain, yang biasanya akan membentuk tembok pemisah bahkan perselisihan.
Ketiga, setiap peristiwa kehidupan menjadi pelajaran berharga asal kita terbuka menerimanya. Keinginan untuk mengubah orang lain bisa saja menghambat perubahan diri kita sendiri. Kata-kata mutiara “dari kesalahan orang lain, seorang berhikmat mengubah dirinya sendiri”, sangat tepat dalam konteks ini. "Saya berubah kalau orang lain berubah" seharusnsya diganti dengan "Saya berubah, semoga orang lain juga berubah".
Keempat, perlu kita sadari bahwa merasa jengkel, muak, benci (kata-kata yang sering digunakan orang untuk menggambarkan perasaan) lebih merusak kebahagiaan kita ketimbang mereka yang kita benci. Jangan kita biarkan apa pun mengeruhkan batin kita dan merampas kebahagiaan kita, tetapi biarlah kejernihan hati dan kebahagiaan kita terpancar dan menjadi berkat bagi orang lain.
No comments:
Post a Comment
Kami sangat menghargai komentar Anda yang membangun.