Hasil sebuah survey menunjukkan bahwa tingkat stress meningkat pada bulan Desember dibanding sebelas bulan lainnya. Ironisnya, peningkatan tingkat stress ini ada hubungannya dengan Natal. Mengapa? Masalah paling mendasar adalah perubahan “yang pokok menjadi sampingan dan yang sampingan menjadi pokok”.
Yang pokok atau yang paling inti dari perayaan natal adalah merayakan kasih Tuhan yang sangat besar akan dunia ini. Natal adalah peristiwa sukacita, bukan karena hal-hal lahiriah, tetapi karena peristiwa Imanuel “Allah menyertai kita”. Natal adalah soal pertobatan dan pembaharuan hidup di dalam Tuhan. Sejak awal (natal pertama di Mesir [tahun 250], di Galiela [tahun 380] dan natal pertama di Indonesia [tahun 1500-an]) perayaan natal berisi penyembahan dan ibadah, bukan pesta makan, hiasan, hiburan, dan undian yang akhir-akhir ini kian menggejala bahkan merajalela.
Yang “sampingan” adalah reuni keluarga, makanan, pakaian, hadiah, merias diri, dan dekorasi. Celakanya, justru yang sampingan inilah yang sudah mendominasi sekaligus menciptakan aneka ketegangan. Dinas “Pegadaian” di beberapa kota di Indonesia ekstra sibuk menerima barang gadaian seperti TV, perhiasan, dan kendaraan. Untuk apa? Uang untuk “natalan”.
Kaum perempuan antrian di salon. Rambut lurus dikeritingkan, dan yang keriting direbonding. Padahal, hatilah yang perlu ‘direbonding’ –diluruskan dan dibersihkan. Apalah artinya rambut lurus kalau wajah dan hati keriting? Lebih baik rambut keriting tapi hati lurus dan tulus. Banyak pula yang sibuk memikirkan sofa dan gordin. Malu, tamu datang dan melihat sofa dan gordin yang itu-itu lagi! Belum lagi mereka yang berhari-hari duduk di dekat kompor dan oven, sambil mengunci pintu dan jendela (takut anak-anak mengambil kue yang dimasak). Sayangnya, setelah kompor dan oven padam, panasnya pindah ke hati: gampang tersulut amarah. Wajah pun menjadi keriting.
Jika demikian, boleh atau tidak semua yang sampingan ini? Pertanyaannya adalah, “Apakah semua itu membantu untuk menghayati kasih Allah? Apakah semua itu semakin mendorong kita berserah diri pada Tuhan? Apakah dengan semua itu memungkinkan kita untuk bertobat?
Orang-orang Kristen di Indonesia punya kekhasan tersendiri soal perayaan natal, khususnya dalam hal “jumlah perayaan natal” yang diikuti. Lebih khusus lagi, orang-orang Kristen Batak bisa saja mengikuti perayaan natal lebih dari sepuluh kali: mulai dari natal oikumene, natal marga (empat marga), natal anak-anak di sekolah, natal kantor lingkungan kerja, natal lorong, dan empat sampai lima perayaan natal di gereja. Ramai memang! Capek? Ya. Ada pula yang merayakannya di siang hari. Lagu “Malam Kudus” dinyanyikan sambil menyalakan lilin dan memadamkan lampu, tetapi tetap terang benderang. Karena merias rambut di salon butuh waktu lama dan biaya, ada pula di antara kaum perempuan yang tidur telungkup agar riasan rambutnya tidak rusak dan bisa digunakan lagi untuk perayaan natal tiga malam berturut-turut.
Sekali lagi, apakah ini salah? Secara tahun liturgi, merayakan natal sebelum tanggal 25 Desember jelas tidak mengikuti tahun liturgi. Karena itu, ke depan ada dua yhal ang sangat penting mendapat perhataian orang-orang Kristen.
Pertama, kembali kepada tradisi gereja yang merupakan pergumulan iman yang menetapkan tahun gerejawi untuk diikuti oleh Gereja. Singkatnya, merayakan natal mulai tanggal 25 Desember hingga sebelum Minggu Ephipanias pada bulan Januari. Jika kumpulan marga, lingkungan sekolah, lingkungan kerja dan lain-lain mau bersekutu bersama sebelum 25 Desember, dapat merayakan “Advent” atau persiapan Natal. Atau, merayakan Natal sesudah 25 Desember.
Seingat saya Ephorus Emiritus Pdt Dr SAE Nababan pernah dengan sangat gencar menyerukan agar tidak merayakan natal sebelum tanggal 25 Desember. Tapi, entah dengan pertimbangan apa tanggal 18 Desember 2009 beliau berkhotbah dalam "perayaan natal" yang dilakukan Pemko dan DPRD Medan. Yang jelas, tahun liturgi gereja belum berubah meskipun Bapak Nababan berubah pikiran.
Kedua, mengembalikan natal sebagai peristiwa iman yang nampak melalui kesederhanaan, sukacita sorgawi, kepedulian dengan sesama manusia dan alam ciptaan Tuhan. Dua peristiwa yang disaksikan di dalam Alkitab, yaitu gerak hidup para gembala (Lukas 2) dan orang-orang Majus (Matius 2) sangat jelas menunjukkan bahwa peristiwa natal itulah yang memimpin langkah mereka, yang menentukan gerak hidup mereka; bukan sebaliknya seperti kecenderungan saat ini justru kita yang mendisain natal. Kita mengundang Tuhan pada perayaan natal yang kita disain sendiri dengan waktu, lampu, catering, selebriti, santa claus, lucky draw, sebelum kita mau diundang ke hadiratNya untuk mendengar kehendakNya. Anggaran pun mencapai jutaan rupiah. Perayaan seperti ini hanya akan menyisakan yang tidak perlu: sampah, penyakit, hutang, perselirihan, dan dosa. Saatnya kita bertobat. Sebelum amat terlambat.
No comments:
Post a Comment
Kami sangat menghargai komentar Anda yang membangun.