09 Nopember 2009
.
Berikut ini adalah salah satu “cerita bijak” Y. Sumantri dalam bukunya Angin Barat Angin Timur.
.
Dunia membutuhkan orang-orang:
yang tidak bisa dibeli
yang perkataan-perkataannya bisa diandalkan
yang lebih menghargai karakter daripada kekayaan
yang mempunyai pendapat sendiri dan berkemauan keras
yang lebih besar dari jabatannya
yang tidak gentar untuk mengambil risiko
yang tidak kehilangan individualtasnya dalam kumpulan massa
yang jujur terhadap soa-soal yang kecil maupun yang besar
yang tidak mengadakan kompromi dengan yang jahat
yangtidak hanya memikirkan kepentingannya sendiri
yang tidak mengatakan bahwa mereka melakukan sesuatu karena “tiap orang melakukannya”
yang setia kepada kawan-kawannya dalam keadaan susah dan senang
yang tidak percaya bahwa kelicikan, keras kepala, dan tipu muslihat adalah cara-cara untuk mencapai sukses
yang tidak malu atau takut untuk berpegang pada kebenaran meskipun tidak populer
Dan yang dapat berkata “tidak” dengan tegas, meskipun seluruh dunia berkata “ya”.
Yang inti dari untaian kata-kata amat bermakna di atas adalah pentingnya menjadi diri sendiri sebagaimana Tuhan menghendakinya. Pribadi yang peka menangkap apa kehendak Tuhan dari hidup ini. Dalam hal ini dibutuhkan nurani yang terbuka mendengarkan sapaan Tuhan dan kehidupan yang bebas dari segala macam belenggu yang melumpuhkan kehidupan.
Gambaran tentang gajah yang dirantai mungkin sudah sering kita dengar. Karena begitu lama dirantai (dan ranatai itu tertanam dalam benak sang gajah), ketika rantai yang kokoh itu diganti dengan tali rafia, sikap gajah tetap sama seperti menghadapi rantai besi. Sebenarnya, ia bisa lepas dan bebas karena kekuatannya jauh melampaui kekuatan tali rafia. Masalahnya, tali pengikat berubah, tetapi pikiran gajah tidak berubah. Lepas dari belenggu rantai, masuk ke belenggu pikiran. Hasilnya sama: tidak menjalani hidup sebagaimana mestinya.
Gambaran yang sama tidak asing dalam pengalaman kita keseharian, baik dalam kehidupan pribadi maupun dalam sebuah persekutuan atau bahkan dalam kehidupan berbangsa. Bayangkan seorang yang sudah menderita sakit puluhan tahun, yang sudah terbisa atau ‘menyesuaikan diri’ dengan penyakit itu sendiri. Pada saat kondisinya lebih baik atau mendekati sembuh, bisa saja ia tetap merasa sakit. Pembatasan-pembatasan fisik seperti makanan, pergerakan, bahan pemikiran, aktivitas masih tetap seperti ‘pola sakit’. ‘Merasa’ tidak mampu melakukan sesuatu. Padahal, yang masalah hanyalah ‘perasaan’ atau ‘isi pikiran’, bukan sebuah kenyataan.
Begitu juga dalam kehidupan bergereja yang mungkin sejak lama terus menerus dicemari perselisihan (Menyedihkan juga memang. Sebab, justru di gerejalah sebenarnya kita mendapat keteduhan dan sekaligus menjadi alat perdamaian. Sayang sekali, kedagingan, yang mewujud dalam arogansi, pementingan dan penonjolan diri, perasaan hebat, kerakusan akan kuasa dan harta telah menggerogoti tubuh gereja-gereja masakini). Pengalaman-pengalaman nyata sebelumnya, sadar atau tidak, sering mempengaruhi sikap kita terhadap gereja. Kita menjadi apatis dan sinis. “Ah, tidak rahasia lagi kok, memang gereja-gereja tak ada yang beres!” Demikian, misalnya, ungkapan kekecewaan berbaur rasa pesimisme yang mengemuka.
Sikap dan reaksi demikian tidak akan pernah membawa kita pada maksud dan tujuan kita diciptakan dan ditempatkan ke dunia ini. Sebab, keadaan demikian membuktikan bahwa kita terbelenggu atau lebih tepatnya membelenggu diri. Kita beranggapan (keliru) bahwa keadaan kita berubah jika keadaan sekitar berubah. Padahal, sebaliknyalah yang terjadi: keadaan sekitar akan berubah jika kita berubah. Berubah dalam artian kembali ke rencana awal kelahiran dan kehadiran kita di dunia ini.
Dalam hal ini, mari kita sungguh-sungguh berpaling pada hati nurani, hati nurani yang dimurnikan dan didiami oleh Roh Tuhan, di mana kita dapat dengan jernih melihat tujuan hidup kita. Dengan demikian, kita akan dapat menerima diri sendiri, bahagia dengan diri sendiri, dan mewujudkan tugas panggilan yang dipercayakan Tuhan kepada kita dengan sukacita. Pada waktu yanga sama, kita juga bahagia dengan karunia Tuhan yang dicurahkan kepada orang lain, tanpa berkeinginan ‘menjadi seperti orang lain’; terbeban dengan kekurangan diri sendiri dan orang lain tanpa menghukum diri dan menghakimi orang lain.
Jika kita iklas memulainya pagi ini, kita akan melihat buahnya mulai nanti sore.
No comments:
Post a Comment
Kami sangat menghargai komentar Anda yang membangun.