“1,4 Juta Warga Jakarta Sakit Jiwa” demikian judul Renungan Harian yang dikirimkan Christovita Wiloto ke beberapa milis (termasuk milis Ikatan Alumni Haggai Institut-IAHI- di Singapura). Dalam uraiannya disebutkan bahwa stres menjadi salah satu gangguan kejiwaan yang sering dialami warga Jakarta. Ia mengutip hasil riset Strategic Indonesia yang diungkapkan dalam sebuah talkshow Kamis (1/10) "Carut Marut Kota Jakarta, Picu Tingkat Stres", yang mengatakan bahwa dari total jumlah pasien puskesmas se-Jakarta tahun 2007, warga Jakarta yang mendapat perawatan akibat stres mencapai sekitar 1,4 juta jiwa. “Bila dirunut lebih jauh, penyebab stres ini antara lain berakar pada carut marutnya tata ruang di Jakarta. Masalah lingkungan dan tata ruang kota yang tidak terbenahi memperburuk tingkat stress”, demikian Wiloto menambahkan.
Sebenarnya, stress sudah merupakan ‘penyakit kota’, baik kota yang tertata rapi maupun yang semrawut. Hanya saja, kesemrawutan kota dapat menggandakan tingkat stres. Kota-kota di Indonesia semua semrawut. Jakarta, Surabaya, Yogyakarta, Semarang, Pekanbaru, Medan, semua tak tertata rapi, tidak hijau dan jauh dari bersih. Ditambah lagi dengan kenyataan di kota-kota tersebut yang panas, udara terpolusi, jalan macet, klakson mobil dan deru knalpot kendaraan memekakkan telinga, saluran air penuh sampah dan berbau busuk. Semuanya menambah tingkat ketegangan. Belum lagi keamanan dan rasa nyaman yang tidak terjamin dengan berkeliarannya para penjambret. Keadaan keseharian seperti ini amat mudah menyulut amarah kaum kolerik yang tidak dapat mengontrol diri dan memacu kecemasan bagi mereka yang introvert. Di kota-kota itu juga banyak saudara-saudara sebangsa yang mengemis, membuat yang berperikemanusiaan merasa iba dan yang angkuh memandang hina. Kontras dengan kehidupan pahit itu muncul pula mobil Audi, Volvo atau Jaguar, yang bisa saja memunculkan berbagai rasa: mulai dari rasa rendah diri hingga iri dan dengki sambil menghakimi. Semuanya menambah intensitas stres.
Celakanyaa, keadaan kota-kota seperti itu tidak mengurungkan niat orang-orang berlomba ke kota. Agaknya, 'uang' menjadi alasan utama. Semakin uang dikejar ke kota, semakin sesak pula kota-kota, tata ruang kota makin rumit, pasokan oksigen segar berkurang, akhirnya urat saraf pun makin tegang pula.
Bagaimana dengan kota-kota yang tertata rapi seperti Singapura dan kota-kota di Jerman atau AS? Tingkat stres juga tergolong tinggi. Tetapi, sekiranya kota-kota itu tidak tertata rapi, kita tidak bisa bayangkan bagaimana parahnya tingkat stres di sana. Kota-kota di Jerman tidak ada berpenduduk sepuluh juta ke atas. Hal ini membuat persebaran penduduk lebih merata, yang tentu menjadi lebih mudah ditata. Kota Singapura misalnya, ditata begitu apik dengan jalan-jalan yang bagus dilengkapi dengan trotoar untuk pejalan kaki, pohon-pohon yang subur memenuhi pinggir jalan dan hunian penduduk. Tidak ada polisi lalau-lintas lalu-lalang, tetapi para pengendara sangat berdisiplin. Hampir tidak ada yang menerobos lampu merah. Perhentian bus yang teratur membuat para penumpang bus dapat memperkirakan berapa menit dari mana ke mana. Banyak pejabat Indonesia yang sudah berulangkali mengunjungi Singapura dan kota-kota lain di luar negeri untuk berobat, berbelanja atau sekadar mengaso. Barangkali mereka, pada saatnya yang tepat, akan menerapkan apa yang baik di Singapura dan kota-kota di negara maju lainnya untuk kebaikan Indonesia.
Perpaduan antara penataan yang baik dari pihak pemerintah dan tingkat kesadaran masyarakat membuat keadaan kota yang indah dan bersih di Singapaura. Itulah masalah kita sekarang: perpaduan antara komitmen pemerintah yang rendah dan kesadaran masyarakat yang rendah pula. Akibatnya? Parah! Pemerintah Indonesia di semua tingkat tidak memanfaatkan dana pembangunan sebaik-baiknya, sejujur-jujurnya yang mebuat kualitas bangunan kurang baik dan penataan lingkungan dan kebersihan kurang memadai. Keadaan ini diperparah oleh beberapa anggota masyarakat yang memiliki ketegaan ekstra mengambil sarana publik untuk kepentingan pribadi. Tong sampah saja hilang dari pinggir jalan. Bahkan, besi jembatan dicabut dan dipakai untuk kepentingan pribadi. Ditambah pendirian bangunan dan penempatan harta benda masyarakat sesuka hati. Semua ini menambah kesemrawutan dan semakin memacu tingkat stres.
Sejauh ini kita masih lebih banyak bicara soal pemicu stres dari luar diri kita: dari lingkungan sekitar. Kita mesti melihat juga apemicu yang paling dahsyat dari dalam diri kita. Dari harapan-harapan kita, kejengkelan, sakit hati, kemarahan, kesombongan, ketidakpedulian, kerakusan. Ini yang benar-benar sepenuhnya dalam kendali kita. Kita bisa menebas akarnya agar stres tidak sampai menjadi sesuatu yang kronis.
Kita membutuhkan keheningan dan kejernihan batin. Dalam hal ini kita bisa belajar dari Pemazmur: (ayat ini mudah diingat Mazmur 62:2 dan 62:6)
Hanya dekat Allah saja aku tenang, dari padaNyalah keselamatanku, kota bentengku, aku tidak akan goyah.
Hanya pada Allah saja kiranya aku tenang, sebab daripadaNyalah harapanku. ********...............
Ketika kita hidup dan berjalan di kota yang semrawut pun kita bisa teduh dan dari keteduhan yang sama kita dapat berbuat sesuatu untuk mengubah keadaan ke arah yang lebih baik. Kita juga tidak perlu mengejar kota hanya karena ‘keinginan’ saja, walaupun tidak ada salahnya tinggal di kota seturut dengan kebutuhan dan tugas panggilan.
No comments:
Post a Comment
Kami sangat menghargai komentar Anda yang membangun.