02 NOPEMBER 2009
Banyak persoalan di dunia ini yang disebabkan oleh perpaduan antara
“pikiran sempit” dan “mulut lebar.”
(Anonim)
Dari pengalaman kita belajar bahwa kata-kata dan cara bertutur kita yang buruk sering berujung pada perselisihan bahkan pertengkaran, baik dalam lingkup kecil maupun dalam skala yang lebih luas seperti pertengkaran suami-istri atau perpecahan dalam jemaat. Hubungan baik kita di tengah keluarga dan jemaat biasanya rentan percekcokan jika ada orang yang memiliki hobbi atau kebiasaan membicarakan kekurangan orang lain (baik yang mengandung kebenaran, apalagi banyak pula yang hanya sebagai prasangka dan –lebih buruk lagi-- buatan sendiri secara sengaja). Mungkin ada semacam kelegaan tersendiri dari kebiasaan ini.
Jika kita runut ke akarnya, hal yang paling menentukan kata dan cara bertutur kita adalah ‘suasana hati kita’. Ada kalanya keburukan yang kita lihat pada orang lain sebenarnya mencerminkan keberadaan diri kita. Misalnya, jika seseorang mengatakan si anu itu sombong, kikir, bisa saja karena ia dihinggapi perasaan rendah diri atau tidak ada orang yang memujinya. Dapat dicatat bahwa membicarakan kebobrokan orang lain merupakan cara yang tidak jujur untuk memuji diri kita sendiri.
Berikut ini ada empat pintu yang harus kita lalui sebelum membicarakan kekurangan atau dosa orang lain kepada yang bersangkutan:
Pintu 1: Motivasi jernih
Untuk merefleksikan apa yang ada di luar kita, seperti kekurangan atau keburukan orang lain, kita perlu menyadari apa yang sedang terjadi dalam diri kita saat itu. Ada kalanya (tidak selamanya): keburukan yang kita lihat dalam diri orang lain, mencerminkan keadaan kita saat itu. Jadi, kalau kita melihat langit mendung, kita harus memastikan bahwa kita tidak sedang mengenakan sunglasses. Kita perlu memeriksa suasana hati kita. Ketika kita sedang gundah, marah, memendam rasa benci, kecewa, biasanya raut wajah, kata-kata dan penampilan kita juga akan tercemar. Penilaian kita juga biasanya tidak objektif. Jadi, kita perlu melakukan “emosional check-up”: memeriksa kesehatan emosi kita. Janganlah kita buru-buru melakukan penilaian atau mengambil sebuah keputusan ketika kita dalam keadaan emosi tercemar.
Jika kita benar-benar menemukan kekurangan orang lain, maka untuk memberitahukannya mestilah mengalir dari niat hati yang benar-benar murni dan dengan semangat persaudaraan, bukan hanya dengan modal ‘keberanian’. Jika seseorang mengetahui dan merasakan bahwa kita mengasihi seseorang itu, biasanya ia akan menerima apa yang kita sampaikan. Meskipun rasanya pahit, ia akan menelannya sebagai obat penyembuh dirinya sendiri dan pemulih hubungannya dengan orang lain.
Kata-kata kita dapat meneguhkan dan menghancurkan, tergantung pada ‘mesin penggeraknya’ dari dalam diri kita. Sapi meminum air dan ia mengeluarkan susu, ular meminum air dan mengeluarkan bisa berbahaya.
Pintu 2: Tujuan yang jelas
Tujuan utama adalah untuk terjadinya perubahan diri yang bersangkutan dan mencegah agar dosa tidak berkembang. Tidak mencelakakan yang bersangkutan dan tidak menular kepada yang lain. Jadi, tidak ada unsur mempermalukan orang lain atau merendahkannya di hadapan orang lain.
Lagi pula, jika kita benar-benar melihat kekurangan orang lain, kita seharusnya pertama-tama ‘kembali’ ke diri kita sendiri. Seperti pesan sebuah kata bijak, “Melihat kekurangan orang lain, orang berhikmat memperbaiki dirinya sendiri.” Orang yang tergolong ‘sempurna’ pun, membeli pensil yang disertai penghapus juga. Artinya, semua manusia memiliki kelemahan dan selau membutuhkan rahmat pengampunan dan pembaharuan diri.
Dalam hal ini, jika ada seseorang yang memiliki kebiasaan membicarakan kekurangan-kekurangan orang lain kepada kita, kita hendaknya tidak menikmatinya. Bukan saja karena akan ada saatnya kekurangan kita sendiri menjadi pokok percakapannya kepada orang lain, tetapi juga karena secara tidak langsung kita melanggengkan kebiasaannya. Yang lebih celaka, kalau pengungkapan kekurangan orang lain justru menggiring pada perilaku yang lebih berbahaya. Seorang istri, misalnya, mesti waspada ketika seorang laki-laki lain membicarakan kekurangan istrinya sendiri. “Aduh, istri saya itu luar biasa cerewet, tidak bisa mengurus diri, tidak romantis; beda dengan Anda yang lembut, keibuan dan romantis!” Kalimat ini adalah tanda-tanda bahaya!
Pintu 3: Doa
Kita percaya bahwa urusan Tuhan belum selesai kepada setiap orang. Proses pembentukan-Nya masih tetap berlangsung. Dalam hal ini kita hendaknya berserah diri pada Tuhan dan memohon hikmat dan pimpinanNya. Hikmat selalu berisikan semangat penyelesaian masalah tanpa menambah atau memperparah masalah. Kita menyerahkan yang bersangkutan dan menyerahkan masalah yang ada pada Tuhan.
Kehidupan doa dalam hal ini menyadarkan kita bahwa yang mengubah bukan kita, melaiankan kuasa Tuhan sendiri. Di samping itu, sesungguhnya doa juga berperan untuk ‘mengubah diri kita sendiri’.
Pintu 4: Cara dan waktu yang baik
Kita perlu mencari waktu dan situasi yang lebih tepat, seperti saat-saat mood seseorang itu dalam kondisi baik. Orang cenderung menolak kebenaran jika ia sedang menghadapi situasi, kondisi dan cara yang tidak tepat.
Jika kita dapat menemukan cara dan waktu yang tepat, maka untuk menegur suami, misalnya, seorang istri tidak perlu menggunakan jasa ibu mertua. Sebaliknya, untuk mengingatkan istri, seorang suami tidak perlu memakai jasa ibu mertua atau kakak ipar.
Di sini kita dapat merenungkan dan menghidupi firman Tuhan berikut ini:
Jika kita runut ke akarnya, hal yang paling menentukan kata dan cara bertutur kita adalah ‘suasana hati kita’. Ada kalanya keburukan yang kita lihat pada orang lain sebenarnya mencerminkan keberadaan diri kita. Misalnya, jika seseorang mengatakan si anu itu sombong, kikir, bisa saja karena ia dihinggapi perasaan rendah diri atau tidak ada orang yang memujinya. Dapat dicatat bahwa membicarakan kebobrokan orang lain merupakan cara yang tidak jujur untuk memuji diri kita sendiri.
Berikut ini ada empat pintu yang harus kita lalui sebelum membicarakan kekurangan atau dosa orang lain kepada yang bersangkutan:
Pintu 1: Motivasi jernih
Untuk merefleksikan apa yang ada di luar kita, seperti kekurangan atau keburukan orang lain, kita perlu menyadari apa yang sedang terjadi dalam diri kita saat itu. Ada kalanya (tidak selamanya): keburukan yang kita lihat dalam diri orang lain, mencerminkan keadaan kita saat itu. Jadi, kalau kita melihat langit mendung, kita harus memastikan bahwa kita tidak sedang mengenakan sunglasses. Kita perlu memeriksa suasana hati kita. Ketika kita sedang gundah, marah, memendam rasa benci, kecewa, biasanya raut wajah, kata-kata dan penampilan kita juga akan tercemar. Penilaian kita juga biasanya tidak objektif. Jadi, kita perlu melakukan “emosional check-up”: memeriksa kesehatan emosi kita. Janganlah kita buru-buru melakukan penilaian atau mengambil sebuah keputusan ketika kita dalam keadaan emosi tercemar.
Jika kita benar-benar menemukan kekurangan orang lain, maka untuk memberitahukannya mestilah mengalir dari niat hati yang benar-benar murni dan dengan semangat persaudaraan, bukan hanya dengan modal ‘keberanian’. Jika seseorang mengetahui dan merasakan bahwa kita mengasihi seseorang itu, biasanya ia akan menerima apa yang kita sampaikan. Meskipun rasanya pahit, ia akan menelannya sebagai obat penyembuh dirinya sendiri dan pemulih hubungannya dengan orang lain.
Kata-kata kita dapat meneguhkan dan menghancurkan, tergantung pada ‘mesin penggeraknya’ dari dalam diri kita. Sapi meminum air dan ia mengeluarkan susu, ular meminum air dan mengeluarkan bisa berbahaya.
Pintu 2: Tujuan yang jelas
Tujuan utama adalah untuk terjadinya perubahan diri yang bersangkutan dan mencegah agar dosa tidak berkembang. Tidak mencelakakan yang bersangkutan dan tidak menular kepada yang lain. Jadi, tidak ada unsur mempermalukan orang lain atau merendahkannya di hadapan orang lain.
Lagi pula, jika kita benar-benar melihat kekurangan orang lain, kita seharusnya pertama-tama ‘kembali’ ke diri kita sendiri. Seperti pesan sebuah kata bijak, “Melihat kekurangan orang lain, orang berhikmat memperbaiki dirinya sendiri.” Orang yang tergolong ‘sempurna’ pun, membeli pensil yang disertai penghapus juga. Artinya, semua manusia memiliki kelemahan dan selau membutuhkan rahmat pengampunan dan pembaharuan diri.
Dalam hal ini, jika ada seseorang yang memiliki kebiasaan membicarakan kekurangan-kekurangan orang lain kepada kita, kita hendaknya tidak menikmatinya. Bukan saja karena akan ada saatnya kekurangan kita sendiri menjadi pokok percakapannya kepada orang lain, tetapi juga karena secara tidak langsung kita melanggengkan kebiasaannya. Yang lebih celaka, kalau pengungkapan kekurangan orang lain justru menggiring pada perilaku yang lebih berbahaya. Seorang istri, misalnya, mesti waspada ketika seorang laki-laki lain membicarakan kekurangan istrinya sendiri. “Aduh, istri saya itu luar biasa cerewet, tidak bisa mengurus diri, tidak romantis; beda dengan Anda yang lembut, keibuan dan romantis!” Kalimat ini adalah tanda-tanda bahaya!
Pintu 3: Doa
Kita percaya bahwa urusan Tuhan belum selesai kepada setiap orang. Proses pembentukan-Nya masih tetap berlangsung. Dalam hal ini kita hendaknya berserah diri pada Tuhan dan memohon hikmat dan pimpinanNya. Hikmat selalu berisikan semangat penyelesaian masalah tanpa menambah atau memperparah masalah. Kita menyerahkan yang bersangkutan dan menyerahkan masalah yang ada pada Tuhan.
Kehidupan doa dalam hal ini menyadarkan kita bahwa yang mengubah bukan kita, melaiankan kuasa Tuhan sendiri. Di samping itu, sesungguhnya doa juga berperan untuk ‘mengubah diri kita sendiri’.
Pintu 4: Cara dan waktu yang baik
Kita perlu mencari waktu dan situasi yang lebih tepat, seperti saat-saat mood seseorang itu dalam kondisi baik. Orang cenderung menolak kebenaran jika ia sedang menghadapi situasi, kondisi dan cara yang tidak tepat.
Jika kita dapat menemukan cara dan waktu yang tepat, maka untuk menegur suami, misalnya, seorang istri tidak perlu menggunakan jasa ibu mertua. Sebaliknya, untuk mengingatkan istri, seorang suami tidak perlu memakai jasa ibu mertua atau kakak ipar.
Di sini kita dapat merenungkan dan menghidupi firman Tuhan berikut ini:
Perkataan yang diucapkan tepat pada waktunya adalah
seperti buah apel emas di pinggan perak.
Teguran orang yang bijak adalah seperti cincin emas dan hiasan kencana untuk telinga yang mendengar
( Amsal 25:11-12).
seperti buah apel emas di pinggan perak.
Teguran orang yang bijak adalah seperti cincin emas dan hiasan kencana untuk telinga yang mendengar
( Amsal 25:11-12).
Dari firman Tuhan ini kita bisa belajar akan pentingnya perpaduan ‘isi’ dan ‘cara:’ (1) Kita bertanggungjawab mengingatkan sesama akan kekurangan dan dosa-dosanya. (2) Dalam penyampaiannya, kita mesti mempertimbangkan berbagai hal. Salah satu di antaranya adalah “menyampaikan tepat pada waktunya”. Itu yang digambarkan sebagai buah apel emas di pinggan perak, yang artinya berharga, bermanfaat dan memungkinkan sebuah perubahan ke keadaan yang lebih baik.
No comments:
Post a Comment
Kami sangat menghargai komentar Anda yang membangun.