REFLEKSI SENIN KE-23 2009
Perbedaan-perbedaan sebutan dan pelaksanaan penyerahan persembahan dalam kekristenan barangkali masih relevan untuk dikaji dan diuji. Kita sering mendengar sebutan persembahan minggu, persembahan bulanan, persembahan perpuluhan, persembahan syukur dan sebagainya, yang dapat saja memunculkan pertanyaan, “berapa macam bentuk persembahan dan berapa seharusnya jumlah persembahan?”Sebenarnya, Alkitab tidak menempatkan persembahan sebagai sesuatu yang terpenting. Hal ini dapat kita mengerti, karena Tuhan tidak kekurangan apapun termasuk uang. Segala sesuatu adalah milikNya. Pada hakikatnya, pemberian persembahan merupakan bukti penyerahan diri kita kepada Tuhan, bukan bersandar pada milik kita. Itu adalah juga bagian dari kerelaan kita melayani dengan apa yang kita miliki untuk kebaikan sesama.
Sehubungan dengan itu, kita dapat melihat beberapa hal menyangkut persembahan perpuluhan di dalam Alkitab, di antaranya:
1. Persembahan perpuluhan berawal dari nazar Yakub (Kej. 28:20-22), bukan perintah Allah. Jadi, kalau mau memberi persembahan perpuluhan boleh dan baik, tetapi bukan kewajiban dari Allah, melainkan kerinduan kita.
Ada yang merujuk pada Abraham sebagai awal pemberian persembahan perpuluhan. Memang dalam Kej 14:17-20 dikatakan bahwa Abram memberikan kepada Melkisedek sepersepuluh dari harta benda yang berhasial ‘diselamatkan’ dari musuh. Tetapi agaknya hal ini tidak dapat dijadikan sebagai dasar alkitabiah pemberian persembahan. Selengkapnya Kej. 14:17-20 berbunyi demikian:
Setelah Abram kembali dari mengalahkan Kedorlaomer dan para raja yang bersama-sama dengan dia, maka keluarlah raja Sodom menyongsong dia ke lembah Syawe, yakni Lembah Raja. Melkisedek, raja Salem, membawa roti dan anggur; ia seorang imam Allah Yang Mahatinggi. Lalu ia memberkati Abram, katanya: "Diberkatilah kiranya Abram oleh Allah Yang Mahatinggi, Pencipta langit dan bumi, dan terpujilah Allah Yang Mahatinggi, yang telah menyerahkan musuhmu ke tanganmu." Lalu Abram memberikan kepadanya sepersepuluh dari semuanya.
2. Dalam kitab Ulangan kita menemukan dua jenis perpuluhan. Pertama, dalam Ulangan 12:6-9 dikatakan bahwa masing-masing keluarga membawa perpuluhan dan persembahan yang lain ke bait suci. Mereka bersama-sama makan dengan para imam dengan sukaria. Kedua, setiap akhir tahun ketiga, persembahan juga dibawa kepada orang-orang miskin --bukan mau menyembah orang miskin, tetapi agar mereka beroleh makanan (ayat 26-27). Hal ini bisa kita bandingan dengan Ulangan 26:12: “Apabila dalam tahun yang ketiga, tahun persembahan persepuluhan, engkau sudah selesai mengambil segala persembahan persepuluhan dari hasil tanahmu, maka haruslah engkau memberikannya kepada orang Lewi, orang asing, anak yatim dan kepada janda, supaya mereka dapat makan di dalam tempatmu dan menjadi kenyang.” Jadi, menolong orang miskin adalah bagian dari persembahan.
Dalam kaitan ini, ada satu peringatan penting dari Tuhan Yesus sebagaimana tertulis dalam Matius 6:2:
Jadi apabila engkau memberi sedekah, janganlah engkau mencanangkan hal itu, seperti yang dilakukan orang munafik di rumah-rumah ibadat dan di lorong-lorong, supaya mereka dipuji orang.
3. Dalam Maleaki 3:10 juga disebut tentang perpuluhan, yang tujuannya adalah untuk persediaan makanan di bait suci. ‘Curahan berkat’ yang disebutkan di situ bukan akibat dari perpuluhan itu, tetapi justru sebaliknya: seseorang dapat memberi perpuluhan karena sudah menerimanya dari Tuhan dan Ia akan terus menerus mencurahkan berkatnya yang tidak tergantung pada permintaan dan perbuatan manusia. Dengan kata lain, persembahan adalah “persembahan karena” bukan “persembahan supaya”. Kita memeberi persembahan karena kita bersyukur atas pemberian Tuhan bukan supaya Allah memberi berkat-Nya atau supaya dipuji orang seperti disebut dalam Matius 6:2 tadi.
4. Dalam Mzm. 51:19 dikatakan, “Korban sembelihan kepada Allah ialah jiwa yang hancur; hati yang patah dan remuk....” Artinya, Allah lebih melihat hati dan jiwa yang sepenuhnya berserah kepada Tuhan daripada segala bentuk persembahan bahkan dengan jumlah yang sangat besar sekalipun.
5. Yesus sendiri sangat tegas menolak segala bentuk persembahan yang tidak disertai keadilan, belas kasihan dan kesetiaan. Selengkapnya dalam Matius 23:23 dikatakan, “Celakalah kamu, hai ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi, hai kamu orang-orang munafik, sebab persepuluhan dari selasih, adas manis dan jintan kamu bayar, tetapi yang terpenting dalam hukum Taurat kamu abaikan, yaitu: keadilan dan belas kasihan dan kesetiaan. Yang satu harus dilakukan dan yang lain jangan diabaikan.” Hal yang sama sudah diperingatkan oleh Nabi Amos (lihat Amos 5:22 yang menyatakan bahwa Allah tidak menyukai persembahan tanpa keadilan).
6. Rasul Paulus menasihatkan demikian, “Karena itu, saudara-saudara, demi kemurahan Allah aku menasihatkan kamu, supaya kamu mempersembahkan tubuhmu sebagai persembahan yang hidup, yang kudus dan yang berkenan kepada Allah: itu adalah ibadahmu yang sejati" (Roma 12:1). Persembahan di sini melampaui yang sifatnya materi, tetapi hidup itu sendiri.
Berdasarkan uraian di atas, persembahan tidak saja perpuluhan (10 persen dari pendapatan) tetapi perseratusan (seluruhnya diri dan kepunyaan kita). Semuanya adalah milik-Nya: hidup kita dan apa yang kita miliki. Inilah semuanya yang kita persembahkan kepadaNya. Hal ini jelas terungkap dalam nyanyian doa persembahan dalam tata ibadah HKBP yang berbunyi, “Tuhan, karuniaMu, roh dan jiwaku semua, nyawa juga hidupku, harta milikku semua, kuserahkan padaMu untuk selama-lamanya.”
Persembahan di HKBP
Dua tahun belakangan ini, di dalam Almanak HKBP dicantumkan mengenai pemberlakuan pengumpulan dan penatalayanan persembahan di HKBP, merujuk pada keputusan Sinode Agung HKBP 1970. Pada waktu itu hampir semua jemaat HKBP mengumpulkan dua kali persembahan setiap ibadah Minggu (sebelum dan sesudah khotbah berlangsung). Kemudian, bertambah menjadi 3 kali pengumpulan persembahan yang disebut dengan pesesembahan IA, IB dan persembahan II. Persembahan II seharusnya diserahkan ke kantor Pusat HKBP untuk keperluan pelayanan di lingkungan kantor pusat HKBP, Kantor distrik-distrik HKBP (termasuk para praeses), lembaga pendidikan STT HKBP, Sekolah Guru Huria, Pendidikan Diakones, Sekolah Bibelvrouw, Diakoni Sosial dan sebagainya. Biaya untuk pelayanan ini tergolong amat besar.
Seiring dengan perjalanan waktu, beberapa jemaat mengambil ‘kebijakan’ masing-masing. Tidak ada data akurat berapa jemaat yang masih menyerahkan seluruh persembahan II ke kantor pusat. Yang jelas ada beberapa jemaat HKBP yang tetap mengumpulkan tiga kali persembahan Minggu tetapi tidak sepenuhnya menyerahkan ke kantor pusat. Itu sebabnya di beberapa jemaat kita mendengar warta jemaat yang mengatakan misalnya Persembahan I Rp. 600.000, persembahan II, Rp. 51.000. Jumlah ini sebenarnya sudah ‘disesuaikan’ oleh parhalado jemaat setempat. Di salah satu jemaat HKBP di luar negeri misalnya, persembahan Minggu tetap dilakukan 3 kali. Tetapi keadaan keuangan 2008, dari sekitar 18% persembahan II –yang seharusnya diserahkan ke kantor pusat—yang diserahkan tidak sampai 2%. Keadaan ini sudah berjalan sejak lama.
HKBP ke Depan:
1. HKBP belum merumuskan dengan baik ‘teologi persembahan’ atau ‘teologi uang’. Rumusan seperti ini dibutuhkan agar jemaat-jemaat dan warga HKBP memahaminya dan memberikan persembahan sebagaimana Tuhan kehendaki. Intinya, HKBP menganut ajaran persembahan ‘perseratusan’. Artinya hidup dan semua milik orang percaya dipersembahkan kepada Tuhan. Kalau HKBP mau menekankan lagi soal perpuluhan, itu seolah-olah HKBP memberi diskon 90%. Yang penting sekarang adalah bagaimana warga jemaat melakukan yang terbaik atas dasar iman dan kasihnya kepada Tuhan. Juga, bagaiamana Gereja ‘mengelola’ persembahan itu sesuai kehendak Tuhan.
2. Sebaiknya pengumpulan persembahan dalam ibadah Minggu, hari raya gerejawi dan di ‘partangiangan’ (persekutuan PA) dilakukan sekali saja. Pengumpulan persembahan lebih baik di tempat duduk, tidak harus ke depan. Dengan sekali pengumpulan persembahan dan tidak ke depan, diharapkan jalannya ibadah akan lebih khusuk dan setiap warga jemaat memberikan persembahan terutama dengan prinsip ‘antara aku dan Dia (Tuhan)’. Tidak ada kesan unsur ‘pemaksaan’ halus. Seingat saya ada satu jemaat GKJ di Yogyakarta yang mengubah 3 kali pengumpulan persembahan menjadi sekali saja, ternyata jumlah persembahan malah lebih banyak. Perubahan 3 kali menjadi sekali, tidak dimaksudkan ‘supaya’ persembahan lebih banyak (walaupun hal itu tidak salah), tetapi agaknya sekali pengumpulan persembahan lebih praktis dan teologis.
3. Pelaksanaan lelang dalam rangka penggalangan dana seharusnya ditiadakan di dalam gereja. Dana yang terkumpul mungkin saja lebih banyak dengan cara ini, tetapi jelas sekali ada hal-hal yang tidak sehat dan tidak membangun dalam praktek lelang di gereja. Di beberapa jemaat sudah ada yang menerapkan ‘janji iman’, yang perlu dikaji dan diteladani jemaat-jemaat yang lain.
4. Ressort-ressort seharusnya mengirimkan tanggungjawabnya ke pusat. Jika persembahan Minggu hanya sekali saja, maka perlu ditetapkan berapa persen yang dikirimkan ke kantor pusat, tergantung pada kebutuhan pelayanan pusat dan keadaan jemaat-jemaat HKBP. Ada yang mengatakan bahwa persembahana tidak dikirimkan ke pusat karena pusat tidak menggunakan dengan baik atau pusat tidak berbuat apa-apa kepada jemaat. Tentu, kita berharap bahwa kantor pusat HKBP akan tetap berkomitmen sebagai ‘kantor pusat’ pelayanan, bukan tahta kekuasaan duniawi. Tetapi menahan atau tidak menerahkan persembahan yang seharusnya dikirimkan ke kantor pusat tidak dapat dibenarkan. Biarkan Pusat bertanggung jawab kepada Tuhan dan kepada Sinode Agung. Tentu kita semua berharap dan berdoa agar uang persembahan itu digunakan sesuai kehendak Tuhan.
5. Sebagian besar ressort-ressort yang mendapat berkat Tuhan lebih banyak terkesan memikirkan ressort/ jemaat sendiri. Para pelayan juga ada yang terlalu kenyang makan dan ada yang agak lapar. Ada yang berhasil deposito tapi banyak yang selalu defisit. Yang terjadi sekarang adalah: Ressort/ Jemaat A misalnya 300 KK, tetapi disitu 2 atau 3 pendeta. Mengapa? Mereka punya uang lebih banyak. Ressort/Jemaat B, 700 KK, pendeta hanya satu. Mengapa? Jemaat ‘tidak mampu’ membiayai. Kalau HKBP benar-benar satu, Ressort/jemaat A yang mempunyai lebih banyak uang sepantasnya membiayai belanja satu pendeta di ressort/ jemaat B. Ressort/ jemaat mana yang mau memulai? Di Parlilitan ada 26 jemaat pagaran, dengan anggota jemaaat sekitar 1000 KK dilayani hanya satu orang Pendeta. Mengapa? Itu tadi: Parlilitan terlilit kemiskinan. Sudah saatnya jemaat-jemaat benar-benar mempraktekkan bahwa HKBP adalah satu, termasuk dalam penatalayanan keuangan. Jemaat-jemaat yang memegang lebih banyak uang Tuhan (persembahan) dapat membiayai belanja dua orang pendeta, misalnya, di Ressort Parlilitan dan di ressort-ressort lain.
Lebih dari semua itu, uang adalah sebuah sarana, bukan tuan dan tujuan.
Horas Amang!
ReplyDeleteSy rasa banyak jemaat ingin memberikan kembali kpd Tuhan. Tp mrk tdk percaya utk memberi ke gereja krn 'pendeta2nya' sdh kehilangan kredibilitas. Atau gereja sendiri mjd 'birokratis' dlm menyalurkan dana yg terkumpul. Shg mungkin banyak jemaat yg lsg menyalurkan sumbangan mrk ke lembaga2 lain selain gereja. Ato jemaat hanya memberikan lbh jika
persembahan itu memiliki tujuan khusus, misalnya utk disumbangkan ke panti asuhan tertentu ato korban bencana alam tertentu.
Sering juga gereja menuntut ke jemaat spy rajin mengumpulkan persembahan.
Tp gereja sering lupa bercermin apakah mrk sdh mempergunakan uang itu dgn accountability & responsibility.
Sy usul spy HKBP menunjukkannya accountability & responsibility ini ke jemaat dgn cara membuat laporan keuangan (spt public listed company) & membuatnya tersedia di website HKBP. Kalau perlu laporan itu hrs di-audit oleh akuntan publik juga.
Intinya, gereja juga hrs spt individu yg diberi talenta oleh Tuhan, yaitu: dikasih 5, dikembalikan 10; dikasih 2, dikembalikan 4.
Syalom.
Ada lumayan banyak yang terungkap di sini yang benar-benar perlu disikapi dan dilakukan dengan baik. Sangat setuju, kalau para pendeta memiliki integritas, karakter kristiani dan kredibilitas. Hanya saja, di HKBP persembahan bukan 'hanya' dialokasikan ke pendeta. Jadi, sekiranya ada pdt yang tidak punya kredibilitas, jangan sampai menjadi penghalang memberikan persembahan. Intinya, persembahan tetap disampaikan 'terutama dalam hubungan dengan Tuhan', bukan manusia, khususnya pendeta.
ReplyDeleteJuga sangat setuju bahwa keuangan pusat transparan, dalam artian dikelola dan diperiksa menurur aturan yang ada. Barangkali untuk mengumumkannya di website masih perlu dipikirkan baikk-buruknya. Contohnya mungkin belum ada, karena setahu saya belum ada gereja yang melakukan hal seperti itu. Artinya, jangan sampai atas nama transparansi, gereja mirip perusahaan yang pemilik sahamnya banak dari kalangan masyarakat. Warga jemaat bukan 'pemegang saham' keuangan gereja. Oleh karena itu, gereja ,MESTI dalam suasana doa dan perenungan mendalam dalam menggunakan uang gereja, janagan menghamburkananya untuk jalan-jalan, makan-makan, dan sebagainya yang tidak prioritas.
Horas Amang!
ReplyDeleteMinggu 5 Juli 2009 ini, saya mengikuti khotbah di HKBP,,,,,. Dalam pemaparan khotbah terselip soal perpuluhun tersebut, tapi yang menarik adalah ucapan sang Pendeta (perempuan) yang mengatakan "kalau jemaat sudah memberi persembahan (durung-durung) unang disato-satoi be (kalimat asli dari sang Pendeta), toho do naung sampulu persen tapasahat sian pandapotannta marhite persembahan tu gareja, ta alusi ma dibagasan rohanta be. Alai molo so toho sotung di unsat Debata muse sian hita, sambung sang pendeta dalam pemaparannya!. Kemudian saya berfikir "luar biasa nih pendeta". Dia sudah menghakimi kepercayaan jemaatnya. Lantas saya berfikir "HKBP susah sekali berubah ya!,,,kalau sudah memberi, balik kanan saja tidak usah bertanya lagi/mempertanyakan lagi. HKBP sangat anti transparansi, HKBP masih terkungkung hirarki antara Pendeta, parhalado dan ruas,,,,,jaman begini kok seperti hirarki militer,,,,militer saja bisa berubah!,,,,,syalom!
Kalau apa yang pak Amaniboy tuturkan ini benar dikatakan seorang pengkotbah, beliau itu perlu ditolong. Caranya, (1) didoakan, (2) diajak diskusi dengan baik-baik. Beliau punya kesempatan menjelaskan apa maksudnya 'unang disatosatoi' dsb. Siapa tahu hanya masalah 'semantik' (masalah peristilahan/ arti kata saja). Kalau ini masalahnya, beliau perlu ditolong agar menggunakan istilah yang mudah dimengerti jemaat. Tetapi, kalau masalahnya bukan hanya sekadar peristiahan, melainkan menyangkut esensi 'persembahan', perlu pembahasan yang luas dan alkitabiah.
ReplyDeleteSebuah sumber yang mengisahkan masalah persembahan HKBP:
ReplyDeleteA variety of methods were used to secure financial resources. Spiritual, moral and social pressure was exerted on those church members who were arrears in their payments. This might involve posting their name in the church, reading their names from the pulpit, or, if they fell a year behind, refusing them the services of the church in baptism or marriage. Special gifts of thanksgiving are taken at each church festival and two offerings were collected at services. Auctions were another popular form of fund-raising.
Horas Amang!
ReplyDeleteTerima kasih Amang atas balasan Amang terhadap komentar/kerisauan saya terhadap Jamita/khotbah perpuluhuan di HKBP .........!
Kata demi kata saya maknai arti kata-kata amang dan saya memahaminya. Ada dua cara untuk menolong menurut Amang (1)Didoakan (2)diajak diskusi baik-baik. Kemudian Amang ada menduga siapa tau ada "semantik" (masalah peristilahan/arti kata saja). Kalau cara menolong "didoakan",,mungkin diminta tidak diminta semua jemaat pasti mendoakan uluannya. Kemudian menyangkut salah istilah/salah pemahaman,,,,kok rasanya tidak Amang!. Dan jika pendeta mau diajak diskusi seperti apa yang amang katakan, saya pikir HKBP sudah berubah! Justru disitulah kadang permasalahannya Amang! Kalau kita ajak diskusi berarti kita sudah men-satoi-satoi lagi! ha,,ha,,ha
Sebagai gambaran Amang! sebelumnya di HKBP........tempat saya menjadi ruas kehilangan uang huria (memang diakui bendahara huria=seorang sintua) telah dipakainya untuk kepentingannya. Tetapi, maaf ada isu yang berkembang kalau uang huria yang hilang sebenarnya jauh lebih besar dengan korupsi berjamaah (maaf Amang meminjam istilah Ugamo tetangga) yaitu parhalado dan pendeta. Sejak itu jemaat kehilangan gairah menyumbang ke gereja. Sejak saat itu setiap pendeta ber-Khotbah jumlah jemaat menyusut/terkadang keluar saat khotbah. Tetapi kalau pelayan Firman Tuhan dari luar (tukar Mimbar) jemaat sangat banyak. Sampai sekarang/saat saya menulis ini, pendeta (uluan) selalu uring-uringan setiap ber-Khotbah."Unang be disato-satoi molo naung dipasahat. Parhalado ma mangurus i",,,padahal justru itu yang dikhawatirkan ruas,,,,penggelapan berjamaah.
Semoga Amang diberi panjang Umur dan semakin dikasihi Tuhan karena bekerja semata-mata untuk Kemuliaannya.
Terima kasih Amang atas paparan lebih lanjut. Saya percaya, amang mengungkapkannya semata-mata karena sebuah kerinduan agar HKBP berjalan dalam kehendak Tuhan, termasuk penatalayanan persembahan di HKBP.
ReplyDeleteSaya teringat pernyataan mantan Sekjen HKBP, Pdt OPT Simorangkir (alm) bahwa pemicu masalah utama di HKBP adalah 'masalah uang, kemudian menyusul: masalah akedudukan dan jabatan, masalah pengaruh dari luar mempengaruhi ke tubuh HKBP (seperti pemilihan kades berdampak ke gereja) dsb. Kalau boleh saya tambahkan, masalah utama di balik itu semua adalah 'spiritualitas' = partondion = haunduhon tu Tuhanta.
Memang ada begitu banyak kasus keuangan di HKBP mulai dari tingkataa jemaat hingga ake pusat. Dan kalau ada istilah 'jangan disatotoi' sebagai alasan membenarkan penyelewengan penggunaan persembahan, itu bukan saja kekeliruan, melainkan 'dosa'. Setiap warga jemaat bertanggungjawab mewujudkan kebenaran di dalam gereja. Yang perlu mungkin adalah 'bagaimananya'. Di sini kita perlu berhikmat agar setiap langkah yang kita tempuh, cara yang kita ambil, kata-kata yang kita sampaikan sunguh-sungguh sesuai isi hati Tuhan. Dunia ini sudah sejak lama mengangkat uang sedbagai ilahnya. Sayangnya, gereja terkadang terjatuh pada hal yang sama: uang diperilah dan yang ilahi diuangkan.
Disalah satu HKBP yg terdpt di Distrik Bekasi, Durung2x/kantong persembahan sampai 4 kali, 2 kali sblm berkhotbah dan 2 kali setelah berkhotbah dan 2 kali jk partanggiangan, tapi anehnya 1 kantong persembahan disunat yg jatahnya utk Pusat yg sehrsnya disetor seutuhnya, malah prnh hnya durung2x Sekolah Minggu sj yg disetor kepusat. Nah yg mnjd pertanyaan apakah dibenarkan tindakan penyunatan jatah pusat??? Apakah oknum2x Parhalado tsb telah melakukan kebohongan publik, pencurian & penggelapan jatah kePusat???
ReplyDeleteHoras Amang Pandita nami.
ReplyDeleteMudah-mudahan dijaha amang dope on, nangpe naung leleng postingan on.
Molo di patangiangan wijk dipatupa 2 hali papungu pelean. Pelean 1 tu Huria(na gumodang). Pelean 2 tu kas wijk.
Pelean na tu kas wijk laho pangkeon ni wijk ma i tu ulaon ni huria misalna, molo dipatupa huria pesta paskah , laos dibahen perlombaan2 laho memeriahkan perayaan paska i. Jadi pelean na di setiap kas ni wijk, boi ma pangkeonna laho manghobasi akka na rikkot di wijk i mandohoti kegiatan i.
Boha amang boi do songoni...?