REFLEKSI SENIN KE-18 2009: 27/4
‘Angka’ berperan penting dalam kehidupan manusia. Tidak ada keraguan dalam hal ini. Dapat kita bayangkan betapa kacaunya penanggalan waktu, perekonomian, sistem komunikasi, sistem transportasi, bahkan kehidupan bergereja tanpa ‘angka’. Khusus dalam lingkungan gereja, ‘angka’ dibutuhkan untuk mengorganisasi ayat-ayat Alkitab dan nyanyian, jumlah warga jemaat dan jumlah saldo atau defisit keuangan.
Seiring dengan perkembangan zaman, ada kesan bahwa ‘angka’ kian mendominasi kehidupan umat manusia. Bagi sebagian orang ‘PIN” (Personal Identity Number) sudah merupakan kebutuhan mutlak untuk ATM, email, kunci gerbang, kunci koper dan sebagainya.
Seiring dengan perkembangan zaman, ada kesan bahwa ‘angka’ kian mendominasi kehidupan umat manusia. Bagi sebagian orang ‘PIN” (Personal Identity Number) sudah merupakan kebutuhan mutlak untuk ATM, email, kunci gerbang, kunci koper dan sebagainya.
.
Kita perlu memikirkan angka dan angka mestinya membuat kita berpikir. Misalnya, dengan statistik jumlah penduduk dunia yang lebih dari 6 miliar (angka yang luar biasa!), mestinya membuat kita ‘berpikir’ bagaimana seharusnya gaya hidup kita agar bumi ini tidak kiamat sebelum waktu yang ditentukan oleh Tuhan. Ada kecenderungan bahwa seluruh penduduk dunia ingin mencapai gaya hidup orang-orang Amerika. Mari kita pikirkan angka-angka ini: Dengan 5% penduduk dunia, AS menghabiskan 40% sumber daya alam di pasar dunia setiap tahun. Kalau seluruh penduduk dunia mau hidup pada taraf kemakmuran di Amerika, ada dua pilihan yang sama-sama tidak mungkin: mengurangi jumlah penduduk global sebanyak 87,5% atau menemukan delapan bumi baru’.[1] ‘Angka seharusnya membuat kita berpikir –berpikir ulang akan gaya hidup dan cita-cita kita.
Di samping kebutuhan, kita juga menghadapi persoalan seputar angka, mulai dari manipulasi jumlah suara para calon legislatif hingga keyakinan ‘angka keramat’ dan ‘angka keberuntungan’. Banyak orang yang meyakini angka 13 sebagai angka sial. Itu sebabnya di beberapa bagunan bertingkat tidak digunakan angka 13 untuk lantai 13. Penggantinya dibuat angka 12b atau langsung angka 14. Demikian juga kamar hotel-hotel yang tidak membuat kamar 13. Orang-orang Kristen seharusnya melepaskan diri dari keyakinan-keyakinan demikian.
Yang menyesatkan dan paling menyedihkan berkaitan dengan 'angka' sedikitnya ada tiga.
Pertama, angka menggantikan nama manusia. Lihatlah penjara-penjara, kuli pelabuhan atau airport atau antrian. Mereka punya nama, tetapi mereka sering diperlakukan sebagai sekadar angka-angka.
Kedua, segala macam perjudian dengan taruhan. Ketika togel (toto gelap) masih merajalela di berbagai daerah di Indonesia, ‘mimpi’ menjadi sangat penting yang semuanya dianggap sebagai ‘kode alam’ atau petunjuk ke nomor tertentu. Yang mengherankan, ada pula orang yang beribadah di gereja justru pikirannya tertuju pada angka-angka. Melihat banyak 'angka 2' di dalam Tata Ibadah, seseorang menganggapnya sebagai ‘kode alam’ juga. Entah berkelakar atau tidak, pernah ada orang yang mengatakan bahwa dia mendoakan 'angka' tertentu kepada Tuhan agar kiranya Ia memberi kesempatan kepadanya menang undian, dan sebagian hasilnya akan diserahkan ke gereja. Untunglah dia tidak menang, kalau menang mungkin Ia berpikir bahwa Allah juga mengijinkan judi. (Di Singapur, toto atau undian ini legal. Diminati sangat banyak orang. Semoga orang-orang Kristen tidak menyalahgunakan ‘angka’ untuk hal-hal demikian.)
Ketiga, menyuburkan keinginan hingga mengalahkan kebutuhan. Kita bisa perhatikan bagaimana pusat-pusat perbelanjaan menarik perhatian para pembeli. Di Singapaura, misalnya, tidak asing bagi pemandangan kita promosi-promosi sebagai berikut:
Di samping kebutuhan, kita juga menghadapi persoalan seputar angka, mulai dari manipulasi jumlah suara para calon legislatif hingga keyakinan ‘angka keramat’ dan ‘angka keberuntungan’. Banyak orang yang meyakini angka 13 sebagai angka sial. Itu sebabnya di beberapa bagunan bertingkat tidak digunakan angka 13 untuk lantai 13. Penggantinya dibuat angka 12b atau langsung angka 14. Demikian juga kamar hotel-hotel yang tidak membuat kamar 13. Orang-orang Kristen seharusnya melepaskan diri dari keyakinan-keyakinan demikian.
Yang menyesatkan dan paling menyedihkan berkaitan dengan 'angka' sedikitnya ada tiga.
Pertama, angka menggantikan nama manusia. Lihatlah penjara-penjara, kuli pelabuhan atau airport atau antrian. Mereka punya nama, tetapi mereka sering diperlakukan sebagai sekadar angka-angka.
Kedua, segala macam perjudian dengan taruhan. Ketika togel (toto gelap) masih merajalela di berbagai daerah di Indonesia, ‘mimpi’ menjadi sangat penting yang semuanya dianggap sebagai ‘kode alam’ atau petunjuk ke nomor tertentu. Yang mengherankan, ada pula orang yang beribadah di gereja justru pikirannya tertuju pada angka-angka. Melihat banyak 'angka 2' di dalam Tata Ibadah, seseorang menganggapnya sebagai ‘kode alam’ juga. Entah berkelakar atau tidak, pernah ada orang yang mengatakan bahwa dia mendoakan 'angka' tertentu kepada Tuhan agar kiranya Ia memberi kesempatan kepadanya menang undian, dan sebagian hasilnya akan diserahkan ke gereja. Untunglah dia tidak menang, kalau menang mungkin Ia berpikir bahwa Allah juga mengijinkan judi. (Di Singapur, toto atau undian ini legal. Diminati sangat banyak orang. Semoga orang-orang Kristen tidak menyalahgunakan ‘angka’ untuk hal-hal demikian.)
Ketiga, menyuburkan keinginan hingga mengalahkan kebutuhan. Kita bisa perhatikan bagaimana pusat-pusat perbelanjaan menarik perhatian para pembeli. Di Singapaura, misalnya, tidak asing bagi pemandangan kita promosi-promosi sebagai berikut:
- Up to 70% off (diskon hingga 70%). Angka ini membuat orang tergiur. Padahal, yang menentukan harga sebelum dan sesudah diskon adalah pemilik toko juga. Bisa saja mereka naikkan dulu 70% lalu mereka turunkan sendiri 70%.
- Last day offer: Only $49.99; UP $100 (Penjualan hari terakhir, hanya $49,00; Usual Price –harga biasanya-- $100. Orang yang tidak berpikir kritis, merasa bahwa itu sudah murah, padahal yang menentukan UP adalah si penjual juga. Angka-angka itu hanyalah untuk menarik perhatian.
- Buy 3 get 1 free (beli 3 dapat satu gratis). Angka-angka ini juga pasti sekadar mempermainkan pembeli. Harga 4 sudah dimasukkan ke dalam 3. Buy 3 get 1 free, hanya sekadar akal-akalan.
Justru karena banyaknya orang yang terkecoh dengan angka-angka inilah salah satu penyebab begitu banyak barang-barang yang ada beberapa di rumah yang tidak dibutuhkan. Padahal, gaya hidup konsumerisme seperti itu amat mahal konsekuensinya terutama terhadap kerusakan alam yang sudah sangat parah saat ini.
Jadi, dari pada menyalahgunakan angka atau tertipu oleh angka-angka, lebih baik kita gunakan untuk hal-hal yang membangun iman kita dengan ‘menghitung’ segala berkat Tuhan dan menghitung hari-hari hidup kita sebagaimana dilakukan oleh Pemazmur. Tuhan mengetahui jumlah (dengan angka) rambut kita tapi tidak memperhitungkan dosa kita, asal kita mengaku, memohon pengampunan dan bertobat.
[1] Philipus Tule dan Wilhelmus Djulei (eds.), Agama-agama Kerabat Alam Semesta, Ende: Nusa Indah
No comments:
Post a Comment
Kami sangat menghargai komentar Anda yang membangun.