Saat ini istilah “transformation leadership” digunakan secara luas oleh hampir semua kalangan seperti organisasi, korporasi hingga kekristenan. Kita menemukan begitu banyak literatur dan website yang membahas tema ini dengan pengertian yang beraneka ragam pula.[2] Di kalangan Kristen sendiri pun tidak ada kesepakatan dalam penggunaan istilah ‘leadership’. Ada yang menggunakan istilah transformation servanthood karena dianggap lebih Alkitabiah.
Perbedaan-perbedaan tersebut tidak akan dibahas di sini. Cukup ditegaskan di sini dua hal. Pertama, istilah apa pun yang digunakan --“leadership” atau “servanthood”—yang terpenting adalah maknanya yang merujuk pada ‘fungsi pelayanan’, bukan sebagai ‘posisi’ --apalagi berkaitan dengan masalah ‘gengsi’. Kedua, kekristenan hendaknya tidak begitu saja mengadopsi pengertian, esensi dan cara-cara yang digunakan oleh dunia sekuler berkaitan dengan transformation leadership khsusnya menyangkut subjek (siapa pemeran utama) dan mengukur sukses. Bagi orang Kristen, “Subjek” adalah Allah sendiri; indikator ‘sukses’ sebuah kepemimpinan tidak ditakar dengan kalkulator; kebenaran lebih penting dari pada performance (yang amat kental dalam organisasi sekuler).
Berikut ini ada empat hal pokok berkaitan dengan ‘transformation leadership’ dalam konteks kehidupan bergereja, yakni: (1) Esensi Kepemimpinan Kristen, (2) Pemimpin yang bagaimana, (3) Bagaimana memimpin, (4) Mengalahkan Pencobaan
1. ESENSI KEPEMIMPINAN KRISTEN
Jabatan gerejawi dalam Perjanjian Baru berintikan:
– Sebagai pelayanan bukan kedudukan yang lebih tinggi
– Pemegang jabatan adalah hamba, bukan tuan
– Terutama dalam pengertian fungsi bukan posisi
– Menekankan kualitas kehidupan bukan terutama soal keahlian
Dalam kaitan itu dapat ditekankan hal-hal berikut:
(1) Jabatan gerejawi atau tugas kepemimpinan adalah terutama pemberian Tuhan, bukan “pencapaian”, baik melalui pendidikan formal maupun keahlian yang lahir dari pengalaman, walaupun semuanya itu penting. Para pemimpin yang disebut di dalam Alkitab lebih menekankan peranan ‘hati’ ketimbang keahlian dan pengalaman.
(2) Pelayanan adalah ‘keikutsertaan’, bukan pengalihan dari Yesus. Ia tidak pernah melakukan “serah terima” kepada para murid-Nya dan kita. Ia tetap Pemilik pelayanan dan para pelayan. Ia berjanji untuk menyertai kita sampai akhir zaman (Mat 28:20).
(3) Tanpa kita pun, Kerajaan Allah tetetap dapat berjalan. Keasadaran seperti ini merupakan dasar kokoh pentingnya kerendahan hati kita.
Berkaitan dengan itu, 10 prinsip pelayanan sebagaimana disebutkan Warren Wiersbe berikut ini amat penting kita renungkan:
Dasar pelayanan adalah Karakter
Sifat pelayanan adalah Pengabdian
Motif pelayanan adalah Kasih
Ukuran pelayanan adalah Pengorbanan
Kekuatan pelayanan adalah Penyerahan diri
Tujuan pelayanan adalah Kemuliaan Allah
Perangkat-perangkat pelayanan adalah Firman Tuhan dan Doa
‘Hasil’ pelayanan adalah Pertumbuhan
Kuasa pelayanan adalah Roh Kudus
Model pelayanan adalah Kristus
2. PEMIMPIN YANG BAGAIMANA
Salah satu yang sangat mendasar dalam kepemimpinan Kristen adalah ‘panggilan’ Tuhan. Hanya dengan demikian seorang pemimpin dapat memiliki visi dan misi dari Yesus. Jika tidak, pemimpin hanyalah menciptakan visi dan misinya sendiri.
Kita tidak memiliki visi dan misi dari diri kita sendiri. Visi Alkitabiah adalah hadirnya Kerajaan Allah yang berisikan syalom, kebahagiaan, kebenaran, keadilan. Seiring dengan itu, misi Tuhan Yesus yang di dalamnya Gereja dan orang-orang percaya terlibat adalah “memberitakan Injil” dalam kata dan perbuatan (Mat. 5:13 ; Luk 4: 18-19; Mrk 16:15). Di kemudian hari, Gereja merumuskan apa yang disebut dengan Tritugas Panggilan Gereja yang juga berlaku hingga hari ini, yaitu: Koinonia, Marturia, Diakonia.
Tema “Jemaat Misioner” sudah lama diperdengarkan di kalangan gereja-gereja Reformasi, yang intinya bahwa setiap orang percaya adalah “misionaris” melalui kata, sikap dan perbuatan dalam kehidupannya sehari-hari di mana pun ia berada. Hal ini sejalan dengan apa yang ditekankan dalam Efesus 4:11-12. Yesus memberi: Rasul-rasul, nabi-nabi, pemberita-pemberita Injil, gembala-gembala, pengajar-pengajar, yang tugasnya adalah memperlengkapi orang-orang kudus (=setiap orang percaya). Orang percya yang diperlengkapi ini bertugas untuk melayani untuk pembangunan tubuh Kristus. Jadi, semua orang percaya adalah ‘pelayan’. Untuk mengemban missi tersebut, para pemimpin/ pelayan Gereja membutuhkan sedikitnya empat hal berikut:
(1) Spiritualitas yang tangguh
Seorang ‘transformational leader’ adalah pertama dan terutama yang mengalami metamorfose (transformasi). Berikut ini ada beberapa bagian firman Tuhan:
►Yohanes 15:4: Tinggallah di dalam Aku dan Aku di dalam kamu. Sama seperti ranting tidak dapat berbuah dari dirinya sendiri, kalau ia tidak tinggal pada pokok anggur, demikian juga kamu tidak berbuah, jikalau kamu tidak tinggal di dalam Aku.
Perubahan hidup kita hanya bisa terjadi ketika undangan Yesus ini kita terima dengan iman, sukacita dan kerendahan hati. Dengan demikian, kitalah menyesuaikan diri dengan kehendak Kristus, bukan Kristus menyesuaikan diri dengan kehendak kita.
►Yeremia 18:6 “seperti tanah liat di tangan tukang periuk, demikianlah kamu di tangan-Ku”. Kita harus selalu siap dibentuk oleh Tuhan. Kita percaya bahwa rancanganNya adalah rancangan yang baik untuk kita.
►Roma 12:2 “Janganlah kamu menjadi serupa dengan dunia ini, tetapi berubahlah oleh pembaharuan budimu, sehingga kamu dapat membedakan manakah kehendak Allah: apa yang baik, yang berkenan kepada Allah dan yang sempurna”
Dalam bahasa aslinya (Yunani), kata ‘berubah’ di sini adalah metamorfose (transformasi) yang menunjukkan suatu perubahan kualitas. (Istilah biologi untuk perubahan kepongpong menjadi kupu-kupu juga menggunakan kata ‘metamorfose”.) Jadi, manusia yang mengalami metamorfose adalah perubahan dari manusia lama menjadi manusia baru di dalam Kristus.
►2 Kor. 5:17 “Jadi siapa yang ada di dalam Kristus, ia adalah ciptaan baru: yang lama sudah berlalu, sesungguhnya yang baru sudah datang.”
►Galatia 2:20 “Aku hidup, tetapi bukan lagi aku sendiri yang hidup, melainkan Kristus yang hidup di dalam aku.”
Berdasarkan firman Tuhan di atas, transformation leadership dapat diartikan sebagai:
“Pemimpin yang mengalami “metamorfose”/ transformasi oleh kasih Kristus
dan melakukan pembaharuan seturut kehendak Kristus dalam pelayanan yang Ia percayakan”
(2) Karakter
‘Karakter” adalah siapa kita di tempat tersembunyi atau di luar pantauan orang. Pikiran dan perbuatan kita terutama ‘antara Dia (Tuhan) dan aku’. Kita tidak berbuat baik supaya menerima kebaikan, ucapan terima kasih atau pujian manusia.
Dalam Kis. 6:3 disebutkan kaulitas seorang yang melayani di jemaat yakni: terkenal baik, penuh Roh, berhikmat. Lebih rinci dalam 1 Timotius 3:1-7 Rasul Paulus mendaftarkan kualitas yang diharapkan dari seorang pelayan yaitu: tak bercacat, monogami, dapat menahan diri, bijaksana, sopan, suka memberi tumpangan, cakap mengajar orang, bukan peminum bukan pemarah melainkan peramah, pendamai, bukan hamba uang, kepala keluarga yang baik, disegani dan dihormati oleh anak-anaknya, jangan seorang yang baru bertobat, mempunyai nama baik di luar jemaat.
(3) Integritas
Integritas adalah menyatunya iman, kata dan perbuatan. Pemimpin kristiani tidak dapat mengandalkan teori-teori psikologis dan teknik-teknik berkomunikasi (walaupun keduanya diperlukan) dalam menjalani kehidupan dan pelayanan, tetapi berakar kuat pada firman Tuhan. Dalam Gal. 5:22-23 disebutkan ‘buah-buah Roh’ yakni: kasih, sukacita, damai sejahtera, kesabaran, kebaikan, kemurahan, kesetiaan dan penguasaan diri. Pelayan yang memiliki Spirit-controled temperament!
Untuk hadirnya buah-buah Roh dalam diri kita, maka kita harus membuang segala yang merusak kita dan yang menghalangi Roh berkarya dalam diri kita, di antaranya: sakit hati, kemarahan, kebencian, kekuatiran, kerakusan dan kesombongan.
(4) Keterampilan
Keterampilan di sini mencakup: (1) Kreativitas atau daya cipta yang mendukung terhadap pelayanan. Dalam hal ini seorang pemimpin lebih baik menggunakan yang ada ketimbang menangisi yang sudah tidak ada atau menguatirkan yang belum ada. (2) Memiliki kecerdasan interaksi atau kemampuan menjalin hubungan yang baik dengan sesama. (3) Kemampuan berkomunikasi secara efektif. (Perlu dicatat bahwa teknik berkomunikasi tidak menjamin hubungan baik). Salah satu ciri komunikator yang baik adalah “mengetahui lebih banyak dari apa yang ia katakan, bukan mengatakan lebih banyak dari yang diketahuinya”
3. BAGAIMANA MEMIMPIN
(1) Memimpin dalam nama Yesus. Pola utama Yesus adalah:
- Pengaruh bukan kontrol. Ia memanggil orang mengikut Dia, mengundang untuk menentukan pilihan.
- Penggunaan kuasa: terpusat pada kebutuhan orang lain.
- Membatalkan hak-haknya dan melayani.
- Tidak memperkuat kekuasaan pemimpin tetapi membebaskan umat agar memberi diri mereka untuk kebaikan orang yang lain.
(2) Pendelegasian tugas tanpa mengabaikan tanggung jawab (cth. ‘manajemen’ Yitro dalam Keluaran 18:13-27).
(3) Menolak “kekurangan orang” tetapi mengasihi dan menghargai “orangnya” (Bnd. Zakheus: Yesus memebenci dosa tetapi mengasihi Zakheus).
(4) Menerima dan memberi kritik dengan bijaksana. “Kritik, Yes!; Tukang Kritik, No!”[3]
(5) Proses dan tujuan sama-sama penting. Hal ini dapat digambarkan seperti sebuah nasihat berlalu-lintas di salah satu daerah di Sulawesi, “Lebih baik lambat sampai ke rumah dari pada cepat masuk rumah sakit”. Dalam pelayanan di Gereja kita membutuhkan kesabaran.
(6) Memadukan integrasi dan dominasi positif secara seimbang. Integrasi mengandung sikap menghargai, rasa empati dan semangat kebersamaan. Dominasi positif mengandung sikap: konsekuen, kesediaan menggambarkan dengan argumen yang baik, teguh dalam prinsip tetapi luwes dalam bertindak.
(7) Mengambil keputusan dengan pimpinan Roh. Belajar dari para rasul dalam pengambilan keputusan: “Sebab adalah keputusan Roh Kudus dan keputusan kami,…” (Kis. 15).
(8) Finishing Well. Banyak pemimpin yang disebutkan di dalam Alkitab, para pemimpin dunia dan para pemimpin atau pelayan gereja yang tidak finishing well. Dengan pertolongan Tuhan, kita dapat menjalankan tugas pelayanan dan finishing well.
4. MENGALAHKAN PENCOBAAN
Yesus sudah mengalahkan pencobaan: menjadi relevan, menjadi hebat, berkuasa menurut ukuran dunia (bnd. Luk. 4:1-13). Bersama Ia pula kita mampu mengalahkan pencobaan yang terus mengitari kita.
(1) Tidak mencari ‘pengakuan’, memberi kesan, atau menjadi hebat. Pemimpin gerejawi adalah bagaikan ‘bejana tanah liat’ (seperti digambarkan oleh Paulus), bukan selebriti.
(2) Kita ‘membawa’ orang kepada Kristus, bukan kepada diri kita sendiri. Kita mempromosikan Kerajaan Allah, bukan diri kita.
(3) Melepas beban yang tidak perlu dan non-salib dengan memaksa diri melakukan semua hal. Terlalu banyak kerja, hilangnya sukacita, pudarnya semangat atas nama ‘pelayanan’ bukanlah tanda-tanda hidup di dalam Roh.
(4) Bebas dari dua ekstrim: mengorbankan (memanfaatkan) Gereja untuk ‘altar’ keluarga atau mengorbankan (mengabaikan) keluarga untuk ‘altar’ gereja. Memanfaatkan gereja untuk ‘altar’ keluarga bisa saja mewujud mulai dari bentuknya yang paling halus seperti mendapat ‘medali’, pengakuan, hingga kemewahan materi. Sementara mengorbankan keluarga untuk ‘altar’ gereja tidak saja bisa menimpa para keluarga pelayan fulltimer dengan mengabaikan persekutuan dalam keluarganya karena terlalu sibuk atas nama pelayanan, tetapi bisa juga menjangkiti para aktivis gereja yang mengorbankan seluruh waktu yang tersisa dari pekerjaan sehari-hari untuk pelayanan dan mengabaikan keluarga.
(5) Bebas kekerasan dan pemaksaan, mulai dari pikiran, perkataan hingga tindakan.
(6) Konflik yang tidak terhindarkan, Yes!; Bermusuhan dan saling terkam, No! Orang yang dibaharui oleh Kristus tahu persis bagaimana menangani konflik secara dewasa.
Bagaimana kita dapat dikuatkan mengalahkan pencobaan? Kita hanya dapat mengalahkannya bersama Kristsus yang sudah berhasil mengalahkan semua godaan tersebut. Dalam hal ini kita perlu mengembangkan disiplin rohani: doa, kontemplasi, dan meditasi. Mendisiplinkan diri berdiam diri, melakukana kontemplasi dan meditasi serta menghidupi prinsip-prinsip mendasar spiritual seperti menghindari diri dari kesombongan, mengembangkan kerendahan hati dan mengasihi Allah melebihi segalanya, amat kentara keabsenannya saat ini. Ketika bagian diri kita yang terdalam –jiwa, hati dan pikiran kita—dikunjungi dan didiami oleh Allah, maka transformasi dan pembaharuan Gereja dan perubahan-perubahan revolusioner di dunia ini akan terjadi.
SIAPA YANG MAMPU?
Melihat uraian di atas, kita bisa saja tergoda setengah menggugat: siapa yang mampu? Perasaan tidak layak untuk tugas kepemimpinan/ pelayanan bisa saja memenuhi pikiran kita. Kita tidak sendirian dalam hal ini. Ada juga dari antara para pemimpin yang dipanggil oleh Allah sebagaimana disebut di dalam Alkitab merasakan hal yang sama. Musa, Yeremia, Amos dan lain-lain juga pernah merasakannya. Keasadaran seperti itu sesungguhnya dapat menjadi pintu masuk bagi kita untuk mengenal betapa besar kasih dan rahmat Tuhan yang memperlengkapi kita. Kita memang tidak layak. Kita dilayakkan. Pada akhirnya, kita dapat dengan rendah hati mengaku bersama Paulus:
Dengan diri kami sendiri kami tidak sanggup untuk memperhitungkan sesuatu seolah-olah pekerjaan kami sendiri; tidak, kesanggupan kami adalah pekerjaan Allah (2 Korintus 3:5).
Ya, kesanggupan kita adalah pekerjaan Allah.
Untuk mengakhirinya, berikut adalah cerita sebagaimana dicatat oleh Anthoni de Mello yang kiranya dapat meneguhkan kita untuk pertama merelakan diri ditransformasi oleh Tuhan:
Sufi Bayazid bercerita tentang dirinya seperti berikut ini:
Waktu masih muda, aku ini revolusioner dan selalu berdoa:
“Tuhan berilah aku kekuatan untuk mengubah dunia”
Ketika aku sudah setengah baya dan sadar bahwa setengah
hidupku sudah lewat tanpa mengubah satu orang pun,
aku mengubah doaku menjadi:
“Tuhan berilah aku rahmat untuk mengubah semua orang yang
berhubungan denganku:
keluarga dan kawan-kawanku, dan aku akan merasa puas”.
Sekarang ketika aku sudah menjadi tua
dan saat ajal sudah dekat,
aku mulai melihat betapa bodohnya aku.
Doaku satu-satunya sekarang adalah:
“Tuhan berilah aku rahmat untuk mengubah diriku sendiri”.
Seandainya sejak semula aku berdoa demikian, maka aku tidak begitu
menyia-nyiakan hidupku
[1] Sebelumnya pernah disampaikan pada “Pembinaan Leadership Majelis Jemaat dan Pengurus Komisi” Gereja Presbyterian Orchard, Singapura, 14 Maret 2009, oleh Pdt Victor Tinambunan
[2] Dalam pengertian umum ‘transformation leadership’ merupakan suatu gaya kepemimpinan yang menekankan kerja sama dimana para pemimpin dan para pengikut atau anggota saling membangun. Transformation leadership fokus pada ‘pentransformasian’ orang lain untuk saling menolong satu sama lain, saling memperhatikan, saling meneguhkan, hidup dalam keharmonisan, dan mengutamakan kepentingan organisasi.
[3] Uraian selengkapnya tentang topik “Kritik, Yes; Tukan Kritik, No”, silahkan mengakses http://hkbps.com/?p=180
No comments:
Post a Comment
Kami sangat menghargai komentar Anda yang membangun.