REFLEKSI SENIN KE-9 2009
‘Hukum pemberian berbasalan setimpal’ tidak asing dalam kehidupan kita keseharian. Misalnya, kalau orang lain memberi hadiah ulang tahun kepada kita, kita merasa tidak enak kalau tidak memberi hadiah pada ulang tahunnya. Bagi sebagian orang mungkin hadiahnya pun diusahakan agar harganya kurang lebih sama dengan yang pernah diterima. Jika orang yang kita undang tidak menghadiri pesta kita, kita tidak merasa apa-apa jika kita tidak menghadiri pestanya di kemudian hari. Bahkan, hal yang sama bisa merembes ke dalam kehidupan bergereja. Jika seseorang hadir pada saat PA di rumah kita, kita akan datang ke rumahnya pada saat PA berikutnya diadakan di rumahnya. Kalau tidak, kita juga tidak datang mengikuti PA di rumahnya. Itulah ‘hukum pemberian berbalasan”. Itu pula yang sudah lama terjadi bahkan pada zaman Yesus.
Melihat kenyataan seperti itu, Yesus menantang pendengar-Nya dulu dan menyapa kita pada saat ini bahwa sikap demikian sebenarnya tidak ada istimewanya. Sebab, orang-orang berdosa pun melakukan hal yang sama. Kita dapat melihat lebih jelas dalam teguran Yesus sebagaimana tertulis dalam Lukas 6:
· Tidak ada istimewanya mengasihi orang yang mengasihi kita, karena orang berdosa pun berbuat demikian (ay 32)
· Tidak ada istimewanya berbuat baik kepada orang yang berbuat baik kepada kita, karena orang berdosa pun berbuat demikian (ay 33)
· Tidak ada istimewanya meminjamkan sesuatu kepada orang dengan berharap bahwa kita akan menerima sesuatu dari padanya, karena orang berdosa pun berbuat demikian (ay 34)
Sebagai pengikut Tuhan, kita seharusnya menunjukkan sesuatu yang lain, melampaui kebiasaan umat manusia. Dikatakan dalam ayat 35, “Tetapi kamu, kasihilah musuhmu......” Ini merupakan sesuatu yang sangat sulit dari dulu hingga hari ini. Buktinya? Orang yang mengasihi kita saja terkadang kita tidak sungguh-sungguh mengasihinya. Kita terkadang tergoda ‘memanfaatkan’ mereka, apalagi mengasihi musuh. Amat berat! Pada zaman Yesus, bagi sebagian orang untuk mengatakan mengasihi musuh saja sangat sulit, apalagi melakukannya. Pada waktu itu, orang-orang menghendaki agar musuh-musuh mereka mendapat celaka. Kalau musuh mendapat celaka mereka mungkin berkata, “tahankan biar tahu rasa kau!” “Itu belum setimpal dengan kesalahanmu”. “Kok tidak mati saja dia sekalian!” dan sebaginya.
Bagaimana dengan sekarang? Pengalaman kita menunjukkan, bahwa apa yang terjadi pada zaman Yesus masih merupakan penyakit yang sama hingga hari ini. Itu sebabnya perang terjadi di mana-mana, dari perang urat saraf hingga perang dengan pedang dan senapan. Yesus dengan tegas mengamanatkan, “kasihilah musuhmu...” Amat berat, tetapi tugas panggilan kita adalah untuk menjadi berkat dan menjadi sahabat bagi semua orang. Kemauan dan kemampuan kita mengasihi musuh akan melahirkan perdamaian di dunia ini dan itu akan menjadi kemuliaan bagi Tuhan, sekaligus untuk kedamaian hati dan kebahagiaan kita juga. Sebab, orang yang menyimpan kebencian tidak mungkin berbahagia.
Sedikitnya ada tiga hal penting berkaitan dengan mengasihi musuh. Pertama, kebahagiaan untuk diri kita sendiri karena hati kita tidak diracuni oleh permusuhan. Kedua, menjadi kesaksian bagi orang lain yang dapat menolong mereka untuk bertobat dan berbalik bersahabat dengan kita. Ketiga, Allah kita dimuliakan karena kita anak-anakNya hidup dalam perdamaian dan saling mengasihi. Lagipula, ketika kita bermurah hati kepada orang lain bahkan kepada musuh, sesungguhnya kita telah terlebih dahulu menerima kemurahan hati Allah (ayat 36). Artinya, kemurahan hati bukanlah dari diri kita sendiri tetapi kita terima dari Tuhan dan kita teruskan kepada orang lain.
No comments:
Post a Comment
Kami sangat menghargai komentar Anda yang membangun.