12 APRIL 2010
Beberapa tahun terakhir para peneliti telah mencoba melihat hubungan rasa syukur dengan kesehatan manusia. Dr. DeSteno, (Northwestern Universitity) berkata, "rasa syukur membuat orang berbuat kebajikan, tidak mementingkan diri sendiri dan mendukung kehidupan sosial yang baik, yang berdampak positif terhadap kesehatan fisik dan kesehatan psikologis”. Dr. Robert Emmon, profesor psikologi di Universitas California mengatakan bahwa mereka yang memiliki rasa syukur mengurangi tingkat iri hati, rasa kesal, dan kebencian. Mereka dapat tidur lebih baik, berolah raga lebih banyak (catatan: di Parlilitan dan Cililitan olah raga termasuk dalam bekerja di ladang dan tempat dagang) dan membuat tekanan darah normal. Senada dengan itu Dr Brenda Shoshanna, seorang psikolog New York mengatakan, “Anda tidak dapat depresi dan bersyukur pada saat yang sama". (Strait Times, 27 November 2009).
Meskipun penelitian ini dilakukan dalam konteks Barat, apa yang disingkapkan para peneliti di atas dapat menjadi pegangan kita: rasa syukur mendukung kesehatan tubuh dan emosi kita. Namun kita tidak dapat berkata bahwa orang yang sakit itu sudah pasti karena kurang bersyukur. Itu tindakan menghakimi. Juga bukan suatu kepastian bahwa orang yang sehat adalah orang-orang yang bersyukur. Banyak faktor yang membuat seseorang sakit. Banyak pula orang yang sehat yang tidak bersyukur.
Bagaimana rasa syukur memberi sumbangan terhadap kesehatan emosi dan tubuh? Sedikitnya empat hal dapat disebutkan di sini.
Pertama, rasa syukur satu paket dengan ‘sukacita’. Dalam hal ini kita dapat mengaminkan Amsal 17:22 “Hati yang gembira adalah obat yang manjur, tetapi semangat yang patah mengeringkan tulang” Dan 15:13 “Hati yang gembira membuat muka berseri-seri, tetapi kepedihan hati mematahkan semangat.” Para pasien penderita kanker biasanya selalu dinasihatkan supaya mereka ‘beremangat’ (yang unsur ‘sukacita’ ada di dalamnya) yang mendapat porsi 50% dalam memberi kesembuhan.
Kedua, orang yang memiliki rasa syukur tidak akan terbelenggu oleh ketegangan yang tidak perlu. Orang yang bersyukur dapat menjalani hidup apa adanya –tanpa menangisi masa lalu atau menguatirkan masa depan-- dengan kesadaran bahwa penyelenggaraan Allah masih tetap berjalan. Hidup yang bebas dari ketegangan yang tidak perlu atau stress berlebihan sangat mendukung kesehatan tubuh.
Rasul Paulus menasihatkan: “Janganlah kamu memikirkan hal-hal yang lebih tinggi dari pada yang patut kamu pikirkan, tetapi hendaklah kamu berpikir begitu rupa, sehingga kamu menguasai diri menurut ukuran iman, yang dikaruniakan Allah kepada kamu masing-masing (Roma 12:3). Memikirkan hal-hal yang lebih tinggi dari yang patut kita pikirkan dapat menjadi sumber ketegangan yang tidak perlu, yang pada akhirnya dapat memperburuk kesehatan emosi dan tubuh kita.
Ketiga, orang yang bersyukur beribadah dengan benar. Kehidupan doanya terpelihara. Mereka bersahabat dengan firman Tuhan melalui disiplin membaca Alkitab. Semua ini dilakukan tanpa dipaksa atau terpaksa. Setiap aktivitas kehidupan yang dilakukan dengan kerelaan, bebas dari paksaan, memberi sumbangan yang sangat bersar terhadap kualitas kehidupan.
Keempat, bertemu dengan orang yang dipenuhi rasa syukur sungguh memberi keteduhan. Kita tidak merasa terancam. Sebab, orang yang memiliki rasa syukur tidak mungkin menyombongkan diri dan tidak mungkin menonjolkan diri. Orang yang bersyukur tidak hadir sebagai ancaman kepada orang lain dan tidak memperlakukan orang lain sebagai ancaman terhadap dirinya. Dengan demikian tercipta suatu hubungan yang sehat; dan hubungan yang sehat juga menentukan kesehatan emosi dan tubuh.
Apa penghalang ‘rasa syukur?’ Yang utama adalah rasa tidak puas atau keinginan tanpa batas. Perlu kita sadari bahwa seringkali kita tidak bersyukur bukan karena kita tidak memiliki cukup tetapi karena orang lain memiliki lebih banyak. Kita dapat melihat korupsi dan yang sejenisnya dari keadaan seperti ini. Orang yang dikuasai rasa tidak puas akan memperlakukan Allah dan sesama hanya sebagai alat untuk mencapai keinginannya. Ia memaksa. Memaksa diri sendiri, memaksa orang lain dan juga memaksa Tuhan. Kita tahu bahwa semua ‘dipaksa’ berdampak buruk terhadap kehidupan (menjadi kekecualian paku dan tiang penyangga bangunan).
Dengan mengetahui penghalang rasa syukur dan dampak buruknya terhadap kehidupan, kiranya kita dapat melangkah dalam sikap dan cara yang baru. Melangkah dengan pengucapan syukur; pengucapan syukur yang lahir dari pengakuan iman bahwa ketika kita memiliki Allah, kita memiliki segala sesuatu yang Ia kehendaki demi kebaikan kita.
UNTUK BISA MEMBANTU MENDAPATKAN NILAI SYUKUR YANG HAKIKI, RENUNGKANLAH :
ReplyDelete1. RENDAHKAN HATI KITA, LEBIH RENDAH DARI KETIDAK BERDAYAAN.
2. LEMBUTKAN HATI KITA, LEBIH LEMBUT DARI KESABARAN.
3. LEMBUTKAN NIAT UNTUK BERBUAT KEBAIKAN, LEBIH LEMBUT DARI KASIH SAYANG.