Seringkali orang bertanya kepada Yesus. Motifnya beragam. Ada karena ketidaktahuan disertai keingin-tahuan, ada pula karena ingin membenarkan diri, bahkan dengan tujuan untuk menjebakNya. Tapi, semua pertanyaan yang diajukan kepadaNya mendapat jawaban. Memang, jawabannya sering tidak seperti diharapkan oleh si penanya. Tapi, yang jelas semua dijawab dengan cara dan tujuanNya sendiri.
Bagimana dengan kita? Barangkali kita semua pernah mengajukan pertanyaan kepada Tuhan melalui doa kita. Hal yang biasa pula kita bertanya kepada hamba Tuhan bagaimana menurut mereka ‘jawaban’ Tuhan terhadap pertanyaan yang mengganjal di benak kita. Ada kalanya kita merasa mendapat ‘jawaban’ Tuhan. Ada juga kalanya kita sama sekali tidak mendapat jawaban seperti apa yang kita mau. Tetapi sebenarnya kita tetap mendapat jawaban, yang biasanya jelas ketika kita tidak fokus pada pertanyaan kita, melainkan dengan menguji kembali pertanyaan kita disertai dengan suatu usaha.
Bayangkan Anda menderita sakit perut. Dalam doa khusuk Anda bertanya, “Tuhan, apakah sakit perut saya ini karena kesalahan saya atau suatu ujian dari padaMu? Dan apakah sakit perut ini karena keracunan makanan atau karena masuk angin?” Anda terus menanti jawaban dari Tuhan, dan Ia tidak ‘menjawab’ sesuai dengan pertanyaan Anda. Berhari-hari, berminggu-minggu tanpa sebuah usaha pengobatan. Anda bisa bayangkan bagaimana keadaan Anda selanjutnya.
Atau, Anda seorang gadis yang mau menetukan pilihan calon suami bertanya dalam doa, “Tuhan berilah tanda kepadaku apakah Ali atau Eli yang Engkau kehendaki menjadi suamiku?” Anda menunggu tanda tapi tidak muncul-muncul. Mungkin Anda tidak akan pernah menerima tanda sebagaimana Anda inginkan. Apakah Tuhan tidak menjawab? Tuhan menjawab! Jawabannya, Tuhan ‘menugaskan’ Anda untuk melihat hati Anda, menguji motivasi Anda, mengenal kedua pilihan Anda lebih baik dan sebagainya. Artinya, ‘tanda’ itu justru muncul dari usaha Anda, bukan dihantar oleh Tuhan ke dalam mimpi Anda.
Ada banyak contoh yang dapat kita sebutkan dari pengalaman orang-orang percaya yang mengajukan pertanyaan kepada Tuhan. Kita dapat melihat beberapa contoh dari Alkitab dan mengambil hikmahnya dalam kehidupan kita. (P=Pertanyaan; J=Jawaban Yesus).
P: “Siapakah di antara ketujuh orang itu yang menjadi suami perempuan itu pada hari kebangkitan?” (Mat. 22: 28). Pertanyaannya adalah “siapa”, yang membutuhkan jawaban ‘nama orang’, bukan?
J: “Kamu sesat, sebab kamu tidak mengerti Kitab Suci maupun kuasa Allah” (ay 29). Masalah di sini, si penanya tidak mengerti Kitab Suci maupun kuasa Allah. Jadi, pertanyaannya pun menjadi salah juga. Yang dibutuhkan oleh si penanya adalah ‘mengerti Kitab Suci dan kuasa Allah’. Pertanyaannya pun akan berbeda. Bahkan, bukan pertanyaan lagi yang muncul, melainkan pernyataan yang meneguhkan.
*********
P: “Apakah diperbolehkan membayar pajak kepada Kaisar atau tidak?” (Mat 22:17). Sebenarnya, pertanyaan ini hanya membutuhkan jawaban “boleh” atau “tidak boleh”.
J: “Mengapa kamu mencobai Aku, hai kamu orang-orang munafik? Tunjukkanlah kepadaKu mata uang untuk pajak itu” (ay 18-19). Sampai di sini sudah ada dua ‘jawaban’ Yesus. Yang bertanya mencobai Yesus dan meminta mereka menunjukkan mata uang. Dalam hal ini jawaban Yesus adalah untuk (1) Menyadarkan mereka, bahwa mereka salah: mereka mencobai Yesus. (2) Mereka perlu mendapat jawaban dari apa yang mereka punyai, yaitu mata uang. Mereka perlu berpikir, bergerak atau berbuat sesuatu. Artinya, mereka memiliki jawabannya sendiri, jika mereka mau berpikir jernih.
*********
P: “Guru, hukum manakah yang terutama dalam hukum Taurat?” (Mat 22:36). Pertanyaannya hanya satu, yakni “hukum yang terutama”.
J: “Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu. Itulah hukum yang terutama dan yang pertama. Dan hukum yang kedua, yang sama dengan itu, ialah: Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri” (37-39). Di sini Yesus memberi jawaban lebih dari yang diminta. Sebuah “jawaban yang lengkap” kepada sebuah “pertanyaan yang kurang lengkap”. Kita juga mengalaminya jika kita memeriksa pengalaman hidup kita.
*********
P: “Katakanlah kepada kami, bilamanakah itu terjadi dan apakah tanda kedatanganMu dan tanda kesudahan dunia?” (Mat 24:3). Di sini juga jelas sekali isi pertanyaan: “kapan” dan “apa tanda” kedatangan Yesus dan kesudahan dunia. Jawaban yang mereka harapkan adalah : 10 tahun, 100 tahun atau ‘pada masa generasi mendatang”. Mereka butuh jawaban konkret.
J: “Waspadalah supaya jangan ada yang menyesatkan kamu!” (ay 4). Lagi-lagi, jika pertanyaannya di sekolahan, jawaban itu salah bukan? Tak ‘nyambung’! Tapi itulah cara Yesus mengarahkan para murid untuk fokus pada apa yang paling perlu bagi mereka. Yang paling penting adalah murid harus ‘berjaga-jaga’. Jangan kita alihkan tanggung jawab kita.
*********
P: “Siapakah sesamaku manusia?” (Luk. 10:29). Pertanyaan ini muncul dari seorang ahli Taurat yang mau mencobai Yesus. Pertanyaan ini membutuhkan “daftar nama” yang jelas, apakah nama pribadi atau nama berdasarkan suku, agama dan lain-lain. Pertanyaan ini mengisyaratkan adanya sesama dan yang bukan sesama.
J: “Adalah seorang yang turun dari Yerusalem…..” (ay 30-35). Kita tahu kelanjutan cerita ini. Akhirnya, Yesus balik bertanya, “Siapakah di antara ketiga orang ini, menurut pendapatmu, adalah sesama manusia dari orang yang jatuh ke tangan penyamun itu?” (ay 36). Di sini, Yesus menjawab pertanyaan dengan (1) Perumpamaan dan (2) Pertanyaan baru. Kita dapat memeriksa pertanyaan kita kepada Tuhan. Bisa saja ada di antaranya yang sebenarnya kita tahu jawabannya, hanya saja kita ingin membenarkan diri dan mau mengalihkan tanggung jawab.
*********
P: (Melihat seorang yang buta sejak lahir, murid-murid bertanya kepada Yesus) “Siapakah yang berbuat dosa, orang ini sendiri atau orangtuanya, sehingga ia dilahirkan buta?” Dari penggunaan kata ‘atau’ pertanyaan ini membutuhkan satu jawaban pasti dari dua pilihan.
J: “Bukan dia dan bukan juga orangtuanya, tetapi ksrena pekerjaan-pekerjaan Allah harus dinyatakan di dalam dia”. Jawaban Yesus ini menyatakan bahwa pemahaman murid-murid terbatas. Mereka tidak melihat apa yang Tuhan lihat dan Yesus memperlihatkannya kepada mereka. Dalam kasus yang lain kita bisa saja sibuk menanyakan yang mana satu di antara dua kemungkinan, padahal bukan hanya dua kemungkinan. Kita perlu menerobos batas-batas penglihatan kita atau pengetahuan kita dan menerima penglihatan dan pengetahuan Tuhan.
*********
Dari uraian di atas kita pun dapat mengaku:
Tuhan mengenal kita lebih baik ketimbang kita mengenal diri kita sendiri.
Tuhan lebih mengetahui apa yang terbaik bagi kita ketimbang kita mengetahuinya
Tuhana lebih mengasihi kita ketimbang kita mampu mengasihi diri kita sendiri.
No comments:
Post a Comment
Kami sangat menghargai komentar Anda yang membangun.