22 Pebruari 2010
Di jalan raya, seorang pengendara sepeda motor berada pada posisi yang benar: berkendara di sebelah kiri jalan. Dari depan sebuah mobil datang menghampiri. Pengemudi mobil jelas salah. Pengemudi sepeda motor bertahan dalam ‘kebenarannya’. Ia tidak mau menyingkir. Padahal, masih ada peluang untuk lepas dari celaka. Ia pun tewas tergilas. Tergilas dalam ‘kebenarannya’ sendiri. Ia benar tetapi tidak baik.
******
Seorang warga jemaat menumpahkan isi hatinya, termasuk rahasia peribadi kepada gembala jemaatnya, dengan harapan mendapat jalan keluar dari beban hidup yang sedang menghimpitnya. Gembala jemaat tidak dapat memberi jalan keluar, tetapi ia mendoakannya pada saat itu. Hari Minggu berikutnya, dalam kotbahnya, gembala jemaat memberitahukan seluruh percakapannya itu. Warga jemaat tadi merasa dikhianati dan dipermainkan. Hatinya terluka. Memang gembala jemaat itu tidak menyebut namanya. Ia juga tidak meminta sebelumnya kepada yang bersangkutan agar pergumulannya itu dapat disebut di dalam kotbahnya. Apa yang diungkapkan oleh gembala jemaat itu ‘benar’ tetapi ‘tidak baik’.
******
Satu pasangan suami istri dan seorang anak mereka berusia 12 tahun mengunjungi teman mereka yang sudah lama tidak bertemu. Setelah berbincang-bincang agak lama, tibalah saatnya membicarakan anak-anak. Setelah memperhatikan dengan seksama wajah dan postur tubuh anak temannya itu, sang tamu melihat tidak ada sama sekali kemiripannya dengan kedua orangtuanya. Ia pun berkata kepada temannya, “Anakmu kok beda sekali dengan kalian berdua. Sedikit pun tidak ada miripnya”. Wajah pasangan suami istri itu secara spontan menunjukkan perasaan tidak enak dan cepat-cepat mengalihkan topik percakapan, walaupun mereka tahu persis bahwa anak itu 100% anak mereka. Sekali lagi, “benar” tetapi tidak “baik”.
********
Dalam sebuah rapat, seorang pimpinan jemaat dengan suara agak meninggi mengatakan, “saya pimpinan di sini, saya berhak………………” Ia benar. Semua orang tahu. Tapi, menunjukkan ‘berhak’ tidak baik. Lebih baik menunjukkan diri sebagai pimpinan melalui keteladanan, kualitas kehidupan dan visi yang jelas, maka yang dipimpin akan menyadari fungsi dan tugas masing-masing.
********
Seorang warga jemaat ‘pendiri’ sebuah jemaat berkata dengan nada marah, “kami dulu yang mendirikan gereja ini, kalian yang baru anggota jemaat di sini tinggal menerima yang enaknya saja. Jangan ‘macam-macam’ kalian di sini”. Fakta membuktikan, ia ‘benar’ ikut menggagasi dan membangun gedung gereja, tetapi perkataannya dan nada suaranya ‘tidak baik’ untuk pertumbuhan spiritualitas yang sehat dan membangun kehidupan.
********
Kita dapat membuat daftar panjang “yang benar” tetapi “tidak baik”.
Apakah kita berada dalam posisi ‘yang benar’ dan ingin menyatakannya? Kita perlu memadukannya dengan “yang baik” juga. Bahkan, ada kalanya ‘yang baik’ lebih berguna dari ‘yang benar’. Lebih ‘baik’ lepas dari kecelakaan ketimbang tewas mengenaskan mempertahankan yang benar di jalan raya. Lebih baik menyimpan dalam hati sambil berdoa atas suatu pergumulan orang lain, ketimbang memberitahukannya dan menimbulkan pergumulan baru.
Persoalan seringkali timbul dalam hubungan antar-sesama dan dalam sebuah persekutuan ketika ‘yang benar’ tidak dipadukan dengan ‘yang baik’. Salah satu cara memastikan ‘apa’ yang kita lakukan atau katakan itu ‘benar’ dan ‘baik’ adalah dengan menjawab ‘mengapa’ dan ‘bagaimana’ kita mengatakan atau melakukan sesuatu.
Pertanyaan 'mengapa’ bertalian dengan motivasi –yang menggerakkan dari dalam diri kita. Jika motivasi kita jelas-jelas berisi kasih, maka kata-kata dan tindakan kita akan membangun dan meneguhkan. Dalam hal ini kita perlu memeriksa terlebih dahulu suasana hati kita, kecenderungan-kecenderungan kita, harapan-harapan kita. Semua ini dapat menjelaskan ‘mengapa’ kita mengatakan atau berbuat sesuatu. Sedangkan pertanyaan ‘bagaimana’ bekaitan dengan ‘cara’ yang kita tempuh mengatakan atau melakukan sesuatu. Jika motivasi jernih (motivasi kasih), cara-cara yang kita tempuh pun akan memancarkan kasih juga.
Dunia ini, jemaat, keluarga, hubungan antar sesama dapat lebih baik ke depan ini jika kita senantiasa memadukan yang benar dan baik.
syalom amang
ReplyDeletebukankan yang benar itu sudah pasti baik? sementara yang baik itu belum tentu benar. kalau untuk beberapa kasus yang amang sebutkan misalnya si pengendara motor tidak sepenuhnya benar, karena ketika dia bertahan di situ dia tidak menggunakan rasio, akal sehat, padahal dia dikasih Tuhan akal artinya sepengendara juga salah karena hanya mengandalkan emosi semata, harusnya dia berfikir logika kalo saya bertahan pasti ada kecelakaan.
Kasus kedua si suami istri seharusnya dia harus menyikapi dan memandang pernyataan dari temannya itu dengan bijaksana, bukan dengan mengalihkan pembicaraan, Jika memang tidak mirip ya itulah kenyataan, kalo seandainya anaknya lebih ganteng misalnya ya bisa di jawab Puji Tuhan ini Generasi terbaru yang lebih baik kiranya bisa jauh lebih baik di hari yg akan datang seperti kata orang tua "jangan seperti bapak yang hanya seperti ini kamu harus lebih baik dari Orang tua" kalo jika lebih buruk, atau berbeda jawab aja puji Tuhan wajahnya berbeda tapi Semangatnya dan jiwanya serta sifatnya persis sama dengan orang tuanya.
Masalah Kebenaran sejati memang tidak ada di dunia ini yang ada hanya pada Tuhan, kita melihat kebenaran tergantung dari sudut pandang mana.
Kita sering mengatakan itu benar tapi caranya itu yang salah, jadi pertanyaan apa benar seberti itu? apa lebih penting pokoknya atau Caranya(sampingannya) kalo menurut saya kalau sesuatu mau benar harus secara menyeluruh atau secara utuh, maka itu ada istilah benar 50%, benar 70%, artinya benar 100% itu hanya di matematika. sedangkan itupun ada lambang tak terhingga. kalau kita mau uji kebenarannya kita uji dari sudut pandang dan juga dari segi yang lain. horas amang
Inti tulisan di atas adalah kenytaan keseharian yang 'faktanya benar' tetapi bisa 'tidak baik' dampaknya. Ini sama sekali tidak dapat diterapkan pada 'kebenaran Injil' yang harus 'disembunyikan' supaya orang tidak tersinggung. Misalnya, seorang pengkotbah mengalihkan penjelasan kotbahnya ke yang 'enak didengar' padahal firman Tuhan benar-benar memperingatkan dengan keras suatu perilaku tertentu.
ReplyDelete