“Saya sangat jengkel melihat istri saya akhir-akhir ini,” keluh seorang suami kepada teman dekatnya.
“Apa terjadi?” kata temannya ingin mengetahui penyebabnya.
“Istri saya sering memanggil saya “sweety!” dan “honey!”.
“Lho, bukankah itu hanya persoalan bahasa saja? Sebutan itu sudah umum untuk mengekpresikan kasih sayang, bukan?”
“Bukan begitu. Masalahnya saya menderita ‘diabetes’. Istri saya nyindir!”
Di sini tidak akan dibahas tentang menangani perasaan jengkel atau masalah berkomunikasi yang baik antara suami istri (yang memang sangat penting juga). Yang menjadi fokus kali ini adalah ‘gula’, yang merupakan salah satu produk yang sudah hadir sejak munculnya konsumerisme.
Sejarawan Peter N. Stearns mengatakan bahwa masyarakat konsumer muncul pada abad kedelapan belas di Eropa dan daerah-daerah koloni Inggris di Amerika Utara. Tanda-tanda awal konsumerisme mencakup pertumbuhan pasar gula. Orang kaya di Eropa memanjakan seleranya dengan gula sejak akhir Abad Pertengahan. Hal ini mendorong pengembangan lebih lanjut produksi gula dalam koloni-koloni Eropa yang baru, termasuk di Indonesia. Produksi gula pada gilirannya mendorong pasar yang lebih besar dan membuat gula, dalam istilah antropolog, sebagai barang konsumer pertama di dunia.
Ekspansi perdagangan kolonial meningkatan keuntungan luar biasa khususnya ketika masyarakat mengkonsumsi teh dan kopi. Seiring dengan makin diminatinya gula, kedai kopi/ teh pun menjamur di Eropa pada abad ke delapan belas. Di samping mengkonsumsinya di kedai, orang-orang juga mengkonsumsinya di rumah-rumah mereka.
Gula adalah soal ‘rasa’ dan ‘tenaga’. Ketika ‘rasa’ mengambil alih fungsi ‘gula’ maka ‘tenaga’ akan terganggu. Artinya, kalau dalam batas-batas tertentu (yang dapat kita tanyakan kepada pakar kesehatan) gula adalah sumber tenaga. Masalahnya, kalau atas nama memanjakan ‘rasa’ mulut menjadi tak terkendali muncullah masalah. Lester Brown mencatat bahwa penyakit yang berkaitan dengan gaya hidup, termasuk konsumsi gula, masuk dalam salah satu peringkat tertinggi. Manis rasanya, bisa pahit akibatnya.
Akhir-akhir ini menjadi muncullah ‘pemanis rendah kalori’. Manis rasanya (walaupun rasanya tidak seenak gula) tapi rendah kalorinya. Banyak orang mengindari gula, tetapi banyak juga yang ‘mengagungkan rasa enak’ yang tidak peduli pada akibat buruknya. Tidak sedikit orang usia muda mengkonsumsi gula yang seharusnya dikonsumsi pada masa tua, sehingga pada usia tua sama sekali tidak bisa lagi mengkonsumsi gula.
Umumnya, orang-orang kaya dunia saat ini sudah mengurangi konsumsi gula. Tapi sedikitnya ada tiga masalah yang tersisa.
Satu, banyak orang yang sebenarnya membutuhkan gula asli, seperti mereka yang membanting tulang bekerja seharian, tetapi tidak mampu membeli gula. Semoga kehidupan saling berbagi semakin membudaya pada hari-hari yang akan datang.
Dua, tebu, bahan dasar gula, sebagian sudah beralih dari konsumsi manusia menjadi sumber ethanol. Memang tebu termasuk di antara yang paling efisien dalam penggunaan tanah dan enerji. Masalahnya, Brazil, misalnya melakukan perluasan tanaman tebu yang luar bisa dengan menebang hutan (Lester Brown, Plan B.3). Keadaan ini berdampak buruk terhadap kelestarian alam. Semakin banyak pohon yang terbunuh, semakin tinggi pula demam bumi.
Tiga, bagi banyak petani tebu tradisional rasa gula itu pahit. Mereka mengorbankan lahan dan tenaganya dan yang lebih menikmati hasilnya adalah orang lain. Hal ini diperparah oleh kebijakan negara-negara makamur seperti Eropa dan Amerika yang belakangan ini justru member subsidi besar-besaran untuk penanaman tebu. Akibatnya, tebu mengalami kelebihan produksi dan negara-negara berkembang lebih merasakan pahitnya gula.
Konsumsi manusia dan keadaan lingkungan hidup merupakan dua hal yang tidak terpisahkan.
"Ya Tuhan, berilah kami pada hari ini apa yang kami butuhkan untuk kehidupan. Kuatkan kami mengalahkan keinginan yang merusak diri kami dan alam ciptaan-Mu. Amin"
No comments:
Post a Comment
Kami sangat menghargai komentar Anda yang membangun.