Sunday, March 29, 2009

TRANSFORMATION LEADERSHIP[1]


REFLEKSI SENIN KE-14, 2009: 30/3


Saat ini istilah “transformation leadership” digunakan secara luas oleh hampir semua kalangan seperti organisasi, korporasi hingga kekristenan. Kita menemukan begitu banyak literatur dan website yang membahas tema ini dengan pengertian yang beraneka ragam pula.[2] Di kalangan Kristen sendiri pun tidak ada kesepakatan dalam penggunaan istilah ‘leadership’. Ada yang menggunakan istilah transformation servanthood karena dianggap lebih Alkitabiah.

Perbedaan-perbedaan tersebut tidak akan dibahas di sini. Cukup ditegaskan di sini dua hal. Pertama, istilah apa pun yang digunakan --“leadership” atau “servanthood”—yang terpenting adalah maknanya yang merujuk pada ‘fungsi pelayanan’, bukan sebagai ‘posisi’ --apalagi berkaitan dengan masalah ‘gengsi’. Kedua, kekristenan hendaknya tidak begitu saja mengadopsi pengertian, esensi dan cara-cara yang digunakan oleh dunia sekuler berkaitan dengan transformation leadership khsusnya menyangkut subjek (siapa pemeran utama) dan mengukur sukses. Bagi orang Kristen, “Subjek” adalah Allah sendiri; indikator ‘sukses’ sebuah kepemimpinan tidak ditakar dengan kalkulator; kebenaran lebih penting dari pada performance (yang amat kental dalam organisasi sekuler).

Berikut ini ada empat hal pokok berkaitan dengan ‘transformation leadership’ dalam konteks kehidupan bergereja, yakni: (1) Esensi Kepemimpinan Kristen, (2) Pemimpin yang bagaimana, (3) Bagaimana memimpin, (4) Mengalahkan Pencobaan

1. ESENSI KEPEMIMPINAN KRISTEN

Jabatan gerejawi dalam Perjanjian Baru berintikan:
– Sebagai pelayanan bukan kedudukan yang lebih tinggi
– Pemegang jabatan adalah hamba, bukan tuan
– Terutama dalam pengertian fungsi bukan posisi
– Menekankan kualitas kehidupan bukan terutama soal keahlian

Dalam kaitan itu dapat ditekankan hal-hal berikut:

(1) Jabatan gerejawi atau tugas kepemimpinan adalah terutama pemberian Tuhan, bukan “pencapaian”, baik melalui pendidikan formal maupun keahlian yang lahir dari pengalaman, walaupun semuanya itu penting. Para pemimpin yang disebut di dalam Alkitab lebih menekankan peranan ‘hati’ ketimbang keahlian dan pengalaman.
(2) Pelayanan adalah ‘keikutsertaan’, bukan pengalihan dari Yesus. Ia tidak pernah melakukan “serah terima” kepada para murid-Nya dan kita. Ia tetap Pemilik pelayanan dan para pelayan. Ia berjanji untuk menyertai kita sampai akhir zaman (Mat 28:20).
(3) Tanpa kita pun, Kerajaan Allah tetetap dapat berjalan. Keasadaran seperti ini merupakan dasar kokoh pentingnya kerendahan hati kita.

Berkaitan dengan itu, 10 prinsip pelayanan sebagaimana disebutkan Warren Wiersbe berikut ini amat penting kita renungkan:

Dasar pelayanan adalah Karakter
Sifat pelayanan adalah Pengabdian
Motif pelayanan adalah Kasih
Ukuran pelayanan adalah Pengorbanan
Kekuatan pelayanan adalah Penyerahan diri
Tujuan pelayanan adalah Kemuliaan Allah
Perangkat-perangkat pelayanan adalah Firman Tuhan dan Doa
‘Hasil’ pelayanan adalah Pertumbuhan
Kuasa pelayanan adalah Roh Kudus
Model pelayanan adalah Kristus

2. PEMIMPIN YANG BAGAIMANA

Salah satu yang sangat mendasar dalam kepemimpinan Kristen adalah ‘panggilan’ Tuhan. Hanya dengan demikian seorang pemimpin dapat memiliki visi dan misi dari Yesus. Jika tidak, pemimpin hanyalah menciptakan visi dan misinya sendiri.

Kita tidak memiliki visi dan misi dari diri kita sendiri. Visi Alkitabiah adalah hadirnya Kerajaan Allah yang berisikan syalom, kebahagiaan, kebenaran, keadilan. Seiring dengan itu, misi Tuhan Yesus yang di dalamnya Gereja dan orang-orang percaya terlibat adalah “memberitakan Injil” dalam kata dan perbuatan (Mat. 5:13 ; Luk 4: 18-19; Mrk 16:15). Di kemudian hari, Gereja merumuskan apa yang disebut dengan Tritugas Panggilan Gereja yang juga berlaku hingga hari ini, yaitu: Koinonia, Marturia, Diakonia.

Tema “Jemaat Misioner” sudah lama diperdengarkan di kalangan gereja-gereja Reformasi, yang intinya bahwa setiap orang percaya adalah “misionaris” melalui kata, sikap dan perbuatan dalam kehidupannya sehari-hari di mana pun ia berada. Hal ini sejalan dengan apa yang ditekankan dalam Efesus 4:11-12. Yesus memberi: Rasul-rasul, nabi-nabi, pemberita-pemberita Injil, gembala-gembala, pengajar-pengajar, yang tugasnya adalah memperlengkapi orang-orang kudus (=setiap orang percaya). Orang percya yang diperlengkapi ini bertugas untuk melayani untuk pembangunan tubuh Kristus. Jadi, semua orang percaya adalah ‘pelayan’. Untuk mengemban missi tersebut, para pemimpin/ pelayan Gereja membutuhkan sedikitnya empat hal berikut:

(1) Spiritualitas yang tangguh

Seorang ‘transformational leader’ adalah pertama dan terutama yang mengalami metamorfose (transformasi). Berikut ini ada beberapa bagian firman Tuhan:

►Yohanes 15:4: Tinggallah di dalam Aku dan Aku di dalam kamu. Sama seperti ranting tidak dapat berbuah dari dirinya sendiri, kalau ia tidak tinggal pada pokok anggur, demikian juga kamu tidak berbuah, jikalau kamu tidak tinggal di dalam Aku.

Perubahan hidup kita hanya bisa terjadi ketika undangan Yesus ini kita terima dengan iman, sukacita dan kerendahan hati. Dengan demikian, kitalah menyesuaikan diri dengan kehendak Kristus, bukan Kristus menyesuaikan diri dengan kehendak kita.

►Yeremia 18:6 “seperti tanah liat di tangan tukang periuk, demikianlah kamu di tangan-Ku”. Kita harus selalu siap dibentuk oleh Tuhan. Kita percaya bahwa rancanganNya adalah rancangan yang baik untuk kita.

►Roma 12:2 “Janganlah kamu menjadi serupa dengan dunia ini, tetapi berubahlah oleh pembaharuan budimu, sehingga kamu dapat membedakan manakah kehendak Allah: apa yang baik, yang berkenan kepada Allah dan yang sempurna”

Dalam bahasa aslinya (Yunani), kata ‘berubah’ di sini adalah metamorfose (transformasi) yang menunjukkan suatu perubahan kualitas. (Istilah biologi untuk perubahan kepongpong menjadi kupu-kupu juga menggunakan kata ‘metamorfose”.) Jadi, manusia yang mengalami metamorfose adalah perubahan dari manusia lama menjadi manusia baru di dalam Kristus.

►2 Kor. 5:17 “Jadi siapa yang ada di dalam Kristus, ia adalah ciptaan baru: yang lama sudah berlalu, sesungguhnya yang baru sudah datang.”

►Galatia 2:20 “Aku hidup, tetapi bukan lagi aku sendiri yang hidup, melainkan Kristus yang hidup di dalam aku.”

Berdasarkan firman Tuhan di atas, transformation leadership dapat diartikan sebagai:
“Pemimpin yang mengalami “metamorfose”/ transformasi oleh kasih Kristus
dan melakukan pembaharuan seturut kehendak Kristus dalam pelayanan yang Ia percayakan”


(2) Karakter

‘Karakter” adalah siapa kita di tempat tersembunyi atau di luar pantauan orang. Pikiran dan perbuatan kita terutama ‘antara Dia (Tuhan) dan aku’. Kita tidak berbuat baik supaya menerima kebaikan, ucapan terima kasih atau pujian manusia.

Dalam Kis. 6:3 disebutkan kaulitas seorang yang melayani di jemaat yakni: terkenal baik, penuh Roh, berhikmat. Lebih rinci dalam 1 Timotius 3:1-7 Rasul Paulus mendaftarkan kualitas yang diharapkan dari seorang pelayan yaitu: tak bercacat, monogami, dapat menahan diri, bijaksana, sopan, suka memberi tumpangan, cakap mengajar orang, bukan peminum bukan pemarah melainkan peramah, pendamai, bukan hamba uang, kepala keluarga yang baik, disegani dan dihormati oleh anak-anaknya, jangan seorang yang baru bertobat, mempunyai nama baik di luar jemaat.

(3) Integritas

Integritas adalah menyatunya iman, kata dan perbuatan. Pemimpin kristiani tidak dapat mengandalkan teori-teori psikologis dan teknik-teknik berkomunikasi (walaupun keduanya diperlukan) dalam menjalani kehidupan dan pelayanan, tetapi berakar kuat pada firman Tuhan. Dalam Gal. 5:22-23 disebutkan ‘buah-buah Roh’ yakni: kasih, sukacita, damai sejahtera, kesabaran, kebaikan, kemurahan, kesetiaan dan penguasaan diri. Pelayan yang memiliki Spirit-controled temperament!

Untuk hadirnya buah-buah Roh dalam diri kita, maka kita harus membuang segala yang merusak kita dan yang menghalangi Roh berkarya dalam diri kita, di antaranya: sakit hati, kemarahan, kebencian, kekuatiran, kerakusan dan kesombongan.

(4) Keterampilan

Keterampilan di sini mencakup: (1) Kreativitas atau daya cipta yang mendukung terhadap pelayanan. Dalam hal ini seorang pemimpin lebih baik menggunakan yang ada ketimbang menangisi yang sudah tidak ada atau menguatirkan yang belum ada. (2) Memiliki kecerdasan interaksi atau kemampuan menjalin hubungan yang baik dengan sesama. (3) Kemampuan berkomunikasi secara efektif. (Perlu dicatat bahwa teknik berkomunikasi tidak menjamin hubungan baik). Salah satu ciri komunikator yang baik adalah “mengetahui lebih banyak dari apa yang ia katakan, bukan mengatakan lebih banyak dari yang diketahuinya”

3. BAGAIMANA MEMIMPIN

(1) Memimpin dalam nama Yesus. Pola utama Yesus adalah:

  • Pengaruh bukan kontrol. Ia memanggil orang mengikut Dia, mengundang untuk menentukan pilihan.
  • Penggunaan kuasa: terpusat pada kebutuhan orang lain.
  • Membatalkan hak-haknya dan melayani.
  • Tidak memperkuat kekuasaan pemimpin tetapi membebaskan umat agar memberi diri mereka untuk kebaikan orang yang lain.

(2) Pendelegasian tugas tanpa mengabaikan tanggung jawab (cth. ‘manajemen’ Yitro dalam Keluaran 18:13-27).

(3) Menolak “kekurangan orang” tetapi mengasihi dan menghargai “orangnya” (Bnd. Zakheus: Yesus memebenci dosa tetapi mengasihi Zakheus).
(4) Menerima dan memberi kritik dengan bijaksana. “Kritik, Yes!; Tukang Kritik, No!”[3]
(5) Proses dan tujuan sama-sama penting. Hal ini dapat digambarkan seperti sebuah nasihat berlalu-lintas di salah satu daerah di Sulawesi, “Lebih baik lambat sampai ke rumah dari pada cepat masuk rumah sakit”. Dalam pelayanan di Gereja kita membutuhkan kesabaran.
(6) Memadukan integrasi dan dominasi positif secara seimbang. Integrasi mengandung sikap menghargai, rasa empati dan semangat kebersamaan. Dominasi positif mengandung sikap: konsekuen, kesediaan menggambarkan dengan argumen yang baik, teguh dalam prinsip tetapi luwes dalam bertindak.
(7) Mengambil keputusan dengan pimpinan Roh. Belajar dari para rasul dalam pengambilan keputusan: “Sebab adalah keputusan Roh Kudus dan keputusan kami,…” (Kis. 15).
(8) Finishing Well. Banyak pemimpin yang disebutkan di dalam Alkitab, para pemimpin dunia dan para pemimpin atau pelayan gereja yang tidak finishing well. Dengan pertolongan Tuhan, kita dapat menjalankan tugas pelayanan dan finishing well.

4. MENGALAHKAN PENCOBAAN

Yesus sudah mengalahkan pencobaan: menjadi relevan, menjadi hebat, berkuasa menurut ukuran dunia (bnd. Luk. 4:1-13). Bersama Ia pula kita mampu mengalahkan pencobaan yang terus mengitari kita.

(1) Tidak mencari ‘pengakuan’, memberi kesan, atau menjadi hebat. Pemimpin gerejawi adalah bagaikan ‘bejana tanah liat’ (seperti digambarkan oleh Paulus), bukan selebriti.
(2) Kita ‘membawa’ orang kepada Kristus, bukan kepada diri kita sendiri. Kita mempromosikan Kerajaan Allah, bukan diri kita.
(3) Melepas beban yang tidak perlu dan non-salib dengan memaksa diri melakukan semua hal. Terlalu banyak kerja, hilangnya sukacita, pudarnya semangat atas nama ‘pelayanan’ bukanlah tanda-tanda hidup di dalam Roh.
(4) Bebas dari dua ekstrim: mengorbankan (memanfaatkan) Gereja untuk ‘altar’ keluarga atau mengorbankan (mengabaikan) keluarga untuk ‘altar’ gereja. Memanfaatkan gereja untuk ‘altar’ keluarga bisa saja mewujud mulai dari bentuknya yang paling halus seperti mendapat ‘medali’, pengakuan, hingga kemewahan materi. Sementara mengorbankan keluarga untuk ‘altar’ gereja tidak saja bisa menimpa para keluarga pelayan fulltimer dengan mengabaikan persekutuan dalam keluarganya karena terlalu sibuk atas nama pelayanan, tetapi bisa juga menjangkiti para aktivis gereja yang mengorbankan seluruh waktu yang tersisa dari pekerjaan sehari-hari untuk pelayanan dan mengabaikan keluarga.
(5) Bebas kekerasan dan pemaksaan, mulai dari pikiran, perkataan hingga tindakan.
(6) Konflik yang tidak terhindarkan, Yes!; Bermusuhan dan saling terkam, No! Orang yang dibaharui oleh Kristus tahu persis bagaimana menangani konflik secara dewasa.

Bagaimana kita dapat dikuatkan mengalahkan pencobaan? Kita hanya dapat mengalahkannya bersama Kristsus yang sudah berhasil mengalahkan semua godaan tersebut. Dalam hal ini kita perlu mengembangkan disiplin rohani: doa, kontemplasi, dan meditasi. Mendisiplinkan diri berdiam diri, melakukana kontemplasi dan meditasi serta menghidupi prinsip-prinsip mendasar spiritual seperti menghindari diri dari kesombongan, mengembangkan kerendahan hati dan mengasihi Allah melebihi segalanya, amat kentara keabsenannya saat ini. Ketika bagian diri kita yang terdalam –jiwa, hati dan pikiran kita—dikunjungi dan didiami oleh Allah, maka transformasi dan pembaharuan Gereja dan perubahan-perubahan revolusioner di dunia ini akan terjadi.

SIAPA YANG MAMPU?

Melihat uraian di atas, kita bisa saja tergoda setengah menggugat: siapa yang mampu? Perasaan tidak layak untuk tugas kepemimpinan/ pelayanan bisa saja memenuhi pikiran kita. Kita tidak sendirian dalam hal ini. Ada juga dari antara para pemimpin yang dipanggil oleh Allah sebagaimana disebut di dalam Alkitab merasakan hal yang sama. Musa, Yeremia, Amos dan lain-lain juga pernah merasakannya. Keasadaran seperti itu sesungguhnya dapat menjadi pintu masuk bagi kita untuk mengenal betapa besar kasih dan rahmat Tuhan yang memperlengkapi kita. Kita memang tidak layak. Kita dilayakkan. Pada akhirnya, kita dapat dengan rendah hati mengaku bersama Paulus:

Dengan diri kami sendiri kami tidak sanggup untuk memperhitungkan sesuatu seolah-olah pekerjaan kami sendiri; tidak, kesanggupan kami adalah pekerjaan Allah (2 Korintus 3:5).

Ya, kesanggupan kita adalah pekerjaan Allah.

Untuk mengakhirinya, berikut adalah cerita sebagaimana dicatat oleh Anthoni de Mello yang kiranya dapat meneguhkan kita untuk pertama merelakan diri ditransformasi oleh Tuhan:

Sufi Bayazid bercerita tentang dirinya seperti berikut ini:

Waktu masih muda, aku ini revolusioner dan selalu berdoa:
“Tuhan berilah aku kekuatan untuk mengubah dunia”

Ketika aku sudah setengah baya dan sadar bahwa setengah
hidupku sudah lewat tanpa mengubah satu orang pun,
aku mengubah doaku menjadi:
“Tuhan berilah aku rahmat untuk mengubah semua orang yang
berhubungan denganku:
keluarga dan kawan-kawanku, dan aku akan merasa puas”.

Sekarang ketika aku sudah menjadi tua
dan saat ajal sudah dekat,
aku mulai melihat betapa bodohnya aku.
Doaku satu-satunya sekarang adalah:
“Tuhan berilah aku rahmat untuk mengubah diriku sendiri”.
Seandainya sejak semula aku berdoa demikian, maka aku tidak begitu
menyia-nyiakan hidupku



[1] Sebelumnya pernah disampaikan pada “Pembinaan Leadership Majelis Jemaat dan Pengurus Komisi” Gereja Presbyterian Orchard, Singapura, 14 Maret 2009, oleh Pdt Victor Tinambunan
[2] Dalam pengertian umum ‘transformation leadership’ merupakan suatu gaya kepemimpinan yang menekankan kerja sama dimana para pemimpin dan para pengikut atau anggota saling membangun. Transformation leadership fokus pada ‘pentransformasian’ orang lain untuk saling menolong satu sama lain, saling memperhatikan, saling meneguhkan, hidup dalam keharmonisan, dan mengutamakan kepentingan organisasi.
[3] Uraian selengkapnya tentang topik “Kritik, Yes; Tukan Kritik, No”, silahkan mengakses http://hkbps.com/?p=180

Monday, March 23, 2009

MENGATAKAN 'TIDAK'

REFLESI SENIN KE-13 2009: 23/03

Orang-orang yang terlalu memikirkan pendapat orang tentang dirinya atau yang selalu sibuk memberi kesan kepada orang lain biasanya selalu berusaha untuk ‘menyenangkan’ orang lain. Mereka sangat sulit mengatakan ‘tidak’ atas sebuah permintaan karena mereka terus-menerus mengharapkan pengakuan orang lain. Mereka berpikir bahwa dengan mengatakan ‘ya’ kepada semua permintaan orang lain mereka akan mendapatkan apa yang mereka dambakan. Mereka pun menjadi sangat tegang hari demi hari memikirkan bagaimana supaya orang lain menyenangi mereka. Mereka tidak tahu bagaimana untuk hidup rileks. Dari bangun tidur hingga berbaring pada malam hari pikiran mereka terus berkelana ke mana-mana. Mereka memikirkan apa yang membuat orang tidak senang akan apa yang sudah mereka katakan dan perbuat serta bagaimana membuat orang lain mendapat kesan baik tentang diri mereka. Di samping tidak sehat, prinsip ini bisa membuat hidup melarat dan tidak menjadi berkat bagi orang lain.

Jika seseorang meminta sesuatu kepada Anda, jangan merasa bersalah, sungkan dan enggan mengatakan ‘tidak’. Anda dapat mengatakan ‘tidak’ tanpa harus merusak diri dan hubungan baik Anda dengan orang yang meminta. Katakan ‘tidak’ terhadap suatu permintaan jika:

(1) Anda tidak mampu melakukannya. Jangan memaksa diri. Hasilnya tidak baik, untuk Anda sendiri dan kepada yang meminta. Ini tidak saja yang berkaitan dengan ‘materi’ tetapi juga yang bersifat non-material, seperti nasihat atau jawaban atas suatu pertanyaan. Misalnya, jangan Anda coba-coba memberi nasihat menangani suatu penyakit, yang sama sekali Anda tidak tahu tentang penyakit tersebut. Akibatnya bisa fatal. Anda juga jangan memberi jawaban atas pertanyaan-pertanyaan seputar doktrin Kristen jika Anda tidak mengetahuinya. Itu tidak akan menjernihkan pemahaman, malah bisa kian membingungkan hingga menyesatkan orang lain. Lebih baik mengatakan ‘tidak’ ketimbang Anda berusaha memberi kesan seolah-olah Anda 'mahatahu' padahal tidak tahu.

(2) Permintaan yang tidak masuk akal atau yang bisa merusak yang bersangkutan. Bayangkan anak Anda yang berusia tujuh tahun meminta sebuah pedang panjang untuk dijadikan mainannya. Permintaan itu tidak muncul dari akal sehat. Mungkin ia pernah melihatnya dalam sebuah film dan ia menginginkannya. Jika Anda memberikannya, Anda secara tidak langsung melukainya bahkan membunuhnya atau membantunya melukai orang lain. Atau, ada seseorang yang meminta uang kepada Anda untuk membeli rokok. Jika Anda bersikap bijaksana, Anda tidak akan memberikannya. Dengan memberikannya, Anda membantunya merusak kesehatannya bahkan melakukan 'bunuh diri kredit'. Sebagai gantinya Anda dapat memberikan jus yang berguna untuk kesehatan tubuhnya.

Memang ada kalanya kita tidak perlu terlalu jauh mengomentari permintaan orang lain. Anthoni de Mello pernah menuliskan sebuah ilustrasi yang intinya kira-kira begini. Seorang pemilik gajah meminta uang kepada seseorang untuk kebutuhan pemeliharaan gajahnya. “Jika engkau tidak mampu memelihara gajah mengapa engkau memeliharanya?”, katanya. Si pemilik gajah menjawab, “Yang saya minta adalah uang, bukan khotbah atau nasihat.” Ya, jangan sampai orang minta nasi justru nasihat yang kita beri; orang meminta sembako justru pidato yang muncul.

(3) Jika yang diminta untuk pementingan diri yang meminta. Ada pasangan suami istri yang bertengkar dengan tetangganya soal batas tanah. Anak-anak mereka ‘berhasil’ di perantauan dan pasangan suami istri ini sering membanggakan (bahkan terkadang menyombongkan) keberhasilan anak-anaknya. Tetangganya pun membencinya karena kesombongannya, apalagi setelah mendengar perkataan suami istri tersebut bahwa anak-anak mereka pasti akan memberikan uang kepadanya dan mereka pasti menang di pengadilan. Benar, pasangan suami-istri tersebut meminta bantuan anak-anaknya untuk menyediakan dana yang akan mereka gunakan untuk berperkara di pengadilan. Tetapi, anak-anak mereka bersepakat tidak akan memberikan uang. Mereka mau membantu agar orangtua mereka berdamai dengan tetangganya.

(4) Jika yang diminta mengorbankan kebenaran. Bagi sebagian orang, mengatakan ‘tidak’ kepada permintaan orang lain yang kelihatannya ‘baik’ (padahal tidak baik) atau yang jelas-jelas tidak baik terkadang amat sulit. Misalnya, karena kedekatan dengan orang lain seseorang merasa sungkan mengatakan ‘tidak’. Ia rela (atau lebih tepatnya ‘tega’) mengorbankan ‘kebenaran’ demi hubungan. Bagaimana memelihara hubungan baik tanpa mengorbankan kebenaran? Memang sulit. Tetapi jika harus memilih, ‘hubungan pertemanan’ harus kita belakangkan. Tidak berarti kita menjadi bermusuhan dengan mereka. Kita mesti tetap mengasihi orang lain meskipun kita menolak perilakunya yang buruk atau pendapatnya yang keliru.

“Jika ya, hendaklah kamu katakan: ya, jika tidak, hendaklah kamu katakan:
tidak. Apa yang lebih dari pada itu berasal dari si jahat

(Mat. 5:37).

Sunday, March 15, 2009

MASALAH 'TRIANGULATION' DALAM KOMUNIKASI

REFLEKSI SENIN KE-12 2009: 16/3

Kita semua pasti pernah termasuk dalam suatu 'jaringan' triangulation, entah sebagai pihak pertama, pihak kedua, pihak ketiga atau malah perpaduan ketiganya. Triangulation adalah tindakan menyampaikan keluhan atas diri seseorang kepada pihak ketiga, bukan kepada yang bersangkutan secara langsung. Ini terjadi karena seseorang terlalu kuatir menyampaikan langsung kepada yang bersangkutan, takut akan kemungkinan reaksi yang tidak menyenangkan. Atau, bisa juga karena hal ini sudah merupakan ‘hobbi’. Padahal, melakukan triangulation dapat memicu beredarnya gossip dan rumor. Triangulation juga dapat menimbulkan konflik dan bahkan bisa menimbulkan kekacauan yang tidak terkendali.

Untuk memudahkan membedakan ketiga pihak dalam sebuah proses triangulation dapat disingkat dengan P1, P2, dan P3. P1 adalah sasaran keluhan, P2 adalah yang mengeluhkan P1; dan P3 adalah perantara P1 dan P2. Berikut ini ada empat saran praktis:[1]

1. Hindari Triangulation

Kita perlu mengindari triangulation dalam komunitas kerja, jemaat, dan keluarga. Jika Anda mempunyai masalah dengan seseorang (P1), bicaralah secara langsung kepada yang bersangkutan. Dalam konteks triangulation yang perlu dihindari, berikut ini ada beberapa hal yang kiranya dapat Anda pertimbangkan:
  • Dalam kehidupan sehari-hari hindari terlalu banyak mengeluh dan mempercakapkan hal-hal sepele secara mendalam.
  • Temuilah yang bersangkutan dalam semangat kasih persaudaraan. Kasih persaudaraan itu sendiri akan mempengaruhi kata-kata dan cara Anda.
  • Carilah waktu dan situasi yang lebih tepat.
  • Mohonlah hikmat kepada Tuhan untuk memperlengkapi Anda untuk menyampaikan isi hati Anda.
  • Jika yang Anda sampaikan berkaitan dengan sebuah kritik, pilihlah kata-kata yang lebih konstruktif bukan ofensif. Misalnya, jika Anda mau membicarakan sifatnya yang pemarah atau pemberang, jangan katakan, “Saya sangat membencimu, karena engkau pemarah”. Katakan dengan tulus, “saya akan sangat menghargai dan berterima kasih jika engkau lebih lemah-lembut dalam bersikap dan berkata-kata!” Isi pesannya sama, tetapi yang kedua lebih meneguhkan dan membuka jalan untuk sebuah perubahan tanpa mengorbankan kebenaran dan persahabatan.

Dalam konteks kehidupan berjemaat, firman Tuhan sebagaimana tertulis dalam Matius 18:15-17 menjadi pedoman kita:

Apabila saudaramu berbuat dosa, tegorlah dia di bawah empat mata. Jika ia mendengarkan nasihatmu engkau telah mendapatnya kembali. Jika ia tidak mendengarkan engkau, bawalah seorang atau dua orang lagi, supaya atas keterangan dua atau tiga orang saksi, perkara itu tidak disangsikan. Jika ia tidak mau mendengarkan mereka, sampaikanlah soalnya kepada jemaat.

2. Menghadapi Triangulation Dengan Kasih

Jika seorang P3 menjumpai Anda dan mengatakan, “banyak orang mengeluhkan” atau “ada seseorang yang meminta saya menyampaikan keluhannya tentang Anda”, dengarkanlah dengan sepenuh hati. Kemudian, lanjutkan dengan menanyakan nama-nama (P2) yang dimaksudkan. Sekiranya seseorang itu tidak memberitahukan namanya, Anda tidak perlu bereaksi berlebihan atau bersikap ofensif dan defensif. Anda cukup merenungkannya dan memperbaiki diri jika benar atau melupakannya jika yang dikeluhkan tidak benar.

Jika seseorang memberitahukan nama yang melakukan triangulation terhadap diri Anda, bicaralah secara langsung kepada yang bersangkutan. Tanyakanlah mengapa dia segan atau takut berbicara kepada Anda. Dan yang terpenting adalah Anda memasuki inti masalah dengan kasih persaudaraan. Jika apa yang dikeluhkan tentang diri Anda benar, maka Anda perlu mengekspresikan rasa terima kasih Anda kepada yang bersangkutan yang menolong Anda memperbaiki kelemahan. Jika apa yang dikeluhkan seseorang itu tidak benar, Anda dapat memberi penjelasan secukupnya tanpa menyerang atau memarahi.

3. Memikul Tanggung Jawab

Jika seorang P2 datang kepada Anda dan meminta Anda sebagai pihak ketiga (P3) dalam sebuah triangulation, Anda dapat mendorongnya untuk berbicara langsung kepada yang bersngkutan (P1). Sekiranya seseorang(P2) itu tetap tidak mau atau belum mampu menyampaikan secara langsung kepada yang bersangkutan, padahal apa yang dikeluhkannya benar dan sangat perlu diketahui yang bersangkutan, Anda dapat mengambil inisiatif menyampaikannya kepada P1. Bukan lagi terutama karena ada orang (P2) yang menyampaikannya kepada Anda, tetapi karena Anda sendiri menyadari bahwa masalah itu perlu disampaikan. Sebelum menyampaikannya kepada yang bersangkutan (P1), Anda mesti pertama sekali ‘menyampaikannya’ kepada Tuhan melalui doa Anda. Mintalah hikmat kepada Tuhan agar ‘misi’ Anda bertemu kepada yang bersangkutan dipimpin oleh Tuhan sendiri.

4. Triangulation yang dibenarkan

Barangkali triangulation yang dibenarkan adalah berkaitan dengan kehidupan berbangsa atau berorganisasi berskala besar, di mana masyarakat atau anggota suatu organisasi tidak memiliki akses langsung kepada para pemimpin selain menyampaikannya melalui jalur perwakilan atau melalui media massa. Dalam hal ini hendaknyalah semua pihak mengutamakan penyelesaian masalah tanpa menambah atau memperparah masalah. Itu bisa terjadi jika semua pihak mengedepankan semangat kehidupan yang lebih baik untuk semua dan dalam koridor kebenaran.
***

[1] Uraian singkat tentang topik ini lihat The Lutheran Handbook for Pastor, (Minneapolis: Augsburg Fortress, 2006), 130-131.

Saturday, March 7, 2009

SENI MENDENGARKAN

REFLEKSI SENIN KE-11 2009
Jikalau seseorang memberi jawab sebelum mendengar,
itulah kebodohan dan kecelaannya
(Amsal 18:13)

Allah adalah komunikator terbaik di dunia, sedihnya,
kita adalah pendengar-pendengar terburuk di dunia
(Jimmy Setiawan)

Kita dapat membedakan sedikitnya empat tipe pendengar[1] yang kiranya berguna bagi kita sebagai wahana refleksi diri untuk pada akhirnya dapatmenjadi seorang pendengar aktif.

Tipe 1: Bukan Pendengar

Tipe ini merupakan tipe pendengar yang paling rendah. Suara atau informasi amat jelas tetapi penerima tidak mendengarkan. Ada dua kemungkinan utama seseorang masuk dalam tipe ini. Pertama, sibuk dengan apa yang sedang dipikirkan dan dirasakan. Kedua, tidak tertarik pada apa yang dikatakan si pembicara.

Ciri-ciri tipe bukan pendengar nampak melalui: (1) Pandangan mata yang kosong dan gerak-gerik yang tidak tenang atau malah tidak bergerak sama sekali. (2) Terus menerus memotong pembicaraan orang. (4) Selalu mengatakan kata terakhir. Apa yang sudah dikatakan orang lain seolah tidak ada arti apa-apa. (4) Tidak peka memahami keadaan orang dan situasi.

Ada orang yang kelihatan seperti berdialog, tetapi mereka sebenarnya berbicara kepada diri sendiri. Misalnya seseorang sedang asyik membicarakan tentang anaknya yang sangat pintar dan teman berbicara juga bercerita tentang anaknya yang diterima di perguruan tinggi bergengsi. Kemudian, pembicara pertama menyambung (bahkan memotong pembicaraan) dengan memberitahukan bahwa anaknya diterima bekerja di luar negeri. Demikianlah percakapan bisa berlangsung berjam-jam, dan masing-masing tidak (mau) tahu apa yang dikatakan oleh teman bicaranya karena masing-masing sibuk dengan pikiran dan diri sendiri.

Tipe 2: Pendengar Dangkal

Mengandaikan pesan itu terdiri dari verbal (kata-kata) dan non-verbal (misalnya raut wajah, intonasi kata-kata, tatapan mata, dan gerak-gerik), maka pendengar dangkal dicirikan: (1) Mendengar suara dan kata-kata tetapi tidak sungguh-sungguh mendengarkan. (2) Tidak semua kata-kata ditangkap. (3) Tidak masuk lebih dalam kepada pesan yang disampaikan. (4) Mendengar hal-hal yang sepele dan menghindari percakapan serius. (5) Sama sekali tidak menangkap bahasa non-verbal.

Akibatnya, tanggapan yang disampaikan seseorang yang masuk dalam tipe ini akan meleset karena yang verbal saja tidak ditangkap secara lengkap. Bayangkan Anda menyampaikan pergumulan Anda kepada seseorang yang Anda anggap bisa menolong, tetapi ia sedang memikirkan pertemuan yang sangat penting yang harus ia hadiri segera. Ia terlihat hanya berbasa-basi berbicara dengan Anda karena ia sibuk memikirkan dirinya dan jadwal pertemuannya. Dalam hal ini, keadaan seseorang bisa mempengaruhi kemampuannya mendengarkan dengan baik.

Tipe 3: Pendengar Evaluatif

Pendengar evaluatif adalah orang yang mendengarkan dengan konsentrasi dan perhatian yang lebih besar dibandingkan dengan tipe 1 dan tipe 2 di atas.
Tipe ini berusaha mendengarkan apa yang dikatakan teman bicara tetapi belum sepenuhnya mengerti maksud si komunikator.

Pendengar tipe ini lebih menaruh perhatian pada isi dan kurang (atau sama sekali belum) memperhatikan perasaan komunikator. Ia tidak terlibat secara emosional dalam pembicaraan. Memang, tipe ini cakap merumuskan kembali isi percakapan tetapi tidak tahu sisi lain yang sebenarnya dapat ditangkap melalui nada suara, wajah, dan gerak-gerik. Singkatnya, ia tidak mampu menangkap rasa dibalik kata.

Godaan yang mungkin dialami tipe pendengar evaluatif ini adalah perasaan yakin bahwa dirinya mengerti orang yang berbicara dengannya. Dengan demikian, responnya justru biasa merusak hubungannya sendiri dengan rekan bicaranya karena dia membentuk pendapatnya sendiri atas maksud si komunikator.

Tipe 4: Pendengar Aktif

Tipe inilah yang memiliki kemampuan mendengarkan yang terbaik. Kita tergolong pendengar aktif jika kita mampu menahan diri untuk tidak menilai ucapan-ucapan orang yang berbicara. Kita harus melihat dan memahami sebuah pesan dari segi pandangan komunikator. Kita berusaha menahan perasaan dan pikiran kita untuk mendengarkan orang lain.

Di samping itu, kita tidak hanya memberi perhatian pada kata-kata yang diucapkan tetapi berusaha menjadi satu hati dengan si pembicara. Kita mau dan mampu memahami ‘rasa dibalik kata’. Dengan demikian kita pun akan mampu menangkap, memperhatikan dan menjawab dengan baik dan benar.

Lunandi menyebut tiga keterampilan pendengar aktif, yaitu:

1. Dapat menangkap, yaitu: mengenal dan menghargai maksud yang terucapkan lewat nada suara, raut wajah, dan gerak-gerik.
2. Memperhatikan: mampu menyampaikan pesan-pesan kepada si pembicara lewat suara, raut wajah, gerak-gerik yang menunjukkan perhatian dan bersedia menerima.
3. Menjawab dengan bijaksana dengan memberi tanggapan yang tepat terhadap maksud dan perasaan teman bicara, membantu agar teman bicara merasa enak dan bebas, tidak merasa terancam.

Ditabur Pada Tanah Yang Subur

Apa yang diuraikan di atas dapat juga kita hubungkan dengan perumpamaan Tuhan Yesus tentang “benih” yang jatuh pada empat jenis tanah sebagaimana tertulis dalam Matius 13:1-9. Sebenarnya perumpamaan ini tidak membutuhkan banyak penjelasan lagi. Intinya sudah diberitahukan (ayat 19-23). Kita hanya perlu merenungkannya dalam kehidupan kita. Firman Tuhan terus diperdengarkan kepada kita, melalui bacaan Alkitab, khotbah, peristiwa kehidupan dan sebagainya. Dalam perumpamaan ini, yang masalah bukanlah ‘Penabur’ atau pemberitaan firman itu. Masalahnya adalah dalam diri si pendengar, yang di sini disebut empat tipe. Mungkin dalam kurun waktu tertentu kita bisa saja berpindah dari tipe pendengar yang satu ke tipe yang lain. Tetapi, atas pertolongan Tuhan sendiri kita bisa seperti ‘tanah yang baik’.

Pertama, yang tidak mengerti dan tidak mau mengerti. Orang seperti ini bukan tuli secara jasmani, tetapi tuli secara rohani. Tipe pendengar “masuk telinga kanan keluar telinga kiri” masih sempat masuk ke kepala. Tetapi tipe pertama ini lebih parah dari itu: masuk telinga kanan keluar dari telinga kanan juga. Firman itu sama sekali tidak sempat berdiam apalagi bekerja dalam kehidupan si pendengar. Hal ini terjadi ketika yang mengendalikan hidup adalah hal-hal duniawi.

Kedua, pendengar dangkal. Mungkin dapat disebut tipe ‘semangat air soda’. Ketika dituangkan ke dalam gelas, busa air soda naik ke atas dan tidak lama kemudian buihnya habis. Dalam ayat 20-21 dikatakan, “Benih yang ditaburkan di tanah yang berbatu-batu ialah orang yang mendengar firman itu dan segera menerimanya dengan gembira. Tetapi ia tidak berakar dan tahan sebentar saja. Apabila datang penindasan atau penganiayaan karena firman itu, orang itu pun segera murtad.” Mari kita perhatikan secara khusus kata-kata ‘segera menerimanya dengan gembira’. Baik? Ya. Masalahnya tidah bertahan lama. Mungkin ada kalanya kita begitu bersemangat ketika mendengar firman Tuhan, namun cepat memudar ketika penderitaan karena iman kita terkadang datang menghadang atau karena berbagai pencobaan yang kita alami.

Ketiga, semak duri. Pendengar firman tipe ketiga ini sedikit lebih lama bisa bertahan. Firman itu sempat tumbuh walaupun pada akhirnya terhimpit oleh dua penghimpit utama: (1) kekuatiran dunia dan (2) tipu daya kekayaan. Dalam Matius 6:25 Yesus sudah memperingatkan: Janganlah kuatir akan hidupmu, akan apa yang hendak kamu makan atau minum, dan janganlah kuatir pula akan tubuhmu, akan apa yang hendak kamu pakai. Kedua penghimpit ini masih terus kita hadapi hingga hari ini. Dan kita tahu betapa kekuatiran dunia dan dipu daya kekayaan itu begitu dahsyatnya menghalangi pertumbuhan iman kita. Perlu kita sadari bahwa kekuatiran tidak akan pernah memperbaiki masa depan, malah bisa menghancurkannya. Menjadi kaya bukanlah dosa sejauh (1) diperoleh dengan cara yang benar dan baik, (2) digunakan sesuai kehendak Tuhan, dan (3) tidak membuat kekayaan menjadi ilah.

Keempat, yang berbuah. Dalam ayat 23 dikatakan, “Yang ditaburkan di tanah yang baik ialah orang yang mendengar firman itu dan mengerti, dan karena itu ia berbuah, ada yang seratus kali lipat, ada yang enam puluh kali lipat, ada yang tiga puluh kali lipat." Terkadang penderitaan datang dan godaan bermunculan. Tetapi dengan pertolongan Tuhan kita dapat mengalahkannya. Firman Tuhan berbuah dalam hidup kita yang nampak antara lain melalui ucapan syukur, sukacita, kerelaan untuk saling menolong dan kesetiaan kepada Tuhan.

Kita perlu meluangkan waktu di hadapan Tuhan memeriksa pada tipe mana kita lebih sering berada. Kita juga memohon kiranya Tuhan menguatkan dan melayakkan kita menjadi tipe ‘tanah yang baik’, sehingga kita berbuah karena anugerah Tuhan. Yesus mengundang kita untuk tinggal di dalam Dia supaya kita berbuah lebat: Tinggallah di dalam Aku dan Aku di dalam kamu. Sama seperti ranting tidak dapat berbuah dari dirinya sendiri, kalau ia tidak tinggal pada pokok anggur, demikian juga kamu tidak berbuah, jikalau kamu tidak tinggal di dalam Aku (Yohanes 15:4).

[1] Pembagian tipe sebagaimana disebutkan A.G. Lunandi, Komunikasi Mengena. Meningkatkan Efektifitas Komunikasi Antar Pribadi (Yogyakarta: Kanisius).

Monday, March 2, 2009

SEKALI LAGI TENTANG "MEMADAMKAN AMARAH"


REFLEKSI SENIN KE-10 2009 - 02/03

Ada sebuah ungkapan yang amat mencerahkan seperti ini: Sebagian mahkluk hidup hanya dapat melihat pada siang hari. Sebagian lagi hanya dapat melihat pada malam hari. Tetapi, orang yang begitu kuat dikendalikan oleh amarah tidak dapat melihat siang maupun malam.

Dalam kehidupan keseharian kita menemukan berbagai cara bagaimana orang mengekspresikan amarahnya.
  • Ada orang yang gampang sekali tersulut amarah dan meledakkannya kapan saja, di mana saja dan kepada siapa saja. Dengan meledakkan amarahnya, mungkin ia merasa lega untuk sementara. Tetapi, yang marah dan sasaran amarah biasanya sama-sama terluka. Sebab, orang yang marah menyemburkan ‘racun’ yang menyakiti dirinya sendiri dan orang lain.
  • Ada yang suka menyimpan kemarahannya, tetapi mempengaruhi seluruh gerak hidupnya. Kata-katanya pahit dan sikapnya dingin. Dalam waktu yang lama tumpukan simpanan kemarahan bisa juga lebih dahsyat ‘ledakannya’.
  • Ada pula yang tidak mau marah kepada orang lain melainkan selalu memarahi atau menyalahkan diri sendiri, hingga membuatnya ‘makan hati’ atau sengsara sendiri.

Dalam Amsal 20:3 dikatakan, "Terhormatlah seseorang, jika ia menjauhi perbantahan,
tetapi setiap orang bodoh membiarkan amarahnya meledak
." Ini menegaskan sebuah perbedaan mencolok anatara ‘orang terhormat’ dan ‘orang bodoh’ berkaitan dengan penguasaan diri. Kiranya pilihan dan tekad kita sekarang menjadi orang terhormat (dengan menjauhi perbantahan) bukan orang bodoh (yang meledakkan amarah).

Jika ada yang marah kepada kita, kita perlu berusaha memahaminya sebaik-baiknya dan mengambil langkah bijaksana mengatasinya. Sedikitnya ada tiga kemungkinan penyulut amarah seseorang yang dapat kita sikapi dengan hati damai.

Pertama, mungkin kemarahan seseorang itu dipicu oleh kesalahan kita. Kita perlu memeriksa dengan seksama. Jika memang karena kesalahan kita, maka tugas kita untuk mengakuinya dan dengan kerelaan meminta maaf. Agar permintaan maaf kita sungguh-sungguh menyembuhkan, kita perlu mencari cara dan waktu terbaik untuk menyampaikan permintaan maaf. Ada kalanya seseorang itu tidak menerima permintaan maaf kita. Dalam keadaan seperti itu kita hendaknya memupuk kesabaran dalam suasana doa dan tidak jemu-jemunya mengusahakan perdamaian.

Kedua, mungkin kemarahan itu hanyalah akibat kesalah-pengertian. Dalam hal ini kita dapat memberi klarifikasi dengan cara-cara yang baik. Yang perlu diperhatikan dalam situasi ini, jangan sampai klarifikasi yang kita lakukan justru kian memperburuk keadaan.

Ketiga, mungkin kemarahan orang lain disebabkan oleh perasaan cemburu atau iri hati kepada kita. Tugas kita adalah menolong mereka dengan mengasihi mereka sepenuh hati. Kita tidak perlu membuktikan diri sebagai yang benar. Ada baiknya kita memeriksa sikap kita juga yang bisa saja membuat orang menjadi cemburu atau iri hati kepada kita. Jika kecemburuan dan iri hari tersebut sepenuhnya karena kelemahan seseorang itu (bukan karena kita sendiri), kita perlu menolongnya dalam berbagai cara yang dapat kita lakukan seperti mendoakan, menunjukkan sikap bersahabat, membantu mengembangkan talenta dan bakatnya, menghargai nilai-nilai positif dalam diri dan karyanya dan sebagainya.

Dengan sikap seperti itu kita sudah menghindari perpantahan tetapi mengusahakan persaudaraan yang diikat oleh kasih. Dunia ini dan hidup kita akan jauh lebih indah, bermartabat dan penuh damai ketika kemarahan digantikan dengan belas kasihan.


ShoutMix chat widget