Friday, September 28, 2007

MEWUJUDKAN HKBP YANG TERBUKA DAN DIALOGIS


A. PENGANTAR

Keberadaan Gereja saat ini merupakan post Biblical development (perkembangan sesudah zaman Alkitab). Artinya, kehidupan Gereja seperti liturgi, jabatan gerejawi, struktur, Tata Gereja dan sebagainya tidak persis sama seperti yang berlaku dalam Gereja mula-mula sebagaimana disebutkan di dalam Alkitab. Hal ini terjadi karena Gereja dalam perjalanannya hidup, bertumbuh dan berkembang pada zaman dan konteks yang berbeda. Namun demikian, esensi Gereja tidak pernah berubah. Di antara yang esensi ialah keberadaan Kristus sebagai kepala gereja; Gereja adalah persekutuan umat percaya sebagai persekutuan milik Allah; Gereja menerima tugas panggilan mewujudkan missio Dei di dunia ini, dan sebagainya.

Sifat dan sikap terbuka dan dialogis Gereja bukanlah merupakan post Biblical development, melainkan suatu yang esensi. Keterbukaan gereja bukanlah sesuatu yang ditambahkan kemudian melainkan sesuatu yang inheren dalam dirinya sendiri. Dasarnya amat jelas, yakni: Allah terbuka bagi setiap dan semua orang. Dengan demikian, gereja yang setia kepada Allah adalah gereja yang terbuka kepada Allah dan pada saat yang sama juga terbuka bagi setiap orang.

Atas dasar itu, penggunaan kata ‘mewujudkan’ dalam judul di atas merupakan pilihan yang tepat. Allah sudah dan sedang melakukannya dan Gereja terpanggil untuk seirama denganNya. Ruang dan peluang untuk mewujudkan gereja yang terbuka dan dialogis telah disediakan oleh Allah. Dalam hal ini Gereja perlu memahami ulang tugas panggilannya di bidang marturia, koinonia dan diakonia.

B. KESAKSIAN MELALUI ORTODOKSI DAN ORTOPRAKSIS

Tidak jarang tugas panggilan Gereja di bidang marturia dipahami dalam arti sempit sebagai penginjilan kepada non-Kristen. Tetapi merujuk pada makna marturia dalam Perjanjian Baru, penginjilan hanyalah salah satu bagian dari marturia. Tugas panggilan marturia mencakup kesaksian dalam dan melalui ortodoksi (ajaran yang benar) dan ortopraksis (tindakan yang benar –yang mengacu pada firman Tuhan). Sehubungan dengan itu, dapat ditegaskan bahwa kesaksian tidak pernah mengandung pemaksaan tetapi selalu menghormati kemanusiaan dan kebebasan orang lain.

(1) Terbuka Pada Kehidupan

Secara konkret, marturia juga menyangkut tanggung jawab menyatakan dan memberlakukan perdamaian, kebenaran dan keadilan. HKBP sudah pernah mencanangkan upaya pewujudan marturia seperti itu sebagaimana secara eksplisit dirumuskan dalam Garis-garis Besar Kebijaksanaan Pembinaan dan Pengembangan HKBP (GBKPP HKBP) yang berbunyi: “Marturia adalah menyampaikan Injil yaitu berita tentang pertobatan, pengampunan dosa dan keselamatan (Luk 24:47) serta kebebasan, keadilan, kebenaran, dan damai sejahtera kepada segala bangsa dan segala makhluk (Mrk 16:15)”[1]

Cakupan marturia seperti itu juga mengacu pada amanat Tuhan Yesus tentang keberadaan orang percaya sebagai garam dan terang dunia. Yesus tidak mengatakan pengikutNya sebagai ‘garam gereja dan terang gereja’. Keterbukaan Gereja dalam hal ini dapat diuji berdasarkan komitmennya memperbaiki keadaan masyarakat yang diwarnai oleh aneka bentuk kejahatan, kekerasan, ketidakpedulian dan sebagainya. Gereja memberi cita rasa yang baik dan mencegah ‘pembusukan’ dalam masyarakat. Dengan demikian masyarakat merasakan kehadiran gereja yang sungguh-sungguh merawat kehidupan.

Keberadaan Gereja sebagai ‘garam’ tidak dapat dipisahkan dari keberadaannya sebagai ‘terang’ yaitu menyatakan kebaikan, kebenaran dan keadilan. Akan tetapi Gereja harus dengan rendah hati menyadari bahwa terang Tuhan dapat bercahaya di luar Gereja, sebab Kerajaan Allah lebih luas dari Gereja. Itu sebabnya Gereja menerima dan mendukung perjuangan kebenaran dan keadilan di tengah masyarakat yang dilakukan oleh orang-orang atau lembaga non-Kristen.

Mengacu pada keberadaan yang demikian, maka Gereja hendaknya mengemban misi politis,[2] dalam artian misi yang bertujuan demi kebaikan dan kesejahteraan segenap polis (masyarakat). Misalnya, tanggung jawab Gereja untuk terlibat dalam perjuangan agar masyarakat mendapat udara, air, dan makanan yang bersih dan sehat, mendapat perlakuan yang adil dari pemerintah, buruh mendapat upah yang layak, kesetaraan perempuan dengan laki-laki, dan lain-lain

Konsekwensi tugas panggilan marturia memang tidak ringan. Gereja sebagai lembaga atau warganya secara perorangan bisa saja menanggung penderitaan sebagai konsekuensinya. Hal serupa sudah dialami oleh para saksi yang menanggung siksa sebagaimana para martir yang mengiringi perjalanan gereja sepanjang sejarah (martir sebagai konsekuensi dari marturia).

(2) Terbuka pada perkembangan sains dan teknologi

Yang kiranya perlu mendapat perhatian serius ialah perlunya keterbukaan Gereja secara posotif-kritis terhadap perkembangan sains dan teknologi yang makin canggih. Zaman ini dicirikan oleh perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sangat pesat yang menuntut kajian dan refleksi etis-teologis secara sungguh-sungguh. Teknologi kedokteran, misalnya, telah menampakkan wajah ganda. Di satu segi ia hadir sebagai berkat karena berhasil menyembuhkan berbagai penyakit melalui deteksi awal, analisis penyakit yang lebih akurat, tindakan pencangkokan organ tubuh dan sebagainya. Akan tetapi, di segi lain, teknologi kedokteran menampakkan wajah yang menyeramkan dan menakutkan dengan usaha-usaha rekayasa genetika yang dikuatirkan menempatkan manusia hanya sebagai objek uji coba dan menjadi korban.

Gereja dan orang-orang Kristen harus mampu menempatkan diri dalam posisi critical distance (jarak kritis) terhadap perkembangan dimaksud. Tidak bijaksana (dan tidak kristiani) jika Gereja menilai perkembangan tersebut secara hitam-putih saja. Gereja dapat menerima hal-hal yang positif atas dasar keyakinan bahwa teknologi kedokteran --sejauh diberlakukan untuk kebaikan umat manusia merupakan berkat Tuhan. Sebaliknya, Gereja harus secara tegas menolak proses dan praktek dehumanisasi yang mungkin terjadi dalam perkembangan teknologi kedokteran.

(3) Terbuka pada masa depan

Temuan-temuan yang mengejutkan bisa saja terjadi pada masa yang akan datang. Jika suatu saat para ahli menemukan bumi lain yang didiami ‘manusia lain’, Gereja tidak akan buru-buru memvonis bahwa temuan seperti itu menyesatkan dengan alasan (keliru) bahwa dalam Alkitab disebutkan bahwa Allah menciptakan hanya satu bumi. Padahal, tidak ada pernyataan explisit dalam Alkitab bahwa Allah menciptakan hanya satu bumi. Gerja perlu menghindari diri terjerumus ke dalam tindakan ceroboh seperti yang pernah dilakukan menghadapi para ahli dengan penemuan mereka seperti Galileo, Copernicus dan lain-lain.

Di sini Gereja perlu membuka diri terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi secara positif-kritis. Positif, karena ilmu pengetahuan dan teknologi yang baik adalah anugerah Tuhan. Kritis, karena keberdosaan manusia yang pada gilirannya bisa saja menyalahgunakan sains dan teknologi.

Dengan mempertimbangkan masalah di atas, HKBP (khususnya melalui Departemen Marturia HKBP) dapat mempertimbangkan dan melakukan hal-hal berikut.

· Memahami dan merumuskan ulang makna misi dan kesaksian dalam konteks dunia masa kini
· Melakukan kajian teologis-etis seputar persoalan kehidupan, misalnya masalah perkembangan sains dan teknologi, narkoba, HIV/AID, nilai-nilai keluarga, masalah seks bebas, kloning, euthanasia, pencangkokan organ tubuh dan sebagainya.
· Menyampaikan pesan kenabian kepada masyarakat, Gereja, kelompok agama, pemerintah nasional dan pemerintah bangsa-bangsa.
· Memperlengkapi umat menjadi jemaat misioner


C. PERSAUDARAAN SEJATI

Pengalaman empiris menunjukkan bahwa daya konstruktif agama sering berubah menjadi kekuatan destruktif. Ada begitu banyak manusia yang korban dan rumah ibadah yang hancur dalam konflik antar umat beragama. Terlepas dari kontroversi seputar faktor pemicu konflik antar umat beragama yang terjadi belum lama ini baik di Indonesia maupun di luar negeri, hal yang jelas ialah rapuhnya rasa kemanusiaan. Fanatisme sempit agama telah mengalahkan ‘fanatisme’ rasa kemanusiaan.

Ketika rasa kemanusiaan mengedepan dalam perjumpaan antar manusia yang berbeda latar belakang agama, maka perbedaan akan dipandang sebagai kekayaan. Tetapi, ketika fanatisme (sempit) agama yang mengemuka, maka masyarakat amat rawan pada konflik bahkan peperangan.

Bagi orang Kristen, yang lebih mempersatukan manusia ialah keyakinan akan penciptaan dan kepemilikan Allah atas seluruh ciptaan dan manusia. Semua dan setiap manusia adalah Imago Dei (Gambar Allah). Jika Allah, mengasihi dan memelihara setiap manusia, apakah alasan manusia memusuhi sesamanya?

Dalam konteks dunia yang pluralistik ini, keterbukaan Gereja merupakan suatu bagian tidak terpisahkan dari keberadaan dan tugas panggilannya. Sebab, Gereja yang menutup diri di dalamnya akan terjadi pembusukan. Gereja yang membuka diri tanpa arah yang jelas dan teologis akan hanyut diterjang ganasnya ombak dunia ini. Gereja terpanggil untuk terbuka pada kebenaran yang Alkitabiah.

Bagi Gereja, upaya amewujudkan persaudaraan sejati di antara umat manusia mengacu pada tugas panggilannya di bidang koinonia dalam arti yang sebenarnya. Umumnya gereja-gereja memahami koinonia sebagai persekutuan orang percaya yang dijabarkan dalam bentuk aktivitas gereja seperti ibadah, kelompok Pemahaman Alkitab (PA), kumpulan koor dan lain-lain. Kemudian, koinonia juga dipahami dalam hubungannya dengan persekutuan gereja-gereja secara ekumenis.

Dewan Gereja Sedunia (DGD) sudah sejak lama menggumuli makna tugas panggilan Gereja di bidang koinonia dalam konteks dunia yang pluralistik. Dalam konferensinya yang secara khusus membahas tentang koinonia di Santiago de Compostela (1993) Komisi Iman dan Tata Gereja DGD dengan sangat tepat merumuskan bahwa Gereja sebagai koinonia terpanggil untuk berbagi bukan hanya di antara anggotanya tetapi bagi semua orang melalui pendampingan, kepedulian terhadap orang miskin, yang kekurangan dan yang terpinggirkan dengan memperjuangkan keadilan dan perdamaian di tengah masyarakat serta tanggung jawab memeliharan ciptaan.[3]

Semangat yang sama sudah sejak lama menggema dalam lingkungan HKBP. Bagi HKBP, sebagaimana tercantum dalam GBKPP, tugas persekutuan (koinonia) ini meliputi persekutuan jemaat, keluarga, oikumene (dalam dan luar negeri) dan hubungan dengan golongan lain dalam masyarakat serta dengan pemerintah.”[4]

Dalam tataran das Sollen, mengacu pada pernyataan ‘hubungan dengan golongan lain dalam masyarakat’ dalam GBKPP tersebut, HKBP sudah melangkah melintas sikap eksklusif kepada sikap yang inklusif. Yang dibutuhkan ialah penerjemahan dan pengejawantahannya, bagaimana HKBP ‘bersekutu’ dengan umat manusia tanpa membedakan latar belakang agama, suku, ras, pandangan politik dan sebagainya.

Di samping itu, dibandingkan dengan Konfesi HKBKP 1951, Konfesi HKBP 1996 sudah menunjukkan pergeseran dari sikap eksklusif ke arah keterbukaan yang kreatif-positif. Dapat dicatat bahwa dalam Konfesi HKBP 1996 tidak dicantumkan lagi mengenai agama dan aliran kepercayaan seperti Katolik, Advent, Pinkster dan lain-lain yang tadinya dipahami sebagai sumber ajaran sesat dan ancaman bagi HKBP.[5]

Ada beberapa hal yang secara eksplisit dan implisit dalam Konfesi HKBP 1996 berkaitan dengan kemajemukan agama, antara lain:
- Pasal 1 menyatakan bahwa “hanya ada satu Allah yang memerintah seluruh umat manusia. Pernyataan ini mengandung makna sebuah panggilan untuk melihat dan memperlakukan sesama manusia (tanpa membedakan latar belakang gama dan ras) dari sudut Allah.
- Pasal 4 berbunyi “HKBP memahami keberadaannya yang hidup dalam konteks pluralitas agama”. Meski tidak diurai secara detail, namun pemahaman seperti itu meunjukkan kesadaran akan kebersamaan dengan penganut agama lain.
- Pasal 13 yang secara tegas mengakui fungsi Pancasila sebagai asas bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Memang wacana sekitar tinjauan teologis terhadap Pancasila terus berlangsung, akan tetapi pernyataan konfesi tersebut menunjukkan kesediaan HKBP menerima kenyataan bahwa Pancasila dapat mempersatukan warga bangsa yang beraneka ragam latar belakang.

Sehubungan dengan itu, berikut ini dapat disebut beberapa hal yang perlu mendapat perhatian gereja:

(1) Adanya ‘tempat’ bagi orang lain dalam seluruh gerak pelayanan Gereja, mulai dari liturginya dimana penganut agama lain mendapat tempat dalam doa syafaat, hingga dalam pelayanan Gereja di tengah masyarakat.

(2) Peranan Departemen Koinonia HKBP untuk mengambil inisiatif melakukan dialog dan kerja sama antar umat beragama.

(3) HKBP (warga dan lembaga dalam semua aras pelayanan) terpanggil mewujudkan dialog yang jujur terhadap penganut agama lain, antara lain melalui:

a. Dialog kehidupan

Dialog seperti ini sebenarnya sudah lama berlangsung, yaitu ketika warga jemaat hidup bertetangga dengan penganut agama lain, bekerja dalam lingkungan kerja yang sama, bertransaksi dalam dagang dengan yang berbeda latar belakang agama, suku dan sebagainya. Dalam lingkungan seperti itu orang bertemu tanpa mengedepankan perbedaan melainkan kesamaan sebagai sesama manusia.

b. Dialog Teologis

Dialog teologis terutama melibatkan para tokoh, ahli, pimpinan agama-agama yang bertemu dan membahas seputar masalah-masalah aktual ditinjau dari sudut pandang masing-masing agama. Di Indonesia terdapat cukup banyak forum seperti ini, dimana HKBP dapat ambil bagian. Di samping itu, HKBP dapat memprakarsai forum dialog teologis yang lain dan lebih intensif.

c. Dialog kerja sama

Di sini pusat perhatian tidak terutama ajaran atau dasar teologis secara formal-ilmiah, tetapi membangun kehidupan bersama, peduli pada permasalah bersama dan bersama-sama berbuat sesuatu untuk kebaikan bersama. Misalnya, penganut-penganut agama yang berbeda bekerja sama di bidang penanggulangan bencana, gotong royong, menjaga keamanan bersama, proyek-proyek kemanusiaan, gerakan peduli lingkungan dan lain-lain. Memang, HKBP harus bergerak dalam hal ini atas dasar iman dan ketaatannya kepada Tuhan.

D. DIAKONIA TRANSFORMATIF

Seruan perlunya pergeseran diakonia karitatif (yang biasanya diibaratkan dengan ‘memberikan ikan’) dan diakonia reformatif (diibaratkan dengan ‘pemberian pancing’) kepada diakonia transformatif (menolong mendapatkan akses ke kolam yang berisi ikan) kian nyaring digaungkan akhir-akhir ini.

Seruan dan perjuangan demikian dapat dimengerti karena diakonia karitatif –meskipun baik dan masih tetap dipertahankan, tetapi tidak cukup. Sebab, pemberian yang sifatnya karitatif akan menciptakan ketergantungan. Sama halnya dengan diakonia reformatif, tidak ada manfaatnya jika keahlian dan ketrampilan seseorang tidak dapat digunakan jika peluang dan akses tidak tersedia baginya.

HKBP memahami tugas panggilannya untuk melayani dunia, bukan dilayani (Mrk 10:45): untuk memerangi kebodohan, keterbelakangan, kelemahan, penyakit, ketidakadilan dalam masyarakat sebagaimana diperbuat oleh Yesus (Mat 4:23; Luk 4:18-19).[6]

Tugas HKBP secara lembaga (khususnya Departemen Diakonia) dan warga jemaat pada umumnya dalam hal ini, antara lain adalah:

Memperlengkapi dan menggerakkan warga HKBP dan jemaat-jemaat terlibat dalam upaya-upaya diakonia transformatif melalui keterlibatannya merawat kehidupan melalui usaha-usaha nyata.
Menjalin hubungan dan kerjasama dengan berbagai pihak dalam upaya memahami dan mengatasi permasalahan yang ada.
Mempertahankan pelayanan di panti-panti asuhan baik yang dikelola sendiri maupun dengan keikutsertaannya mengupayakan bantuan kepada panti asuhan yang dikelola oleh penganut agama lain.
Menumbuhkan kesadaran serta menggerakkan seluruh komponen masyarakat terlibat merawat dan memelihara alam ciptaan Tuhan di tengah krisis ekologis dewasa ini.
Mengadakan diskusi dan sharing terbuka seputar masalah bersama seperti masalah krisis lingkungan, sistem pendidikan yang memerdekakan, masalah kesehatan, masalah anak jalanan, kehidupan buruh, persoalan gender dan sebagainya.
Pengelolaan Rumah sakit dan Sekolah secara profesional.
Mensinergikan potensi yang ada di departemen marturia dan koinonia.


E. PENUTUP

Tuhan Yesus Kristus mengundang umatnya, “Tinggallah di dalam Aku dan Aku di dalam kamu. Sama seperti ranting tidak dapat berbuah dari dirinya sendiri, kalau ia tidak tinggal pada pokok anggur, demikian juga kamu tidak berbuah, jikalau kamu tidak tinggal di dalam Aku” (Yoh. 15:4).

Undangan ini juga berlaku bagi Gereja dan orang-orang Kristen pada hari ini. Sebagaimana Kristus terbuka bagi setiap manusia, demikian juga Gereja dan orang Kristen yang tinggal dalam Kristus, akan terbuka terhadap sesamanya. Dialog yang dilakukan oleh Gereja dan orang Kristen yang tinggal di dalam Kristus akan mengalir dari ketaatannya kepada Kristus yang menghendaki kebaikan dan keselamatan semua ciptaan.

















[1] HKBP, Garis-garis Besar Kebijaksanaan Pembinaan dan Pengembangan HKBP, Tarutung: HKBP,1989. hlm. 12
[2] Untuk menghindari kesalahpahaman, ‘politis’ dalam hal ini dimaksudkan menyangkut kehidupan orang banyak, bukan ‘politik praktis’. Sebab, Gereja seharusnya tidak terlibat dalam politik praktis.
[3] Thomas F. Best and Gunther Gassmann, On the way to Fuller Koinonia, Official Report of the Fifth World Conference on Faith and Order, Geneva: WCC Publication, p. 275
[4] GBKPP, hlm. 11
[5] Lihat Bagian Pendahuluan Konfesi HKBP 1951.
[6] GBKPP HKBP hlm. 12

Tuesday, September 18, 2007

M E M O R I A


(Pengingatan dengan Perenungan Mendalam)[1]

Nama Pilatus tidak mungkin diabaikan dalam peristiwa penyaliban Kristus. Sebagai seorang wali negeri, ia mempunyai peranan yang amat menentukan dalam penyaliban Yesus. Keputusan atas tuduhan dan tuntutan massa berada di tangannya.

Tuduhan terhadap Yesus tidak tanggung-tanggung. Ia dituduh menghujat Allah, dan karena itu Ia divonis menodai kesucian agama. Ia juga dituduh menentang kebijakan Kaisar, karena itu Ia dianggap pantas menyandang “cap” subversif. Tuduhan-tuduhan inilah yang akhirnya menghantarkan Yesus ke hadapan penguasa setempat sebagai terdakwa.

Bagaimana sikap Pilatus? Ia mempunyai pilihan yang amat sulit. Bukan karena perkaranya yang pelik, tetapi karena adanya pertarungan dahsyat antara nurani dan taktik politik. Pilatus mengaku bahwa ia tidak mendapati kesalahan apapun untuk menghukum Yesus. Ia tahu persis kehadiran para pemuka agama dan massa yang membawa Yesus adalah karena kedengkian mereka. Bahkan, Pilatus mempunyai hasrat untuk membebaskan Yesus.

Apa yang terjadi? Satu kalimat membuat Pilatus gusar tidak kepalang. “Jika engkau membebaskan Dia, engkau bukanlah sahabat Kaisar. Setiap orang yang menganggap dirinya sebagai raja, ia melawan Kaisar,” demikian teriakan massa (Yohanes 19 : 12). Apakah istilah “takut” ada dalam kamus kekuasaan? Oh, tentu. Lihat saja pada Pilatus. Sebabnya sangat logis walaupun amat tidak etis. Soalnya, posisinya dipertaruhkan di sini. Jabatan dan tentu, penghasilan turut memberi andil membuat hatinya gelisah. Membebaskan Yesus memang tindakan jujur, tetapi konsekuensinya sangat mahal: tergusur atau bahkan bisa hingga menganggur.

Demi survive (bertahan hidup dan bertahan posisi) akhirnya Pilatus menyerahkan Yesus untuk disalibkan. Biar ia tidak jujur asal bisa “mujur”. Tidak hanya sampai disitu, demi memuaskan hati umat ia membebaskan Barabas seorang pelaku pembunuhan dan pemberontakan. Penjahat boleh bebas berkeliaran tetapi Yesus dikamabinghitamkan sebagai penjahat.

Semangat serupa memang merupakan suatu mode kekuasaan ketika itu. Lihat saja Herodes misalnya, yang tidak sungkan terlibat dalam pembangunan Bait Suci, dengan bantuan finansial dan dukungan moril! Namun ia tidak merasa enggan juga menumpas lawan-lawan politiknya dengan tentaranya yang kuat. Ia menampilkan kedermawanan yang sungguh-sungguh munafik.

Dengan santainya, Pilatus mencuci tangan sambil dengan ringannya berkata “Aku tidak bersalah terhadap darah orang ini. Itu urusan kamu sendiri!” Dengan gagah berani ia mengampuni kesalahannya sendiri dengan mencuci tangan dan bukan mencuci hati dan pikirannya. Dengan kekuasaannya ia menganggap dirinya memiliki kuasa melempar kesalahan. Kekuasaan mencari kambing hitam!

Akhirnya, Yesus harus menempuh jalan salib. Yesus memikul salibNya dan berjalan menuju Golgata di tengah olokan dan penghinaan. Di samping itu, perjalananNya juga diiringi deraian air mata banyak perempuan. Tetapi jangan terburu-buru memandang air mata ini sebagai pertanda kelemahan kaum perempuan. Ia malah bisa merupakan anugerah Allah untuk menunjukkan kepekaan rasa kemanusiaan dan rasa keadilan kaum perempuan. Air mata ini juga dapat merupakan simbol perjuangan menolak segala bentuk kesewenang-wenangan.

Yesus tidak meremehkan tangisan itu. Hanya saja, Ia mengarahkan tangisan para perempuan itu kepada yang lain. Dengar apa yang Ia katakan “hai putri-putri Yerusalem, janganlah kamu menangisi Aku, melainkan tangisilah dirimu sendiri dan anak-anakmu!” Kata “anak-anakmu” di sini, mungkin saja menunjuk pada mereka yang dengan mata merah menyerukan penyaliban Yesus, pemuka-pemuka agama, penguasa atau para penonton.

Peristiwa di atas hadir sebagai hasil dari memoria jemaat mula-mula dan para rasul. Memoria artinya “pengingatan yang disertai dengan perenungan mendalam.” Peristiwa di sekitar penghukuman Yesus, yang diingat dan direnungkan oleh jemaat mula-mula dan disaksikan itu akhirnya menjadi memoria umat Kristen pada zaman ini. Memoria ini memungkinkan seseorang melihat keberadaan diri dan realitas dunia sekitarnya dengan penglihatan Kristus sendiri.

Memoria seperti ini tidak gampang bahkan ia mengandung dan mengundang risiko. Yaitu menangisi diri dan menangisi “anak zaman ini.” Menangisi diri, karena mungkin kita sedang memerankan Pilatus atau orang yang berada di sekeliling ‘Pilatus’ dan tidak bisa berbuat apa-apa. Di sini, mungkin saja kita kehilangan sesuatu. Tetapi, bukankah kehilangan sesuatu jauh lebih baik daripada kehilangan segala sesuatu?

Memoria bisa mencurahkan “hujan air mata” menangisi “anak zaman” ini. Menangisi orang-orang yang dengan mudah dan teganya mengorbankan manusia demi kepentingan dan kepuasan diri sendiri. Tangisan yang mengantar perjuangan pemanusiaan manusia dengan segala tantangannya.

Memoria demikian bisa terjadi jika keselamatan yang Yesus perbuat tidak dipandang hanya sekedar keselamatan jiwa-jiwa. Tetapi keselamatan jasmani dan jiwa secara utuh. Keselamatan yang menyentuh sendi-sendi totalitas kehidupan. Ya, kehidupan bergereja, ya kehidupan bermasyarakat. Kehidupan rohani dan kehidupan jasmani. Sebab, Yesus adalah Juruselamat kehidupan jasmani dan rohani secara utuh. Itu juga yang Ia pelihara hingga hari ini dalam kehadiranNya di dunia yang konkret ini.

Jangan lupa, memoria penderitaan Kristus juga mengandung pengingatan dan perenungan akan perkataan Yesus yang penuh pengampunan. “Ya Bapa ampunilah mereka, sebab mereka tidak tahu yang mereka perbuat.” Pengampunan ini berlaku juga pada saat kebangkitan-Nya dan hingga hari ini.

Dengan demikian, memoria dapat menghantar setiap umat percaya mengimani kasih Allah, menyadari keberadaan diri, melihat kenyataan dunia ini, mendorong pengampunan serta menggerakkan aksi seiring dengan pekerjaan Tuhan. Sebab, Ia hidup dan berkarya kini dan di sini.
[1] Pernah dimuat dalam Harian Suara Pembaruan, Jakarta.

Wednesday, September 12, 2007

MENSYUKURI HARI PEMBERIAN TUHAN


Tak berkesudahan kasih setia TUHAN, tak habis-habisnya rahmat-Nya,
selalu baru tiap pagi; besar kesetiaan-Mu!
(Ratapan 3:22-23)

Hidup ini menjadi terasa lebih berat ketika kita menanggung tiga beban hidup sekaligus --yang kebanyakan tidak perlu, yakni:

Pertama, beban masa lalu. Ada orang yang terperangkap dalam masalah-masalah yang sudah berlalu. Hal ini terjadi misalnya ketika kita terus menerus menyimpan sakit hati kita kepada orang lain, menangisi kegagalan kita di masa lalu, menyesali keputusan yang sudah kita buat. Celakanya, ada orang yang hidupnya begitu dalam terperangkap hingga ke masa puluhan tahun yang silam.

Kedua, beban masa sekarang. Beban masa sekarang pun masih bermacam-macam. Ada yang masih dalam batas kewajaran, tetapi ada pula yang tidak perlu. Disebut beban yang wajar ditanggung karena misalnya kita sedang merindukan sesuatu atau seseorang. Kita menghadapi penyakit. Kita sedang menghadapi beban pekerjaan. Ada juga beban yang sebenarnya tidak perlu khususnya ketika kita merasa terbeban sekarang bukan karena kita tidak berkecukupan tetapi karena kita ingin memiliki apa yang orang lain miliki. Ketika kita naik angkutan umum, kita melihat orang lain naik mobil mewah dan kita merasa sedih karena kita tidak bisa naik mobil mewah seperti mereka. Mereka yang naik mobil mewah pun mengeluh karena mereka merasa kesepian.

Ketiga, beban masa depan. Kita kuatir akan masa depan: bagaimana jodoh kita, bagaimana keluarga kita, bagaimana penghasilan kita. Kita kuatir jangan-jangan akan ada perang, jangan-jangan kita jatuh sakit, jangan-jangan saudara, teman, pasangan menghianati kita, jangan-jangan apa yang kita bangun dan harta yang kita kumpulkan sekian tahun dihancurkan oleh anak-anak kita dan banyak ‘jangan-jangan’ yang lain.

Kalau semua ini kita tanggung dalam saat yang sama, betapa beratnya hidup ini. Dapat kita bayangkan jika tali diikatkan ke leher kita, satu ditarik ke belakang, satu ditarik ke depan, ditambah lagi suatu beban berat diletakkan di kepala kita. Betapa lumpuhnya kehidupan seperti itu. Itu menggambarkan kehidupan kita yang ditarik ke masa lalu, ditarik ke masa depan, ditekan oleh masa kini. Kita pasti akan murung terus dan kita akan gampang tersinggung. Hidup kita kurang bergairah. Selera makan kita bisa saja berkurang. Kita bisa sulit tidur karena hati kita tidak damai. Berdoa pun sulit dalam situasi seperti ini. Singkatnya, kita kehilangan kegembiraan.

Apakah salah memikirkan kesusahan yang kita hadapai? Tidak. Tetapi janganlah kita menanggung beban yang tidak perlu dengan menangisi masa lalu dan menguatirkan masa depan. Sebenarnya, masa lalu sudah tidak ada. Yang ada hanyalah pikiran kita yang terikat bahkan terbelenggu pada masa lalu. Masa depan pun, tidak lebih baik kalau kita menguatirkannya. Kita hanya berpengharapan akan pertololongan Tuhan. Yesus berkata, “janganlah kamu kuatir akan hari besok, karena hari besok mempunyai kesusahannya sendiri. Kesusahan sehari cukuplah untuk sehari." (Matius 6:34).

Jika kita mengikuti apa yang Yesus katakan, maka setiap hari kita akan dapat menyambut ‘hari’ yang Tuhan anugerahkan seperti sikap pemazmur yang mengaku, “Inilah hari yang dijadikan TUHAN, marilah kita bersorak-sorak dan bersukacita karenanya! (Mazmur 118:24). Setiap bangun pagi kita juga mengaku, “Tak berkesudahan kasih setia TUHAN, tak habis-habisnya rahmat-Nya, selalu baru tiap pagi; besar kesetiaan-Mu!” (Ratapan 3:22-23).

Kedua ayat Alkitab ini tidak mengatakan bahwa hidup ini bebas dari masalah. Firman Tuhan ini mau menegaskan agar kita lebih banyak memikirkan kebesaran Tuhan dan kebaikan-Nya kepada kita, sehingga kita tetap bersukacita. Tuhan menciptakan kita dan menempatkan kita di dunia ini pastilah dengan tujuan yang baik.

Ada nasihat yang meneguhkan hati dari Victor Hugo seperti ini. Milikilah keberanian menghadapi tantangan hidup yang berat bahkan penderitaan dan milikilah kesabaran dalam perkara-perkara kecil. Ketika Anda mengakhiri perkerjaan sehari-hari, tidurlah dalam suasana damai. Sadarilah, Allah tidak tertidur.

SINTUA DAN KEPALA DESA

KETIKA "HASINTUAON" BERBICARA

St. Soloan Sihotang
(Kepala Desa Sihotang Hasugian Dolok 2; Kec. Parlilitan; kab. Humbahas)

Amang St. Soloan Sihotang tinggal 30-an tahun di Jakarta. Secara ekonomi beliau lumayan berhasil. Tetapi, beliau memilih untuk menjual rumahnya dan kembali ke kampung halaman. “Orang Batak memiliki falsafah hamoraon, hagabeon, hasangapon”. Saya tidak memiliki ketiganya, tetapi saya bahagia dengan apa yang Tuhan anugerahkan kepada saya ”, tuturnya. Saya bahagia jika saya bisa melakukan sesuatu untuk menolong penduduk di kampung, tambahnya.

Setelah sekitar 6 tahun tinggal di desa itu, beliau dilantik menjadi Kepala Desa pada Agustus 2007. Beliau langsung melakukan terobosan. Misalnya, beras miskin yang biasanya disalurkan oleh Kepala Desa (yang biasanya tidak seluruhnya sampai kepada masyarakat), beliau percayakan kepada “raja-raja huta” (kepala lorong) dengan pengawasan beliau, sehingga seluruhnya beras miskin tersebut tersalurkan kepada mereka yang pantas menerimanya. “Kehidupan masyarakat sudah sangat memprihatinkan, jangan sampai bantuan kepada rakyat dikorupsi, tandasnya. Rahasianya? Menurut beliau “TOHONAN HASINTUAON, lebih dikedepankan”. Beliau menuturkan bahwa Bupati Humbahas, Bapak St Maddin Sihombing dan Wakil Bupati, bapak Simanullang memberi keteladanan dalam hal ini.

Mengenai beasiswa yang diberikan oleh warga jemaat HKBP Singapura ke Kecamatan Parlilitan, menurut beliau merupakan pertolongan yang sangat mereka butuhkan. Memang, siswa SMP tidak membayar uang sekolah lagi, tetapi para orangtua mereka tidak mampu membeli perlengkapan sekolah lainnya seperti pakaian dinas, sepatu, alat-alat tulis dan sebagainya. Siswa SMU dan SMK membayar uang sekolah dari Rp. 50.000 – Rp. 60.000 per bulan.

Harapan beliau kiranya para perantau yang mendapat berkat dari Tuhan rela membantu masyarakat di desa yang beliau pimpin, seperti memberi sumbangan pikiran bagaimana membangun kehidupan desa dan memberi modal untuk usaha skala kecil.

Saya bertemu beliau di Singapur ketika beliau mengunjungi putri tunggalnya yang bekerja di Malaysia dan jalan-jalan ke Singapura. Terima kasih kepada amang St S. Sihotang yang memiliki komitmen dan integritas yang patut dicontoh. Tuhan memberkati.

Singapore, 12/9/2007
Victor Tinambunan

================================


INFORMASI PENYALURAN BEASISWA
DARI ORANGTUA ASUH - SINGAPURA


Bapak Dan Ibu orangtua asuh yang kami kasihi di dalam Tuhan,
Bersama-sama dengan orangtua dan anak-anak penerima beasiswa, saya juga berterima kasih kepada bapak dan ibu atas kepedulian dan pertolongan nyata bapak/ ibu membantu anak-anak ini. Doa dan harapan saya kiranya Tuhan senantiasa menguatkan dan memeberkati bapak dan ibu dalam menjalai kehidupan, pekerjaan dan pelayanan sehari-hari.
Perkenankanlah saya menginformasikan beberapa hal berikut:

1. Gelombang I ada 14 anak yang kita bantu
2. Gelombang II sejumlah 54 orang
3. Beasiswa kepada 13 orang siswa yang berada di Kecamatan Parlilitan disalurkan oleh Bapak St. T. Tinambunan. Sebelumnya, kami mengirimkan beasiswa tersebut dari Batam ke rekening beliau di BRI Doloksanggul (Slip pengiriman tersedia). Untuk lebih memudahkan, mulai bulan September 2008 beasiswa ditransfer dari rekening ibu Ny Pdt Tinambunan br Pangaribuan setiap bulan dengan cara internet bank (slip bukti transfer tersedia).
4. Bapak St T. Tinambunan harus mengambil uang beasiswa tersebut dari Parlilitan ke Doloksanggulyang berjarak 40 Km (memebutuhkan waktu 3 jam pulang pergi). Tetapi hal itu beliau lakukan dengan sukarela dan tidak perlu diberikan biaya transportasi. Beliau juga telah mengirimkan foto-foto dan data-data siswa minggu yang lalu dan membutuhkan biaya Rp. 60.000 ditambah biaya prangko surat-surat sebelumnya dan biaya SMS untuk menghubungi kami. Kami akan mengirimkan penggantinya kepada beliau bersamaan dengan pengiriman beasiswa bulan Oktober. Jika kita ingin secara langsung menghubungi beliau tentang beasiswa ini, dapat kiat hubungi di +6281370042826.
5. Beasiswa dari Kel Bapak Ramses Butar-butar kepada David Barita Hutabarat (mahasiswa di Pematangsiantar), sejak September ini juga ditransfer setiap bulan dengan sistem internet bank (slip bukti transfer tersedia). Bapak Ramses Butarbutar sudah menerima surat dari David Barita Hutabarat.

Daftar Nama Siswa Penerima Beasiswa Tahap I dan Donatur:

1
Sudiono Hutabarat
Kelas II SMAN Parlilitan
SGD 10: Dari Bp. Johny Tobing, sejak Juli 2007-Oktober 2008
2
Imron Parulian Sihotang
Kelas III SMPN Parlilitan
SGD 10: Dari Bp. Johny Tobing , sejakJuli 07
3
Rispan Sihotang
Kelas III SDN Siringoringo
SGD 5: Dari Christi Tinambunan, sejak Juli 07
4
Katri Sihotang
Kelas II SMPN 3 Parlilitan
SGD 10: Dari Ibu Gloria Gultom, sejak Juli 07
5
Soski Tinambunan
Kelas II SMPN 3 Parlilitan
SGD 10, dari Ibu Gloria Gultom, sejak Juli 07
6
Grace Solafide Tiana Simbolon
SMPN 3 Parlilitan
SGD 10: dari Bp Sahat Gultom, sejak Pebruari 07
(Lulus Juni 2008)
7
Anastasia Maharaja
SMPN 3 Parlilitan
SGD 10: dari Bp Sahat Gultom , sejak Pebruari 07
8
Arbi Saputra Sihite
SMPN 3 Parlilitan
SGD 10: dari Bp Sahat Gultom, sejak Pebruari 07
9
Irvan Roy Sitohang
SMPN 3 Parlilitan
SGD 10: dari Bp Sahat Gultom, sejak Pebruari 07
10
Rinto Priono Maharaja
SMKN 1 Parlilitan
SGD 10: dari Bp Sahat Gultom
Pebruari 07
11
Ellin Adventus Harahap
SMKN 1 Parlilitan
SGD 10: dari Bp Sahat Gultom, sejak Pebruari 07
12
David Hutabarat
Mahasiswa S1 Pematang Siantar
SGD 50: dari Bpk Ramses Butarbutar, sejak Agustus 07
(berhenti sejak Oktober 2008)
13
Gaberdus Sihotang
SMP Negeri 3 Parlilitan
SGD 10: dari Tobias Hutagaol, sejak September 07
14
Tulus Duitro Sitohang
SMP Negeri 3 Parlilitan
SGD 10: dari Tobias Hutagaol, sejak September 07
15
Imran Tumanggor
Kls I SMK GKLI Sihabonghabong
SGD 10

16
Sikkat bancin
Tkt II STT HKBP Pematangsiantar
One time grant Rp. 500.000 untuk beli buku-buku
.
PERKENANKANLAH SAYA MEMOHON KERELAAN BAPAK/IBU/ SDR MENOLONG ANAK-ANAK YANG SANGAT MEMBUTUHKAN PETOLONGAN KITA AGAR MEREKA DAPAT MELANJUTKAN PENDIDIKANNYA. SILAHKAN MENGHUBUNGI KAMI UNTUK MENYALURKAN BANTUAN:
Salam sejahtera,
Pdt Victor Tinambunan

Friday, September 7, 2007

SPIRITUALITAS DAN EKOLOGI 3


TUGAS PANGGILAN MEHARGAI CIPTAAN TUHAN[1]


Firman Tuhan terpadu dalam dua volume, yaitu
dalam alam ciptaan dan dalam Kitab Suci
Thomas Aquinas (1225-1274)

Allah menuliskan firmanNya tidak saja di dalam Alkitab,
Tetapi juga pada pohon, bunga, awan dan bintang-bintang

Martin Luther (1483-1546)

I. DI MANA KITA BERADA?

Masalah krisis ekologi merupakan salah satu masalah terbesar dunia masakini. Akan tetapi, penanggulangan yang konkret masih jauh dari yang dibutuhkan. Memang, dalam tataran wacana boleh dikatakan agak memadai dengan munculnya berbagai persidangan dari tingkat nasional hingga internasional, berbagai seminar dan terbitan buku-buku (termasuk di bidang teologi) berkaitan dengan masalah krisis ekologis dan upaya penanggulangannya.

Fakta-fakta krisis ekologis dewasa ini sangat kasat mata. Misanya, hutan Indonesia rusak sekitar 2,8-3 juta hektare setiap tahun. Sedangkan hutan dunia mengalami kerusahan seluas ¾ wilayah korea setiap tahun. Akibatnya amat kentara dengan terjadinya berbagai peristiwa banjir, tanah longsor, permanasan global dan sebagainya. Khusus mengenai yang terakhir ini dapat disebutkan bahwa suhu kota Medan misalnya, saat ini terkadang sudah mencapai 33° C, yang 15-20 thn silam paling tinggi 31° C. Jadi, warming global bukan lagi sekadar wacana, ia sudah persis di depan mata.

Apa dampak warming global? Para pakar sudah dengan gamblang menjelaskan bahwa pemanasan global akan berdampak pada naiknya permukaan laut karena es di kutub bumi mencair. Sudah ada penelitian bahwa luas es di kutub utara dan selatan semakin berkurang. Dalam kaitan ini, sudah ada sinyal bahwa akan ada saatnya Jakarta Utara akan hilang ditelan laut karena naiknya permukaan laut ditambah dengan turunnya permukaan tanah karena bangunan dan penyedotan air tanah berlebihan.

Kita juga menghadapi masalah kelangkaan berbagai spesis (buaya air berkurang, buaya yang lain bertambah; burung yang terbang berkurang, burung yang hinggap bertambah –seperti patung buaya dan burung yang terbuat dari batu, semen, kayu atau gambar-gambar di buku)

Disamping itu, Jakarta ‘meraih’ Juara III sedunia di bidang polusi udara (dan juara VI terkorupsi di dunia): sebuah ‘prestasi’ yang mencengangkan. Tingginya tingkat korupsi juga menambah penderitaan alam.

II. PENYEBAB UTAMA KRISIS EKOLOGI

1. Sejak masa pencerahan, manusia mandang alam ini sebagai objek semata dan alam kehilangan ‘sakralitasnya’. Hal ini berbarengan dengan lahir dan berkembangnya industri komersial dengan mengeksploitasi alam.


2. Masalah ketamakan manusia. Gandhi dengan amat bijak mengatakan, “Bumi ini cukup menyediakan kebutuhan semua orang tetapi tidak cukup menyediakan untuk ketamakan setiap orang.” Konsumerisme dan pola hidup serba instant memberi andil besar terhadap kerusakan alam. Sebagai gambaran dapat diambil contoh kehidupan orang Amerika. Dengan 5% penduduk dunia, AS menghabiskan 40% sumber daya alam di pasar dunia setiap tahun. Kalau seluruh penduduk dunia mau hidup pada taraf kemakmuran di Amerika, ada dua pilihan yang sama-sama tidak mungkin: mengurangi jumlah penduduk global sebanyak 87,5% atau menemukan delapan bumi baru’.[2]

Memang masih banyak orang Amerika yang tergabung dalam suatu gerakan baru yang disebut dengan minimalis. Yaitu orang-orang yang menentukan untuk hidup dengan uang sedikit. Mereka membeli lebih sedikit, menghabiskan lebih sedikit, membuat lebih sedikit, dan memiliki lebih sedikit barang.[3] Celakanya, justru orang Indonesia sendiri sudah banyak ketularan gaya hidup negara maju dengan maraknya makanan dan minuman dengan kemasan disposal, padahal teknologi daur ulang kita belum mampu mengatasinya.


3. Titik berat pembangunan yang keliru. Salah satu contoh nampak melalui alokasi dana negara-negara di dunia dalam jumlah yang sangat besar untuk membiayai militer dan persenjataan yang mematikan, ketimbang sarana dan prasarana yang menopang kehidupan, seperti penghijauan, peningkatan mutu pendidikan, penanganan sampah dan limbah, sarana pemeliharaan kesehatan dan lain-lain. (Kung menyebut bahwa setiap menit negara-negara di dunia menghabiskan uang 1,8 juta US$ untuk perlengkapan tentara)[4]. Untuk konteks Indonesia perlu penelitianyang lebih komprehensif. Yang jelas, alokasi dana untuk sektor pendidikan dan kesehatan dalam APBN masih relatif rendah. Hal ini diperparah lagi karena kedua departemen ini masuh dalam peringkat atas dalam bidang korupsi.

III. TEOLOGI IKUT BERSALAH?

Lynn White Jr., seorang sejarahwan Amerika, mengatakan adanya kesalahan yang dibuat di dalam sistem ajaran Kristen mengenai manusia dan dunia, sehingga menyebabkan terangsangnya orang Kristen di masa lalu untuk mengeksploitasi dunia ini sehabis-habisnya “demi nama Tuhan”.[5]

1. Pemahaman anthroposentrik, yang menganggap manusia sebagai pusat. Segala sesuatu yang ada di dunia ini dipahami hanya demi dan untuk manusia. Penciptaan segala sesuatunya sebelum penciptaan manusia pada hari keenam misalnya, dipahami bahwa Allah sudah terlebih dahulu menyiapkan semuanya itu untuk manusia. Di samping itu, penafsiran akan amanat Allah kepada manusia untuk ‘menaklukkan’ (דר) dan ‘berkuasa’ (שבכ) sering dipahami sebagai hak istimewa, yang menempatkan manusia sebagai subjek dan makhluk lain sebagai objek semata.

2. Semangat Triumphalis. Misalnya, untuk memperkenalkan kuasa Kristus yang melampaui kuasa yang ada di dunia ini didemonstrasikan dengan menebang pohon yang diyakini masyarakat tradisional memiliki ‘penghuni’ dan dianggap ‘angker’. Masalahnya, pohon menjadi korban, sementara Setan terus gentayangan.

3. Liturgi gereja kurang berpihak pada kelestarian alam. Artinya, tata ibadah gereja-gereja kita masih bercorak anthroposentrik. Di samping itu, banyak nyanyian gereja yang lebih menekankan bahwa dunia ini tempat sementara, ‘lembah ratapan’, tidak tempat menetap dsb.
4. Umumnya, gereja-gereja di Indonesia belum bergerak dari diakonia karitatif dan reformatif ke diakonia transformatif, yang di dalamnya semestinya tercakup tugas panggilan dalam menghormati dan memelihara alam ciptaan Tuhan.

Apa yang disuguhkan oleh Dr Geoffrey dengan mengangkat contoh pemahaman dan perlakuan suku Aborigin (Australia) dan Suku Indian (Amerika) terhadap tanah amat relevan. Artinya, kita terpanggil untuk menghargai ‘kearifan lokal’, tanpa harus meromantisasi tradisi masa lalu.

Buku Dr Geoffrey merupakan sumbangan positif untuk berteologi dalam konteks Indonesia. Hampir semua kelompok etnis di Indonesia memiliki ‘kearifan lokal’ khususnya menyangkut penghormatan dan pemeliharaan alam. Masyarakat Batak tradisional pun sebernarnya punya kearifan berkaitan dengan alam. Sebelum misionaris datang, orang tidak boleh sembarangan bicara (cakap kotor) di Danau Toba, apalagi buang air kecil atau buang air besar sangat tabu, karena ‘penghuninya’ bisa marah. Sesudah kekristenan masuk ke tanah Batak, jangankan buang air besar, ‘buang air besar-besaran’ pun (=limbah) ke danau seolah tidak ada masalah.

Menyebut contoh lain, pada era Suharto, pernah sekelompok suku Dayak akan direlokasi atas nama pembangunan. Penduduk setempat berkata, “kami tidak tinggal di hutan, kami adalah hutan”. Ini menunjukkan pemahaman dan sikap kedekatan bahkan kesatuan mereka dengan alam.

IV. REKOMENDASI

1. Kepada Gereja dan Masyarakat

(1) Gereja-gereja perlu didorong ke arah pelayanan yang berorientasi ‘sadar lingkungan’ melalui kurikulum sidi, seminar, khotbah, dan keterlibatan langsung menghijaukan komplek gereja, komplek hunian warga jemaat dan sebagainya.

(2) Warga jemaat dan masyarakat perlu mengembangkan pola hidup atas dasar ‘kebutuhan’ bukan ‘keinginan’. Yang menggembirakan dalam hal ini adalah sudah banyaknya orang yang mengembangkan ‘pola hidup minimalis’ (modest life style) dengan rumah kecil, sederhana, sedikit barang-barang dan sebagainya. Tetapi, masih ada juga yang berlomba membangun rumah yang besar-besar padahal penghuninya sangat sedikit.

2. Kepada Perguruan Teologi

STT kiranya mau dan mampu mengembangkan dan merumuskan teologi yang sungguh-sungguh berpihak pada penghargaan dan penghormatan kepada alam ciptaan Tuhan. Idealnya, dibutuhkan satu mata kuliah “Keadilan, Perdamaian dan Keutuhan Ciptaan”, sebagaimana sejak lama digumuli oleh DGD. Sambil menunggu kemungkinan itu, dapat disebut beberapa hal yang perlu mendapat perhatian beberapa bidang studi untuk dibahas dalam perkuliahan dan (jika memungkinkan) dalam bentuk tulisan sehingga dapat diterbitkan.

Perjanjian Lama

(1) Menjernihkan pengertian ‘rada’ dan ‘kabasy’ (Kej. 1). Salah satu pertimbangan yang ditawarkan oleh Singgih dalam hal ini adalah menyangkut konteksnya dimana manusia masih vegetarian.[6]
(2) Keberadaan manusia sebagai Imago Dei (yang hanya dimiliki oleh manusia) lebih merupakan tanggung jawab istimewa ketimbang hak istimewa. Manusia sebagai gambar Allah terpanggil seirama dengan Allah yang mengasihi dan memelihara ciptaanNya.
(3) Perlu ditekankan kepemilikan Allah atas bumi dan segala isinya (Mzm 24:1).
(4) Dibutuhkan suatu kajian berkaitan dengan ‘ketanahan’ manusia (dan mungkin juga ‘kemanusiaan’ tanah). Sebab, manusia diciptakan dari tanah. Dapatkah disebutkan bahwa tanah adalah ‘ibu’ manusia? Jika demikian, masakan manusia berlaku sewenang-wenang terhadap ‘ibunya’ sendiri.

Perjanjian Baru

(1) Apa yang dimaksud dengan ‘begitu besar kasih Allah akan dunia ini? Apakah Allah menyelamatkan bukan saja manusia tetapi juga ciptaanNya?
(2) Apa yang dimaksud dengan amanat Yesus ‘Beritakanlah Injil kepada seluruh makhluk (Mrk. 16:15)
(3) Apa yang implikasi teologis bagian doa Bapa kami “berikanlah kami kepada pada hari ini makanan kami yang secukupnya” terhadap pemeliharaan alam ciptaan? (Studi yang pernah saya lakukan terhadap bagian ini, terjemahan yang lebih tepat dari bahasa Yunani adalah “berilakanlah kepada kami yang kami butuhkan untuk kehidupan’.[7]

Historika dan Teologi Sistematika

(1) Melihat warisan Lutheran sebagaimana terdapat dalam Buku Konkord. Di antaranya, Luther melihat implikasi ekologis dari hukum keempat terhadap pemeliharaan alam ciptaan.
(2) Membahas hasil-hasil pergumulan dan perumusan DGD, LWF, CCA, ELCA, PGI tentang masalah ekologi dalam berbagai sidangnya dalam kuliah-kuliah historika dan teologi sistematika.
(3) Melakukan penelitian terhadap ‘kearifan lokal’, belajar dari apa yang dikemukakan oleh Dr Geoffrey.
(4) Menggunakan hasil-hasil penelitian lembaga-lembaga pemerhati lingkungan sebagai bahan dalam merumuskan ajaran etika ekologis kristiani (Majalah Tempo, dala setiap edisi memuat satu kolom khusus tentang ‘Lingkungan Hidup’).

Teologi Praksis

(1) Mempertimbangkan apa yang ditawarkan oleh C.S. Song[8] yang mendasarkan ‘misi’ tidak saja dari Amanat Agung Tuhan Yesus (Mat 28) tetapi dari Penciptaan (Kej. 1). Kalau Allah memelihara ciptaanNya, maka misi Gereja seharusnya juga memelihara ciptaan.

(2) Perlunya dalam mata kuliah Seminar Praksis mahasiswa menulis misalnya tentang “Program Gereja dalam Pemeliharaan Lingkungan”.

Ilmu Agama

Penganut agama manakah di dunia ini yang paling santun terhadap alam? Hal ini perlu, agar penganut agama yang satu dapat belajar dari penganut agama lain.

Di samping perkuliahan, aktivitas berkampus hendaknya ‘pro pelestarian alam’. Menyebut dua contoh kecil dalam proses perkuliahan di STT HKBP. Pertama, tugas kuliah mahasiswa tanpa sampul plastik. Kalau 400 mahasiswa dengan masing-masing satu tugas kuliah untuk 9 mata kuliah semester menggunakan sampul plastik dengan harga masing-masing Rp. 2000, maka dalam satu semester mahasiswa STT telah membuang Rp. 7.200.000 hanya untuk sampul tugas kuliah –yang akan menjadi sampah. Biaya mahal untuk menambah sampah! Kedua, daftar hadir kuliah tanpa tanda tangan mahasiswa. Semester ini ada 130 kelas dengan dua lembar setiap pertemuan dikali 15 tatap muka = 3900 lembar kertas terbuang. Padahal, kalau daftar hadir dipanggil dosen ybs. kertas yang terpakai hanya 130 lembar dan tugas pegawai di kantor lebih ringan. Yang lainnya, masih dapat dihitung dan dipertimbangkan. Hal yang sama dapat dipertimbangkan oleh perguruan teologi di Indonesia.

V. PENUTUP

Secara ateologis, ‘akhir zaman’ adalah sesuatu yang dinantikan oleh umat manusia. Akan tetapi, mencermati kecenderungan yang ada, bisa saja ‘akhir zaman’ tiba sebelum waktunya karena ‘dirampas’ oleh manusia sebagai akibat dari pengrusakan alam ciptaan Tuhan. Gereja dan orang Kristen serta seluruh umat manusia terpanggil merawat ciptaan Tuhan.

[1] Disampaikan sebagai bandingan ceramah Dr Geoffrey R. Lilburne dalam ‘diskusi teologi’ Dosen STT HKBP, Pematangsiantar, 02 Desember 2005
[2] Philipus Tule dan Wilhelmus Djulei (eds.), Agama-agama Kerabat Alam Semesta, Ende: Nusa Indah
[3] David Niven, Rahasia Orang-orang Bahagia, Semarang: Dahara Prize, 2005, hlm. 294
[4] hans Kung, Global Responsibility. In Search of a New World Ethic, New York: Croassroad
[5] Dikutip oleh E.G. Singgih, “Dasar Teologis dari Pemahaman Mengenai Keutuhan Ciptaan:, dalam Th. Sumartana dkk (Peny.), Terbit Sepucuk Taruk. Teologi Kehidupan 60 tahun Dr. Liem Khiem Yang, Jakarta:P3M STTJ dan balitbang PGI, hlm.245. Hal yang sama juga disebut oleh Geoffrey R. Lilburne, A Sense of Place. A Christian Theology of the Land, Nashville: Abindgon Press, 1989, hlm. 24
[6] Penjelasan selengkapnya lihat Ibid.
[7] Dalam tulisan yang diminta oleh Panitia Buku Ulang tahun Lothar Schreiner.
[8] Dikutip oleh David J. Bosch, Transforming Mission. Paradigm Shift in Theology of Mission, Maryknoll: Orbis dan juga Widi Artanto, Menjadi Gereja Misioner Dalam Konteks Indonesia, Yogyakarta: Kanisius

Thursday, September 6, 2007

SPIRITUALITAS DAN EKOLOGI 2




ECO-SPIRITUALITY DALAM KONTEKS ASIA



Ketika Allah menciptakan manusia pertama,Ia membawa mereka mengelilingi Taman Eden dan berkata,“Lihatlah ciptaan-Ku! Lihatlah betapa baiknya semuanya! …Jangan rusak dunia milik-Ku; sebab jika kamu merusaknya tidak akan ada yang memperbaikinya.”


(Midrash Ecclesiastes Rabbah )

AKHIR ZAMAN SUDAH DEKAT?

Akhir-akhir ini hampir semua media massa (cetak dan elektronik) dipenuhi dengan berita dan ulasan seputar bahaya dampak global warming (pemanasan global) yang amat mengancam dan mencekam kehidupan di planet ini. Salah satu dampak naiknya suhu bumi adalah semakin berkurangnya luas dan ketebalan es di kutub bumi (dan ini sudah terjadi). Konsekuensi logisnya adalah naiknya permukaan laut. Para pakar memperkirakan dalam beberpa puluh tahun ke depan akan banyak daerah pantai yang akan berubah menjadi laut.

Jika semua warga bumi ini tidak dengan sungguh-sungguh mengubah pola berpikir, pola hidup dan pola bertindak khususnya terhadap alam ini, maka akhir zaman bukan lagi sebagai sesuatu yang kita nantikan sebagai pemberian Tuhan melainkan karena ‘rampasan’ manausia yang merusak alam dan segala isinya.

Meski diakui bahwa penyebab kerusakan alam ini tidak sederhana, namun dapat disebut beberapa di antaranya sebagai penyebab utama sebagai berikut:

(1) Gaya Hidup Hiper-Konsumserisme

Kondisi alam ini kian memburuk karena konsumsi berlebihan sebagian manusia. Negara-negara maju seperti Amerika Serikat, Negara-negara Eropa, dan Jepang disebut-sebut sebagai pelahap terbesar sumber daya alam. Amerika Serikat saja, yang penduduknya hanya 5% dari populasi dunia, mengontrol 60% kekayaan dunia[1] dan melahap 40% sumber daya dunia setiap tahunnya.Lebih rinci, berikut ini adalah laporan PBB bidang Human Development (1998) yang memperkirakan:[2]·
  • Total biaya pendidikan dasar untuk tingkat dunia US$6 miliar per tahun (sementara di Amerika Serikat saja US$8 miliar dibelanjakan hanya untuk kosmetik setiap tahunnya).·

  • Biaya instalasi air dan sanitas sejumlah $9 miliar ($11 miliar dibelanjakan untuk es krim di Eropah).

  • Biaya kesehatan dan gizi dasar sebesar $13 miliar ($17 miliar per tahun dibelanjakan untuk makanan binatang peliharaan di Eropah dan Amerika; $50 miliar untuk rokok di Eropah; $105 miliar untuk minum alkohol di Eropah; $400 miliar untuk narkotika di seluruh dunia dan $780 miliar untuk persenjataan.
Meski angka-angka di atas sebagai estimasi, namun angka-angka tersebut dapat menunjukkan (1) Manusia hidup dalam era hiper-konsumer, (2) Manusia membelanjakan uangnya dengan jumlah raksasa untuk hal-hal yang merusak dan mematikan, (3)Perikemakhlukan secara keliru menggeser perikemanusiaan. Sebab, bagaimana mungkin seseorang begitu teganya mengeluarkan biaya untuk kebutuhan binatang peliharaannya, sementara begitu banyak orang yang tidak memperoleh makanan? (4) Yang lebih menanggung penderitaan adalah alam semesta ini. Karena untuk memenuhi hasrat dan keinginan seperti itu tidak ada pilihan lain kecuali mengeksploitasi alam.

(2) Perusakan Hutan Secara Masif

Para pakar dengan gamblang menjelaskan mengapa global warming terjadi dan apa dampaknya bagi kehidupan. Pemanasan global juga terkait dengan penebangan dan perusakan hutan secara besar-besaran. Setiap tahunnya hutan dunia ditebang dan dirusak mengalami seluas dua pertiga wilayah Korea Selatan. Setengah dari hutan dunia sudah rusak.[3] (Uraian dan data-data lebih rinci tentang kondisi hutan dalam konteks Asia dibahas dalam bagian “Agama-agama Asia vs Kepentingan Ekonomi” dalam tulisan ini).

(3) Limbah Industri dan Kendaraan Bermotor

Amerika Serikat dan China adalah dua negara penyebab utama rusaknya ekosistem, karena kedua negara inilah yang paling banyak melepas karbondioksida yang mengakibatkan rusaknya lapisan ozon dan memperparah pemanasan global. Tujuh atau lebih dari sepuluh kota terpolusi di dunia terdapat di China. Di antara semua bangsa, Amerika Serikat bertanggungjawab atas emisi karbondioksida sekitar 25% dari total green house (rumah kaca) yang berasal dari kenderaan bermotor, industri, system pemanas dan pendingin dan sebagainya.[4] Namun tidak adil kalau hanya meletakkan kesalahan ini pada Amerika dan China. Kota Jakarta pun termasuk “tiga besar” kota terpolusi di dunia.

(4) Pertambahan Penduduk

Berdasarkan sensus penduduk tahun 2005, penduduk dunia berjumlah 6.453.628. Dari jumlah ini, 3.917.508 adalah penduduk Asia.[5] (Penduduk Asia Tenggara berjumlah sekitar 500 juta.[6]) Diperkirakan, pada tahun 2050 penduduk Asia akan berjumlah 5 miliar.[7] Itu berarti bahwa sampai sekarang lebih dari setengah penduduk dunia tinggal di Asia.Van Dyke mengajukan pertanyaan sederhana tetapi amat menantang untuk dijawab tentang mandat alkitabiah untuk memenuhi bumi, “Bagaimana kita mengetahui kapan bumi penuh?” Dalam kaitan itu ia menegaskan bahwa Alkitab tidak berbicara tentang masalah-masalah pertumbuhan penduduk dan ukuran maksimal penduduk bumi. Tidak diberitahukan kepada kita kapan alam ini penuh. Yang ditekankan Alkitab adalah agar kita memiliki hikmat.[8] Salah satu makna ‘berhikmat’ di sini adalah mendukung pelaksanaan Keluarga Berencana (KB).

AJARAN AGAMA-AGAMA ASIA versus KEPENTINGAN EKONOMI

Pada 29 Septeber 1986 diadakan suatu pertemuan antar-iman di Franciscan Basilica, Italia, yang menegaskan hubungana esensial antara agama dan alam. Inilah pertama kali dalam sejarah dimana lima agama secara bersama-sama mendeklarasikan tanggung jawab etis manusia terhadap alam[9]Pada dasarnya wilayah Asia memiliki tradisi kegamaan dan kearifan-kearifan lokal yang menekankan penghormatan terhadap alam ciptaan Tuhan. Tetapi, sayangnya, semuanya kurang memiliki pengaruh signifikan. Beberapa contoh dapat disebut sebagai berikut:

(1) Filipina, yang merupakan berpenduduk mayoritas Kristen, sedang mengalami kerusakan alam dan akan menjadi gurun permanen jika tidak ada usaha-usaha bersama oleh berbagai institusi, khususnya pemerintah.[10] Pada tahun 1900, 70% wilayah Filipina adalah hutan dan yang tersisa sekarang hanya 16%.[11]

(2) Thailand yang tadinya kaya sumber alam seperti hutan, air, dan tanah subur, tetapi sudah diambang kepunahan.[12] Padahal 90 % penduduk Thailand menganut agama Buddha –agama yang sangat menekankan penghargaan alam semesta.

(3) India juga mengalami masalah kerusakan alam yang parah. (Kota Mumbay, misalnya, termasuk salah satu kota terpolusi di dunia). Mayoritas penduduk India adalah beragama Hindu, yang juga sangat menekankan penghormatan terhadap makhluk dan alam semesta. Mahatma Gandhi, misalnya, dengan sangat tepat mengatakan, “Bumi cukup menyediakan kebutuhan semua orang tetapi tidak cukup menyediakan untuk ketamakan setiap orang.”[13]

(4) Indonesia sudah sejak lama mengalami kerusakan alam yang amat parah. Negara ini merupakan Negara yang berpenduduk muslim terbesar di dunia. Dr Abdullah Oma Nassaf, Sekretaris Jenderal Muslim World League pernah mengatakan:

“Esensi ajaran Islam adalah bahwa seleuruh alam semesta adalah ciptaan Allah. Bagi Muslim, peran manusia di bumi adalah sebagai seorang khalifa. Kita adalah penatalayan dan agen perubahan di bumi ini. Bumi ini bukanlah milik kita dan melakukan apa yang kita inginkan. Kesatuan, kepenatalayanan dan pertanggungjawaban adalah tiga konsep dasar etika lingkungan hidup Islam.”[14] Nabi Muhammad sendiri pernah mengatakan, “Bumi ini hijau dan indah dan Allah telah mengangkat engkau untuk merawatnya. [15]

Bersama-sama dengan muslim, penganut agama lain pun hidup di Indonesia, yang secara doktrin juga mengakui tanggung jawab manusia untuk merawat ciptaan Allah. Di samping itu ada begitu banyak ‘kearifan lokal’ yang sangat santun pada alam seperti terdapat dalam budaya tradisional Dayak, Papua, Jawa, Batak dan sebagainya.

Akan tetapi faktanya alam Indonesia telah mengalami kerusakan berat. Hutan tropis Indonesia yang merupakan 10% hutan tropis dunia yang masih tersisa juga sudah mengalami tingkat perusakan tertinggi di dunia dengan penebangan atau perusakan sekitar 3,8 juta hektar setiap tahun –80% di antaranya merupakan penebangan ilegal (dikutip dari South China Morning Post, 5 Pebruari 2004).[16]

(5) Malaysia (yang juga berpenduduk mayoritas Islam) mengalami kerusakan hutan. Hampir semua hutan Sabah atau Malaysia Timur telah berubah menjadi perabot orang-orang kaya di Negara-negara seperti Jepang, China, Hongkong, Eropah dan Amerika Serikat dalam 20 tahun terakhir ini.[17]

Uraian di atas menyatakan bahwa ajaran agama dan kearifan lokal yang benar-benar menghargai alam ciptaan Tuhan tidak menjamin terawatnya bumi ini, terutama karena kepentingan ekonomi telah mendominasi seluruh dunia. Kenyataan ini hendaknya tidak membuat orang-orang Kristen berputus asa dan menyerah. Keadaan seperti itu tidak memberi jalan keluar, malahan akan memperparah keadaan yang sudah begitu buruk. Gereja dan orang-orang Kristen bersama-sama dengan saudara-saudaranya penganut agama dan kepercayaan lain tetap dapat berbuat sesuatu dalam iman dan pengharapan akan pemeliharaan Tuhan yang terus menerus dalam alam ciptaan dan milik-Nya ini.

ECO-SPIRITUALITY

Istilah "eco-spirituality" membawa perhatian pada kosmos sebagai suatu tempat di mana Allah menyatakan diri-Nya. Eco-spirituality berbicara tentang hubungan kita dengan Allah dan hubungan kita dengan kosmos dalam totalitasnya.[18] Dalam hal ini orang-orang Kristen perlu mengkaji ulang pemahamannya akan hubungan manausia dengan ciptaan Tuhan.

Benar bahwa manausia memiliki keistimewaan dibandingan seluruh ciptaan Allah. Dalam Alkitab, disebut bahwa manusia adalah gambar Allah. Dalam perjalanan sejarah gereja, keberadaan manusia sebagai gambar Allah sering dipahami sebagai “hak Istimewa”, yang bahkan disalahgunakan untuk mengeksploitasi alam secara berlebihan. Secara teologis, keberadaan manusia sebagai gambar Allah bukanlah terutama sebagai “hak istimewa” melainkan lebih merupakan “tanggung jawab istimewa” sebagaimana Allah percayakan kepada manusia untuk merawat ciptaan-Nya.

Dorr memahami adanya kaitan erat antara spiritualitas dengan ekologi.[19] Itu berarti bahwa spiritualitas Kristen bukanlah hanya masalah interior life tetapi mencakup seluruh kehidupan jasmani dan rohani dan menyangkut hubungan dengan ciptaan Tuhan. Secara teologis manusia dan makhluk hidup memiliki beberapa persamaan, di antaranya:

(1) Mereka adalah sama-sama ciptaan Allah (Kej. 1).
(2) Segala sesuatu yang bernafas memuji Tuhan (Mzm.150:6).
(3) Mereka sama-sama milik Allah dan menerima kehidupan dari Allah yang sama (Kol 1:16-17).

Manusia bukanlah pusat dan pemilik ciptaan. Kita adalah bagian dari ciptaan Allah. Bryan Sirshio dengan indah mengungkapkan “Kita lebih merupakan milik bumi ketimbang kita sebagai pemilik bumi.”[20] Allah mengajar manusia melalui alam dan bahkan makhluk hidup (bnd. Ayb 12:7-10).

Eco-spirituality bukan hanya masalah percakapan intelektual tetapi juga (dan terutama) masalah aksi konkret. Salah satu contoh yang sangat baik untuk ini adalah kehidupan Santo Fransiskus dari Asisi. Kita tidak mendapat tulisan pembahasan teologis atau reflekti teologis yang mendalam dari Santo Fransiskus tentang alam. Hal itu bukanlah pusat perhatiannya. Tetapi, sebagai a man of action, Fransiskus menghargai ciptaan Allah dalam kehidupan konkretnya setiap hari. Bagi Fransiskus alam dan segala isinya adalah tanda kasih dan kemurahan Allah. Kaena itu, semua ciptaan sangat istimewa baginya.[21]

Manusia mesti memahami dirinya sebagai “keluarga” komunitas makhluk hidup ciptaan Allah. Hal ini sama sekali tidak dimaksudkan pengabaian perikemanusiaan atas nama perikemakhlukan. Beberapa waktu lalu harian Strait Times Singapura memuat Berita Turut Berukacita atas meninggalnya seorang anggota keluarga. Yang ganjil (inilah pertama kali saya membaca hal demikian) adalah nama binatang peliharaannya pun dituliskan di bawah nama-nama keluarga yang meninggal tersebut sebagai yang turut berduka. Banyak orang dewasa ini yang mengeluarkan biaya untuk memelihara anjing dan kucing padahal begitu banyaknya manusia yang mati karena kurang makanan dan kurang gizi.

Secara konkret, berikut ini ada tiga hal yang dapat dilakukan oleh Gereja dan orang-orang Kristen sebagai bagian integral dari eco-spirituality:

1. Tempat Ciptaan Allah dalam Hidup Bergereja

Apakah ciptaan Allah mendapat tempat dalam ibadah-ibadah gereja? Sejauh ini, sayangnya, mereka belum mendapat tempat. Memang CCA sudah mencanangkan merayakan Mingggu Ekologi setiap tahun pada bulan Juni, namun setahu saya belum ada gereja yang melakukannya.

Gereja-gereja, khususnya anggota CCA, membutuhkan a new way of seeing, thinking, worshipping, and acting dalam menghadapi dan mengatasi aneka persoalan ekologis dewasa ini. Hal ini dapat diwujudkan melalui seluruh kehidupan bergereja, di antaranya:

(1) Dirumuskannya sikap teologis dan tugas panggilan gereja secara eksplisit dalam pengakuan Iman (Konfessi) Gereja untuk merawat ciptaan Tuhan.
(2) Dimasukkannya tema ekologi dalam kurikulum pengajaran Sekolah Minggu, pengajaran sidi dan dalam kelompok-kelompok Pemahaman Alkitab (PA).
(3) Mengkhotbahkan tanggung jawab memelihara alam dalam ibadah pada peristiwa-peristiwa tertentu, atau ketika nats kotbah berbicara tentang hal itu.
(4) Perlunya lagu-lagu gerejawi yang mengandung penghargaan terhadap ciptaan Tuhan.
(5) Arsitektur dan penataan gedung gereja yang ‘bersahabat’ dengan alam.
(6) Mengagendakan pembahasan tentang tema ekologi dalam persidangan resmi gereja.
(7) Bekerjasama dengan gereja, agama lain, lembaga swadaya masyarakat dalam rangka memelihara alam.(
8) Menyajikan mata kuliah “Etika Ekologi” dalam sekolah-sekolah pendidikan Teologi.
(9) Menyampaikan masukan dan seruan kepada pemerintah dan pemilik industri untuk bertindak bijaksana dalam usaha-usaha pembangunan ekonomi.

2. Meditasi

Dari sekian banyak bentuk doa, Laurence Freeman mengelompokkannya menjadi tiga, yakni: berkata-kata, mendengarkan, dan berada (being).[22] Dalam ketiga bentuk doa ini, alam ciptaan Tuhan layak mendapat tempat. Doa dengan berkata-kata, misalnya, adalah dalam bentuk pujian kepada Tuhan atas ciptaan-Nya yang baik. Doa ini juga dapat merupakan permohonan akan perlindungan Tuhan atas seluruh ciptaan-Nya. Dalam bentuk “doa mendengarkan”, menurut Freeman, kita harus mendengarkan Tuhan melalui Alkitab, melalui hidup orang-orang, dalam kemiskinan dan penderitaan. Selanjutnya, ia mengatakan,

“We must be able to see God in the present concern about the integrity of the earth, in the face of the destruction of the ecology that our generation is perpetrating.”[23]

Dalam hal ini kita tidak saja berdoa untuk bumi dan segala isinya, tetapi kita berdoa dengan mendengar Tuhan melalui berbagai cara yang Ia lakukan, termasuk melalui ciptaan-Nya.

Berbeda dengan kedua bentuk doa seperti disebut di atas, meditasi yang dimaksudkan di sini tidak terutama dengan suara atau mendengarkan, tetapi hanya dengan “berada” (being). Aktivitas tubuh dan pikiran beralih ke aktivitas “hati”. Tidak ada permohonan, tidak memikirkan rencana ke depan, tidak melakukan evaluasi masa lalu, tetapi duduk dengan tenang di hadapan Tuhan. Dari sejarah kita ketahui bahwa orang-orang Kristen yang melakukan meditasi yang sesungguhnya[24] secara teratur, mereka adalah orang-orang yang hidupnya benar-benar menghargai ciptaan Tuhan dalam berbagai bentuknya. Sebab, kedamaian hati seseorang (yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari meditasi) amat menentukan hidup dan perilakunya terhadap sesama manusia dan ciptaan Tuhan.

Sayang sekali gereja-gereja di Asia sudah kurang memelihara (kalau tidak sama sekali meninggalkan) meditasi. Manusia sudah begitu terkontaminasi dengan slogan menyesatkan time is money. Bagi kebanyakan orang, meditasi merupakan tindakan membuang-buang waktu dan dengan demikian membuang uang. Sudah saatnya orang-orang Kristen menghidupkan kembali tradisi meditasi yang akan berdampak secara langsung maupun tidak langsung terhadap pemeliharaan alam ciptaan Tuhan.

3. Kebahagiaan dalam Hidup Sederhana

Seperti sudah disinggung, salah satu penyebab utama kehancuran alam ini adalah karena konsumsi berlebihan sebagian manusia. Banyak orang yang berlomba untuk mengumpulkan harta dan barang-barang sebanyak-banyaknya, membangun rumah-rumah besar dan mewah, memiliki lebih dari satu mobil, megemas makanan dan minuman dalam wadah sekali pakai dan sebagaianya. Kalau sekitar 20% saja penduduk bumi ini hidup dengan gaya hidup seperti ini sudah mengancam kehidupan bumi ini, maka dapat dibayangkan kalau 6,5 miliar manusia sekarang ini dengan keinginan dan gaya hidup seperti itu, dunia ini akan berakhir sebelum waktunya. Kita belum berbicara bagaimana seratus tahun ke depan.

Secara kristiani, kebahagiaan di sini tidak berarti ‘pemenuhan keinginan’, yang biasanya tidak pernah ada putus-putusnya. Bisakah gereja-gereja menawarkan pola hidup alternatif? Seharusnsya, ya! Kita memiliki landasan yang amat kokoh secara Alkitabiah untuk hidup sederhana. Yesus sendiri mengajarkan Doa Bapa Kami dimana permohonan “jadilah kehendak-Mu di bumi seperti di sorga” dan “berikanlah kami pada hari ini yang kami butuhkan untuk kehidupan”[25] juga mengandung sikap etis dan gaya hidup kristiani. Hal senada kita temukan dalam Amsal 30:7-9 di antaranya mengatakan “biarkanlah aku menikmati makanan yang menjadi bagianku…” (tidak melahap bagian orang lain yang hidup sekarang dan bahkan yang menjadi bagian generasi yang akan datang).

“Simple Living” (mungkin satu-satunya website di Internet) yang dengan sangat mengesankan menyajikan renungan setiap hari sepanjang tahun akan pentingnya pola hidup sederhana yang dapat dijemaatkan sebagai perenungan gereja dan warga jemaat di dalam keluarga atau perenungan pribadi.[26]

PENUTUP

Mungkin saja ada orang yang tergoda mengatakan, “Seberapa besar dampaknya kepada alam ini kalau saya boros, kalau sampah saya setengah kilogram sehari? Pasti tidak berdampak banyak!” Masalahnya adalah kalau semua yang 6 miliar lebih warga bumi ini yang mengatakan dan melakukan hal yang sama, maka bumi ini akan di ambang kehancuran. Tanggung jawab gereja-gereja Asia dan orang-orang Kristen bersama-sama dengan semua umat manusia amat dibutuhkan untuk penyembuhan bumi yang sudah mengerang kesakitan ini.

1] Jim Wall, Faith at Works: Lessons on Spirituality and Social Action (London: SPCK, 2002), h. 58
[2] Ibid, h. 58-59
[3] Per Larson, Your Will Be Done on Earth: Ecological Theology for Asia. An Ecumenical Textbook for Theological School, (Hong Kong: CCA, 2004), h. 16
[4] Ibid., h. 16-17
[5] http://en.wikipedia.org/wiki/World_populationDiakses 13/2/2007
[6] Roland Chia, Hope for the World: The Christian Vision (Leicester: IVP, 2006), h. 12
[7] http://en.wikipedia.org/wiki/Asian_Century, Diakses 13/2/2007
[8] Fred van Dyke, Redeeming Creation. The Biblical Basis for Environmental Stewardship (Downess Grove, Illinois: Intervarsity Press, 1996), h. 103
[9] R.F. Fuggle, “Convergence between religion and conservation: A Review of the Asisi celebration” dalam W.S. Vorster (ed.), Are We Killing God’s Earth? Ecology and Theology (Pretoria: University of South Africa, 1987), h. 4
[10] Nathan and Martha Knol, eds., Church, Environment and Development in Asia: A Report of the Workshop on Environment and Development: Church Response to Environment in Asia (Shatin, Hongkong: CCA, 1995), h. 30
[11] Per Larson, op.cit., h. 13
[12] Natan and Martha Knol, op.cit., h. 17
[13] Victor Tinambunan, Gereja & Orang Percaya: Oleh Rahmat Menjadi Berkat di Tengah Krisis Multi Wajah (Pematangsiantar: L-SAPA STT HKBP, 2006), h. 54
[14] Natan and Martha Knol, op.cit., h. 34
[15] Stephen Bede Scharper and Hilary Cunningham, The Green Bible (New York: Lantern Books, 2002), p. 88
[16] Per Larson, op.cit., h. 13
[17] Ibid
[18] Charles Cummings, “Exploring Eco-Spirituality,” http://www.spiritualitytoday.org/spir2day/894113cummings.html, Diakses 7/2/2007
[19] Ibid.[20] http://www.eco-spirit.org/Index.html, Diakses 01/2/2007
[21] Ken Gnanakan, God’s World: A Theology of the Environment (London: SPCK, 1999), h. 92[22] Laurence Freeman, “Ways of Prayer”, audio dalamhttp://www.wccm.org/splash.asp?pagestyle=default, Diakses 25/1/2007
[23] Ibid
[24] Disebut sebagai “meditasi yang sesungguhnya” karena sekarang ini ada berbagai bentuk meditasi yang sudah diperjualbelikan sebagai obat stress dan alat rileksasi.
[25] Terjemahan yang lebih tepat dalam bahasa Indonesia dari bahasa Yunani adalah: Berikanlah kami pada hari ini yang kami butuhkan untuk kehidupan”.
[26] Lihat http://www.simpleliving.org/, diakses 11/1/2007

SPIRITUALITAS DAN EKOLOGI 1


Kepemilikan Allah Atas Bumi& Tanggung Jawab Manusia[1]


Acuan: Mzm 24:1 dan Kej. 1:26-28)


Tuhanlah yang empunya bumi serta segala isinya,

dan dunia serta yang diam di dalamnya

(Mzm 24:1)

IBADAH DAN GERAK KEHIDUPAN

Sepanjang sejarah ibadah Israel dan Gereja, Kitab Mazmur memainkan peran penting. Sejak semula tidak ada ibadah tanpa Mazmur, entah ibadah harian atau ibadah jemaat. Mzm 24 ini merupakan bagian mazmur dalam konteks ibadah di Bait Suci.Mazmur ini mengandung pengakuan iman dan pujian kepada Tuhan. Dialah Tuhan yang menciptakan dan memiliki bumi bukan allah bangsa-bangsa lain. Dia adalah Tuhan segenap bumi, karena Dialah yang memiliki (juga Mzm 50:12; 89:12; 97:5)Kepemilikan Allah dan pemeliharaanNya yang bersinambungan atas bumi dan segala isinya berulang-ulang ditegaskan dalam Alkitab.

Memang kita menemukan dalam Alkitab bahwa Allah memberikan bumi kepada manusia. Misalnya, dalam Mzm 115:16 dikatakan “Langit itu langit kepunyaan Tuhan, dan bumi itu telah diberikanNya kepada anak-anak manusia”.Tetapi harus ditegaskan bahwa Allah tidak pernah melakukan serah terima kepada manusia. Ia tidak memberikannya kepada kita sedemikian tuntas sehingga Ia sama sekali tidak punya hak dan tidak punya kontrol lagi atasnya, melainkan memberikannya kepada manusia yang adalah rekan sekerjaNya.

Dalam kotbah di Bukit Yesus mengembangkan pendominasian ilahi itu lebih luas lagi –dari makhluk yang terbesar hingga yang terkecil. Di satu pihak, Allah menerbitkan matahari (yang Ia adalah pemiliknya), dan di lain pihak Ia memberi makan kepada burung-burung, pakaian kepada bunga bakung dan mendandani rumput di padang (Mat 5:45; 6:26, 28, 30). Jadi, Ia memelihara seluruh cuiptaanNya; dengan menyerahkannya kepada kita, Ia bukannya menanggalkan kepemilikan dan tanggung jawab-Nya atasnya.

MENAKLUKKAN DAN MENGUASAI DENGAN CARA ALLAH(Kej 1:26-28)

Kita dapat memahami mandat ‘memnguasai dan menaklukkan’ sebagaimana dalam Kej 1:26-28 dengan memperhadapkannya dengan kepemilikan Allah atas bumi dan segala isinya seperti disebut dalam Mzm 24. Tidak jarang, bahwa mandat menguasai dan menaklukkan dalam Kej 1 ini dipahami secara keliru sebagai ‘hak istimewa’ manusia memperlakukan alam sesuai dengan keinginan manusia.

Dalam hal ini dapat disebut sedikitnya dua hal, yakni:

(1) Menguasai sebagai Gambar AllahKeberadaan manusia sebagai gambar Allah sedikitnya mengandung pengertian bahwa: 1) Manusia diberi karunia memiliki sifat-sifat Allah yang mengasihi, mencintai yang baik, mencintai kehidupan. Itu berarti bahwa dalam menaklukkan dan menguasai, manusia melakukannya atas nama Allah dan seperti cara Allah memperlakukan ciptaan-Nya. 2) Manusia dianuagerahi kemampuan untuk mempertahankan ciptaan itu tetap baik sebagaimana Tuhan menciptakan dan melihatnya baik. Dalam hal ini, menguasai berarti memperlakukan ciptaanNya sedemikian rupa agar ia tetap baik sebagaimana Tuhan menghendakinya. Sebab, kalau Tuhan membenci dan menolak ibadah dan koor umat karena ketidakadilan (Amos 5), Ia tetap menerima pujian dari segala yang bernafas (Mzm 150:6). 3) Keberadaan manusia sebagai gambar Allah lebih merupakan ‘tanggung jawab” istimewa bukan “hak istimewa”. Menguasai tidak dalam artian mengeksploitasi dan merusak. 4) Menguasai juga berarti agar manusia jangan menyembahnya, sebab hanya Allah yang patut disembah.Dengan adanya pengakuan bahwa Tuhan adalah Pencipta dan raja yang menguasai seluruh ciptaanNya, maka tugas manusia ‘menguasai’ dan ‘mengusahai’ bumi adalah seperti cara Allah menguasainya yaitu dengan merawat dan memeliharanya.

(2) Kebutuhan ManusiaSeperti sudah disinggung, bahwa dalam Kej. 1:26 bahwa yang pertama disebut adalah manusia sebagai gambar Allah. Kemudian, diberi mandat ‘menguasai”. Urutan ini mengandung makna bahwa manusia menguasai seperti cara Allah menguasai ciptaanNya.

Memang kata-kata yang digunakan dalam bahasa Ibrani untuk “berkuasa” di sini adalah juga berarti ‘menginjak’. Misalnya, menginjak buah anggur untuk memeras sarinya. Kata ‘taklukkanlah’ juga berarti menaklukkan dalam perang. Akan tetapi amanat ‘taklukkanlah’ di sini tidak sama dengan perang terhadap alam. Sebab, tidak boleh hanya etimologi yang menjadi pertimbangan kita tetapi cara penggunaan kata-kata itu dalam konteksnya. Kekuasaan yang diserahkan Allah kepada manusia adalah bersifat pemberian yang menuntut tanggung jawab.

Salah satu yang perlu diperhatikan untuk memahami ‘menaklukkan’ dan ‘menguasai’ dalam Kej 1 ini adalah makanan manusia. Dalam ay 29: makanan adalah tumbuh-tumbuhan yang berbiji dan pohon-pohonan yang buahnya berbiji”, tidak dalamkonteks manusia sebagai pemakan daging. Jadi, kata taklukkanlah di sini tidak dapat disamakan saja dengan konteks dunia sekarang dimana manusia memakan daging, yang malah sudah kian tanpa batas. Misalnya sudah banyak orang makan ular, anjing, kucing dan tikus. Catatan: Untung saja apa yang kita makan tidak mempengaruhi perilaku kita. Sebab jika apa yang dimakan oleh manusia mempengaruhi perilakunya , maka orang Batak dan orang Nias pasti akan mengalami masalah yang amat serius. Sebab babi dan anjing saja (yang amat sering dilahap), sudah amat tak tertahankan dampaknya bagi kehidupan, yang satu (babi): tukang makan, tidur dan teriak saja dan yang lain (anjing) menggonggong dan menggigit –dan berbisa pula --yang pasti akan merusak kehidupan.

MASALAH KEPEMILIKAN BUMI MASAKINI

Di tengah maraknya gaya hidup konsumerisme dewasa ini, apa yang dikatakan Gandhi sangat penting dihayati, yakni “bumi ini cukup menyediakan kebutuhan semua orang tetapi tidak cukup untuk ketamakan setiap orang”.

Krisis lingkungan hidup merupakah salah satu dari sederet persoalan yang paling serius dewasa ini, dari tingkat nasional hingga ke tingkat global. Disebut-sebut bahwa setiap tahun hutan dunia rusak seluas wilayah Korea. Indonesia sendiri kehilangan hutannya sekitar 2,8 juta hektar setiap tahun. Sudah banyak makhluk hidup yang punah, yang diperkirakan satu spesis punah setiap hari. Masalah lebih rumit lagi karena kota Jakarta misalnya, meraih juara III sedunia di bidang pengotoran udara. (kota-kota lain seperti Medan, Surabaya dan lain-lain kurang lebih sama dengan kondisi Jakarta).

Masyarakat Indonesia banyak yang sudah menanggung derita akibat berbagai bencana yang sebenarnya diakibatkan oleh rusaknya hutan dan terjadinya polusi udara, air dan tanah. Kondisi hutan yang memprihatinkan ini terjadi karena ketidaktahuan masyarakat, karena kemiskinan, dan lebih banyak karena ketamakan para penguasa dan pengusaha kayu.

Mencermati kecenderungan yang menggejala, jika tidak ada perubahan sikap dan perilaku manusia, maka akhir zaman yang disebut di dalam Alkitab bisa saja bukan sesuatu yang kita nantikan lagi dengan sukacita, tetapi menjadi sesuatu yang menakutkan karena dirampas oleh manusia dengan gaya hidup dan tindakannya yang menghancurkan alam.

Roh materialisme (memperilah materi) dan konsumerisme (perasaan tidak pernah merasa cukup) telah memacu kehancuran alam ciptaan Tuhan diperparah dengan ketidakpedulian terhadap kualitas lingkungan.

Sebagai Gereja dan orang Kristen, kita perlu berpaling kembali kepada kepemilikan Allah atas bumi dan segala isinya. Penerimaan demikian dapat terwujud dengan dihidupkannya penghayatan akan Mazmur ini dalam ibadah-ibadah kita. Hal ini dapat dimulai dari ibadah atau perenungan pribadi, keluarga dan persekutuan jemaat.

Tidak berhenti di situ, yang terpenting ialah bagaimana kehidupan setiap dan semua orang mencerminkan kehidupan yang menghargai ciptaan Tuhan antara lain melalui:

1) Hidup dengan dasar kecukupan (bukan ketamakan) sebagaimana Tuhan menghendakinya (bnd. Bagian doa Bapa kami, “berikanlah kepada kami pada hari makanan kami yang secukupnya). Dengan demikian, menghindari diri dari materialisme dan konsumerisme.

2) Menangani limbah rumah tangga dan sampah secara baik (belanja dengan keranjang, bukan menghabiskan plastik; penggunaan kertas di kantor, kampus, pelatihan, lokakarya sehemat mungkin).

3) Menjaga keadaan sungai, danau, laut agar tetap baik dan bersih.

4) Menanam dan merawat pohon di pekarangan rumah, pinggir jalan umum, kompleks gereja dan lain-lain.

5) Mengkonsumsi makanan secukupnya dan sehat (tidak hanya yang enak), dan lain-lain

6) Menggunakan kendaraan yang layak pakai (tidak mengeluarkan polusi melewati ambang batas) dan seperlunya.

7) Dalam tingkat nasional dan global: semua negara hendaknya sungguh-sungguh memperhatikan keseimbangan ekologi dan ekonomi.

RENUNGAN DAN DISKUSI

(1) Apa sajakah tindakan manusia pada zaman ini yang mencerminkan pengakuan bahwa Allah pemilik bumi dan segala isinya dan mana yang menunjukkan pengabaian kepemilikan Allah atas bumi dan isinya?

(2) Upaya-upaya konkret apa yang dapat dilakukan oleh Gereja dan orang-orang Kristen merawat alam ciptaan dan milik Tuhan?


[1] Sebelumnya pernah disampaikan sebagai Pengantar Pemahaman Alkitab (PA) pada “Pelatihan Pelatih Penanganan Bencana”, kerjasama PGI dan PGI Daerah Nias.

ShoutMix chat widget